• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI MENGENAI CARA CARA JEMAAT ADANG BUOM MEWARISKAN MEMORI KOLEKTIF TENTANG MITOS ADANG DAN TUANDIRI SERTA MANFAATNYA BAGI PERILAKU SEHARI-HARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI MENGENAI CARA CARA JEMAAT ADANG BUOM MEWARISKAN MEMORI KOLEKTIF TENTANG MITOS ADANG DAN TUANDIRI SERTA MANFAATNYA BAGI PERILAKU SEHARI-HARI"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDI MENGENAI CARA – CARA JEMAAT ADANG BUOM MEWARISKAN MEMORI KOLEKTIF TENTANG MITOS ADANG DAN TUANDIRI SERTA

MANFAATNYA BAGI PERILAKU SEHARI-HARI

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas: Teologi

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol)

Irene Febriany Berimau 712014043

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, waktu, kesehatan, dan Anugerah kehidupan yang di berikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Tugas akhir ini kirannya dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk maupun pedoman dalam penulisan berikutnya. Harapan penulis kiranya jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam pengalaman menulis, sehingga penulis menyampaikan permohonan maaf bagi pembaca yang jika menemukan kekurangan-kekurangan dalam tulisan ini. Penulis berharap kepada pembaca agar memberikan saran yang membangun untuk melengkapi tulisan yang kurang sempurna ini untuk menjadi lebih baik lagi.

(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang menyertai penulis lewat setiap proses pergumulan dan yang telah memberikan hikmat selama berkuliah di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana.

2. Kedua orang tua terkasih (Seprianus Berimau dan Engmanenta Dorci Weni) dan kakak (Simon, pelipus, Ayu) serta adik-adik (Deltha, Arista, Yana, Nitalia, Grace) dan kepada keluarga angkat (Anderias Sailana dan Engmanenta Heni Weni serta adik Rodham Sailana) dan semua keluarga besar Berimau, Sailana, Weni, Pelang, Tang, yang selalu memberikan dukungan melalui setiap doa, kasih sayang, nasehat dalam menempuh studi.

3. Apresiasi sepenuhnya kepada pembimbing, Dr. Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo atas setiap waktu, bimbingan, pengetahuan serta dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan studi di Fakultas Teologi.

4. Wali studi Dr. Pdt. Tony Tampake yang telah menjadi orang tua bagi penulis selama menjalani masa perkuliahan.

5. Ibu Budi dan seluruh staf tata usaha yang selalu melayani kami dalam berkuliah dan seluruh dosen yang selalu bersabar mengajar, mendidik serta menjawab setiap kebutuhan yang penulis perlukan.

6. Terima kasih kepada seluruh jemaat dan majelis jemaat gereja Ichtus Puildon yang adalah gereja asal penulis dan telah mendukung penulis dari awal hingga akhir penulisan Tugas Akhir.

7. GMIT Adang Buom dimana penulis melakukan penelitian sehingga sangat membantu dalam penulisan tugas akhir ini.

8. Sinode GMIT yang telah mendukung dan menempatkan penulis dalam melakukan praktek Pendidikan Lapangan.

9. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jensud yang telah membuka ruang kepada penulis untuk belajar, melayani serta berproses selama menjadi anggota keluarga GKI tahun 2014 hingga saat ini, dan selalu memberikan dukungan bagi penulis untuk menyelesaikan Studi.

10. Jemaat Elhayat Fatutope yang telah menerima penulis untuk belajar dan melayani selama penulis melakukan praktek pendidikan lapangan

(8)

viii

11. Bapak Pdt. Emr. Christian Karyapi yang selalu mendukung saya dalam doa dan sebagai tempat penulis berbagi selama melakukan praktek pendidikan lapangan dan kepada Seluruh majelis jemaat yang telah mendampingi saya selama pelayanan.

12. Seluruh keluarga besar LK Fakultas Teologi, Paduan Suara Voice of Theology, Etnis HIMMASAL, PERMATA GMIT, Vg. No Name dan Fakultas Teologi angkatan 2014 yang telah berbagi dalam suka dan duka.

13. Bapak Pdt. Melki Selan yang telah memperkenalkan penulis akan Fakultas Teologi di Salatiga dan telah mendukung serta mendaftar saya untuk berkuliah di Fakultas Teologi UKSW.

14. Sahabat terkasih Marita Sinapas (Nopes) yang telah berbagi suka maupun duka bersama-sama dengan saya selama di Salatiga dan menjadi saudara dalam keadan apapun itu, selalu mengimbangi sifat saya yang ceplas-ceplos. 15. Ka Nelcy Sally yang adalah kaka bagi kami adik-adik di Salatiga serta selalu

memberikan dukungan untuk terus maju dalam keadaan apapun itu.

16. Ka Selfina Kolihar dan ka Linda Nenobais yang telah menerima kami di Salatiga dan bersedia mencarikan kami kos dan setia mendampingi kami ke kampus sejak awal kami daftar ulang,

17. Semua teman-teman tersayang yang istimewa dan luar biasa kelakuannya tidak pernah terkalahkan oleh apapun yakni Melkias Papilaya, Firman Dirga, Ariance Pesang, Ka Ruth Manimabi, Charolin Laukamang, Inger Gloria Manimoy, Yuntario, Yohanes Atakai, Maretha Kurnia,Eka Moanley, Adi Bintang, Nikson Muay, Rince Mailani, Ningsih Betty, Arjuna Manafe, Agryan Manafe, Filda dan Elan Yiwa

Kirannya Yesus Kristus Sang pemilik kehidupan memberkati dan menyertai kita berlimpah-limpah dengan kasih setia-Nya.

Atas perhatian, dukungan dan kerjasama penulis mengucapkan limpah terima kasih bagi kita sekalian. Tuhan Memberkati.

Salatiga, 26 Agustus 2018

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

LEMBAR PENGESAHAN ………... ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ……… iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ………. iv

PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ……… v

KATA PENGANTAR ………... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ………. vii

DAFTAR ISI ……….. ix MOTTO ………... x ABSTRAK……… xi 1. Pendahuluan ……….. 1 2. Landasan Teori ……….. 5 2.1 Mitos ……… 6 2.2 Memori Kolektif ……….. 9

2.3 Prasasti dan Ritual ………... 13

3. Hasil Penelitian dan Analisa ………... 15

3.1 Gambaran Tempat Penelitian ……….. 16

3.2 Upaya Jemaat Adang Buom Mewariskan Memori Kolektif ………... 18

3.3 Peninggalan benda-benda Sejarah ………... 19

3.4 Manfaat Memori Kolektif bagi Jemaat Adang ……… 21

3.5 Gereja Tidak Terpisahkan oleh Sejarah ……….. 23

4. Penutup ……….. 25

4.1 Kesimpulan ………. 25

4.2 Saran ……… 26

(10)

x

MOTTO

Jika Tuhan yang memilih kamu, maka Ia juga yang akan menyertai hingga akhir perjuangan mu; Jangan pernah mengeluh dan berputus asa, percayalah

bahwa setiap proses yang kamu jalani ada dalam perlindungan Tuhan

&

Karena itu beginilah jawab TUHAN: "Jika engkau mau kembali, Aku akan mengembalikan engkau menjadi pelayan di hadapan-Ku, dan jika engkau mengucapkan apa yang berharga dan tidak hina, maka engkau akan menjadi

penyambung lidah bagi-Ku. Biarpun mereka akan kembali kepadamu, namun engkau tidak perlu kembali kepada mereka.

