• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas fase intensif program DOTS pada penderita TB Paru putus berobat dan factor – faktor yang mempengaruhinya di beberapa pusat pengobatan TB Paru di Medan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektifitas fase intensif program DOTS pada penderita TB Paru putus berobat dan factor – faktor yang mempengaruhinya di beberapa pusat pengobatan TB Paru di Medan."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS FASE INTENSIF PROGRAM DOTS PADA PENDERITA TB PARU PUTUS BEROBAT DAN FAKTOR – FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI DI BEBERAPA PUSAT PENGOBATAN TB PARU DI MEDAN

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Pendidikan Di Bidang

Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan

OLEH RUDY IRAWAN

PEMBIMBING

Dr. HILALUDDIN SEMBIRING, DTM & H, SpP(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU FKUSU /

(2)

LAPORAN PENELITIAN TULISAN AKHIR PPDS ILMU PENYAKIT PARU

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/ RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

1. Judul Penelitian : EFEKTIFITAS FASE INTENSIF PROGRAM DOTS  PADA PENDERITA TB PARU PUTUS BEROBAT DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DI BEBERAPA PUSAT PENGOBATAN TB PARU DI MEDAN

2. Nama Peneliti : Rudy Irawan

3. NIP : -

4. Pangkat/ Golongan : -

5. Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara

6. Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Paru 7. Jangka Waktu : 2 ( Dua ) Bulan

8. Lokasi Penelitian : Poliklinik Paru RSUP HAM dan Balai Pengobatan penyakit Paru – Paru ( BP4 ) Medan dan Praktik Swasta

dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K) 9. Biaya Yang Diperlukan : Rp. 7.000.000,-

10. Pembimbing : Dr. Hilaluddin Sembiring, DTM&H Sp.P(K) Dr. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes

(3)

Judul Penelitian : EFEKTIFITAS FASE INTENSIF PROGRAM DOTS PADA PENDERITA TB PARU PUTUS BEROBAT DAN FAKTOR –FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DI BEBERAPA PUSAT PENGOBATAN TB PARU DI MEDAN

Nama : RUDY IRAWAN

Program Studi : PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PARU

Menyetujui Pembimbing

Dr. Hilaluddin S, DTM&H Sp.P(K) NIP. 194510071973021002

Koordinator Penelitian Ketua Program Studi Ketua Departemen Dep. Ilmu Penyakit Paru Dept. Ilmu Penyakit Paru Ilmu Penyakit Paru

(4)

A B S T R A K

Judul Penelitian : Efektifitas fase intensif program DOTS pada penderita TB Paru putus berobat dan factor – faktor yang mempengaruhinya di beberapa pusat pengobatan TB Paru di Medan.

Tujuan       : Untuk menilai tingkat kepatuhan penderita TB Paru putus berobat dengan DOTS, evaluasi gejala klinis dan radiologis serta konversi BTA.

Metode : 30 pasien TB Paru putus berobat dengan uji klinis, radiologis, BTA (+), sudah pernah mendapat OAT sebelumnya, usia 15-60 tahun, bukan wanita hamil dan menyusui, penderita TB diluar paru, HIV/AIDS, penderita yang mengalami efek samping obat yang berat selama penelitian. Disain berupa The One-Shot Case Study yang mendapatkan terapi OAT : Rifampisin, INH, Pirazinamid, Ethambutol dan Streptomisin. Perlakuan diberikan selama 2 (dua) bulan. Parameter efikasi yang dinilai adalah perbaikan radiologis (foto toraks) dan konversi BTA. Perekrutan pasien dilakukan di poliklinik paru RSUP H. Adam Malik Medan dan Balai Pengobatan penyakit paru-paru (BP4) Medan praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K).

Hasil : Setelah 2 bulan terapi dengan DOTS dilakukan evaluasi di dapati 50% pasien konversi BTA dan perbaikan radiologis lesi luas 60% menjadi 26% dan juga terjadi peningkatan berat badan 53,27 ± 10.198 serta perbaikan klinis. Didapati mual 3.3% dan nyeri sendi 6.7%

Kesimpulan : Pemberian OAT dengan sistem DOTS meningkatkan kepatuhan penderita untuk minum obat. Rerata konversi sputum, perbaikan radiologis dan klinis tinggi.

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Bisrmillaahirrahmaanirrahiim

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan untuk memperoleh gelar keahlian dalam bidang Ilmu Penyakit Paru pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan/Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya, walaupun demikian, harapan penulis kiranya tulisan ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam penatalaksanaan Tb Paru. Dengan telah berakhirnya masa pendidikan penulis pada kesempatan yang baik ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Paru pada Fakultas Kedokteran ini.

Yang terhormat Bapak Ketua TKP PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dr. Zainuddin Amir, SpP(K) yang juga sebagai staf pengajar dibagian Ilmu Penyakit Paru FKUSU/RSUP H. ADAM Malik Medan yang telah meluangkan waktu untuk nasehat, bimbingan dan masukannya selama mengikuti pendidikan di bagian Paru.

(7)

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini.

Yang terhormat Prof. Dr. Luhur Soeroso, SpP(K), sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit Paru FKUSU/SMF Paru RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak menyediakan waktu serta memberikan bimbingan dan pengarahan yang tidak ternilai khususnya dalam menilai foto toraks dan kasus-kasus yang menarik atau sulit pada setiap ada kesempatan maupun pada saat koordinasi pelayanan (koyan).

Yang terhormat Dr. PS Pandia, SpP(K) sebagai Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Paru FKUSU yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasehat selama mengikuti pendidikan dibagian Paru.

Yang terhormat Dr. Hilaluddin Sembiring DTM&H, SpP(K) sebagai Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Paru FKUSU sekaligus sebagai pembimbing penulis didalam tulisan akhir ini yang dengan penuh perhatian telah membei dorongan, bimbingan, koreksi, perhatian dan saran selama penulis mengikuti pendidikan sampai penyelesaian tulisan akhir ini

Yang terhormat Dr. Pantas Hasibuan, SpP(K) sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Paru FKUSU yang telah memberikan bimbingan terutama dibidang Onkologi serta nasehat selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi.

(8)

kepada penulis selama penulisan akhir ini berjalan sampai dengan selesai. Dan bimbingannya terutama dibidang asma selama pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Dr. Sumarli, SpP(K) yang penuh kesabaran telah berkenan memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. Dr. RS Parhusip, SpP(K) yang penuh kesabaran memberikan bimbingan dan nasehat kepada kami selama mengikuti pendidikan spesialisasi terutama dibidang intensif penyakit paru.

Yang terhormat Dr. Adlan L Sitompul, SpP sebagai Kepala BP4 Medan, Dr. Syahlan, SpP sebagai KUPF paru RSU Dr. Pirngadi Medan, Dr. Amira PS Tarigan, SpP sebagai KUPF paru RSU Tembakau Deli Medan serta Dr. Nuryunita Nainggolan,SpP UPF paru di RSU Tembakau Deli atas bimbingan dan nasehatnya selama penulis menjalankan stase pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat para staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Paru FKUSU beserta semua senior penulis Dr. Usman SpP, Dr. Rusyda Nukman SpP, Dr. Rasyid Ngah SpP, Dr. Yulianti SpP, Dr. Tunggul Hutapea SpP, Dr. Widi Rahardjo SpP(K), Dr. Fajrinur Syarani SpP(K), Dr. Parluhutan Siagian SpP, Dr. Amira PS Tarigan SpP, Dr. Bintang Y Sinaga SpP, Dr. Noni N Soeroso SpP, Dr. Setia Putra Tarigan SpP yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan dukungan moril selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah membimbing penulis didalam analisis statistik pada penelitian ini

Yang terhormat Ketua Departemen Patologi Anatomi FKUSU/RSUP H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen Kardiologi FKUSU/RSUP H. Adam

(9)

Malik Medan, Ketua Departemen Mikrobiologi FKUSU/RSUP H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen Radiologi FKUSU/RSUP H. Adam Malik Medan dan Bagian Radiologi RSU Materna Medan yang telah membimbing selama penulis menjalankan stase pendidikan spesialisasi.

