• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penelitian dan Analisis

Dalam bagian ini, akan diutarakan hasil penelitian “Study Mengenai Cara-cara Jemaat Adang Buom Mewariskan Memori Kolektif tentang Mitos Adang dan Tuandiri serta Manfaatnya bagi Perilaku Sehari-hari” yang akan di jelaskan dalam beberapa hal yaitu:

1. Peta Kabupaten Alor

16

Lingkungan Sekitar Adang Buom – Alor

Jemaat GMIT Adang Buom terletak di desa (kelurahan) Adang Buom dalam wilayah kecamatan Teluk Mutiara.31 Menurut Data Stastik di Kantor Desa Adang Buom per Desember 2016 jumlah penduduk adalah sebesar 1.872 dengan perincian, Laki-laki 932 orang, Perempuan 940 Orang. Selain terdapat gedung Sekolah Dasar dan Gedung Gereja, fasilitas umum lainnya terdapat di Desa itu adalah Mesjid 1 buah, Kantor Desa, Puskesmas, dan lain-lain. Letak Gedung Kebaktian Jemaat Adang Buom adalah sisi jalan raya sebelah kanan dari arah Kalabahi menuju ke Alor Kecil. Dari Kalabahi kira-kira 1 km. Gedung Kebaktian berukuran 26 x 10 M bentuk permanen. Gedung yang sekarang dibangun Tahun 1974 dan dithabiskan Tahun 1996 (± 20 tahun penyelesaiannya) dalam kawasan tanah milik Gereja seluas 1.820 m2. Di dalam kawasan itu juga dibangun pastori sebanyak 1 buah.

Adang Buom merupakan Desa gaya baru yang terbentuk akibat perpindahan (migrasi) alamiah dari masyarakat Adang di Kampung Lama. Jauh sebelumnya yakni tahun 1971 bernama Desa Adang Selatan. SK. Bupati Kepala Daerah Tingat II Alor, No. 24/DD.1 / XI / tanggal, 16 Juli 1971 tentang Pengangkatan Acting Kepala Desa Percobaan Adang Selatan, Yang ditandatangani oleh J.O.Ledo, BA sebagai Bupati. Markus Laan (Mol Alelang) ditetapkan sebagai Kepala Desa Adang Selatan.32 Ada dua faktor penyebab migrasi alamiah itu. Pertama, penataan administrasi pemerintahan daerah di tahun 1956 sebagai persiapan pembentukan propensi Nusa Tenggaran Timur dua tahun kemudian (1958). Pada waktu itu ketemukungan Adang dibagi menjadi 3 wilayah: Adang, Pitung Bang dan O’Mate-Emoil. Pemataan administrasi pemerintahan menetapkan bahwa kawasan Adang kampung lama sebagai daerah kehutanan. Masyarakat dianjurkan untuk bermigrasi dari lokasi itu. Kedua, dua tahun setelah pemekaran tadi terjadi musibah kebakaran. Memori kolektif masyarakat menyebutkan bahwa kebakaran itu terjadi hari Jumat 9 Agustus 1958. Kebakaran tadi memaksa penduduk untuk migrasi mencari kawasan pemukiman yang baru. Ada kelompok yang bergerak ke pantai utara- Tang Mate (laut besar) untuk menetap di sana dan membentuk permukiman baru dalam Kecamatan Alor Barat Laut (sekarang Kelurahan Adang di Kokar meliputi 2 jemaat yakni Jemaat Ooylah dan Jemaat Seydon). Ada juga kelompok yang memilih ke Selatan – Tang Atiang (laut kecil). Kampung gaya baru yang mereka bentuk bernama Buom (Desa Adang Buom) di kecamatan Teluk Mutiara. Kelompok lainnya memilih bertahan di Kampung Lama Adang.