YEREMIA 15:19

Senantiasalah berdoa dan andalkan Tuhan dalam segala tindakan mu ~ Mama dan Bapak~

(11)

xi

STUDI MENGENAI CARA – CARA JEMAAT ADANG BUOM MEWARISKAN MEMORI KOLEKTIF TENTANG MITOS ADANG DAN TUANDIRI SERTA

MANFAATNYA BAGI PERILAKU SEHARI-HARI Abstrak

Setiap daerah tentu memiliki cerita-cerita mitos masa lalu tersendiri. Dalam hal ini, seseorang mulai mengingat-ingat sesuatu yang terjadi dalam diri pribadinya dan ia dapat melakukan aktivitas mengingat-ingat ketika sedang berbicara, mendengarkan dan masih banyak lagi cara mengingat-ingat lainnya. Cerita itu kemudian diwariskan kepada anak-cucu secara turun-temurun, sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang. Salah satu proses untuk tetap menjaga warisan itu adalah menyimpan benda-benda peninggalan para leluhur termasuk prasasti-prasasti dan melestarikan nilai-nilai warisan yakni hidup bertoleransi, menjaga kerukunan dan saling menghargai dengan perbedaan yang ada.

Ikatan persaudaraan masih terasa hangat hingga saat ini, bukan secara khusus pada jemaat Adang saja melainkan seluruh daerah di Kabupaten Alor telah melestarikan budaya toleransi. Telah diketahui bersama bahwa Alor adalah salah satu pulau yang sangat beragam budaya, bahasa, agama, ras dll serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai warisan yang diterapkan melalui kehidupan sehari-hari.

(12)

1

PENDAHULUAN

Secara sosiologis, ada dua definisi agama yang kita kenal yakni yang pertama di bawah pengaruh Emile Durkheim mengembangkan apa yang disebut definisi fungsional agama. Agama didefinisikan dalam pengertian peranannya dalam masyarakat, yaitu dalam (agama itu) menyumbangkan kepada masyarakat apa yang disebut the matrix of meaning. Dengan demikian, agama merupakan suatu sistem interpretasi terhadap dunia yang mengartikulasikan pemahaman diri dan tempat serta tugas masyarakat itu dalam alam semesta. Definisi kedua, biasanya diperkenalkan oleh kaum sosiolog agama. Definisi itu disebut definisi subtantifagama. Kaum sosiolog agama yang memilih definisi ini memang mengakui definisi fungsional, tetapi bagi mereka karakteristik esensial agama berhubungan dengan dunia yang tidak tampak (the invisible world). Definisi itu memang sesuai dengan pemakaian lazim istilah agama. Para antropolog memahami agama sebagai pertemuan (intercourse) suatu suku bangsa dengan ilah-ilah, roh-roh dan dunia supranatural. Pendekatan seperti ini sangat gampang mengarahkan orang pada pandangan yang bersifat eksternal terhadap agama. Pendekatan seperti ini memang menyebabkan agama secara gampang dilihat sebagai primitif, ketinggalan zaman, tidak dapat dipercaya (incredible), belum dicerahkan dan aneh dalam suatu rasionalitas modern.1

Di dalam “masyarakat primitif” kita berhadapan dengan beberapa agama yang tersebar di seluruh dunia, dengan cerita-cerita sucinya, dengan dewa-dewanya dan bentuk-bentuk keagamaannya yang bermacam-macam. Namun semua itu mempunyai corak-corak yang sama. Persamaan tersebut lebih banyak daripada perbedaan-perbedaannya, hingga sudah menjadi hal yang lazim di dalam ilmu pengetahuan. Masyarakat primitif kurang menguraikan dan lebih banyak mengalami kesatuan hidup dan dunia. Begitulah masyarakat primitif tidak membeda-bedakan, misalnya lapangan hidup keagamaan dengan lapangan hidup duniawi. Hidup adalah suatu keutuhan dan oleh karenanya segala hal itu dimasukan dalam bidang keagamaan. Bagi masyarakat primitif hal keagamaan bukan suatu lapangan yang terpisah dari dalam hidupnya, tetapi sebaliknya kesadaran keagamaannya tidak begitu mendalam.2 Dari sekian banyak masyarakat primitif, konon terdapat juga masyarakat primitif di kabupaten Alor tepatnya di Adang Buom.

1 Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2006) hal 3, 5

2 Honig. Ilmu Agama. Di terjemahkan oleh M. D. Koesoemosoesastro dan Soegirto (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003) hal 11,14-15

(13)

2

Adang adalah satu wilayah di daerah pegunungan Alor di bawah kepemimpinan kerajaan raja Nampira. Di wilayah kerajaan terdapat dua kelompok penduduk, yakni penduduk wilayah pantai dan penduduk wilayah pegunungan. Para pedagang yang dari pantai bepergian jauh sampai ke pelosok-pelosok di wilayah gunung membawa barang dagangan sambil menyiarkan Islam bagi saudara-saudari mereka di gunung. Orang-orang di gunung tidak tertarik pada agama yang disiarkan para pedagang itu, mereka tetap saja berpegang pada agama asli yang diwariskan leluhur, yakni agama menyembah Lahtal (a). Menurut beberapa tokoh penduduk Adang wilayah pegunungan, mereka bertahan dalam agama Lahtal (a) karena menunggu datangnya seorang anak cucu dari Tuandiri. Agama yang akan dibawa oleh utusan Tuandiri itulah yang harus mereka terima, karena itu merupakan agama yang sudah dinubuatkan untuk mereka.

Ds. Van Dalen menyebutkan bahwa baptisan pertama di Adang berlangsung tanggal 12 Agustus 1923. Terdapat 30 orang yang mempersilahkan Kristus berdiam di dalam hati dan menjadi pemandu hidupnya, ini tentu bukan sebuah keputusan yang mudah. Mereka memilih menyeberang ke dalam kekristenan, menerima Injil dan percaya kepada Allah di dalam Kristus karena legenda turun-temurun yang mereka terima dari orang tua mereka saat masih hidup dalam agama pagan. Legenda itu berkata bahwa kelak akan datang orang-orang dari negeri yang jauh menumpang kapal putih. Mereka itu adalah anak-cucu Tuandiri yang diutus oleh Lahtal (a) ke tempat tinggal Adang saudara kandung mereka yang tidak lain adalah orang Alor. Menurut cerita itu, pada masa lalu yang sudah lama sekali, Adang sang kakak menyakiti hati ayah mereka, Lahtal (a) karena memukul sang adik, Tuandiri. Untuk mencegah konflik berkelanjutan antara kakak-beradik ini: Adang dan Tuandiri, Lahtal (a) memisahkan tempat tinggal mereka. Tuandiri diberi tempat tinggal yang lebih baik dan subur karena dia dengar-dengaran kepada Lahtal (a). SedangkanSi kakak, Adang dibiarkan sebagai pengembara, disuruh tinggal di bawah pohon-pohon, mengenakan pakaian dari kulit kayu dan dibiarkan dalam kebodohan sebagai hukuman atas kesalahannya.

