• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Rumusan Masalah

1.6.4 Juru Kampanye dan Pilihan Politik Masyarakat

Dalam kampanye yang berfungsi sebagai komunikator adalah juru kampanye/kandidat. Sebagai pelaku utama kampanye juru kampanye/kandidat memegang peranan yang sangat penting karena dia yang mengirim pesan-pesan kampanye pada masyarakat, dan mangendalikan jalannya kampanye. Oleh karena itu seorang juru kampanye harus terampil berkomunikasi dan kaya ide serta penuh daya kreativitas.

37

Dan Nimmo. 1993. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Penerjemah Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 161

38

Menurut James McCroskey agar dapat menarik simpati masyarakat juru kampanye/kandidat harus memiliki keterpercayaan (credibilitas), daya tarik (attractive) dan kekuatan (power). Kredibilitas adalah seperangkat persepsi tentang kelebihan-kelebihan yang dimiliki sumber sehingga diterima atau diikuti oleh khalayak (penerima). Juru kampanye harus mempunyai kredibilitas yang tinggi. Kredibilitas juru kampanye dapat dilihat dari kompetensi (competence) yaitu penguasaannya terhadap masalah yang dibahasnya, dari sikapnya yang jujur dan bersahabat, dari kemampuannya menyampaikan hal-hal yang menarik serta mampu beradaptasi dengan sistem sosial dan budaya (social and cultural system) dimana khalayaknya berada.39

Juru kampanye juga harus memiliki daya tarik (attractive) yaitu daya tarik dalam hal kesamaan (similarity), dikenal baik (familiarity), disukai (liking) dan fisiknya (physic). Kesamaan maksudnya bahwa orang bisa tertarik pada juru kampanye karena adanya kesamaan demografi seperti bahasa, agama, suku, daerah asal, partai atau ideologi. Dikenal maksudnya juru kampanye yang dikenal baik lebih cepat diterima oleh khalayak dari pada mereka yang tidak dikenal. Disukai maksudnya juru kampanye disenangi, atau diidolakan oleh masyarakat, akan mudah mempengaruhi orang lain. Mengenai penampilan fisik, seorang juru kampanye sebaiknya memiliki fisik yang sempurna, sebab fisik yang cacat bisa menimbulkan ejekan sehingga menganggu jalannya kampanye.

Mill dan Anderson mengemukakan dalam penelitiannya bahwa komunikator yang memiliki fisik yang menarik, lebih mudah mengubah pendapat dan sikap seseorang.40 Untuk efektifnya kampanye seorang juru kampanye juga sebaiknya memiliki kekuatan (power) atau kekuasaan. Khalayak dengan mudah menerima

39

Cangara, Hafied. 2008, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 96

40

suatu pendapat kalau hal itu disampaikan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Misalnya pimpinan suatu organisasi akan lebih mudah mempengaruhi anggotanya.

2. Pilihan Politik Masyarakat

Masyarakat adalah kumpulan individu yang tinggal pada satu wilayah. Kumpulan individu ini mempunyai karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dengan masyarakat lain. Ia mencoba memahami tingkah laku individu dalam masyarakat, dan tingkah laku masyarakat sebagai kumpulan individu dengan kelompok masyarakat yang lain. Ia mencoba memahami, meneliti, menemukan perbedaan dan persamaan interaksi individu dalam masyarakat dan interaksi masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain41.

Dalam suatu negara demokrasi, kebijakan pemerintah adalah hasil interaksi dari kelima unsur demokrasi tersebut dan sayangnya para aktor tersebut memiliki tujuan yang berbeda-beda dan tidak jarang bertentangan satu dengan yang lain. Adalah wajar jika terjadi bargaining dan tarik ulur dari masing-masing pihak selama proses penetapan kebijakan tersebut. Tak pelak bahwa kebijakan yang dihasilkan akan cenderung suboptimum, karena apapun kebijakan yang dibuat harus memuaskan semua pihak.42

Dalam penjelasan Didik J. Rachbini dan Arifin43, pilihan masyarakat (public choice) selalu menekankan pada penilaian keputusan-keputusan rasional baik oleh individu maupun masyarakat atau keputusan pemerintah. Oleh karenanya, konsep tentang pilihan publik selalu bersinggungan dengan teori tentang pilihan rasional. Bagi teori pilihan rasional, kebijakan publik adalah hasil interaksi politik di antara