Yang penulis muliakan kedua orang tua tercinta ayahanda (Alm) Dr.H Sugito, SpP(K) dan ibunda Hj. Karti Ningsih, SH SpN. Penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis sejak dilahirkan, memelihara dan mendidik penulis sampai dewasa. Dengan memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT, Ya Allah ampunilah dosa kami dan orang tua kami, muliakanlah mereka, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami sejak kecil

Rasa hormat dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada mertua saya atas segala do’a, dukungan dan bantuannya yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan spesialisasi.

Untuk istriku tercinta Dr. Dian Dwi Wahyuni Pane serta anak-anakku tercinta Naswa Safrina Irawan dan Caesar Nabil Atthariq Irawan yang selalu setia menunggu dan memberi pengertian, kesabaran dan ketabahan mendampingi penulis selama menjalani pendidikan spesialisasi ini. Tiada kata yang dapat kuucapkan selain terima kasih yang setulus-tulusnya.

(10)

mengikuti pendidikan spesialisasi ini, semoga Allah SWT akan memelihara hal ini dan selalu melindungi kita semua.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh tenaga paramedis dan staf di SMF Paru RSUP H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, BP4 Medan, RSU Tembakau Deli serta RSU Materna Medan yang telah bekerjasama selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi. Serta kepada seluruh sahabat-sahabat dan handai taulan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.

Amin yaa rabbal ‘alamin…..

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh.

Medan, Juni 2010 Penulis,

Dr. Rudy Irawan

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR TABEL x

DAFTAR SINGKATAN xii

BAB I PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis 3

Manfaat Penelitian 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

Definisi TB Paru 5

Epidemiologi TB Paru 5

Tuberkulosis dan Kejadiannya 8

Diagnosis TB Paru 10

Pemeriksaan Penunjang 11

Pengobatan TB Paru 12

Strategi DOTS 14

TB Paru Putus Berobat 15

(12)

BAB III METODE PENELITIAN 25 Tempat dan Waktu Penelitian 25

Bahan dan Alat 25

Rancangan Penelitian 25

Pelaksanaan Penelitian 26

Kerangka Konsep 27

Definisi Operasional 27

Variabel Penelitian 27

Manajemen Data 28

BAB IV HASIL PENELITIAN 29

BAB V PEMBAHASAN 39

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 48

BAB VII DAFTAR PUSTAKA 49

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT 13

Tabel 2. Dosis Untuk Paduan OAT Kategori II 13

Tabel 3. Paduan OAT Kategori II 14

Tabel 4. Karakteristik Demografi 29 4.1. Karakteristik Umur 29 4.2. Karakteristik Jenis Kelamin 29 4.3. Karakteristik Status Pernikahan 30 4.4. Karakteristik Status Pendidikan Pasien 30 4.5. Karakteristik Pekerjaan Pasien 30 4.6. Karakteristik Pendapatan Pasien 31 4.7. Karakteristik Riwayat Merokok Pasien 31 4.8. Karakteristik Riwayat Alkohol Pasien 31 4.9. Karakteristik Riwayat Berobat Sebelumnya 32 4.10. Karakteristik Riwayat Berobat Kepada Siapa 32 4.11. Karakteristik Riwayat Dasar Diagnosis 32 4.12. Karakteristik Lama Minum OAT Sebelumnya 32 4.13. Karakteristik Alasan Putus Berobat 33 4.14. Karakteristik Penyakit Penyerta 33 4.15. Karakteristik Pengetahuan Bahaya TB 33

4.16. Karakteristik Jarak 34

4.17. Karakteristik Mendapat Penyuluhan 34 4.18. Karakteristik Mengetahui Gejala TB 34

(15)

4.19. Karakteristik PMO 35 4.20. Karakteristik Jenis Kelamin PMO 35 4.21. Karakteristik Umur PMO 35 4.22. Karakteristik Pendidikan PMO 36

Tabel 5. Berat Badan Pasien 36

(16)

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome ARTI : Annual Risk of Tuberculosis Infection BP4 : Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru BCG : Bacillus Calmette Guerrine

BTA : Basil Tahan Asam

CT-Scan : Computerised Thomograph Scan CO2 : Carbon dioxide

DNA : Dioxyribonucleic Acid

DOTS : Directly Observed Treatment Shortcourse ELISA : Enzym Linked Immunosorbent assay HIV : Human Immunodeficiency Virus ICT : Immunochromatographic Tuberculosis

IUATLD : International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease KDT : Kombinasi Dosis Tetap

LED : Laju Endap Darah MDR : Multi Drug Resistance OAT : Obat Anti Tuberculosis PA : Posterior Anterior PAS : Para Amino Acid

PCR : Polymerase Chain Reaction PMO : Pengawas Minum Obat Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat SAT : Self Administrated Therapy TB : Tuberculosis

WHO : World Health Organization

(17)

A B S T R A K

Judul Penelitian : Efektifitas fase intensif program DOTS pada penderita TB Paru putus berobat dan factor – faktor yang mempengaruhinya di beberapa pusat pengobatan TB Paru di Medan.

Tujuan       : Untuk menilai tingkat kepatuhan penderita TB Paru putus berobat dengan DOTS, evaluasi gejala klinis dan radiologis serta konversi BTA.

Metode : 30 pasien TB Paru putus berobat dengan uji klinis, radiologis, BTA (+), sudah pernah mendapat OAT sebelumnya, usia 15-60 tahun, bukan wanita hamil dan menyusui, penderita TB diluar paru, HIV/AIDS, penderita yang mengalami efek samping obat yang berat selama penelitian. Disain berupa The One-Shot Case Study yang mendapatkan terapi OAT : Rifampisin, INH, Pirazinamid, Ethambutol dan Streptomisin. Perlakuan diberikan selama 2 (dua) bulan. Parameter efikasi yang dinilai adalah perbaikan radiologis (foto toraks) dan konversi BTA. Perekrutan pasien dilakukan di poliklinik paru RSUP H. Adam Malik Medan dan Balai Pengobatan penyakit paru-paru (BP4) Medan praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K).

Hasil : Setelah 2 bulan terapi dengan DOTS dilakukan evaluasi di dapati 50% pasien konversi BTA dan perbaikan radiologis lesi luas 60% menjadi 26% dan juga terjadi peningkatan berat badan 53,27 ± 10.198 serta perbaikan klinis. Didapati mual 3.3% dan nyeri sendi 6.7%

(18)

Kata kunci : TB Paru putus berobat, DOTS, Patuh, Konversi BTA, Radiologis

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penemuan Mycobacterium tuberculosis pada tahun 1882 oleh Robert Koch merupakan suatu momen yang sangat penting dalam penemuan dan pengembangan obat antituberkulosis untuk mengendalikan penyakit ini, walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak 8000 tahun sebelum tahun Masehi.1

Secara umum dikatakan bahwa TB memang merupakan suatu penyakit utama masyarakat dunia di masa lalu. Penemuan basil penyebabnya oleh Robert Koch jelas merupakan pilar yang amat penting yang mengubah perjalanan kehidupan dan dunia kesehatan selanjutnya. Setelah penemuan basil penyebab ini, para ahli mulai berlomba-lomba untuk mencari obat yang ampuh dan dapat membunuh basil TB.

Akhirnya, pada tahun 1940an para ahli menemukan obat yang mampu membunuh basil TB yang terus dilanjutkan dengan penemuan obat-obatan lainnya, sehingga di tahun 1970an kita sudah mendapat paduan obat yang sangat ampuh untuk menyembuhkan penyakit ini, asal dimakan dengan teratur dalam jangka waktu tertentu.2

Penyakit Tuberkulosis (TB) paru di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI 2001, penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi, pada semua kelompok umur dan menurut survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI 1992 TB paru sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan, sedang pada 2001 TB nomor satu penyebab kematian dari golongan infeksi.