Tetapi akan datang waktu Lahtal (a) sang ayah merindukan Adang, anak yang terbuang itu. Lahtal (a) mengutus anak-cucu Tuandiri pergi ke tempat di mana kakaknya, Adang berada. Menurut cerita sang leluhur yang masih hidup dalam agama pagan, mereka akan datang menumpang kapal putih membawa sebuah buku, membangun sekolah dan mengajarkan isi buku itu kepada kami, anak-cucu Adang. Isi buku adalah kehendak Lahtal

(14)

3

(a) yang tidak lagi dikenal oleh anak cucu Adang akibat dari kesalahan yang pernah dilakukan oleh Adang di waktu yang sudah lama sekali berlalu.3

Inilah kisah yang membuat penduduk wilayah pegunungan Adang di Alor tidak terpikat dengan agama saudara-saudara mereka orang-orang pantai. Mereka bertahan menunggu datangnya si tokoh dalam kisah tadi, Tuandiri untuk mengajarkan kepada mereka kehendak Lahtal (a) dan membawa mereka keluar dari kehidupan yang penuh aib sebagai pengembara. Datangnya misionaris Belanda selama masa compagnie ke Indonesia untuk urusan penyiaran agama kristen merupakan berkat bagi kaum pagan yang hidup dalam kegelisahan menanggapi perubahan-perubahan baru. Leluhur jemaat AdangBuom mengatasi kegelisan itu dengan memilih menerima Injil dan memeluk agama Kristen. Sebelum datang para misionaris Belanda di Alor sudah ada para pedagang Islam yang melakukan siar agama (dakwah). Mereka masuk juga sampai ke Adang. Dilihat dari segi iman, sikap para leluhur jemaat AdangBuom untuk tidak serta-merta menerima agama para dakwah ini merupakan bagian dari providensia Allah.

Iman dan Kepercayaan inilah yang membawa orang-orang pegunungan dengan agama pagan nya mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang ditandai dengan baptisan pertama yang dilakukan. Cerita-cerita mitos ini tidak dilupakan begitu saja, tetapi selalu menjadi memori dalam setiap ingatan-ingatan individu maupun ingatan kelompok, kemudian diceritakan kepada anak cucu mereka secara turun temurun. Walaupun jemaat Adang kini sudah tidak lagi mempercayai ajaran awal yakni melakukan penyembahan kepada benda-benda keramat dan lainnya, tetapi benda-benda-benda-benda peninggalan dan prasasti-prasasti akan selalu disimpan dan menjadi sebuah kenangan yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Nilai-nilai dari para leluhur sangat melekat dalam kepribadian masing-masing jemaat dan gereja Adang Buom adalah salah satu gereja yang masih memiliki nilai-nilai warisan yang selalu menjadi pusat perhatian dan contoh bagi gereja-gereja sekitar.

3 Kisah lengkap dari legenda tua penduduk Adang mengenai Lahtal (a) dengan dua anaknya, yakni Adang dan

Tuandiri bisa dibaca dalam Van Dalen, “ Menyeberanglah Kemari,” Nuban Timo, Alor Punya, 164-70

Lahtal (a)adalah sebutan Allah dari orang Alor.

Tuandiri dikatakan orang Adang sebagai Tuhan Sang penyelamat yang akan menyelamatkan hidup mereka dari agama pagan (penyembah benda berhala)

(15)

4

Generasi muda saat ini sangat menyukai cara-cara yang dilakukan oleh majelis jemaat dalam tiap kali perayaan ulang tahun gereja, sebab ada beberapa pemuda yang belum mengetahui akan memori itu. Mereka sangat membutuhkan orang-orang tua untuk menuturkan atau mewariskan kembali cerita-cerita yang telah terjadi waktu itu. Biasanya dalam perayaan tersebut diadakan pameran-pameran atau ritual-ritual yang mengulang kembali cerita seratus tahun lalu. Melalui pola-pola perayaan ini, generasi muda dapat mengetahui asal-usul dari mana mereka berasal dan tahu apa saja yang harus dilakukan sekarang. Tidak berhenti pada tahap ini saja, tetapi generasi sekarang dapat meneruskan kembali ke generasi berikutnya agar cerita ini terus berkembang dan menjadi cerita turun temurun yang menjadi kenangan banyak orang khus dalam jemaat Adang Buom.

Berdasarkan pada hal-hal diatas, maka inilah yang menjadi sebuah keprihatinan bagi penulis untuk membahas tentang “Studi Mengenai Cara-cara Jemaat Adang Buom Mewariskan Memori Kolektif tentang Mitos Adang dan Tuandiri serta Manfaatnya bagi Perilaku Sehari-hari

Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti oleh penulis adalahBagaimana upaya jemaat Adang Buom mewariskan memori kolektif danApa manfaat memori kolektif bagi jemaat Adang ?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam tulisan ini adalah Mendeskripsikan upaya jemaat Adang Buom mewariskan memori kolektif Mendeskripsikan manfaat memori kolektif bagi jemaat Adang.

Manfaat Penelitian

Memberikan pandangan kepada masyarakat tentang mitos Adang dan Tuandiri. Serta memberi pemahaman kepada semua orang untuk tetap menjaga kerukunan dan membangun kehidupan yang damai dan sejahtera di tengah-tengah kehidupan sehari-hari. Memberikan kontribusi kepada gereja bahwa Mitos Adang dan Tuandiri tidak bisa dipisahkan dari sejarah gereja serta masyarakat harus tetap mewariskan memori kolektif pada generasi-generasi berikutnya.

(16)

5

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya dan bertujuan mengungkapkan gejala secara holistik-kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instumen kunci. Pada awalnya metode penelitian kualitatif lebih banyak digunakan di bidang antropologi budaya sehingga sering disebut sebagai metode etnografi.4 Teknik pengumpulan data berupa wawancara yakni proses tanya jawab dari peneliti terhadap orang yang diteliti.5 Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participan observation), wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi.6 Tempat penelitian di Kabupaten Alor dan tepatnya di Adang Buom.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan terdiri dari lima bagian, yakni : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika. Teori atau pandangan yang relevan dengan tulisan ini, digunakan teori-teori yang berhubungan dengan Memori Kolektif dan Mitos. Hasil Penelitian dan analisis. Penutup berupa kesimpulan dan saran.