31 Amon Djobo, Alor dalam Fakta Masalah dan Harapan. (Kalabahi, Maret 2014), 18.

32

17

Gambaran Umum GMIT Adang Buom Kalabahi

Jemaat GMIT Adang Buom pada tahun 2017 sesuai data dalam angka per 31 Desember 2016 adalah sebagai berikut: Jumlah kepala keluarga sebanyak 305 dengan jiwa sejumlah 1.460 orang yang terdiri dari perempuan 740 dan laki-laki 720. Pemukiman warga jemaat berkonsentrasi di desa Buom yang dikelompokkan dalam 8 oikos. Terdapat dua orang pendeta yang aktif melayani yakni Pdt. Helinda O.L. Taimenas (2014-sekarang) dan Pdt. Yuliana Mase Ola (2016-sekarang) didampingi penatua sebanyak 33 orang (perempuan 16; laki-laki 17) dan 28 orang diaken dengan jumlah perempuan 19 orang sedangkan laki-laki 9 orang. Setiap oikos dilayani oleh minimal 3 penatua dan 3 diaken. Salah seorang penatua bertindak sebagai koordinator oikos. Rata-rata tiap oikos ada 70-80 kepala keluarga. Untuk mempermudah sebutan oikos nama yang lazim dipakai adalah menyebutkan nomor 1-8. Tetapi ada juga nama lokal yang diberikan kepada oikos-oikos ini, nama lokal itu dipilih dengan memperhatikan ciri khas geografi dari oikos tadi. Menurut salah seorang penatua gereja, terdapat pilihan nama-nama lokal yang juga dimaksud untuk menjaga kelestarian bahasa lokal suku Adang. Ada pun nama-nama lokal dari oikos-oikos itu beserta artinya dalam bahasa Indonesia dan koordinatornya sebagai berikut.33

Nama Lokal Arti dalam bahasa Indonesia Koordinator Oikos

Oikos 1 Hai Haleng Keranjang tergantung Sance M. Sabaat – Oko Oikos 2 Foilipta Batu bernama Yakoba Patol – Balol Oikos 3 Tame Melang Pondok Asam Wellem Duka

Oikos 4 Baay Ta Mencincang Buaya Damaris Moka

Oikos 5 Sei Aming Muara sungai Adriana F. Wetangseh – Waang

Oikos 6 Affair Par Lumpur ikan Eyodia Laa – Wetangki Oikos 7 Ifang Leey Pohon jarak Putih Cornelis A. Djaha Oikos 8 Budoita Pinang di atas gunung Yusuf Adang

33

18

Upaya Jemaat Adang Buom Mewariskan Memori Kolektif

Sejak tahun 1917 dimulainya pelayanan dari para leluhur di Uhei Lelang hingga sampai saat ini di gereja Adang Buom. Pada Oktober 2017 lalu telah diadakan syukuran ulang tahun gereja yang ke 100 tahun yakni 43 Tahun di Uhei Lelang & 57 Tahun di Adang – Buom. Dalam perayaan seratus tahun, gereja telah merancang liturgi khusus serta berbagai jenis kegiatan yang mengukir kembali cerita seratus tahun lalu, sejak para leluhur mulai berinisiatif membangun tempat untuk beribadah sampai saat ini gereja mulai berdiri mandiri di bawah aturan sinode GMIT. Jemaat dengan kreatif mengkemas perayaan ulang tahun gereja kali ini berbeda dengan biasanya, yakni adanya ritual-ritual budaya, puisi-puisi, pujian-pujian dari jemaat yang mengukir kembali kisah seratus tahun lalu, diundang juga keluarga dari sebelah (Muslim) untuk ikut memeriahkan acara tersebut. Jika diingat kembali bagaimana hubungan yang sangat akrab dengan keluarga sebelah (Muslim) dengan sikap toleransi dan sikap saling terbuka serta menerima dengan perbedaan agama satu dengan yang lainnya.34

Keakraban dari keluarga muslim tidak sebatas pada menghadiri ulang tahun gereja, tetapi pada hari raya natal serta tahun baru pun mereka mengunjungi saudara-saudari mereka di kampung lama dan sebaliknya saudara-saudari di kampung lama mengunjungi mereka saat lebaran sebagai bentuk sikap saling menghargai. Adapun pengalaman yang lain adalah bekerja sama dalam membangun gedung gereja atau pun masjid dan masih banyak pengalaman yang dibangun bersama dari kedua saudara ini.

Penghargaan-penghargaan yang dilakukan ini sebagai cermin bagi setiap orang yang belum bisa menghargai serta menerima keberadaan agama lain dalam kehidupan bermasyarakat. Ritual-ritual diwujudkan dalam perilaku hidup yang di dalamnya terdapat nilai-nilai serta budaya yang masih diwariskan hingga saat ini. Jemaat Adang mewariskan budaya dalam berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan yakni, saat hari-hari raya gerejawi diadakan lomba CCA yang beraroma sejarah gereja, soal-soalnya berhubungan dengan cerita-cerita masa lalu, dibuka juga pameran sekitar gereja Adang dan yang uniknya adalah masih disimpan benda-benda bersejarah peninggalan nenek moyang serta adanya prasasti-prasasti hingga saat ini. Salah satu peninggalan adalah mimbar gereja yang masih dipakai hingga saat ini.