(20)

WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 550.000 kasus baru TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita TB paru dengan BTA positif yang diobati. Tigaperempat dari kasus berusia 15 – 49 tahun dan baru 20% yang tercakup dalam program pemberantasan TB yang dilaksanakan oleh pemerintah.4

Pada tahun 1992 WHO mengumumkan penyakit TB sebagai keadaan darurat global karena peningkatan jumlah kasus TB di dunia akibat epidemi penyakit HIV/AIDS. Pada tahun 1995 diperkirakan 9 juta kasus baru dengan dengan 3 juta kematian akibat TB. 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB terjadi di negara berkembang. 75% kasus TB menyerang usia produktif (15 – 50 tahun).

Penanggulangan TB dilakukan dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course), yang mengandung lima komponen yaitu perlu komitmen politik penentu kebijaksanaan, diagnosis mikroskopis yang baik, pemberian obat yang baik dan diawasi secara baik, jaminan ketersediaan obat serta pencatatan dan pelaporan dalam mengawasi penderita menelan obat secara teratur dan benar oleh PMO. DOTS merupakan strategi WHO yang paling efektif untuk memastikan kepatuhan berobat dan kelengkapan pengobatan, dapat mengurangi biaya pengobatan TB paru, mengurangi frekuensi resistensi obat, resistensi MDR-TB, kasus kambuh, kasus gagal pengobatan dan meningkatkan angka kesembuhan. 2,3,5

Ada beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB paru yaitu faktor individual, dimana berpengaruh langsung terhadap pasien seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, tingkat sosioekonomi, faktor komorbid dan keadaan khusus, diantaranya gangguan metabolisme, gangguan jantung, kelainan hati, malnutrisi, HIV/AIDS, kehamilan, kepatuhan berobat dan jumlah kunjungan dan efek samping obat.1,2,3,4

Suatu harapan baru yang lebih baik dalam penanggulan TB paru dengan dilaksanakannya cara pengobatan strategi DOTS dan diketahuinya hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan serta perkembangan baru obat-obatan antituberkulosis, sehingga cakupan dan keberhasilan pengobatan akan meningkat.

2

(21)

Pada akhirnya prevalensi TB di negara kita akan turun dan suatu saat TB bukan merupakan masalah kesehatan lagi.1

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Kegagalan pengobatan TB paru karena putus berobat akan diatasi dengan program DOTS, pada kondisi ini ingin diketahui efektifitas program DOTS pada TB paru karena putus berobat.

1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan umum :

Menilai tingkat kepatuhan pada penderita TB paru putus berobat dengan DOTS di Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan dan Praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K)

1.3.2. Tujuan khusus :

a. Penilaian tingkat kepatuhan pada penderita TB paru putus berobat dengan implementasi DOTS.

b. Mengetahui keberhasilan pengobatan dinilai dari rutinitas kunjungan, perbaikan klinis dan radiologis serta konversi BTA

c. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakberhasilan pengobatan.

d. Mengetahui karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, usia, status perkawinan, wilayah domisili, sumber biaya pengobatan dan penyakit penyerta.

1.4. HIPOTESIS

(22)

1.5. MANFAAT PENELITIAN

Dapat mengevaluasi tingkat kepatuhan pada penderita TB paru putus berobat dengan implementasi DOTS, perbaikan dari klinis dan radiologis serta konversi BTA sehingga hasil penelitian dapat sebagai pertimbangan pada penderita TB paru kasus putus berobat.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI TB PARU

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.6

2.2. EPIDEMIOLOGI TB PARU

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Disekitar tahun 1880an di Skotlandia dilaporkan terdapat 350/100.000 penduduk meninggal akibat TB, Denmark 220/100.000 penduduk, Swiss 250/100.000 penduduk. Di Massachusets, New York dan Boston 300/100.000 penduduk. Data tahun 1990an menunjukkan di Cekoslowakia terdapat 400/100.000 penduduk, Belanda 200/100.000 penduduk dan Norwegia 300/100.000 penduduk. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.4,6

Dari seluruh kematian yang dapat dicegah, 25% diantaranya disebabkan oleh TB. Saat ini di negara maju diperkirakan setiap tahunnya 10 -20 kasus baru setiap 100.000 penduduk dengan kematian 1 – 5 per 100.000 penduduk sedang di negara berkembang angkanya masih tinggi. Di Afrika setiap tahunnya muncul 165 penderita TB paru menular setiap 100.000 penduduk.2

(24)

tempat kita tinggal, timbul lebih dari 35 juta penderita TB paru baru dan ditemui pula lebih dari 12 juta orang yang meninggal akibat penyakit ini.2

Gambar I. Insidens TB Di Dunia (WHO, 2004)6

Penyakit tuberkulosis (TB) paru di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI 2001, penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi, pada semua kelompok umur dan menurut survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI 1992 TB paru sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan, sedang pada 2001 TB nomor satu penyebab kematian dari golongan infeksi.4

WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita dengan TB BTA positif yang diobati (23% dari perkiraan penderita TB BTA (+). Tigaperempat dari kasus berusia 15 – 49 tahun dan baru 20% yang tercakup dalam program pemberantasan TB yang dilaksanakan pemerintah.4

Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.

6

(25)

Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2. wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3. wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya.6

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.2,6

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah: 6,7

1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang berkembang.

2. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh: a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan

b. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).

c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)

d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.

e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.

3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.

(26)

Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).8

Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani. 2,9

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.

2.3. TUBERKULOSIS DAN KEJADIANNYA

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. 6

Cara penularan :

a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

8

(27)

d. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Gambar II. Faktor Risiko Kejadian TB6

Risiko penularan :

a. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

b. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.

c. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.

(28)

2.4. DIAGNOSIS TB PARU

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan : gejala kinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis TB dibagi atas 2 golongan, yaitu gejala respiratoris berupa batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratoris ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.2 Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar. Sedangkan gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan penurunan berat badan.

Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis. Kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama didaerah apeks dan segmen posterior.13,16 Pada pemeriksaan fisis dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma dan mediastinum.2,3,4

Gambar III. Alur Diagnosis TB Paru Pada Dewasa6

10 

(29)

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG 2.5.1. Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologis yang menggunakan sputum, cara pengambilannya terdiri dari 3 kali: sewaktu (pada saat kunjungan), pagi (keesokan harinya), dan sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi).2,3,6,10,17

Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis, WHO merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) :

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif - Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman

yang ditemukan

- Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (+1) - Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (+2) - Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (+3)4,10,11,12

2.5.2. Pemeriksaan Radiologis

(30)

2.5.3. Pemeriksaan Khusus

Ada beberapa tehnik baru yang dapat mendeteksi kuman TB, seperti : BACTEC : dengan metode radiometrik, dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak Mycobacterium tuberculosis dideteksi growth indexnya. Polymerase chain reaction (PCR) : dengan cara mendeteksi DNA dari Mycobacterium tuberculosis. pemeriksaan serologis : ELISA, ICT, Mycodot, dan PAP.3

2.5.4. Pemeriksaan Penunjang Lain :

Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak dapat sebagai indikator yang spesifik pada TB. Uji tuberkulin, di Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau kepositifan yang didapat besar sekali. 3

2.6. PENGOBATAN TB PARU

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Pengobatan TB telah bermula bahkan sejak sebelum Robert Koch menemukan basil tuberkulosis di tahun 1882. Mula-mula hanya dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi keluhan yang ada, antara lain dengan mendirikan sanatorium-sanatorium di berbagai tempat. Masa ini dikenal dengan ”battle againts symptom”. Setelah itu, berkembang pula upaya pembedahan, yang pada dasarnya adalah menangani kaviti sehingga disebut era ”battle againts cavity”. Di tahun 1940an barulah ditemukan obat streptomisin, yang kemudian INH, Pyrazinamid, Etambutol dan Rifampisin yang memulai era paling baru dalam penanganan TB, yaitu ”battleagaints TB bacilly”.2

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui

12

(31)

Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Etambutol selama 6 bulan.6,13,14,15