4

Eko Sugiarto, Penelitian Kualitatif, hal 8 5Koentjaraningrat,

Metode-metode penelitian masyarakat ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), 129

6

(17)

6

MITOS DAN MEMORI KOLEKTIF Pengertian Mitos

Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, yang secara harafiah diartikan sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang. Dalam pengertian yang lebih luas bisa berarti suatu pernyataan, sebuah cerita, ataupun alur suatu drama. Kata mythology dalam bahasa Inggris menunjuk pengertian, baik sebagai studi atas mitos atau isi mitos, maupun bagian tertentu dari sebuah mitos. B Malinowski membedakan pengertian mitos dari legenda dan dongeng. Menurut dia, legenda lebih sebagai cerita yang diyakini dan seolah-olah merupakan kenyataan sejarah, meskipun sang pencerita menggunakannya untuk mendukung kepercayaan-kepercayaan dari komunitasnya. Sebaliknya, dongeng mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib yang dikaitkan dengan ritus. Dongeng juga tidak diyakini sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi. Dongeng lebih menjadi bagian dari dunia hiburan. Sedangkan mitos merupakan “pernyataan atas suatu kebenaran lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif”.7

Mitos dalam tradisi klasik Yunani mengacu pada cerita lisan (tell story). Mitos muncul pertama kali dari dongeng, di mana mitos bergantung pada si pencerita untuk mengulas “fakta” yang berupa peristiwa dan hal-hal mistis. Adapun mitos mencakup asal usul alam semesta untuk mengungkap fakta sejarah, membuat penilaian-penilaian emosional, kepedulian dengan nilai moral, fisik, masalah-masalah ontologis, menjelaskan kebenaran psikologis, menyampaikan kepercayaan, tahayul, ritual, menyampaikan ide-ide sosial dan sastra, mempergunakan simbol, alegori, akal budi, filsafat, dan nilai-nilai etika. Adapun kewenangan menceritakan mitos merupakan hak pada dewa, bukan manusia. Mitos adalah cerita ilahi yang diberitahu oleh dewa kepada manusia, dan manusia kemudian menceritakan kepada sesamanya.8

Studi mitos pada masa modern pertama kali diperkenalkan oleh Max Muller dalam bukunya Comparative Mythology. Buku tersebut menerangkan bahwa mitoss-mitos berasal dari fenomena-fenomena alam, khususnya epifani-epifani matahari, yang mula-mula hanyalah sebuah nama, nomen, tetapi kemudian dijadikan suatu dewa, nume.9

7

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 147 8

Leryani Manuain, diambil dari sebuah Tesis dengan judul, Ina Mana Lali Ai (Studi Jender terhadap Ungkapan Makna Ina Mana Lali Ai yang Menyebabkan Ketidkadilan terhadap Perempuan Rote di Dengka-kec. Rote Barat Laut-Kab. Rote Ndao) Program studi Teologi FTEO-UKSW 2013

9

(18)

7

Fungsi Mitos

Menurut Eliade sebagaimana yang dikutip oleh Robert P Borrong dalam bukunya Berakar di Dalam Dia dan di Bangun di atas Dia,10 fungsi mitos adalah selain sebagai contoh model (paradigma), juga memberikan makna atau nilai bagi kehidupan manusia. Demikian pula dengan Malinowsky11 menjelaskan bahwa fungsi utama mitos dalam suatu masyarakat adalah mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi dari ritus, serta memberi peraturan-peraturan praksis untuk menuntun manusia berperilaku. Menurutnya, mitos mempunyai fungsi sosial, cerita pada masa lampau yang berfungsi sebagai piagam atau dalam bahasa Max Weber sebagaimana yang dikutip oleh Burke sebagai legitimasi.12 Apabila mitos memberikan pendasaran bagi ritus, keyakinan, keharusan moral dan organisasi sosial, ini berarti mitos bukanlah ilmu primitif ataupun kiasan filosofis, bukan pula sejarah aneh-aneh yang diputarbalikan. Fungsi utama mitos bukanlah untuk menerangkan atau menceritakan kejadian-kejadian historis di masa lampau, bukan pula untuk mengekspresikan fantasi-fantasi dari impian suatu masyarakat13

Realitas Mitos

“Realitas” mitos diterangkan secara berbeda oleh banyak pengarang, tergantung dari segi khusus yang digunakan dalam studi mereka mengenai mitos. Antropolog sosial seperti Malinowski14 berpendapat bahwa mitos, sebagaimana ada dalam suatu masyarakat primitif, bukanlah semata-mata cerita yang dikisahkan, tetapi juga merupakan kenyataan yang dihayati. Mitos merupakan daya aktif di dalam kehidupan masyarakat primitif. Dengan “realitas”, Malinowsky memaksudkan bahwa mitos menjadi penghubung dari institusi-institusi sosial yang ada. Bagi psikolog Gustav Carl Jung,15 masyarakat primitif tidaklah mereka-reka mitos melainkan menghayatinya; mitos bisa berupa apa saja kecuali simbol-simbol proses alam. Mitos memiliki makna yang vital, tidak saja berarti bahwa mitos bukan hanya menyajikan kembali kehidupan mental, melainkan merupakan kehidupan mental masyarakat primitif itu sendiri, yang merosot nilai-nilainya dan menuju kehancuran jika

10

Robert P. Borrong, Berakar di dalam Dia dan Dibangun diatas Dia, (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2002), 181-182

11 Bronislaw Malinowski, Myth in Primitive Psychology, (Toronto: Funk and Wagnel Publishing. 1954), 101 12

Peter Burge, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 152 13

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 150 14Magic, Scince and Religion, op. Cit., hlm. 100-1.

15Psychological Reflections: An Anthology of Writings, dipilih dan diedit oleh Jolande Jacobi, New York, 1953, hlm. 314

(19)

8

warisan mitologisnya hilang. Bagi Jung, mitos bukanlah petunjuk untuk atau perjanjian dalam institusi sosial dan kultural, melainkan kenyataan psikologis, ungkapan dari arketipe atau gambaran primodial mengenai ketidaksadaran kolektif. Mitos-mitos itu nyata, sejauh mereka menghadirkan kembali pola-pola yang diwariskan pada setiap manusia.

