Tabel 10. Sebaran Penderita Paru Berdasarkan Jumlah Kunjungan
Jumlah kunjungan n %
5 kali 30 100
Total 30 100
Berdasarkan jumlah kunjungan berobat, rerata kunjungan semua penderita (100%) dalam 2 bulan adalah 5 kali kunjungan di poliklinik DOTS. Seperti terlihat pada tabel 10.
BAB V PEMBAHASAN
Pada awal tahun 1990an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalaman- pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB.2,4,17
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995.
Ketidakpatuhan atau ketidakteraturan dalam pengobatan adalah seseorang yang melalaikan kewajibannya berobat sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. Keteraturan minum obat diukur dari kesesuaian dengan aturan yang ditetapkan, dengan pengobatan lengkap sampai selesai dalam jangka waktu enam bulan. Keteraturan pengobatan kurang dari 90% akan mempengaruhi penyembuhan. OAT harus ditelan sesuai jadwal dan teratur terutama pada dua fase pengobatan untuk menghindari terjadinya kegagalan pengobatan dan kekambuhan.
Dari hasil penelitian tabel 4.1 dapat dilaporkan bahwa rentang umur pasien berada diantara 18 – 60 tahun, yang terbanyak pada rentang umur 21 -30 tahun sebanyak 13 orang (43.3%), kemudian rentang umur 41 -50 tahun sebanyak 8 orang (26.7%), rentang umur 31 -40 tahun sebanyak 6 orang (20.0%), ≤ 20 tahun sebanyak 2 orang (6.7%), dan rentang umur 51 – 60 tahun sebanyak 1 orang (3.3%). Karakteristik umur pasien penelitian ini hampir sama dengan yang
40
disebutkan oleh WHO yaitu umur produktif 15 – 54 tahun.27Syafrizal17 yang menyebutkan rentang usia pasien 14 – 74 tahun kelompok KDT sedangkan pada kelompok kombipak rentang usia pasien 15 - 57 tahun.
Pada hasil penelitian tabel 4.2 jumlah pasien laki-laki pada penelitian ini lebih banyak yaitu 19 orang (63.3%), dan perempuan 11 orang (36.7%). Pada penelitian Gravendeel dkk27 di Sulawesi jumlah pasien laki-laki 119 orang (60%) dan perempuan 79 (40%) pada kelompok KDT dan kelompok kombipak laki-laki 96 orang (59%) dan perempuan 66 orang (41%). Pada penelitian Amril28 laki-laki sebanyak 32 orang (44.4%) pada kelompok DOTS dan 38 orang (52.8%) pada kelompok SAT. Yeung dkk27 melakukan penelitian di Hong Kong mendapatkan prevalensi TB pada laki-laki sebesar 69.1% sedangkan Masniari melaporkan bahwa laki-laki sebesar 61.7%.
Pada hasil penelitian tabel 4.3 status perkawinan sebanyak 19 orang (63.7%) yang kawin dan yang belum kawin sebanyak 11 orang (36,3%). Amril5 mendapatkan penderita TB paru yang sudah menikah 68%. Berbeda dengan penelitian Horwitz5 di Denmark melaporkan bahwa lebih banyak pada kelompok yang belum menikah dibanding sudah menikah, diduga pada kelompok menikah mempunyai pola hidup yang sudah teratur dan pekerjaan yang stabil.