34

19

Peninggalan Benda-benda Bersejarah

Mimbar, Memasuki usia tahun ke-7, Jemaat Adang mendapat hadiah sebuah mimbar dari jemaat di Kalabahi. Mimbar itu dicatat sebagai mimbar pertama gereja di Alor. Selama keberadaannya di Uheidon – Adang kampung lama, mimbar hadiah itu yang dipakai sebagai tempat pemberitaan firman. Tahun 1958 sebagaimana sudah dicatat terjadi bencana kebakaran. Pasca bencana tadi terjadi migrasi penduduk dari kampung lama Adang ke berbagai penjuru. Tahun 1960 mereka yang bermigrasi ke Selatan, yakni ke wilayah pantai tepatnya di desa Buom mendirikan gedung ibadah. Mimbar di jemaat Uheidon – Adang kampung lama dijemput oleh warga Jemaat Adang di Desa Buom pada bulan Mei 1972. Mimbar itulah yang sampai sekarang dipakai di jemaat Adang Buom.

Prasasti, Adapun Prasasti bertulis Uheidon Di gedung kebaktian jemaat GMIT Adang Buom saat ini terdapat sebuah prasasti bertuliskan: Uheidon dan Bangsel. Uheidon mengingatkan kita pada tempat tiga temukung suku Adang melakukan musyawarah dan mufakat di tahun 1916 untuk meminta gezaghebber Alor membuka sekolah rakyat di Uhei Lelang, kampung tua suku Adang. Bangsel merupakan ungkapan yang menegaskan bahwa gedung gereja yang dibangun itu merupakan rumah utama di antara semua rumah-rumah jemaat. Dua kata ini merupakan bentuk penegasan tentang keterhubungan historis, iman dan kultur antara jemaat tua Adang di kampung Uhei Lelang Uheidon dengan Jemaat Adang yang ada di Buom Afair Par. Prasasti itu dibuat pada waktu penahbisan gedung kebaktian dan pastori dilaksanakan tanggal 29 Oktober 1998 untuk merayakan usia ke-81 Jemaat Adang. Alkitab Tua, Sebuah Alkitab Tua dengan tulisan bahasa melayu kuno. Kemungkinan

diterima bersama mimbar yang dibawa ke Adang Uhei Lelang. Yag unik dari Bible Tua itu adalah dalam bentuk tulisan tangan oleh Yohanis Bain (Bainko) di sekitar tahun 1935. Ia mengikuti kursus Alkitab di Kalabahi. Karena ketersediaan Alkitab yang terbatas, Yohanes Bain mengambil prakarsa membuat Alkitab tulis tangan sendiri dengan menyalin tulis tangan Alkitab yang sudah ada. Usai kursus, Yohanes Bain menjadi pekabar Injil di jemaat Abol-Kopidil. Bible Tua itu menurut informasi saat ini dipegang oleh seorang cece dari Yohanis Bain.

Sepasang Lemari Tua, Sepasang Lemari Tua. Satunya berada di Gereja dan lainnya berada di Sekolah. Teknologi pembuatannya sama persis dengan Mimbar dan bisa BongkarPasang.

20

Seperangkat Alat Perjamuan Tua dari Tembaga berupa Cangkir dan Teko. Gong Tua, yang sudah pecah dibunyikan pertamakali sebagai pengganti Lonceng

pada saat Kebaktian Utama Pertama di Uhei Lelang.