Beberapa macam mitos

Ada beberapa mitos yang telah kita ketahui bersama setidaknya enam macam, pertama, Mitos Penciptaan.Mitos yang menceritakan penciptaan alam semesta yang sebelumnya sama sekali tidak ada. Mitos jenis ini melukiskan penciptaan dunia lewat pemikiran. Sabda, atau usaha (panas) dari seorang dewa pencipta. Mitos ini bermaksud mengungkapkan dunia ini langsung berasal dari dewa pencipta tersebut, tanpa pertolongan siapapun di luar dirinya atau bahan apapun yang sebelumnya sudah ada.kedua,Mitos Kosmogonik.Mitos Kosmogonik merupakan kategori mitos yang mengisahkan penciptaan alam semesta, hanya saja penciptaan tersebut menggunakan sarana yang sudah ada, atau dengan perantara. Ketiga,Mitos Asal-usul.Mitos ini mengkisahkan asal-usul atau awal dari segala sesuatu, seekor binatang, suatu jenis tumbuhan, suatu lembaga, dan sebagainya. Mitos asal-usul tersebut adalah keberadaan dunia, tetapi hanya berkisar tentang kemunculan baru dari benda-benda tertentu di dunia. Dengan kata lain, setiap mitos asal-usul menceritakan dan membenarkan suatu situasi yang baru; baru di sini berarti tidak sejak awal mula berada di dunia ini. Mitos asal usul menceitakan kepada kita bagaimana dunia ini telah diubah, dibuat menjadi lebih kaya atau miskin. Secara struktural, mitos-mitos asal-usul ini lebih menunjuk pada kosmogonik yang menjadi model percontohan bagi setiap asal-usul. Mitos asal-usul ini melanjutkan dan melengkapi mitos-mitos kosmogonik.Keempat,Mitos-mitos Mengenai Para Dewa dan Para Makhluk Adikodrati.Pada masyarakat tradisional mitos-mitos jenis ini mengkisahkan bahwa setelah selesai penciptaan dunia dan manusia, yang maha tinggi meninggalkan mereka dan mengundurkan diri ke langit; sedangkan para dewa maupun makhluk adikodrati lainnya ada yang melengkapi proses penciptaan tadi. Ada yang ambil bagian atas pemerintahan dunia, ataupun menetapkan tata tertib dunia. Pada beberapa kisah pengunduran Yang Mahatinggi disertai dengan putus hubungan antara langit dan bumi atau dengan pemisahan secara besar-besaran antara surga dan dunia. Pada beberapa kisah lainnya, kedekatan langit pada awal mula, persahabatan serta hubungan erat antara para dewa dan manusia merupakan situasi kebahagiaan yang luar biasa dan merupakan imortalitas manusia. Manusia hidup dalam keselarasan yang sempurna dengan para dewa, dalam persahabatan

(20)

9

yang penuh kedamaian dengan pelbagai jenis binatang, dan dalam suka cita abadi. Kelima, Mitos Antropogenetik (mitos-mitos yang berkaitan dengan kisah terjadinya manusia mitos)Manusia diciptakan oleh Tuhan dari suatu bahan materi, misalnya dari lumpur (pada suku Yoruba di Negeri), atau dari batu (mitos-mitos di Indonesia dan Malaysia) dari tanah (Oceania), atau dari seekor binatang (Asia Tenggara) ada pelbagai variasi atas temannya manusia pertama diciptakan oleh ibu bumi dan bapa langit lewat bersetubuhan suci mereka, atau oleh dewa dengan jenis kelamin ganda, atau diciptakan dari tanah atau tanaman oleh Tuhan pencipta.Keenam,Mitos-mitos yang berkenaan dengan transformasi.Mitos-mitos ini menceritakan perubahan-perubahan keadaan dunia dan manusia di kemudian hari.Ketujuh,Mitos-mitos kepahlawanan. Mitos-mitos ini menceritakan seorang pelaku ilahi atau memperoleh inspirasi ilahi untuk menyampaikan kepada manusia hal-hal yang menjadi sendi kebudayaan mereka seperti api, organisasi keluarga, hukum dan pemerintah, serta norma-norma moral. Mitos-mitos ini disebut sebagai “mitos kepahlawanan kebudayaan”16

Memori Kolektif

Memori adalah sebuah fenomena yang bersifat individu. Di mana seseorang mulai mengingat-ingat sesuatu yang terjadi dalam diri pribadinya. Seseorang dapat melakukan aktivitas mengingat-ingat ketika sedang berbicara, mendengarkan dan masih banyak lagi cara mengingat-ingat. Pemikiran tentang memori sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, namun perspektif sosial pada memori baru muncul di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pertama kali digunakan secara kontemporer oleh Maurice Halbwachs (1925) dan banyak mendapat pengaruh dari filsuf Prancis Henri Bergson dan sosiolog Emil Durkheim.17

Ingatan selalu dibangun dari cerita, atau narasi, dan cerita tersebut dapat berubah, sesuai dengan lahirnya kesadaran dan bukti-bukti baru tentang masa lalu. Di sisi lain, dalam konteks ingatan kolektif, setiap orang bisa memiliki ingatan yang berbeda tentang apa yang sungguh terjadi di masa lalu. Ingatan kolektif dapat dipahami sebagai ingatan yang dominan dipahami oleh komunitas tertentu. Jadi, ingatan kolektif adalah ingatan yang dominan yang tersebar di dalam ruang publik masyarakat tertentu. “Ingatan kolektif adalah cerita yang diketahui semua orang, walaupun tidak semua orang percaya pada cerita itu.” Cerita, atau narasi, itu meresap ke dalam kultur suatu masyarakat, dan secara tidak sadar telah menjadi “bahasa” bersama dari masyarakat tersebut untuk menggambarkan dan menjelaskan masa

16

Leryani Manuain, Ina Mana Lali Ai, hal 21-23

(21)

10

lalu mereka. Setiap bentuk kritik terhadap masa lalu juga selalu berpijak pada narasi tersebut. “Bahasa” bersama inilah yang nantinya membentuk karakter dan perilaku masyarakat itu.

Di dalam teori-teori tentang ingatan kolektif, ada satu pengandaian dasar yang cukup umum ditemukan, bahwa apa yang kita ingat tentang masa lalu amat ditentukan pada kebutuhan masa sekarang, dan apa yang diharapkan dapat terjadi di masa depan. Dengan kata lain, ingatan kolektif tentang masa lalu bukanlah gambaran fakta obyektif yang tidak dapat berubah, melainkan narasi yang mengabdi pada konteks sekarang, serta kebutuhan dan kepentingan yang ada di masa kini. Di dalam proses itu terjadi apa yang disebut sebagai kompetisi ingatan kolektif, di mana berbagai bentuk narasi tentang masa lalu berusaha untuk merebut opini publik, dan menjadi ingatan kolektif yang dominan di masyarakat tersebut. Dalam arti ini, ingatan kolektif pun juga dapat dilihat sebagai tempat pertempuran antara berbagai narasi, atau cerita, di dalam masyarakat yang berusaha menjelaskan masa lalu tersebut. Narasi yang paling mampu mengabdi pada kepentingan masa kini dan masa depan akan menjadi ingatan yang dominan, yakni ingatan kolektif masyarakat tersebut, yang mempengaruhi karakter sekaligus pola perilaku orang-orang yang hidup dalam masyarakat.18