Pada hasil penelitian tabel 4.4 berdasarkan pendidikan formal pada penelitian ini yang terbanyak adalah SMA sebanyak 15 orang (50%), SMP 9 orang (30%),SD dan Sarjana masing-masing 3 orang (10%). Dicky dkk27melakukan penelitian, pendidikan formal yang terbanyak adalah menengah (SMP dan SMA) 34 orang (65.4%) pada KDT dan 37 orang (63.8%) pada kombipak. Pada penelitian Nugroho status pendidikan pasien terbanyak adalah SD/sederajat 52% sama dengan Amril 43.1% pada kelompok DOT dan 41.7% pada kombipak. Status pendidikan pasien berpengaruh pada pemahaman terhadap penyakit sehingga akan mempengaruhi kepatuhan berobat, angka kesembuhan dan keberhasilan pasien. Pasien TB paru berpendidikan menengah-tinggi mempunyai pengetahuan TB paru lebih baik daripada pasien berpendidikan rendah29 namun Wilkinson dkk membuktikan pendidikan rendah tidak selalu berhubungan dengan rendahnya kepatuhan. Hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan TB dan dampaknya dengan kepatuhan berobat bervariasi di beberapa negara.29
Pada hasil penelitian tabel 4.5 berdasarkan pekerjaan pasien kebanyakan adalah buruh 11 orang (36.7%), kemudian pengangguran sebanyak 8 orang (26.7%), lain-lain sebanyak 6 orang (20%), dan pedagang sebanyak 5 orang (6.7%). Dan dari tabel 4.6 pendapatan pada penelitian ini didapati banyak yang tidak ada gaji sebanyak 14 orang (46.7%) dikarenakan pasien pengangguran, ibu rumah tangga ataupun masih sekolah, kemudian pendapatan 1.1 – 1.5 juta sebanyak 7 orang (23.3%), pendapatan 600 ribu – 1 juta sebanyak 5 orang (16.7%), pendapatan 1.6 – 2 juta sebanyak 3 orang (10%), dan pendapatan 100 – 500 ribu sebanyak 1 orang (3.3%). Hambatan ekonomi lebih dirasakan pada laki- laki ketimbang perempuan. Pada negara berkembang laki-laki mempunyai peran yang sangat besar menopang ekonomi keluarga sehingga bila dana yang tersedia harus dipakai untuk berobat akan menyebabkan gangguan terhadap kebutuhan keluarga sehari-hari.
Kim dkk melaporkan rendahnya kepatuhan berobat pasien TB paru berhubungan dengan penghasilan yang rendah. Keterbatasan dalam keuangan akan mempersulit program pengobatan. Meskipun pengobatan diberikan secara gratis, biaya transportasi dari tempat tinggal ke tempat pelayanan kesehatan akan berpengaruh terhadap program pengobatan.29
Pada hasil penelitian tabel 4.7 berdasarkan riwayat merokok didapati pasien yang merokok sebanyak 18 orang (60.0%) kemudian tidak merokok sebanyak 12 orang (40.0%). Penelitian Kalappan dan Gopidikutip dari 5yang menyimpulkan ada hubungan positif antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB paru. Yach menyatakan bahwa kebiasaan merokok meningkatkan kejadian infeksi TB, insidens dan angka kematian TB.
Penelitian Alcaide mendapatkan risiko terjadinya TB pada perokok aktif 3.8 kali sedangkan pada perokok pasif 2.5 kali. Buskin mendapatkan risiko terjadinya TB 2.6 kali pada perokok yang merokok 20 tahun atau lebih. Hal ini dapat terjadi karena rokok akan mempengaruhi makrofag menurunkan respon terhadap antigen, mengeluarkan sintesis elastase dan menurunkan produksi antiprotease, sehingga meningkatkan risiko untuk mendapatkan infeksi termasuk TB.
42
Pada hasil penelitian tabel 4.8 berdasarkan riwayat alkohol pasien terdapat 3 orang (10.0%) pasien yang minum alkohol dan 27 orang (90.0%) tidak minum alkohol. Didapati suatu studi di Australia, Kanada, Rusia, Swiss, dan Amerika Serikat bahwa 10 – 50% peminum alkohol mendapat TB. Jones dkk menemukan prevalensi TB dengan peminum alkohol sangat tinggi dibandingkan dengan TB tanpa peminum alkohol yaitu 2.200/100.000 berbanding 40/100. Friedman dkk melaporkan di New York awal 1980an prevalensinya 46 kali lebih besar pada peminum alkohol daripada tidak peminum yaitu 1.500/100.000 berbanding 32/100.000. Diel26 melakukan penelitian di Hamburg tahun 1997 – 2001 memperlihatkan faktor-faktor seperti ketergantungan alkohol, penyalahguna obat, tunawisma dan tidak bekerja, secara bermakna berhubungan dengan putus berobat.
Pada hasil penelitian tabel 4.10 kebanyakan sebelumnya pasien berobat ke dokter spesialis 17 orang (56.7%), Puskesmas 7 orang (23.3%), dan dokter umum 6 (20.0%). Pada hasil penelitian tabel 4.11 alat penunjang diagnosis dengan foto dada 22 orang (73.3%), dan pemeriksaan dahak 8 orang (26.7%). Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap faktor ekonomi pasien dan tingkat kepatuhan pasien untuk berobat.29 Linda5dkk pada penelitiannya didapati sumber biaya yang paling banyak adalah biaya sendiri 82.3% dibanding askes 8.7%, OTM/JPSBK 4.3% dan jamsostek.