41

Drs.Ng. Philipus, M.Si & Dr. Nurul Aini, M.S, 2006, Sosiologi dan Politik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

42 Mueller, D, 1978,” Public Choice”

; second edition, Cambridge UP.

pelaku rasional yang ingin memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Politik, dengan demikian, dianggap sebagai sebuah panggung dimana semua pihak bersaing untuk mengeruk berbagai sumber yang ada di arena publik44. Dengan kata lain, Perjuangan kepentingan individu para politikus tersebut di samping bisa bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau mereka yang diwakilinya, bisa juga menciptakan hal-hal yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme.

Menurut Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh45 menyatakan bahwa pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan rugi. Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif-alternatif berupa pilihan yang ada. Pemilih di dalam pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang logis. Berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki pemilih memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatif- alternatif yang ada kepada pilihan yang terbaik dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self interest) maupun untuk kepentingan umum.

Sehingga pada kenyataannnya, terdapat sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yaitu faktor situasional yang juga turut mempengaruhi pemilih ketika menentukan pilihan politiknya pada pemilu. Hal

44 Rizal Malarangeng, 2008,“Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986

-1992”, Gramedia, Jakarta, hal.9.

45

Dennis Kavanagh, Political Science and Political Behavior, dalam FS Swartono, dan Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, hal.146

ini disebabkan seorang pemilih tidak hanya pasif, terbelenggu oleh karakteristik sosiologis dan faktor psikologis akan tetapi merupakan individu yang aktif dan bebas bertindak. Menurut teori rasional, faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik dan kandidat yang dicalonkan memiliki peranan yang penting dalam menentukan dan merubah referensi pilihan politik seorang pemilih karena melalui penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, seorang pemilih akan dibimbing untuk menentukan pilihan politiknya. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat mengacu pada persepsi dan sikap seorang pemilih terhadap kepribadian kandidat tanpa memperdulikan label partai yang mengusung kandidat tersebut.

Pengaruh isu yang ditawarkan bersifat situasional (tidak permanen/berubah- ubah) terkait erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum, dan keamanan khususnya yang kontekstual dan dramatis. Sementara itu dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat dua variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat apabila ia kelak menang dalan pemilu. Variabel kedua adalah kualitas simbolis yaitu kualitas keperbadian kandidat yang berkaitan dengan integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma dan aturan dan sebagainya.

Pendapat Ramlan Surbakti dan Him Melweit tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik : Khalayak dan Efek yang mengatakan bahwa : 46

46

Pemberi suara yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara pada kebanyakan warganegara. Orang yang rasional :

a. Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif

b. Memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain

c. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara yang transitif; jika A lebih disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C

d. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensi paling tinggi dan

e. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif- alternatif yang sama, dan bahwa pemberi suara rasional selalu dapat mengambil keputusan apabila dihadapkan pada altenatif dengan memilah alternatif itu, yang lebih disukai, sama atau lebih rendah dari alternatif yang lain, menyusunnya dan kemudian memilih dari alternatif-alternatif tersebut yang peringkat preferensinya paling tinggi dan selalu mengambil keputusan yang sama apabila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama.

Penerapan teori rational choice dalam ilmu politik salah satunya adalah untuk menjelaskan perilaku memilih suatu masyarakat terhadap tokoh atau partai tertentu dalam konteks pemilu. Teori pilihan rasional sangat cocok untuk menjelaskan variasi perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara psikologis memiliki persamaan karakteristik. Pergeseran pilihan dari satu pemilu ke pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan sosiologis maupun psikologis. Dua pendekatan terakhir tersebut menempatkan pemilih pada situasi dimana mereka tidak mempunyai kehendak bebas karena ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya.

Sedangkan dalam pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional pula terdapat faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik tersebut. dengan kata lain pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.

Individu sebagai penyokong legitimasi sistem pemilihan demokratis adalah seorang warga negara yang memiliki kemampuan untuk mengetahui konsekwensi dari pilihannya. Kehendak rakyat merupakan perwujudan dari seluruh pilihan rasional individu yang dikumpulkan (public choice). Dalam konteks pemilu di Australia, istilah public digunakan untuk mewakili masyarakat Australia yang terdiri dari individu-individu dengan keanekaragaman karakteristiknya. Mereka bertindak sebagai responden dalam pemilu yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk melakukan pilihan politik. Public choice dalam konteks pemilu sangat penting artinya bagi kelangsungan roda pemerintahan di suatu negara. Bagaimana agenda politik dalam suatu negara itu disusun, tergantung dari pilihan masyarakat terhadap agenda yang ditawarkan melalui pemilihan umum.