Secara umum ada 2 jenis memori yaitu memori individu dan memori kolektif. Memori individu adalah memori yang dimiliki masing-masing orang, sedangkan memori kolektif adalah memori yang dialami oleh sekelompok orang atau komunitas.Menurut Halbwachs, memori kolektif berakar dan mengacu pada pengalaman sosial yang nyata, yang berbaur dengan aspek spasial. Artinya bahwa, memori diingat kembali dengan mengkaji berdasarkan jangka waktu dan mengumpulkan kembali tempat-tempat yang digunakan dan mengkaji pola-pola yang tercipta di dalamnya, di mana apa yang pernah terjadi saat itu berkaitan dengan kehidupan sekelompok orang. Sebab memori sebenarnya adalah memori sosial bukan memori individual. Halbwachs mengakui bahwa setiap individu memiliki memori untuk satu dimensi tertentu dari suatu peristiwa yang sama. Walaupun begitu memori akan selalu berkaitan dengan faktor sosial seperti keluarga, tradisi, kepercayaan, budaya dan tempat. Sehingga dapat diartikan bahwa ingatan kolektif sebuah masyarakat tertanam di dalam kesadaran para warganya.19

18

Reza A.A Wattimena, Teori Ingatan kolektif. Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya[14] di akses pada 13 juni 2018 pukul 21.45

(22)

11

Paul Connerton dalam tulisannya mau menjelaskan bagaimana semuanya diawali terutama dengan unsur ingatan. Hal ini, berkaitan dengan suatu kelompok masyarakat sosial yang mencoba untuk memulai dengan hal yang sama. Secara umum dapat dikatakan bahwa memori sosial ini adalah memori bersama suatu kelompok. Dalam semua model pengalaman, yang menjadi dasar dari sebuah pengalaman, tidak terlepas dari pengalaman sebelumnya, sebuah pengalaman dapat terorganisir berdasarkan ingatan. Karya ingatan dioperasikan dalam banyak cara, baik secara eksplisit dan implisit, dan di berbagai tingkatan yang berbeda dari pengalaman.20

Memori Bukanlah Sejarah21

Meskipun sama-sama berhubungan dengan masa lalu, menurut beberapa tokoh memori dan sejarah adalah 2 hal yang berbeda. Maurice Halbwach yang dikutip Mark Crinson bahwa memori bertentangan dengan sejarah.

Halbwach saw history as an instrumental and overly rationalised version of the past, by contrast with memory which was intimately linked with collective experience. Memory, for Halbwach, bound groups of people together, recharging their commonality by reference to the physical spaces and previous instances, often founding moment, of that collective identity.22

Menurut Halbwach, sejarah merupakan sarana penyimpanan atau proses menyimpan apa yang terjadi di masa lalu dengan cara dirasionalisasikan. Sedangkan memori lebih mengarah kepada bagaimana pengalaman kolektif yang dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut akan saling menyesuaikan dengan seting ruang yang dimiliki sekelompok orang tersebut, serta membentuk identitas bersama kelompok. Ketika sekelompok orang dihadapkan dengan sebuah space, kesamaan atau identitas kelompok tersebut akan dapat mempengaruhi dan ikut juga merubah citra space.23

Namun, hubungan saling mempengaruhi ini tidak terjadi hanya satu arah melainkan terjadi dua arah. Kelompok orang tersebut akan mempengaruhi citra space yang ditempati, tetapi tidak hanya mereka yang akan memberi pengaruh, karena orang tersebut akan menyesuaikan diri dengan space yang ditempati. Inilah yang dimaksud Halbwach dengan

20 Paul Connerton, How Societies Remember, (Inggris: Cambridge University Press, 1989) 6.

21

Tirsha Tinenti, diambil dari sebuah tesis dengan judul, MEMORI KOLEKTIF TENTANG IK IN HOE

Studi Sosial-Kultural Terhadap Memori Kolektif Masyarakat Amarasi Barat Terhadap Ikan Foti dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Mereka. Program studi Teologi FTEO-UKSW 2017

22 Halbwachs, On Collective Memory, 128. 23 Halbwachs, On Collective Memory,143.

(23)

12

memori, di mana ada pengalaman, saling beradaptasi dan menciptakan suatu identitas, bukan hanya menyimpan cerita masa lalu.24

Fugsi Memori Kolektif

Memori kolektif memiliki fungsi yang khusus, yakni mencipta ulang sebuah peristiwa masa lalu untuk menjadi dasar bagi peristiwa masa kini, dan sebagai pijakan harapan bagi masa depan yang lebih baik. Proses mengingat yang dilakukan sedemikian banyak orang pada skala waktu tertentu, dan kemudian diwariskan ke generasi berikutnya, akan membentuk struktur ingatan kolektif tertentu. Ingatan kolektif ini akan tetap ada, dan diwariskan ke generasi berikutnya, walaupun waktu berubah, dan tradisi menghilang. Simbol-simbol yang ada di dalam peradaban manusia, dan pemaknaan atasnya, pun tidak pernah semata-mata bersifat individual, melainkan diciptakan dan ditujukan untuk kegunaan-kegunaan yang bersifat kolektif, seperti untuk mempertahankan masyarakat, mewariskan nilai-nilai kehidupan, membuat perubahan sosial, dan sebagainya. Dalam arti ini, Maka ingatan kolektif terdiri dari beragam aspek, dan terbuka untuk perubahan, demi pemaknaan akan masa kini, dan penciptaan harapan di masa depan. Di dalam cerita-cerita masa lalu tersebut, dan nilai-nilai moral maupun kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya, ingatan kolektif berperan penting di dalam memberikan makna dan konteks Cerita rakyat menjadi alat bagi ingatan kolektif untuk memberi identitas sosial bagi suatu komunitas tertentu.25

Makna kolektif dapat merajai memori kolektif karena ada sharing of experience, merasakan pengalaman yang sama atau berkat proses sosialisasi. Sosialisasi ini dipelihara turun-temurun melalui perayaan, ritus-ritus, upacara-upacara, penulisan sejarah, dan narasi dari mulut ke mulut (dalam masyarakat kuno) yang bertujuan mengabadikan masa lalu dan memasakinikan masa lalu. Begitulah proses transfer makna kolektif. Dengan demikian, memori kolektif sebagai salah satu simpul merupakan kondisi yang semakin memungkinkan keutuhan masyarakat berkat adanya asal identitas yang sama (the common source of identity). Memori kolektif bersangkut-paut dengan ritus masyarakat yang dibutuhkan untuk process of transference. Memori kolektif (dapat juga berupa kesadaran kolektif akan sebuah peristiwa historis prinsipal masyarakat) dapat kita sebut sebagai potensialitas dalam diri individu-individu untuk mengaktualisasikan penghayatan makna bermasyarakat. Memori kolektif

24 Halbwachs, On Collective Memory, 147.

25Reza A.A Wattimena, Teori Ingatan kolektif. Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya[14] di akses pada 3 juli 2018 pukul 15.05

(24)

13

menggenggam makna kolektif atas sebuah peristiwa termasuk dengan simbol-simbolnya. Kirannya makna kolektif inilah yang lebih memainkan peranan dalam menjaga keutuhan masyarakat karena dihayati oleh masyarakat. Masyarakat memiliki solidaritas intelektual dan emosional berkat cerita-cerita kepahlawanan, peristiwa-peristiwa historis yang besar, dan lain-lain.26