Berbagai variasi regimen telah diperkenalkan selama ini. Pada dasarnya semuanya mengandung dua fase, yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan. Fase awal intensif biasanya diberikan sedikitnya 3 atau 4 obat, sedangkan fase lanjutan dapat diberikan 2 obat saja baik setiap hari maupun intermitten. Pada tahun 1997 WHO telah membuat klasifikasi regimen pengobatan pada berbagai keadaan penyakit TB.2

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT 3,6

JENIS OAT SIFAT DOSIS YANG DIREKOMENDASIKAN (mg/kg)

HARIAN 3X SEMINGGU

[image:31.595.107.519.519.747.2]

Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-5) 10 (8-12) Rifampicin (R) Bakterisid 25 (20-30) 15 (12-18) Pyrazinamide (Z) Bakterisid 15 (15-20) 10 (8-12) Streptomycin (S) Bakterisid 10 (8-12) 35 (30-40) Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (12-18) 30 (20-35)

Tabel 2. Dosis Untuk Paduan OAT Kategori II3,5,6

Tahap intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275)+S

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150)+E(400) Berat

badan

Selama 56 hari Selama 28

hari Selama 20 minggu

30 – 37 Kg 2 tab 4KDT

+500 mg streptomisin inj. 2 tab 4KDT

2 tab 2KDT +2 tab Etambutol 38 – 54 Kg

3 tab 4KDT +750 mg Streptomisin

Inj.

3 tab 4KDT 3 tab 2KDT +Etambutol 55 – 7o Kg

4 tab 4KDT +1000mg streptomisin

Inj.

4 tab 4KDT 4 tab 2KDT +4 tab Etambutol 271 Kg

5 tab 4KDT +1000 mg Streptomisin

inj.

(32)
[image:32.595.108.556.91.254.2]

Tabel 3. Paduan OAT Kategori II6 Etambutol Tahap Pengobatan Lama Pengobatan Tablet Isoniasid @300 mgr Kaplet Rifampisin @450 mgr Tablet Pirazinamid @500 mgr Tablet @250 mgr Tablet @400 mgr Streptomisin Inj. Jumlah hari/kali meneln obat Tahap intensif (dosis harian) 2 bulan 1 bulan 1 1 1 1 3 3 3 3 - - 0,75 gr - 56 28 Tahap lanjutan (dosis 3x seminggu)

4 bulan 2 1 - 1 2 - 60

2.7. STRATEGI DOTS

Pada awal tahun 1990an WHO dan IUATLD telah mengembangkan

strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB.2,4,17

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.6

14

(33)

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:2,3,6 1. Komitmen politis

2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.

3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan. 4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Angka kesembuhan pasien TB di negara-negara yang mengikuti strategi DOTS dapat mencapai 95%. WHO menargetkan bahwa di tahun 2001 sedikitnya 70% kasus TB di dunia ini dapat didiagnosis dan diobati dengan angka kesembuhan setidaknya 85%. Bila hal ini tercapai artinya kita dapat mencegah sedikitnya seperempat kasus baru dan kematian akibat TB dalam 20 tahun mendatang.

Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut :6

1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan

4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.

5. Memberdayakan pasien dan masyarakat 6. Melaksanakan dan mengembangkan riset

2.7.1. TB PARU PUTUS BEROBAT

Secara definisi TB paru putus berobat adalah penderita TB paru yang sedang menjalani pengobatan telah menghentikan pengobatan OAT selama fase intensif atau fase lanjutan sesuai jadwal yang ditentukan dan belum dinyatakan sembuh oleh dokter yang mengobatinya.3

(34)

Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu :

a. Berobat ≥ 4 bulan, BTA negatif dan klinis, radiologis negatif OAT STOP b. Berobat ≥ 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan

paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

c. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.

d. Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan tetapi klinis dan radiologis positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.

e. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2 – 4 minggu pengobatan dilanjutkan kembali sesuai jadwal.

Di RS Persahabatan Jakarta, keberhasilan pengobatan penderita TB Paru hanya sebesar 44,94%, keberhasilan dengan menggunakan strategi DOT 58,4% dan SAT 45,6%. Ini jauh dari dibawah target program nasional yaitu angka kesembuhan minimal 85%. Keberhasilan pengobatan rendah kemungkinan disebabkan karena :5

1. Pasien yang datang sendiri ataupun dirujuk sudah dalam keadaan lanjut dan penderita sudah berobat ditempat fasiliti kesehatan lain

2. Penderita TB paru yang menggunakan DOT hanya mendapatkan obat secara gratis tanpa ada insentif yang lain seperti pemberian uang transpor, uang makan, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan BTA sputum dan tidak ada kunjungan ke rumah.

3. Petugas poliklinik paru yang terbatas untuk memberikan obat dan pencatatan Pengawas Minum Obat (PMO) biasanya keluarga sendiri dan tidak pernah dilatih tentang TB paru selama jangka waktu tertentu.

4. Penderita TB paru kurang mendapat konseling dan edukasi yang adekuat sehingga menyebabkan ketidakpatuhan dan ketidakberhasilan pengobatan karena kurang pengetahuan tentang penyakit TB.

Pada penelitian lainnya, Syafrizal mendapatkan keberasilan DOT sebesar 81% sedangkan SAT 68,9%. Amril mendapatkan keberhasilan DOT sebesar 93,9% sedangkan pada kelompok SAT 82,3%, lebih tinggi dibanding penelitian di

16 

(35)

RS Persahabatan dan Syafrizal. Hal ini karena PMO boleh mengambil obat, edukasi diberikan oleh dokter yang merawat dilanjutkan oleh petugas penyuluh, sosial budaya yang bersifat kekeluargaan dan biaya pemeriksaan yang murah serta pada beberapa penderita tidak mampu dibebaskan biaya pendaftaran, darah rutin dan foto toraks. Davidson25 di Amerika Serikat pada tahun 1994 mendapat pengobatan lengkap pada 8 bulan kelompok DOT sebesar 52% sedangkan kelompok SAT 35% dan 12 bulan pengobatan kelompok DOT 70% sedangkan kelompok SAT 53%. Pada penelitian tersebut hasil pengobatan lengkap lebih tinggi dibandingkan penelitian di RS Persahabatan karena diberikan insentif dan pemberian kupon makanan, uang transpor dan makanan ringan.

Di tahun 2003 di Rusia hanya 23% penderita TB paru yang terjangkau oleh DOTS, hal ini sangat jauh perbandingannya dengan 22 negara yang mempunyai penyebaran TB yang banyak yaitu sebesar 79%.18 Akkslip di Thailand tahun 1996 – 1997 mendapatkan bahwa supervisi keluarga memberikan kontribusi pada strategi DOT. Chowdhury di Bangladesh tahun 1995 – 1996 mendapatkan strategi DOT dapat mencegah gagal pengobatan dan resistensi sekunder. Diel26 melakukan penelitian di Hamburg tahun 1997 – 2001 memperlihatkan faktor-faktor seperti ketergantungan alkohol, penyalahguna obat, tunawisma dan tidak bekerja, secara bermakna berhubungan dengan putus berobat. Gagal pengobatan disebabkan pengobatan yang tidak adekuat karena penggunaan paduan obat tidak sesuai, penghentian jadwal paduan obat yang terlalu cepat, lalai atau putus obat, resistensi kuman terutama resistensi awal dan faktor anatomi berupa kerusakan jaringan paru luas (destroyed lung) serta kaviti berdinding tebal.

2.7.2 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PENGOBATAN

2.7.2.1. Ketidakpatuhan Minum Obat

(36)

penyembuhan. OAT harus ditelan sesuai jadwal dan teratur terutama pada dua fase pengobatan untuk menghindari terjadinya kegagalan pengobatan dan kekambuhan.