Banyak Surat Baptis, yang ditandatangani oleh Ds. A.A.Vermeulen dan Ds. Boeken Kruger masih tersimpan dengan baik dalam Lemari Tua di Adang Buom. Surat-surat Sakramen tersebut atas nama Orang-orang Adang, Pura, Ternate, Welai dan Lembur.35

Bekas-bekas pemukiman warga, asrama siswa bahkan juga lapangan bermain

anak-anak sekolah dan mata air fuil – ainy yang artinya mata air darah dan nanah

letaknya di kedalaman lembah. Tidak dapat disangkali bahwa air dari sumber itu yang diambil untuk dijadikan air baptisan kepada para penerima baptisan kali pertama tertanggal 12 Agustus 1923. Penulis bersama ketua tim penulisan sejarah 100 tahun, Bpk John B. Modu, SIP, M.Si di sumber air fuil – ainy di kampung lama Uhei Lelang

Pahatan kayu berbentuk naga di menara gedung kebaktian Adang Buom. Patung pahatan yang dulunya ditempatkan di kepala dan kaki tiap kampung sebagai simbol kehadiran roh pelindung, sekarang dipindahkan letaknya bubungan menara gedung kebaktian. Tentu ini sebuah bentuk kontekstualisasi iman. Ide kontekstualisasi ini dibahas bersama oleh majelis jemaat dan tua-tua Adang di masa pelayanan Pdt. Pulinggomang. Kontekstualisasi itu dilakukan dengan menempatkan pahatan kepala naga di bawah huruf Yunani XP yang merupakan inisial dari nama Kristus. Ini menunjuk kepada pemahaman baru akan hubungan kuasa-kuasa yang disembah dalam agama pra-kristen dengan Kristus sebagai kepala gereja dan juruselamat dunia. Dulu di dalam agama prakristen kuasa-kuasa disembah sebagai yang terpisah dari Allah di dalam Kristus. Pemberitaan Injil menyadarkan anak-anak Adang bahwa kuasa-kuasa itu tidak lebih dari hamba-hamba berlagak pembesar yang mengendarai sepeda motor bersirene berlari di depan mobil bernomor polisi ALOR 1 yang membawa Kristus sang pemenang untuk memberitakan kedatangan majikannya. Dengan kedatangan Kristus sang majikan kuasa-kuasa itu tidak lagi berhak diberi pujian, hormat dan penyembahan.

35

21

Manfaat Memori Kolektif bagi Jemaat Adang

Jemaat Adang Buom dapat dikatakan bahwa salah satu gereja yang masih mewariskan nilai-nilai budaya hingga saat ini. Dalam hal ini, jemaat Adang tidak pernah berhenti untuk mengingat kembali kisah apa saja yang terjadi bahkan tidak sebatas mengingat melainkan menjaga benda,benda peninggalan dan menceritakan kembali kisah yang telah terjadi itu kepada anak cucu secara turun-temurun hingga saat ini. Ada dua hal yang patut diterima untuk generasi muda Adang masa kini yakni, Pertama, saling menghargai satu dengan yang lain dalam perbedaan, betapa ini sebuah teladan yang patut ditiru dan dilestarikan oleh generasi sekarang. Kedua, Bagi generasi sekarang jangan pernah meremehkan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat oleh pengaruh globalisasi dan life-style kehidupan modern, resistensi yang ditunjukkan penduduk pegunungan di wilayah Adang dan sikap selektif dalam menentukan pilihan merupakan sebuah kearifan yang patut diberikan jempol dan apresiasi penuh. Jemaat dapat menghargai alam sekitar dengan tidak mencemari lingkungan, tidak saja menjaga benda-benda peninggalan sejarah tetapi peka terhadap lingkungan.

Berdasarkan data yang ada, dapat dianalisis bahwa memori kolektif terhadap mitos Adang dan Tuandiri sangat mempengaruhi perilaku jemaat Adang Buom. Jemaat Adang memiliki kepribadian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan memiliki sikap terbuka, terlihat jelas dalam perayaan ulang tahun gereja yang ke 100 tahun (Sejarah 43 Tahun di Uhei Lelang dan 57 Tahun di Adang Buom). Hanya untuk merayakan 100 tahun, gereja hingga membentuk panitia khusus untuk menyelenggarakan perayaan ini, dana yang dikeluarkan sangat banyak ± puluhan juta.36