Prasasti

Prasasti adalah tulisan tentang maklumat atau keputusan resmi yang ditulis pada benda-benda yang keras meliputi batu, lontar, atau pada logam yang dirumuskan menurut kaidah-kaidah tertentu serta ditandai dengan upacara. Adanya penemuan prasasti merupakan tanda bahwa masa dimana prasasti tersebut berlangsung masyarakat sudah mengenal tulisan atau bisa disebut juga akhir dari zaman prasejarah dan menuju zaman sejarah.Pengertian Prasasti secara etimologi, kata "prasasti" berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya "pujian", tapi kemudian dianggap maklumat atau surat keputusan. Meskipun artinya pujian, isi prasasti tidak semuanya berkaitan dengan pujian. Beberapa prasasti tertua yang ditemukan di Indonesia menunjukkan hubungan antara Indonesia dengan India antara lain Prasasti Mulawarman di Kalimantan yang berbentuk Yupa, Prasasti Purnawarman di Jawa Barat. Prasasti ditulis dalam bentuk syair menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta.27

Ritual

Ritual merupakan bentuk dari penciptaan atau penyelenggaraan hubungan-hubungan antara manusia dengan yang gaib, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Dalam konteks pengertian ini, ritual juga merupakan proses komunikasi yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. Pesan tersebut dikemas dalam bentuk simbol-simbol yang disertai nilai-nilai budaya pada masyarakat terkait. Setiap ritual memiliki tiga kepentingan yaitu kepentingan psikologi, kepentingan sosial, dan protektif. Kepentingan psikologis, karena setiap ritual diselenggarakan guna memperoleh cara-cara mengekspresikan dan menerima dalam arti menawarkan emosi-emosi yang tidak menyenangkan. Kepentingan sosial, sebab melalui simbol-simbol yang digunakan dalam ritual sanggup mendramatisasi pentingnya nilai-nilai dasar untuk menyemangati kembali masyarakat dalam mempersatukan

26Mudji Sutrisno & Hendra Putranto, Teori-Tori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 104-105 27

(25)

14

persepsinya. Sementara itu, kepentingan protektif, karena ritual bisa memproteksi diri dari perasaan cemas dan tidak tentu.28

Ritual dapat dibedakan menjadi empat macam. Pertama, Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; Kedua, tindakan religius, kultus para leluhur juga bekerja dengan cara ini; Ketiga, ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; keempat, ritual faktitif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.29

Berbicara mengenai ritual maka adanya hubungan dengan mitos. Pada tingkah laku manusia dapat diamati bahwa dua fenomena, ritual dan mitos saling berjalan seiringan. Bagi kaum religius, atau kebanyakan mereka, ritual bukan hanya bagian dari agama melainkan agama itu sendiri. Keyakinan religius merupakan keyakinan akan nilai dan efektivitas ritual-ritual, serta teologi selain beberapa bentuk teologi mistik, merupakan pemberian alasan-alasan mengapa ritual-ritual tersebut harus dilakukan. Berdasarkan hal ini mitos sendiri merupakan tindakan ritual,sesuatu yang diutarakan, suatu peristiwa lisan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang hidup. Kerap kali aktivitas kultus tak lebih dari gambaran-gambaran dramatis atas mitos-mitos yang sama.30

28 Ismail, Arifuddin, Agama Nelayan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012),16. 29Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 175 30

(26)

15

Hasil Penelitian dan Analisis

Dalam bagian ini, akan diutarakan hasil penelitian “Study Mengenai Cara-cara Jemaat Adang Buom Mewariskan Memori Kolektif tentang Mitos Adang dan Tuandiri serta Manfaatnya bagi Perilaku Sehari-hari” yang akan di jelaskan dalam beberapa hal yaitu:

1. Peta Kabupaten Alor

(27)

16

Lingkungan Sekitar Adang Buom – Alor

Jemaat GMIT Adang Buom terletak di desa (kelurahan) Adang Buom dalam wilayah kecamatan Teluk Mutiara.31 Menurut Data Stastik di Kantor Desa Adang Buom per Desember 2016 jumlah penduduk adalah sebesar 1.872 dengan perincian, Laki-laki 932 orang, Perempuan 940 Orang. Selain terdapat gedung Sekolah Dasar dan Gedung Gereja, fasilitas umum lainnya terdapat di Desa itu adalah Mesjid 1 buah, Kantor Desa, Puskesmas, dan lain-lain. Letak Gedung Kebaktian Jemaat Adang Buom adalah sisi jalan raya sebelah kanan dari arah Kalabahi menuju ke Alor Kecil. Dari Kalabahi kira-kira 1 km. Gedung Kebaktian berukuran 26 x 10 M bentuk permanen. Gedung yang sekarang dibangun Tahun 1974 dan dithabiskan Tahun 1996 (± 20 tahun penyelesaiannya) dalam kawasan tanah milik Gereja seluas 1.820 m2. Di dalam kawasan itu juga dibangun pastori sebanyak 1 buah.

Adang Buom merupakan Desa gaya baru yang terbentuk akibat perpindahan (migrasi) alamiah dari masyarakat Adang di Kampung Lama. Jauh sebelumnya yakni tahun 1971 bernama Desa Adang Selatan. SK. Bupati Kepala Daerah Tingat II Alor, No. 24/DD.1 / XI / tanggal, 16 Juli 1971 tentang Pengangkatan Acting Kepala Desa Percobaan Adang Selatan, Yang ditandatangani oleh J.O.Ledo, BA sebagai Bupati. Markus Laan (Mol Alelang) ditetapkan sebagai Kepala Desa Adang Selatan.32 Ada dua faktor penyebab migrasi alamiah itu. Pertama, penataan administrasi pemerintahan daerah di tahun 1956 sebagai persiapan pembentukan propensi Nusa Tenggaran Timur dua tahun kemudian (1958). Pada waktu itu ketemukungan Adang dibagi menjadi 3 wilayah: Adang, Pitung Bang dan O’Mate-Emoil. Pemataan administrasi pemerintahan menetapkan bahwa kawasan Adang kampung lama sebagai daerah kehutanan. Masyarakat dianjurkan untuk bermigrasi dari lokasi itu. Kedua, dua tahun setelah pemekaran tadi terjadi musibah kebakaran. Memori kolektif masyarakat menyebutkan bahwa kebakaran itu terjadi hari Jumat 9 Agustus 1958. Kebakaran tadi memaksa penduduk untuk migrasi mencari kawasan pemukiman yang baru. Ada kelompok yang bergerak ke pantai utara- Tang Mate (laut besar) untuk menetap di sana dan membentuk permukiman baru dalam Kecamatan Alor Barat Laut (sekarang Kelurahan Adang di Kokar meliputi 2 jemaat yakni Jemaat Ooylah dan Jemaat Seydon). Ada juga kelompok yang memilih ke Selatan – Tang Atiang (laut kecil). Kampung gaya baru yang mereka bentuk bernama Buom (Desa Adang Buom) di kecamatan Teluk Mutiara. Kelompok lainnya memilih bertahan di Kampung Lama Adang.