Mandel dan Sande mengatakan bahwa penyebab dari kegagalan pengobatan adalah ketidakteraturan minum obat, penggunaan satu macam obat, dosis awal yang kurang dan resistensi kuman. Jumlah penderita TB yang berobat tidak lengkap di USA sebesar 20% sedangkan disalah satu rumah sakit besar di New York terdapat 83% penderita yang berobat tidak lengkap setelah 3 bulan pengobatan. Anderson dan Benergi di India menyimpulkan ketidakpatuhan penderita berkaitan dengan diagnosis penyakit TB paru. Dalam penelitian selama 2 tahun ditemukan bahwa 20% ketidahpatuhan terjadi pada penderita menular dengan BTA positif, 37% ketidakpatuhan pada kelainan paru, 56% ketidakpatuhan pada penderita dengan kelainan sedang, dan 100% ketidakpatuhan penderita dengan kelainan minimal pada paru-parunya.19

Semua kegagalan pengobatan TB adanya obat yang tidak adekuat karena ketidakteraturan minum obat yaitu penggunaan obat yang tidak sesuai, penghentian jadwal yang terlalu cepat, lalai atau putus berobat dan adanya kuman resistensi. Alasan lain adalah rasa bosan berobat dikarenakan terlalu lama, kurangnya pengetahuan penderita tentang TB paru, jauhnya jarak rumah penderita dengan pelayanan kesehatan umum, petugas kesehatan yang tidak mengingatkan penderita bila lalai pengobatan dan adanya anggapan bahwa pengobatan di Puskesmas kurang baik.19

2.7.2.2. Gejala Samping

Adanya gejala samping obat merupakan salah satu penyebab kegagalan pengobatan. Gejala samping dari pemberian OAT sangat jarang ditemukan, walaupun ada biasanya ringan dan tidak perlu menghentikan pengobatan.

Pengawasan terhadap efek samping obat dan bagaimana penanganannya sangat perlu diketahui sehingga lebih terjamin keteraturan berobat. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya resistensi obat.

Efek samping OAT dibagi atas 2 kelompok yaitu gejala samping berat dan ringan. Gejala samping berat yaitu gejala tersebut dapat menimbulkan bahaya

18 

(37)

bagi kesehatan dan biasanya pemakaian obat dihentikan. Sedangkan yang ringan hanya menyebabkan sedikit rasa tidak enak, sering dapat disembuhkan dengan pengobatan simptomatik, tetapi kadang-kadang tetap ada selama pemakaian obat.19

Gejala samping yang perlu diwaspadai adalah gejala hepatotoksik. Hampir semua OAT mempunyai gejala hepatotoksik kecuali streptomisin.2 Arsyad Dikutip dari 41 melaporkan di RSUP Dr. M. Jamil Padang dari 58 penderita yang mendapat pengobatan kombinasi rifampisin, INH dan etambutol terjadi peningkatan fungsi hati paling tinggi pada kelompok pengobatan 5 dan 6 bulan, walaupun peningkatan ini tidak melebihi dua kali nilai normal, dan peningkatan faal hati juga terjadi pada usia tua.

Sebaliknya AminDikutip dari 41 pada penelitiannya dengan kombinasi rifampisin dan INH tidak menemukan pengaruh usia terhadap fungsi hati. Bernida42 melaporkan di RS Persahabatan kenaikan fungsi hati pada penderita TB paru yang mendapat pengobatan rifamfisin, INH dan pirazinamid terjadi pada 8% penderita dalam 4 minggu pertama pengobatan.

Pada penelitian Nurhayati29 dkk. Didapati 6.3% dengan keluhan gastro intestinal, nyeri sendi 3.2% dan gatal di kulit 1.1%. Begitu juga penelitian Dicky27 dkk gejala samping yang timbul pada pasien seperti mual 3 orang (5.8%) pada KDT dan 3 orang (5.2%) pada kombipak, muntah 1 orang (1.9%) KDT dan 1 orang (1.7%) kombipak, kulit kuning 2 orang (3.8%) KDT dan 2 orang (3.4%) kombipak, kulit gatal 1 (1.9%) KDT dan 4 orang (6.9%) kombipak, nyeri sendi 3 orang (5.2%) pada kelompok kombipak.

2.7.2.3. Komunikasi Informasi dan Edukasi serta Pengawasan Pengobatan

(38)

petugas kesehatan yang sekaligus memberikan obat sesuai dengan ketentuan ti tempat khusus (pojok DOT). Komunikasi yang efektif antara dokter – pasien dan petugas kesehatan – pasien akan membentuk persepsi tentang penyakitnya sehingga timbul keyakinan dan harapan bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Sikap petugas kesehatan mempengaruhi tingkat pengetahuan dari penderita, dapat dijelaskan bahwa sikap petugas kesehatan yang kurang baik akan berisiko enam kali terhadap rendahnya tingkat pengetahuan penderita. Keadaan ini dapat dimengerti kerena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari petugas kesehatan sendiri.19

Pendidikan rendah berpengaruh kepada pemahaman pasien TB terhadap penyakitnya sehingga apabila subjek merasa lebih baik, berat badan naik, daya kerja pulih kembali dan merasa sudah sembuh, pasien dapat menghentikan sendiri pengobatannya. Kim dkk.dikutip dari 29 melaporkan rendahnya kepatuhan berobat pasien TB berhubungan dengan tingkat pendidikan. Pasien TB paru dengan pendidikan menengah – tinggi mengetahui pengetahuan tentang TB paru lebih baik daripada pasien berpendidikan rendah, namun Wilkinson dkk dikutip dari 29 membuktikan pendidikan rendah tidak selalu berhubungan dengan rendahnya kepatuhan. Hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan TB dan dampaknya terhadap kepatuhan berobat bervariasi diberbagai negara.

Menurut Becker, ketidakpatuhan berobat mempunyai hubungan dengan gagalnya informasi yang disampaikan petugas kesehatan. Faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan penderita adalah hubungan antara petugan kesehatan dengan penderita TB paru.19 Fahruda menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan rendah akan berisiko lebih dari dua kali untuk terjadinya kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita dengan tingkat pengetahuan tinggi.19

Dalam pengawasan pengobatan, dokter sebaiknya mengikutsertakan keluarga dalam pengawasan pengobatan, agar penderita dapat berobat secara kontinu. Tujuan diadakan pengawasan pengobatan adalah untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai dengan jadwal, menghindari penderita putus berobat sebelum waktunya, serta mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan resisten terhadap OAT. Dukungan keluarga dan

20

(39)

masyarakat dalam pengawasan dan pemberian semangat mempunyai andil yang besar dalam peningkatan kepatuhan.19

2.7.2.4. Umur Penderita

Di negara berkembang mayoritas individu yang terinfeksi TB adalah golongan usia di bawah 50 tahun, sedangkan di negara maju prevalensi TB sangat rendah pada mereka yang berusia di bawah 50 tahun namun masih tinggi pada golongan yang lebih tua.dikutip dari 37 Syafrizal 38 melaporkan bahwa di RS Persahabatan penderita TB paru yang paling banyak adalah usia produktif kerja yaitu kelompok usia 15 – 40 tahun.

Pada usia tua, TB mempunyai tanda dan gejala yang tidak spesifik sehingga sulit terdiagnosis. Patogenesis TB paru pada usia tua agaknya berasal dari reaktivasi fokus dorman yang telah terjadi berpuluh tahun lamanya. Reaktivasi berkaitan dengan perkembangan faktor komorbid yang dihubungkan dengan penurunan cell mediated immunity seperti pada keganasan, penggunaan obat imunosupresif dan faktor ketuaan.39 Taufik40 melaporkan di RS Persahabatan TB pada usia tua paling banyak pada kelompok umur di atas 55 tahun.

Umur penderita dapat mempengaruhi kerja dan efek obat karena metabolisme obat dan fungsi ginjal kurang efisien pada orang tua dan bayi yang sangat muda, sehingga menimbulkan efek lebih kuat dan lebih panjang pada kedua kelompok umur tersebut. Fungsi ginjal akan menurun sejak umur 20 tahun, dan pada umur 50 tahun menurun 25% dan pada umur 75 tahun menurun 50%.