Dilihat dari keadaan gereja, jemaat-jemaat yang di dalamnya termasuk jemaat yang sederhana, hanya beberapa yang memiliki status sosial di atas sedikit. Tetapi, jemaat begitu antusias untuk merayakan hingga berbagai cara mereka lakukan demi mengsukseskan acara tersebut. Kegiatan-kegiatan yang di lakukan sebelum hari yang dinantikan itu tiba adalah mereka berkunjung ke kampung lama untuk menapak tilas kisah yang pernah terjadi, bahkan kisah yang sangat menyakitkan yaitu bencana kebakaran yang terjadi di Adang Uheidon (kampung lama) tahun 1958 memulai babak baru sejarah Jemaat Adang Uhei Lelang Uheidon. Terjadi migrasi penduduk dari kampung tua di gunung ke berbagai penjuru di kawasan Nuh Atinang alias Kepala Burung. Migrasi ini juga menjadi titik awal lahirnya sebuah jemaat baru yang sekarang bernama Adang Buom. Anak-anak dari suku Adang Uhei

36

22

Lelang Uheidon ada yang bermigrasi ke Buom (tonglah hail haling) di arah Selatan yang berlokasi di kawasan pantai.

Tahun 1960 mulailah mereka memprakarsai pendirian sebuah gedung kebaktian untuk dijadikan pusat kehidupan rohani dan pembinaan spiritual. Lokasinya di Foilipta. Bangunan gedung kebaktian jemaat asal Adang di desa Buom menjadi bagunan rumah ibadah ketiga dalam sejarah Jemaat Adang, sekaligus rumah ibadah pertama dalam sejarah jemaat Adang Buom. Menyusul pembangunan rumah ibadah, warga Jemaat Adang yang turun ke Buom untuk menetap di sana untuk seterusnya juga membangun pastori dan sekolah untuk lancarnya kegiatan pembinaan rohani di perkampungan yang baru di Buom. Selain dari pada itu umat muslim juga berpartisipasi dalam acara prayaan ini, mereka tdak saja sebagai tamu undangan tetapi saling bekerja sama dalam bekerja salah satunya ialah membantu jemaat membuat anak tanggah berjumlah 100 dari jalan masuk pagar gereja hingga pintu utama gereja. kegiatan-kegiatan lainnya adalah membuat pameran-pameran budaya di lingkungan gereja, dekorasi yang begitu mewah, dana untuk konsumsi mulai dari awal kerja hingga akhir kegiatan, semua mereka lakukan untuk menunjukan kepada semua orang bahwa, walaupun gereja kecil dengan jemaat yang sederhana tetapi mereka bisa melakukan yang terbaik bukan untuk di puji orang melainkan wujud dari ungkapan terima kasih kepada para leluhur, orang-orang tua dalam perjuangan berdirinya gereja yang mandiri dan untuk kebaikan Tuhan atas penyertaan yang diberikan kepada jemaat Adang mencapai usia ke 100 tahun. Perayaan ini tidak semata-mata untuk memeriahkan ulang tahun ke 100, tetapi tiap tahun jemaat selalu melakukannya,walaupun tidak semeriah yang terjadi pada Oktober 2017 lalu tetapi jemaat selalu memiliki kesadaran untuk merayakan sebagai tanda ungkapan syukur.

Ada seorang pemuda yang bernama Y (inisial) ketika ditanya mengenai cerita mitos ini, ia sedikit bingung dan kurang memahami cerita ini padahal dapat dikatakan bahwa dia adalah seorang pemuda yang aktif di gereja. Penulis pun mulai menjelaskan lebih banyak cerita mitos ini, kemudian dia katakan bahwa “memang saya pernah mendengar cerita ini tetapi hanya sekedar cerita dari para orang tua dan memang tiap kali ulang tahun gereja walaupun tidak rayakan besar-besaran tetapi kami selalu berdoa bersama menaikan ungkapan syukur. Saya sangat tertarik dengan cerita ini, dalam pembagian Oikos kami pun dalam bahasa daerah sesuai lokasi tempat tinggal masing-masing. Hal yang masih kurang dalam diri kami khusus sebagai pemuda-pemudi adalah kami kurang kreatif dan masih sedikit pasif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan gereja. Contoh sederhana, banyak orang mengatakan

23

bahwa gereja kami ini memiliki nilai budaya yang tinggi tetapi kami kurang merawatnya dalam hal kreatif memasukan nilai-nilai budaya dalam tiap kebaktian, hanya saat ibadah menggunakan liturgi khusus yakni ibadah etnis, baru lah kami mengikutinya”37

sangat memprihatinkan sekali bagi generasi-generasi sekarang yang sangat minim sekali mendapat informasi mengenai cerita-cerita mitos yang telah terjadi. Gereja harus bisa melakukan sesuatu bagi generasi sekarang ini, sebab tantangan terbesar sekarang adalah teknologi yang semakin canggih yang secara perlahan dapat menyingkirkan budaya yang ada, oleh karena itu gereja dapat membuat sesuatu yakni seminar atau diskusi mengenai kisah atau sejarah yang pernah terjadi di masa lalu, dalam ibadah-ibadah minggu dapat disisihkan ibadah beraroma budaya.

