• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4 Proses Sertifikasi

5.1.2 Jumlah lulusan bersertifikat kepelautan

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) pada usaha penangkapan didasarkan pada sertifikasi kepelautan dan kewenangan jabatan pada kapal penangkap ikan yang telah ditetapkan mengharuskan lulusan pendidikan menengah perikanan harus memiliki sertifikasi kepelautan yang dimaksud. Pertimbangan hukum, sertifikasi kepelautan dan kewenangan jabatan pada kapal penangkap ikan adalah berdasarkan pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, yaitu setiap kapal penangkap ikan yang berlayar, harus berdinas seorang nakhoda dan beberapa perwira kapal yang memenuhi sertifikat keahlian pelaut kapal penangkap ikan (Dephub, 2000)

Sertifikasi ANKAPIN dan ATKAPIN merupakan sertifikat yang diberikan kepada pelaut kapal penangkap ikan yang memiliki kompetensi sesuai bidang keahliannya (dek atau mesin) yang dikeluarkan oleh Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan sebagai lembaga yang memiliki mandat kemaritiman di Indonesia yang diakui oleh International Maritime Organization (IMO).

Selain mendapatkan ijasah kelulusan, pada siswa yang telah menyelesaikan pendidikan pada menengah kejuruan perikanan mendapatkan sertifikasi pengukuhan sebagai ahli nautika perikanan laut dan teknika perikanan laut tingkat II atas kemampuan siswa setelah mengikuti pembelajaran selama 3 tahun yang ditandai dengan kelulusan mereka dalam ujian ANKAPIN-II dan ATKAPIN-II. Pengukuhan tersebut diberikan kepada lulusan pendidikan tingkat menengah untuk menyatakan bahwa siswa/ pemegang sertifikat memiliki kemampuan untuk dapat bekerja pada industri penangkapan ikan. Pemegang sertifikat ANKAPIN-II memiliki kemampuan dibidang nautika dan ATKAPIN-II memiliki kemampuan dibidang teknika. Sertifikat keahlian tersebut diperoleh oleh siswa apabila mereka dinyatakan lulusan dalam mengikuti ujian sertifikat tersebut.

Namun demikian, kondisi yang ada pada saat ini menunjukkan masih banyak lulusan yang belum bersertifikat keahlian kepelautan tersebut, yang diantaranya disebabkan oleh hal sebagai berikut :

1. Sarana praktek yang dimiliki oleh banyak penyelenggara pendidikan menengah kejuruan perikanan kurang memadai sehingga penyelenggaraan

ujian keahlian kepelautan ANKAPIN dan ATKAPIN yang lebih banyak berorientasi pada praktek kerja sangatlah sulit untuk dilaksanakan

2. Banyaknya peserta ujian yang tidak lulus langsung dalam mengikuti ujian sertifikasi disebabkan penggunaan materi ajar, sarana praktek dan kemampuan tenaga pengajar yang belum memiliki standar yang sama untuk semua lembaga pendidikan.

3. Masih banyak industri kapal penangkap ikan yang mempekerjakan lulusan pendidikan menengah perikanan yang tidak memiliki ijasah keahlian (ANKAPIN dan ATKAPIN), sehingga banyak penyelenggara pendidikan menengah perikanan berpendapat sertifikat kepelautan tidak menjadi prioritas

4. Belum disosialisasikannya secara optimum Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2000 tentang kepelautan dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 9 /2005, sebagai standar persyaratan kompetensi bagi tenaga kerja berpendidikan kepelautan yang siap bekerja menyebabkan banyak pelaku usaha penangkapan ikan yang masih mempekerjaan tenaga lulusan pendidikan menengah yang tidak memiliki sertifikat kepelautan. Keadaan ini menyebabkan tenaga kerja kepelautan tersebut tidak dapat menuntut pendapatan yang lebih baik bagi mereka. Berdasarkan data survei yang diperoleh pada 91 sekolah dan dari Panitia Penyelenggara Ujian Kepelautan Kapal Penangkap Ikan (PPUKKAPIN) ANKAPIN dan ATKAPIN-II tercatat baru terdapat 21 sekolah pendidikan menengah perikanan (SMK dan SUPM ) yang telah menyelenggarakan ujian sertifikasi tersebut dengan jumlah peserta yang lulus sebagaimana terlihat pada Tabel 10. Terlihat disini bahwa kepemilikan ATKAPIN-II antara 5% hingga 25% dibandingakn dengan ANKAPIN-II dan secara total porsi ATKAPIN-II hanya sebesar 12% ANKAPIIN-II.

Tabel 10 Jumlah lulusan pendidikan menengah perikanan yang berijasah ANKAPIN-II dan ATKAPIN-II pada Tahun 2000-2005

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah

ANKAPIN-II 157 181 336 498 579 692 2443

ATKAPIN-II 44 42 21 13 81 115 316

41

Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan jumlah lulusan pendidikan menengah perikanan yang memiliki sertifikat ANKAPIN-II dan ATKAPIN-II lebih sedikit dibandingkan jumlah lulusan yang ada. Porsi lulusan bersertifikat ANKAPIN-II sebanyak 68 % dan yang bersertifikat ATKAPIN-II hanyalah sebanyak 33 % dari keseluruhan jumlah lulusan pendidikan menengah perikanan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005.

Berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menetapkan standar pendidikan dan pelatihan kepelautan perikanan yang mengacu pada ketentuan internasional tentang personil kapal penangkapan ikan yang tetapkan oleh IMO yaitu STCW-F 1995, saat ini telah dikeluarkan ketentuan nasional sebagai bentuk penuangan dari ketentuan internasional tersebut yaitu Peraturan Menteri No. KM 9 tahun 2005 yang berisi tentang pendidikan dan pelatihan, ujian serta sertifikasi pelaut kapal penangkap ikan. Ketentuan tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi penyelenggaraan ujian sertifikasi kepelautan dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja kapal penangkap ikan yang profesional di bidangnya. Sehingga dimasa selanjutnya ada terdapat keseragaman di dalam penyelenggaraan ujian untuk mendapatkan kualitas lulusan yang berstandar sama.

5.1.3 Kebijakan pengembangan pendidikan menengah perikanan

Kebijakan Pemerintah yang mengatur tentang pendidikan menengah dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 1990. Pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Pendidikan diutamakan untuk mempersiapkan siswa sebelum memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional. Selanjutnya pengembangan pendidikan menengah kejuruan dilaksanakan oleh Menteri yang bertanggung jawab terhadap pendidikan yaitu Menteri Pendidikan Nasional. Era otonomi daerah yang berlaku pada saat ini mengharuskan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pendidikan nasional lebih mempersiapkan kebijakan pengembangan pendidikan menengah yang bersifat nasional. Sementara pelaksanaannya di daerah sangatlah ditentukan oleh Pemerintah Daerah setempat. Pengelolaan sumber daya perikanan tidak lagi di lihat kepada wilayah pengelolaan perikanan tetapi lebih kepada pengelolaan sumber daya perikanan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah propinsi. Kondisi tersebut

menyebabkan masing-masing wilayah yang memiliki potensi kelautan dan perikanan merasa sangat berkepentingan untuk mempersiapkan komponen pembangunan perekonomian pada sektor tersebut sesuai dengan kebijakan masing-masing. Efektivitas dan efisiensi dalam penyediaan SDM pengelola sektor tersebut, dengan prasarana dan fasilitas pendidikan yang sangat minim, SDM yang dihasilkan tidak memperhitungkan kualitas tetapi lebih mengarah kepada kuantitas.

Survei yang dilakukan pada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan bidang kelautan dan perikanan serta Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab terhadap pengembangan sekolah tersebut di wilayah Medan, Jawa Tengah, dan Papua menunjukkan minimnya prasarana dan sarana pendidikan yang dimiliki. Upaya yang dilakukan terhadap pengembangan lembaga pendidikan

Pembangunan di bidang kelautan dan perikanan saat ini, walaupun telah mendapatkan perhatian besar dari pemerintah dibandingkan dengan masa lampau, yakni dengan terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan yang berawal pada Kabinet Persatuan Nasional tahun 1999. Dengan demikian perikanan dan kelautan tidak lagi menjadi sub-sektor pada sektor pertanian melainkan telah menjadi salah satu sektor yang kedudukannya sama dengan sektor-sektor lain. Hal ini berimplikasi terhadap besarnya peluang, harapan dan tantangan yang diberikan agar dapat memberi kontribusi yang lebih besar terhadap peningkatan dan pencapaian beberapa target yang dibebankan. Harapan besar ini merupakan suatu peluang bagi masih besarnya peluang kerja yang membutuhan banyak tenaga kerja kelautan dan perikanan, mengingat pertumbuhan perekonomian di sektor ini.

Kebijakan dan kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan oleh masing-masing Kabupaten/Kota juga didukung dengan diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun 2003 tentang Otonomi Daerah, yakni pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan sumber daya yang ada di dalam wilayah laut hingga 4 mil, sedangkan pemerintah daerah propinsi mempunyai kewenangan untuk pengelolaan wilayah laut dan sumber daya di dalamnya dari 12 mil menjadi hanya 8 mil dari garis batas 4 mil ke arah laut lepas. Penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah ini, juga berimplikasi pada keinginan Kabupaten/Kota untuk

43

dapat menyediakan tenaga-tenaga kelautan dan perikanan yang berpendidikan menengah melalui pendirian Sekolah Menengah Kejuruan bidang kelautan dan perikanan atau mengalihan bidang studi menjadi bidang kelautan dan perikanan. Sejalan dengan terbentuknya Departemen teknis yang secara langsung bertanggung jawab terhadap pengembangan perikanan dan kelautan, kondisi tersebut didukung dengan dikeluarkannya kebijakan Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah,

Departemen Kelautan dan Perikanan,berkaitan dengan pengembangan program pendidikan keahlian di bidang kelautan dan perikanan pada sekolah menengah kejuruan yang dibinanya. Diawali pada tahun 2000/2001 telah diselenggarakan 10 SMK Negeri dan 52 SMK swasta yang mengembangkan program pendidikan nautika perikanan yang kemudian telah berkembang menjadi 91 SMK yang mengembangkan program studi NPL dan 34 yang menyelenggarakan program studi TPL.

Dokumen terkait