Angka keberhasilan pengobatan lebih tinggi pada penderita dengan biaya askes dibanding dengan biaya sendiri, JPSBK/OTM dan jamsostek, diduga dengan biaya askes penderita tidak mengeluarkan biaya untuk pengobatan TB. Hal ini juga sama dilaporkan oleh Rudiwan yaitu bila biaya ditanggung asuransi kesehatan didapatkan angka putus berobat lebih rendah dibandingkan biaya sendiri yaitu 27.4% berbanding 72.6%.5
Pada hasil penelitian tabel 4.12 menunjukkan kebanyakan pasien minum OAT selama 2 bulan yaitu 10 orang (33.3%), 3 bulan sebanyak 9 orang (30.0%), 4 bulan sebanyak 8 orang (26.7%), dan 5 bulan sebanyak 3 orang (10.0%). Mandel dan Sande mengatakan bahwa penyebab dari kegagalan pengobatan adalah
ketidakteraturan minum obat, penggunaan satu macam obat, dosis awal yang kurang dan resistensi kuman. Jumlah penderita TB yang berobat tidak lengkap di USA sebesar 20% sedangkan disalah satu rumah sakit besar di New York terdapat 83% penderita yang berobat tidak lengkap setelah 3 bulan pengobatan. Anderson dan Benergi di India menyimpulkan ketidakpatuhan penderita berkaitan dengan diagnosis penyakit TB paru.
Pada hasil penelitian tabel 4.13 alasan putus berobat yang terbanyak adalah merasa sudah sembuh dijumpai 16 orang (53.3%), faktor ekonomi 9 orang (30.0%), kerja/ tidak sempat 3 orang (10.0%), dan tidak mau berobat 2 orang (6.7%). Semua kegagalan pengobatan TB adanya obat yang tidak adekuat karena ketidakteraturan minum obat yaitu penggunaan obat yang tidak sesuai, penghentian jadwal yang terlalu cepat, lalai atau putus berobat dan adanya kuman resistensi.
Alasan lain adalah rasa bosan berobat dikarenakan terlalu lama, kurangnya pengetahuan penderita tentang TB paru, jauhnya jarak rumah penderita dengan pelayanan kesehatan umum, petugas kesehatan yang tidak mengingatkan penderita bila lalai pengobatan dan adanya anggapan bahwa pengobatan di Puskesmas kurang baik.19
Pada hasil penelitian tabel 4.14 berdasarkan penyakit penyerta dijumpai 3 orang (6.7%) yaitu DM tipe II, dan tidak ada penyakit penyerta dijumpai 27 orang (93.3%). Seperti yang didapati Revionodikutup dari 5didapati kasus TB paru dengan DM Tipe II sebesar 50.3%.