(40)

2.7.2.5. Riwayat Penyakit Yang Menyertai

Menurut Bahar yang dapat menyebabkan kegagalan pengobatan adalah lesi paru yang terlalu luas/ sakit berat, penyakit lain yang menyertai seperti diabetes melitus, infeksi HIV serta adanya gangguan imunologis. Diabetes mellitus dan TB paru sering berhubungan dan telah banyak dibicarakan pada beberapa tahun yang lalu. TB paru sering didapati terutama pada penderita DM yang tidak terkontrol, yang lebih rentan terhadap TB paru dibandingkan dengan penderita non DM. Infeksi TB paru pada DM biasanya lebih sering disebabkan oleh reaktivasi fokus yang lama daripada melalui kontak langsung.44,45 Risiko relatif reaktivasi kuman tuberkulosis ini akan berkembang menjadi TB paru dengan bakteriologis positif dua sampai lima kali lebih tinggi.46,47 Penelitian secara autopsi pada tahun 1800-an mendapatkan bukti adanya tuberkulosis pada 38% sampai 50% pasien dengan diabetes mellitus . Pada tahun tahun 1932, Root telah mencatat bahwa tuberkulosis paru berkembang 10 kali lebih sering pada pasien dengan diabetes.21 Proporsi penderita TB paru aktif jauh lebih tinggi diantara penderita DM dibandingkan dengan non DM.44

Terjadinya gangguan imunologis disebabkan adanya kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.19 Diel melakukan penelitian di Hamburg tahun 1997 – 2001 memperlihatkan faktor-faktor seperti ketergantungan alkohol, penyalahguna obat, tunawisma dan tidak bekerja, secara bermakna berhubungan dengan putus berobat. Selain itu pada penderita dengan penyakit tertentu yang harus mendapat obat-obatan sejenis imunosupresan dan kortikosteroid juga dapat mengganggu imunolgis.5,26

2.7.2.6. Pekerjaan dan Pendidikan

. Pada umumnya yang terserang TB adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kemiskinan dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan penderita tidak mampu membiayai pengangkutan ke Puskesmas. Pada umumnya kebutuhan primer sehari-hari masih lebih penting dari pemeliharaan kesehatan. Status pendidikan pasien berpengaruh terhadap pemahaman tentang penyakit sehingga akan mempengaruhi kepatuhan berobat, angka kesembuhan dan keberhasilan pasien. Semakin rendahnya tingkat

22

(41)

pendidikan penderita menyebabkan kurangnya pengertian penderita terhadap penyakit dan bahayanya.19,29

Kim dkk.dikutip dari 29 melaporkan rendahnya kepatuhan berobat pasien TB berhubungan dengan tingkat pendidikan. Pasien TB paru dengan pendidikan menengah – tinggi mengetahui pengetahuan tentang TB paru lebih baik daripada pasien berpendidikan rendah, namun Wilkinson dkk dikutip dari 29 membuktikan pendidikan rendah tidak selalu berhubungan dengan rendahnya kepatuhan. Hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan TB dan dampaknya terhadap kepatuhan berobat bervariasi diberbagai negara.

2.7.2.7. Pola Konsumsi Makanan

Suplai protein dan kalori konsumsi makanan mempengaruhi kepada mortalitas dan morbiditas TB. Adanya tambahan protein terutama protein hewani akan meningkatkan gizi penderita TB.19 Kebutuhan kalori protein perkilogram berat badan adalah 1.2 – 1.5 gr/kgbb atau 15% energi total asupan harian atau 75 – 100 gr/hari. Kalori yang dibutuhkan pada penderita TB meningkat, kebutuhan kalori yang direkomendasikan 35 – 40 kkal/kgbb ideal. Pada penderita TB dengan HIV/AIDS kalori yang dibutuhkan meningkat 20 – 30% dari nilai kalori yang direkomendasikan.43

Kebutuhan mikronutrien seperti vitamin dan mineral juga sangat diperlukan seperti vitamin E yang kebutuhannya 140mg dan selenium 200ug yang fungsinya menekan oksidasi stress dan meningkatkan antioksidan pada pasien TB bersamaan dengan pemberian OAT. Pemberian vitamin D pada penderita TB juga sangat baik, dosis yang diberikan 2.5mg/oral dengan dosis tunggal. Ini dapat meningkatkan imunitas antibakteri pada manusia.43

2.7.2.8. Resistensi OAT

(42)

Secara klinis resistensi TB dibagi atas 2 jenis yaitu resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer adalah dijumpai kuman M. Tuberculosis yang resisten pada pasien yang belum pernah mendapat OAT ataupun sudah pernah mendapat pengobatan OAT tapi kurang dari satu bulan. Resistensi sekunder adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang pernah mendapat pengobatan OAT selama satu bulan atau lebih.34,36

Bersamaan dengan meningkatnya kasus TB, terjadi pula peningkatan kasus TB yang resisten terhadap beberapa obat antituberkulosis (OAT) termasuk resistensi terhadap obat isoniazid (INH) dan rifampisin dengan atau tanpa resistensi obat lain.33 Di India resistensi terhadap INH dan streptomisin adalah 13,9 % dan 7,4 %, sementara terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Di Indonesia pola MDR-TB di Rumah Sakit Persahabatan tahun 1996 dan 1997 sebesar 5,8% menjadi 4,85% (resistensi primer) serta 24,45% menjadi 41,60% (resistensi sekunder).33

Laporan dari berbagai rumah sakit dan penjara, bermula dari daerah New York dan kemudian dari berbagai negara, dari Hongkong menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20 % infeksi tuberkulosis terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang diteliti ditemukan 35 % adalah resistensi terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resistensi terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6 %, tiga macam obat 3,9 % dan empat macam obat adalah 2,8 %. Di Pakistan resistensi terhadap rifampisin, INH dan etambutol dilaporkan masing-masing adalah 17,7 %, 14,7 % dan 8,7 %.

Penderita tuberkulosis cenderung terjadi reaktivasi dan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan reaktivasi ini adalah diabetes melitus. Dari penelitian secara retrospektif (1987-1997) yang dilakukan oleh Bashar dkk. didapatkan angka MDR-TB pada penderita tuberkulosis dengan diabetes sebesar 36 %. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Suradi dkk. di Surakarta tahun 2002 didapat angka MDR-TB pada penderita tuberkulosis dengan diabetes sebesar 33,3 %.33,35

Multi Drug Resistant (MDR) TB menjadi masalah besar di dalam pengobatan tuberkulosis sekarang ini. WHO memperkirakan bahwa terdapat 50

24 

(43)
(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan dan Praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K). Penelitian dilakukan selama 2 bulan.

3.2. BAHAN DAN ALAT

Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini rekam medik penderita TB paru (yang disimpan di Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan) dan Praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K) . Penelitian ini melibatkan penderita Tb paru yang putus berobat yang berobat di Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan dan Praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K) .

3.3. RANCANGAN PENELITIAN

Disain penelitian berupa The One-Shot Case Study

3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah penderita TB paru putus berobat dengan BTA positif yang tercatat berobat ke Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan dan Praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K), yang sebelumnya sudah dilakukan pemeriksaan fisis diagnosis serta foto toraks.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi syarat penelitian.

26 

(45)

3.3.2.1.Kriteria inklusi

1. Penderita TB paru putus berobat ≥8 minggu dengan BTA positif 2. Sudah pernah mendapat OAT sebelummya

3. Usia 15 – 60 tahun

3.3.2.2.Kriteria eksklusi

1. Wanita hamil dan menyusui 2. Penderita Tb diluar paru 3. Penderita HIV/AIDS

4. Penderita yang mengalami efek samping obat yang berat

3.3.3. Besar Sampel

Rumus : n = (Zα√Po.Qo + Zβ√Pa.Qa)2 (Pa – Po)2

keterangan :

Zα : 1,96. nilai baku dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai α ditentukan.

Zβ : 1,282. nilai baku dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai β ditentukan.

Po : Proporsi penderita TB putus berobat pada penelitian sebelumnya. Qo : 1 – Po = 0,63.