Akan tetapi yang menjadi permasalahan dari pilihan kolektif semacam ini adalah bagaimana mengkombinasikan berbagai macam prefensi individu-individu kedalam sebuah kebijakan yang akan diterima secara luas oleh masyarakat.47 Terkait dengan hal tersebut, pemilu digunakan sebagai sarana untuk menentukan suara terbesar dari masyarakat, karena hanya pilihan mayoritaslah yang akan mendominasi arah politik suatu negara. Disamping itu, dalam perannya sebagai individu yang

47

James Q. Wilson, New Politics, New Ellites, Old Publics, dalam Marc K. Landy dan Martin A. Levin, The New Politics of Public Policy, The Johns Hopkins University Press, London, 1995, hal. 263

independen, manusia akan selalu mengejar seluruh kepentingannya dengan maksimal dan membuat pilihan-pilihan yang sulit untuk diwujudkan oleh pemerintah di negaranya, akan tetapi dalam peran manusia sebagai anggota sebuah komunitas atau masyarakat, hal itu tidak berlaku.

Buchanan dan Tullock mengajarkan bahwa dalam menentukan suatu pilihan masyarakat (public choice), terdapat aspek yang lebih daripada sekedar memenuhi peraturan politik pemerintah dalam pemilu. Aspek tersebut meliputi pilihan untuk membuat suatu keputusan sosial dengan mempertimbangkan lembaga perekonomian yang bebas dari campur tangan pemerintah, disamping mekanisme pemerintahan lain yang terpusat dalam suatu negara dan lembaga-lembaga yang menggabungkan antara sektor publik dan sektor privat. Lebih lanjut Buchanan dan Tullock menyatakan bahwa untuk menghasilkan keputusan sosial tersebut dibutuhkan adanya integrasi antara politik dan ekonomi. Integrasi tersebut akan sangat berguna untuk memahami hal-hal seperti mengapa pemerintah melakukan pengaturan terhadap sistem pasar, redistribusi terhadap kekayaan, serta bagaimana kekuatan pasar dapat mempengaruhi tujuan politik. Semua segi ekonomi dan politik tersebut hanya dapat dipahami jika kita memandangnya dari perspektif teori yang sama.48

Tidak semua pilihan menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas didalam menentukan pilihannya. Pemilih yang berprinsip rasional lebih banyak ditemukan pada orang-orang yang bermukim di daerah urban. Tingkat pendidikan yang membawa serta pemahaman akan politik mempunyai korelasi positif terhadap perilaku pemilih yang semakin rasional. Penduduk yang bermukim di negara-negara

48

Peter C. Ordeshook, The Emerging Discipline of Political Economy, dalam James E. Alf dan Kenneth A. Shelpse, Perspective on Positive Political Economy, Cambridge University Press, Melbourne, 1990, hal.15

maju berat, seperti Australia terkenal memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi, hal itu dapat dilihat dari tingkat buta huruf yang sangat minim.

Oleh karena itu menurut Saiful Mujani49, masyarakat akan cenderung memilih parpol atau kandidat yang berkuasa di pemerintahan dalam pemilu apabila merasa keadaan ekonomi rumah tangga pemilih tersebut atau ekonomi nasional pada saat itu lebih baik dibandingkan dari tahun sebelumnya, sebaliknya pemilih akan menghukumnya dengan tidak memilih jika keadaan ekonomi rumah tangga dan nasional tidak lebih baik atau menjadi lebih buruk. Pertimbangan ini tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, melainkan juga kehidupan politik, sosial, hukum dan keamanan. Menurutnya dalam mengevaluasi kinerja pemerintah, media massa terutama yang massif seperti televisi memiliki peranan yang sangat menentukan. Melalui informasi yang berasal dari media massa, seorang pemilih dapat menilai apakah kinerja pemerintah sudah maksimal atau malah jalan ditempat.

1.7 Metodologi Penelitian

Dokumen terkait