Penelitian secara autopsi pada tahun 1800-an mendapatkan bukti adanya tuberkulosis pada 38% sampai 50% pasien dengan diabetes mellitus . Pada tahun tahun 1932, Root telah mencatat bahwa tuberkulosis paru berkembang 10 kali lebih sering pada pasien dengan diabetes.48 Proporsi penderita TB paru aktif jauh lebih tinggi diantara penderita DM dibandingkan dengan non DM.44
Pada hasil penelitian tabel 4.15 pengetahuan bahaya TB 11 orang (36.7%) tahu bahaya TB, dan 19 orang (63.3%) tidak mengetahui bahaya TB. Hal ini dapat mempengaruhi kepatuhan pasien untuk patuh berobat. Pada penelitian Welson, dkk (2003) di India, Demissie M, ddk (2002) di Ethiopia serta Odusanya,
44
dkk (2004) di Lagos, mendapatkan ada hubungan keterlambatan dengan rendahnya pengetahuan tentang bahaya TB.30,31,32
Fahruda menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan rendah akan berisiko lebih dari dua kali untuk terjadinya kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita dengan tingkat pengetahuan tinggi.19
Pada hasil penelitian tabel 4.16 yang mendapat penyuluhan didapati 12 orang (40.0%), dan 18 orang (60.0%) tidak mendapat penyuluhan. Hal ini dapat mempengaruhi kepatuhan pasien untuk patuh berobat. Menurut Becker, ketidakpatuhan berobat mempunyai hubungan dengan gagalnya informasi yang disampaikan petugas kesehatan. Faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan penderita adalah hubungan antara petugan kesehatan dengan penderita TB paru.19 Fahruda menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan rendah akan berisiko lebih dari dua kali untuk terjadinya kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita dengan tingkat pengetahuan tinggi.19
Pada hasil penelitian tabel 4.18 pengetahuan tentang gejala TB didapati 14 orang (46.7%) tahu gejala-gejala TB, dan 16 orang (53.3%) tidak tahu gejala- gejala TB paru. Fahruda menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan rendah akan berisiko lebih dari dua kali untuk terjadinya kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita dengan tingkat pengetahuan tinggi.19
Pada hasil penelitian tabel 4.19 PMO terbanyak didapati oleh istri yaitu 12 orang (40.0%), lain-lain 10 orang (33.3%), suami 4 orang (13.3%), anak dan saudara masing-masing 2 orang (6.7%). Dan hasil penelitian tabel 4.20 didapati jenis kelamin PMO yang terbanyak adalah perempuan yaitu 20 orang (66.7%) dibanding laki-laki sebanyak 10 orang (33.3%). Berdasarkan hubungan pasien dengan PMO Syafrizaldikutip dari 29 menyebutkan bahwa keberhasilan lebih tinggi bila PMO laki-laki, sudah menikah, pendidikan tinggi, dan penghasilan lebih dari 1 juta rupiah dan PMO orang tua pasien. Amril5 mendapatkan penderita TB paru yang sudah menikah 68%. Berbeda dengan penelitian Horwitz5 di Denmark melaporkan bahwa lebih banyak pada kelompok yang belum menikah dibanding sudah menikah, diduga pada kelompok menikah mempunyai pola hidup yang sudah teratur dan pekerjaan yang stabil.
Pada hasil penelitian tabel 4.20 didapati umur PMO terbanyak didapati 10 orang (33.3%) berumur 21 – 30 tahun, 8 orang (26.7%) 51 – 60 tahun, 6 orang (20%) 31 – 40 tahun, dan masing-masing 2 orang (6.7%) ≤ 20 tahun, 41 – 50 tahun dan ≥ 60 tahun.Syafrizal17 yang menyebutkan rentang usia PMO 19 – 70 tahun pada kelompok KDT sedangkan pada kelompok kombipak rentang usia PMO 20 – 62 tahun.
Pada hasil penelitian tabel 4.21 didapati pendidikan PMO terbanyak adalah SMP 13 orang (43.3%), 12 orang (40.0%) SMA, 3 orang (10.0%), dan 2 orang (6.7%) sarjana.
Penilaian respon terapi pada penelitian ini adalah gejala klinis, sputum BTA dan radiologis. Penilaian respon klinis lebih diutamakan kepada berat badan karena dapat diukur (obyektif). Pada hasil penelitian tabel 5 dapat disimpulkan berat badan pasien meningkat setelah 2 bulan terapi. Ini dapat dipastikan asupan nilai gizi makanan yang baik.
Konversi BTA dibulan kedua terapi pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 7 didapati yang mengalami konversi sebanyak 15 orang (50%). Pada penelitian Gravendeel dkk27 konversi sputum bulan kedua 143 orang (89%) pada kelompok kombipak dan 186 orang (94%) KDT. Jadi hasil penelitian ini jauh berbeda dengan hasil penelitian Gravendeel. Pada penelitian Nugroho dikutip dari 27 angka konversi sputum BTA bulan kedua 94.4% kelompok KDT dan 93.4% kombipak. Sedangkan Zhu dkk melaporkan angka konversi sputum BTA bulan kedua 91.2% KDT dan 86.4% SAT. Pada penelitian ini pasien yang tidak mengalami konversi sputum BTA bulan kedua sebanyak 15 orang (50%).