Pa : Proporsi penderita TB putus berobat sekarang. Qa : Proporsi bukan putus berobat

Pa – Po = 0,10

= (1,96 √(0,37)(0,63) + 1,282 √(0.055)(0.945))2 (0.10)2

= 30,17 = 30

3.4. PELAKSANAAN PENELITIAN

(46)

Medan dan Praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K). Penelitian ini melibatkan penderita TB paru putus berobat yang berobat di Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan dan Praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K) yang dilakukan pengobatan dengan sistem DOTS, setelah 2 bulan pengobatan dilakukan evaluasi kembali.

KERANGKA KONSEP

30 orang TB paru putus berobat

+ Sputum BTA -

Evaluasi DOTS + foto toraks - selama 2 bulan

+ - Kultur

Bukan TB paru

3.6. DEFINISI OPERASIONAL

Kriteria pasien TB paru yang dimasukkan kedalam penelitian : 1. TB paru putus berobat ≥ 8 minggu dengan BTA positif 2. Sudah pernah mendapatkan OAT sebelumnya

3. Usia 15 – 60 tahun 4. Pasien rawat jalan

3.7. VARIABEL PENELITIAN

1. variabel dependent : Putus berobat, Patuh

2. variabel independent : Usia, jenis kelamin, pendidikan, motivasi dan pengertian, penyakit penyerta, PMO, tingkat pengetahuan penderita, klinis dan radiologis membaik, sputum BTA konversi

28 

(47)

3.8. MANAJEMEN DATA 3.8.1. Sumber data

Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan dan Praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K) .

3.8.2. Metode pengambilan data

Data dasar diambil berupa rekam medik penderita TB paru (yang disimpan di Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan dan praktik swasta dr.Zainuddin Amir SpP(K). Penelitian ini melibatkan penderita TB paru yang putus berobat yang berobat di Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan dan Praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K) .

3.8.3. Analisis data

- Untuk melihat hubungan dan faktor risiko dari variabel independent dengan kepatuhan diuji dengan Chi-Square.

- Untuk melihat pengaruh dari beberapa variabel independent secara bersama-sama terhadap kepatuhan diuji dengan regresi logistik.

- Untuk melihat pengaruh setelah pemberian OAT selama 2 bulan dilakukan dengan uji tanda.

(48)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini telah dilakukan The One-Shot Case Study terhadap 30 orang penderita TB Paru putus berobat yang tidak patuh yang diberikan OAT dengan BTA positif yang telah ditetapkan sesuai dengan kriteria inklusi.

Data penelitian diambil dari poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan dan Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan dan Praktik swasta dr.Zainuddin Amir,SpP(K) .

[image:48.595.113.366.334.425.2]

KARAKTERISTIK DEMOGRAFI

Tabel 4.1 Karakteristik umur

Umur Pasien n %

< 20 2 6.7

21 – 30 13 43.3

31 – 40 6 20.0

41 – 50 8 26.7

51 – 60 1 3.3

Karakteristik demografi penderita menurut usia didapati paling banyak adalah rentang usia 21 – 30 tahun sebanyak 13 orang (43.3%), kemudian rentang umur 41 -50 tahun sebanyak 8 orang (26.7%), rentang umur 31 -40 tahun sebanyak 6 orang (20.0%), ≤ 20 tahun sebanyak 2 orang (6.7%), dan rentang umur 51 – 60 tahun sebanyak 1 orang (3.3%)

Tabel 4.2 Karakteristik Jenis Kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 19 63.3

Perempuan 11 36.7

Karakteristik demografi menurut jenis kelamin penderita didapati terbanyak adalah laki-laki 19 orang (63.3%) dan perempuan 11 orang (36.7%).

30

[image:48.595.113.366.605.670.2]
(49)
[image:49.595.110.402.118.184.2]

Tabel 4.3Karakteristik Status Pernikahan

Status pernikahan pasien n %

Belum kawin 11 36.7

Kawin 19 63.3

Karakteristik demograpi berdasarkan status perkawinan yang terbanyak adalah status menikah sebanyak 19 orang (63.3%), dan yang belum kawin sebanyak 11 orang (36,3%)

Tabel 4.4 Karakteristik Status Pendidikan Pasien

Status pendidikan pasien n %

SD 3 10.0

SMP 9 30.0

SMA 15 50.0

Sarjana 3 10.0

Karakteristik demografi berdasarkan status pendidikan yang terbanyak adalah SMA sebanyak 15 orang (50%), SMP 9 orang (30%),SD dan Sarjana masing-masing 3 orang (10%).

Tabel 4.5 Karakteristik Pekerjaan Pasien

Pekerjaan pasien n %

Pedagang 5 6.7

Buruh 11 36.7

Pengangguran 8 26.7

Lain-lain 6 20.0

(50)
[image:50.595.111.356.120.230.2]

Tabel 4.6 Karakteristik Pendapatan Pasien

Pendapatan pasien n %

100 – 500 rb 1 3.3

600 – 1 jt 5 16.7

1.1 jt – 1.5 jt 7 23.3

1.6 jt – 2 jt 3 10.0

Tidak ada gaji 14 46.7

[image:50.595.113.357.402.470.2]

Karakteristik demografi berdasarkan pendapatan pada penelitian ini didapati banyak yang tidak ada gaji sebanyak 14 orang (46.7%), pendapatan 1.1 – 1.5 juta sebanyak 7 orang (23.3%), pendapatan 600 ribu – 1 juta sebanyak 5 orang (16.7%), pendapatan 1.6 – 2 juta sebanyak 3 orang (10%), dan pendapatan 100 – 500 ribu sebanyak 1 orang (3.3%).

Tabel 4.7 Karakteristik Riwayat Merokok Pasien

Riwayat merokok pasien n %

Ya 18 60.0

Tidak 12 40.0

Karakteristik demografi berdasarkan riwayat merokok paling banyak adalah merokok sebanyak 18 orang (60.0%), dan tidak merokok sebanyak 12 orang (40.0%).

Tabel 4.8 Karakteristik Riwayat Alkohol Pasien

Riwayat alkohol pasien n %

Ya 3 10.0

Tidak 27 90.0

Karakteristik demografi berdasarkan riwayat alkohol pasien terdapat 3 orang (10.0%) 27 orang (90.0%) tidak minum alkohol.

32 

[image:50.595.111.357.604.671.2]
(51)
[image:51.595.113.402.111.174.2]

Tabel 4.9 Karakteristik Riwayat Berobat Sebelumnya

Riwayat berobat sebelumnya n %

Ya 30 100.0

Tidak 0 0

[image:51.595.116.393.273.354.2]

Karakteristik demografi berdasarkan riwayat berobat sebelumnya terdapat seluruh pasien 30 orang (100%) sudah berobat sebelumnya

Tabel 4.10 Karakteristik Riwayat Berobat Kepada Siapa

Berobat sebelumnya kepada n %

Dokter umum 6 20.0

Dokter spesialis 17 56.7

Puskesmas 7 23.3

Karakteristik demografi berdasarkan riwayat berobat kepada siapa kebanyakan sebelumnya pasien berobat ke dokter spesialis yaitu 17 orang (56.7%) dibanding dokter umum sebanyak 6 orang (20.0%) dan Puskesmas sebanyak 7 orang (23.3%)

Tabel 4.11 Karakteristik Riwayat Dasar Diagnosis

Dasar diagnosis sebelumnya n %

Dahak 8 26.7

Foto dada 22 73.3

Karakteristik demografi berdasarkan riwayat dasar dignosis didapati 22 orang (73.3%) dengan foto dada, dan 8 orang (26.7%) dengan pemeriksaan dahak.

Tabel 4.12 Karakteristik Lama Minum OAT Sebelumnya

Lama minum OAT sebelumnya n %

2 bulan 10 33.3

3 bulan 9 30.0

4 bulan 8 26.7

[image:51.595.113.392.498.558.2] [image:51.595.113.432.655.747.2]
(52)
[image:52.595.111.394.212.305.2]

Karakteristik demografi berdasarkan lama minum OAT sebelumnya didapati sebanyak 10 orang (33.3%) yang 2 bulan pengobatan, 3 bulan sebanyak 9 orang (30.0%), 4 bulan sebanyak 8 orang (26.7%), dan 5 bulan sebanyak 3 orang (10.0%).