Gereja tidak dapat terpisahkan dari sejarah

Sejarah adalah kejadian di masa lalu khususnya yang berhubungan dengan manusia yang disusun berdasarkan sumber sejarah yang ada. Sumber sejarah adalah peninggalan-peninggalan berbagai peristiwa atau keadaan di masa lampau. Dengan demikian, kejadian yang baru terjadi kemarin pun bisa dikatakan sebagai sejarah. Sejarah merupakan studi tentang sebab dan akibat. Dalam sejarah, suatu peristiwa akan menjadi bermakna jika kita mengetahui mengapa peristiwa tersebut terjadi. Istilah “sejarah” berbeda dengan “ilmu sejarah”. Ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa penting manusia di masa lalu.Menurut, William H. Freederick, etimologi kata “sejarah” berasal dari bahasa Melayu

sejarah yang berasal dari bahasa Arab شجرة (šajaratun) yang berarti “pohon”. Istilah tersebut

digunakan karena silsilah keluarga kerajaan mirip seperti pohon terbalik. Kata tersebut pertama kali diserap dalam bahasa Melayu pada abad ke-13. Meskipun demikian, dalam bahasa Arab sendiri, “sejarah” disebut تاريخ (tarikh).Berikut adalah arti kata sejarah menurut Kamus BesarBahasa Indonesia (KBBI):

Sejarah adalah noun (nomina/kata benda) yang berarti: 1. Asal-usul (keturunan) silsilah

2. Kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau 3. Pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau; ilmu sejarah

Berikut adalah beberapa pengertian sejarah menurut para ahli sejarah:

1. Menurut Herodotus, sejarah adalah sistem mempelajari kejadian awal dan terbentuk dalam kronologi yang terdiri dari bukti konkrit atau catatan-catatan.

37 Hasil wawancara pada seorang pemuda gereja Adang Buom melalui via telpon pada kamis, 21 juni 2018 pukul 19.54 WITA

24

2. Menurut Moh. Yamin, SH, sejarah adalah ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan kenyataan. 3. Menurut J.V. Brice, sejarah adalah catatan-catatan dari apa yang telah dipikirkan, dikatakan, dan diperbuat oleh manusia.38

Dalam hal ini, sejarah perjuangan para misionaris yang membawa Injil pertama kali masuk di gereja Adang Buom ini sangatlah tidak mudah, tentu saja mengalami suka dan duka. Kehidupan jemaat Adang mula-mula yaitu hidup dalam agama pagan (melakukan ritual kepada dewa-dewa, membuat patung-patung untuk di sembah dan penyembahan berhala lainnya). Sangat besar pengaruh dari ingatan-ingatan kolektif masa lalu yang dituturkan kembali oleh orang-orang tua dan adanya bukti-bukti peninggalan sejarah gereja. Pengaruhnya ialah anak cucu saat ini walaupun tidak merasakan langsung kejadian awalnya tetapi mereka dapat merasakan bagaimana hangatnya cerita yang dituturkan. Dari cerita-cerita tersebut mengandung nilai-nilai moral, ingatan kolektif sangat berperan penting dalam memberikan makna cerita para leluhur atau pun mitos Adang dan Tuandiri.

Ingatan kolektif tidak akan pernah hilang walaupun waktu berubah dan tradisi menghilang, sebab proses mengingat akan terus di jaga dan diwariskan ke generasi berikut nya hingga saat ini. Tidak sebatas pada penuturan sejarah masa lalu, melainkan untuk menjaga tetap nilai toleransi antar umat beragama. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa kerukunan antar agama sudah ada sebelum masuknya Injil. Orang-orang belum mengerti apa-apa tentang apa-apa itu Yesus Kristus serta Injil-Nya, tetapi mereka mengetahui hal-hal baik apa-apa yang harus mereka lakukan salah satunya ialah berbuat baik bagi sesama, memiliki sikap terbuka dan membangun relasi yang harmonis. Gereja tidak bisa melupakan sejarah apalagi

Dokumen terkait