Respon radiologis bulan kedua terapi pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 8 didapati lesi minimal dengan konversi sputum BTA 2 orang (6.7%), lesi sedang dengan konversi sputum BTA 13 orang (43.3%), lesi sedang dengan tidak konversi sputum BTA 7 orang (23.3%), lesi luas dengan tidak konversi sputum BTA 6 orang (20%) dan perburukan radiologis dengan tidak konversi sputum BTA 2 orang (6.7%). Untuk perburukan radiologis setelah 2 bulan terapi didapati 1 orang dengan hidropneumotorak kiri, dan 1 orang lagi dengan pneumotoraks spontan sekunder setelah 2 bulan terapi. Hal ini sama dengan yang dilaporkan
46
Syafrizaldikutup dari 5 terbanyak lesi sedang 43% sedangkan Amril paling banyak lesi luas.
Efek samping OAT pada penelitian ini didapati mual sebanyak 1 orang (3.3%), nyeri sendi 2 orang (6.7%) dan tidak ada keluhan sebanyak 27 orang (90.0%). Pada penelitian Nurhayati29 dkk. Didapati 6.3% dengan keluhan gastro intestinal, nyeri sendi 3.2% dan gatal di kulit 1.1%. begitu juga penelitian Dicky27 dkk. Efek samping yang timbul pada pasien seperti mual 3 orang (5.8%) pada KDT dan 3 orang (5.2%) pada kombipak, muntah 1 orang (1.9%) KDT dan 1 orang (1.7%) kombipak, kulit kuning 2 orang (3.8%) KDT dan 2 orang (3.4%) kombipak, kulit gatal 1 (1.9%) KDT dan 4 orang (6.9%) kombipak, nyeri sendi 3 orang (5.2%) pada kelompok kombipak.
Jumlah kunjungan berobat semua pasien dalam penelitian ini selama 2 bulan di poliklinik DOTS adalah 5 kali (100%) kunjungan. Disini dapat kita lihat bahwa ketidakpatuhan atau ketidakteraturan pengobatan dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan hal ini diduga berhubungan dengan kopleksiti dan lama pengobatan, efek samping, harga obat, akses ke fasilitas kesehatan, tunawisma, pemakai narkoba, gangguan emosional, sulit transportasi, jadual berobat yang tidak sesuai, pelupa, retardasi mental, kurang dukungan keluarga, sosial ekonomi, tidak bekerja dan pendapatan yang rendah.5
Mandel dan Sande mengatakan bahwa penyebab dari kegagalan pengobatan adalah ketidakteraturan minum obat, penggunaan satu macam obat, dosis awal yang kurang dan resistensi kuman. Jumlah penderita TB yang berobat tidak lengkap di USA sebesar 20% sedangkan disalah satu rumah sakit besar di New York terdapat 83% penderita yang berobat tidak lengkap setelah 3 bulan pengobatan. Anderson dan Benergi di India menyimpulkan ketidakpatuhan penderita berkaitan dengan diagnosis penyakit TB paru. Dalam penelitian selama 2 tahun ditemukan bahwa 20% ketidahpatuhan terjadi pada penderita menular dengan BTA positif, 37% ketidakpatuhan pada kelainan paru, 56% ketidakpatuhan pada penderita dengan kelainan sedang, dan 100% ketidakpatuhan penderita dengan kelainan minimal pada paru-parunya.19.
Secara keseluruhan variabel-variabel yang berhubungan dengan ketidakberhasilan pengobatan adalah umur diatas 60 tahun, strategi pengobatan
SAT, kategori II (WHO). Umur diatas 60 tahun dengan mempunyai risiko 1,449 kali lebih besar untuk tidak berhasil dibandingkan umur 15 – 44 tahun. Penderita dengan pengobatan strategi SAT mempunyai risiko 1,328 kali lebih besar untuk tidak berhasil dibanding strategi DOT. Penderita dengan kategori II mempunyai risiko 1,229 kali lebih besar untuk tidak berhasil dibanding penderita dengan kategori III.5
Amril dan Tsuchidadikutip dari 5mendapatkan penderita TB dengan strategi pengobatan SAT mempunyai risiko masing-masing 3,343 dan 4,04 kali lebih besar untuk tidak berhasil dibanding dengan strategi DOT, sedangkan Balasubramaniandikutip dari 5mendapatkan risiko gagal pengobatan dengan SAT sebesar 16,6 kali dibandingkan dengan DOT. Penderita yang gagal dalam pengobatan dapat menyebarkan kuman yang resisten.
48
BAB VI