Tabel 4.13 Karakteristik Alasan Putus Berobat

Alasan putus berobat n %

Merasa sudah sembuh 16 53.3

Faktor ekonomi 9 30.0

Kerja/tidak sempat 3 10.0

Tidak mau berobat 2 6.7

[image:52.595.111.357.446.514.2]

Kakakteristik demografi berdasarkan alasan putus berobat pada penelitian ini menunjukkan yang terbanyak adalah merasa sudah sembuh dijumpai 16 orang (53.3%), faktor ekonomi 9 orang (30.0%), kerja/ tidak sempat 3 orang (10.0%), dan tidak mau berobat 2 orang (6.7%) .

Tabel 4.14 Karakteristik Penyakit Penyerta

Penyakit penyerta n %

Ada 2 6.7

Tidak ada 28 93.3

Karakteristik demografi berdasarkan penyakit penyerta didapati 3 orang (10.0%) disertai penyakit penyeta yaitu DM, dan 28 0rang (93.3%) tidak ada penyakit penyerta.

Tabel 4.15 Karakteristik Pengetahuan Bahaya TB

Mengetahui bahaya TB n %

Tahu 11 36.7

Tidak tahu 19 63.3

Karakteristik demografi pengetahuan bahaya TB didapati 11 orang (36.7%) tahu bahaya TB, dan 19 orang (63.3%) tidak mengetahui bahaya TB.

34

[image:52.595.111.392.639.701.2]
(53)

Tabel 4.16 Karakteristik Mendapat Penyuluhan

Mendapat penyuluhan TB paru sebelumnya n %

Ya 12 40.0

Tidak 18 60.0

Karakteristik demografi berdasarkan mendapat penyuluhan didapati 12 orang (40.0%) mendapat penyuluhan, dan 18 orang (6.0%) tidak mendapat penyuluhan.

Tabel 4.17 Karakteristik Mengetahui Gejala TB Paru

Mengetahui gejala TB paru n %

Ya 14 46.7

Tidak 16 53.3

[image:53.595.112.359.504.615.2]

Karakteristik demografi berdasarkan pengetahuan tenyang gejala TB didapati 14 orang (46.7%) mengetahui gejala TB, 16 orang (53.3%) tidak mengetahui gejala-gejala TB paru.

Tabel 4.18 Karakteristik PMO

PMO n %

Suami 4 13.3

Istri 12 40.0

Anak 2 6.7

Saudara 2 6.7

Lain-lain 10 33.3

(54)
[image:54.595.111.393.114.181.2]

Tabel 4.19 Karakteristik Jenis Kelamin PMO

Jenis kelamin PMO n %

Laki-laki 10 33.3

Perempuan 20 66.7

[image:54.595.113.357.290.407.2]

Karakteristik demografi berdasarkan jenis kelamin PMO didapati 10 orang (33.3%) adalah pria, dan 20 orang (66.7%) adalah wanita.

Tabel 4.20 Karakteristik Umur PMO

Umur PMO n %

≤20 2 6.7

21 – 30 10 33.3

31 – 40 6 20.0

41 – 50 2 6.7

51 – 60 8 26.7

≥61 2 6.7

Karakteristik demografi berdasarkan umur PMO didapati 10 orang (33.3%) berumur 21 – 30 tahun, 8 orang (26.7%) 51 – 60 tahun, 6 orang (20%) 31 – 40 tahun, dan masing-masing 2 orang (6.7%) ≤ 20 tahun, 41 – 50 tahun dan ≥ 60 tahun.

Tabel 4.21 Karakteristik Pendidikan PMO

Pendidikan PMO n %

SD 3 10.0

SMP 13 43.3

SMA 12 40.0

Sarjana 2 6.7

Karakteristik demografi berdasarkan pendidikan PMO sebanyak 13 orang (43.3%) berpendidikan SMP, 12 orang (40.0%) SMA, 3 orang (10.0%), dan 2 orang (6.7%) sarjana.

36

[image:54.595.115.366.558.646.2]
(55)
[image:55.595.109.422.127.191.2]

KARAKTERISTIK PASIEN Tabel 5. Berat Badan Pasien

Berat badana) n Rerata SD Nilai p Sebelum terapi 30 50.70 10.613 0.0001* Dua bulan terapi 30 53,27 10.198

Keterangan : a) uji tanda berpasangan * signifikan

Dilakukan pengukuran berat badan 30 orang pasien sebelum terapi 50,70 ± 10.613 dan berat badan pasien 2 bulan terapi 53,27 ± 10.198 seperti terlihat pada tabel 5. tampak perbedaan bermakna pada berat badan sebelum terapi dan 2 bulan terapi (ρ 0.0001).

[image:55.595.114.493.383.471.2]

RESPON MIKROBIOLOGIS DAN RADIOLOGIS

Tabel 6. Respon Mikrobiologis Awal Dengan Radiologis Awal

BTA Radiologis awal Total

+

-Lesi minimal 2(6.7%) 2(6.7%) Lesi sedang 10(33.3%) 10(33.3%) Lesi Luas 18(60.0%) 18(60.0%)

Dilakukan pemeriksaan BTA kepada 30 orang pasien sebelum terapi, didapati seluruh pasien dengan BTA positif, dan gambaran radiologis sebelum terapi ditemukan 2 orang (6.7%) dengan kelainan radiologis minimal, 10 orang (33.3%) kelainan radiologis sedang, dan 18 orang (60.0%) kelainan radiologis luas seperti terlihat di tabel 6.

Tabel 7. Perbandingan Respon BTA Awal Terapi Dengan 2 Bulan Terapi

BTAb) p*

Konversi Tidak konversi

Awal terapi 30(100.0%)

2 bulan terapi 15(50%) 15(50%) 0.0001 keterangan : b) uji tanda

[image:55.595.111.494.643.708.2]
(56)
[image:56.595.111.459.180.356.2]

Konversi BTA pada bulan kedua ditemukan sebanyak 15 orang (50.0%) dan yang tidak konversi sebanyak 15 orang (50.0%) seperti terlihat pada tabel 7.

Tabel 8. Respon Radiologis Dengan Mikrobiologis Setelah 2 Bulan Terapi

BTA Radiologis

Konversi Tidak konversi Perbaikan lesi minimal 2(6.7%) -

Perbaikan lesi sedang 13(43.3%) 7(23.3%) Perbaikan lesi luas - 6(20%)

Tidak perbaikan - 2(6.7%)

Respon radiologis dengan mikrobiologis setelah 2 bulan terapi ditemukan perbaikan lesi minimal dengan konversi BTA sebanyak 2 orang (6.7%), perbaikan lesi sedang dengan konversi bta sebanyak 13 orang (43.3%), perbaikan lesi sedang dengan tid

Gambar

Gambar I. Insidens TB Di Dunia (WHO, 2004)6
Gambar II. Faktor Risiko Kejadian TB6
Gambar III. Alur Diagnosis TB Paru Pada Dewasa6
Tabel 2. Dosis Untuk Paduan OAT Kategori II3,5,6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Persamaan Master adalah sebuah persamaan diferensial fenomenologis orde pertama yang penyelesaiannya memberikan evolusi waktu dari (fungsi) peluang suatu sistem

Tenaga kependidikan pada satuan pendidikan kedinasan terdiri atas tenaga penunjang akademik dan pengelolaan satuan pendidikan. Tenaga penunjang akademik pada pendidikan kedinasan

[r]

Selain itu, alasan penggunaan algoritma camellia dalam mengamankan informasi dalam pesan email yang akan dikirim adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak (daging) buah pare dengan konsentrasi dianggap 100% yang didapatkan melalui metode maserasi menggunakan pelarut alkohol 70%

Satu kelebihan dari software Adobe Photoshop 7.0 adalah kemampuannya dalam menggabungkan beberapa gambar dan menambahkan efek gambar. Banyak dijumpai poster film yang

[r]

Penulisan Ilmiah inihanya membahas dan mengulas tentang pengelolaan data dan pembuatan laporan data anggota, transaksi simpanan, transaksi pinjaman, dan transaksi cicilan