31 Amon Djobo, Alor dalam Fakta Masalah dan Harapan. (Kalabahi, Maret 2014), 18. 32

(28)

17

Gambaran Umum GMIT Adang Buom Kalabahi

Jemaat GMIT Adang Buom pada tahun 2017 sesuai data dalam angka per 31 Desember 2016 adalah sebagai berikut: Jumlah kepala keluarga sebanyak 305 dengan jiwa sejumlah 1.460 orang yang terdiri dari perempuan 740 dan laki-laki 720. Pemukiman warga jemaat berkonsentrasi di desa Buom yang dikelompokkan dalam 8 oikos. Terdapat dua orang pendeta yang aktif melayani yakni Pdt. Helinda O.L. Taimenas (2014-sekarang) dan Pdt. Yuliana Mase Ola (2016-sekarang) didampingi penatua sebanyak 33 orang (perempuan 16; laki-laki 17) dan 28 orang diaken dengan jumlah perempuan 19 orang sedangkan laki-laki 9 orang. Setiap oikos dilayani oleh minimal 3 penatua dan 3 diaken. Salah seorang penatua bertindak sebagai koordinator oikos. Rata-rata tiap oikos ada 70-80 kepala keluarga. Untuk mempermudah sebutan oikos nama yang lazim dipakai adalah menyebutkan nomor 1-8. Tetapi ada juga nama lokal yang diberikan kepada oikos-oikos ini, nama lokal itu dipilih dengan memperhatikan ciri khas geografi dari oikos tadi. Menurut salah seorang penatua gereja, terdapat pilihan nama-nama lokal yang juga dimaksud untuk menjaga kelestarian bahasa lokal suku Adang. Ada pun nama-nama lokal dari oikos-oikos itu beserta artinya dalam bahasa Indonesia dan koordinatornya sebagai berikut.33

Nama Lokal Arti dalam bahasa Indonesia Koordinator Oikos

Oikos 1 Hai Haleng Keranjang tergantung Sance M. Sabaat – Oko Oikos 2 Foilipta Batu bernama Yakoba Patol – Balol Oikos 3 Tame Melang Pondok Asam Wellem Duka

Oikos 4 Baay Ta Mencincang Buaya Damaris Moka

Oikos 5 Sei Aming Muara sungai Adriana F. Wetangseh – Waang

Oikos 6 Affair Par Lumpur ikan Eyodia Laa – Wetangki Oikos 7 Ifang Leey Pohon jarak Putih Cornelis A. Djaha Oikos 8 Budoita Pinang di atas gunung Yusuf Adang

33

(29)

18

Upaya Jemaat Adang Buom Mewariskan Memori Kolektif

Sejak tahun 1917 dimulainya pelayanan dari para leluhur di Uhei Lelang hingga sampai saat ini di gereja Adang Buom. Pada Oktober 2017 lalu telah diadakan syukuran ulang tahun gereja yang ke 100 tahun yakni 43 Tahun di Uhei Lelang & 57 Tahun di Adang – Buom. Dalam perayaan seratus tahun, gereja telah merancang liturgi khusus serta berbagai jenis kegiatan yang mengukir kembali cerita seratus tahun lalu, sejak para leluhur mulai berinisiatif membangun tempat untuk beribadah sampai saat ini gereja mulai berdiri mandiri di bawah aturan sinode GMIT. Jemaat dengan kreatif mengkemas perayaan ulang tahun gereja kali ini berbeda dengan biasanya, yakni adanya ritual-ritual budaya, puisi-puisi, pujian-pujian dari jemaat yang mengukir kembali kisah seratus tahun lalu, diundang juga keluarga dari sebelah (Muslim) untuk ikut memeriahkan acara tersebut. Jika diingat kembali bagaimana hubungan yang sangat akrab dengan keluarga sebelah (Muslim) dengan sikap toleransi dan sikap saling terbuka serta menerima dengan perbedaan agama satu dengan yang lainnya.34

Keakraban dari keluarga muslim tidak sebatas pada menghadiri ulang tahun gereja, tetapi pada hari raya natal serta tahun baru pun mereka mengunjungi saudara-saudari mereka di kampung lama dan sebaliknya saudara-saudari di kampung lama mengunjungi mereka saat lebaran sebagai bentuk sikap saling menghargai. Adapun pengalaman yang lain adalah bekerja sama dalam membangun gedung gereja atau pun masjid dan masih banyak pengalaman yang dibangun bersama dari kedua saudara ini.

Penghargaan-penghargaan yang dilakukan ini sebagai cermin bagi setiap orang yang belum bisa menghargai serta menerima keberadaan agama lain dalam kehidupan bermasyarakat. Ritual-ritual diwujudkan dalam perilaku hidup yang di dalamnya terdapat nilai-nilai serta budaya yang masih diwariskan hingga saat ini. Jemaat Adang mewariskan budaya dalam berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan yakni, saat hari-hari raya gerejawi diadakan lomba CCA yang beraroma sejarah gereja, soal-soalnya berhubungan dengan cerita-cerita masa lalu, dibuka juga pameran sekitar gereja Adang dan yang uniknya adalah masih disimpan benda-benda bersejarah peninggalan nenek moyang serta adanya prasasti-prasasti hingga saat ini. Salah satu peninggalan adalah mimbar gereja yang masih dipakai hingga saat ini.

34

(30)

19

Peninggalan Benda-benda Bersejarah

Mimbar, Memasuki usia tahun ke-7, Jemaat Adang mendapat hadiah sebuah mimbar dari jemaat di Kalabahi. Mimbar itu dicatat sebagai mimbar pertama gereja di Alor. Selama keberadaannya di Uheidon – Adang kampung lama, mimbar hadiah itu yang dipakai sebagai tempat pemberitaan firman. Tahun 1958 sebagaimana sudah dicatat terjadi bencana kebakaran. Pasca bencana tadi terjadi migrasi penduduk dari kampung lama Adang ke berbagai penjuru. Tahun 1960 mereka yang bermigrasi ke Selatan, yakni ke wilayah pantai tepatnya di desa Buom mendirikan gedung ibadah. Mimbar di jemaat Uheidon – Adang kampung lama dijemput oleh warga Jemaat Adang di Desa Buom pada bulan Mei 1972. Mimbar itulah yang sampai sekarang dipakai di jemaat Adang Buom.

Prasasti, Adapun Prasasti bertulis Uheidon Di gedung kebaktian jemaat GMIT Adang Buom saat ini terdapat sebuah prasasti bertuliskan: Uheidon dan Bangsel. Uheidon mengingatkan kita pada tempat tiga temukung suku Adang melakukan musyawarah dan mufakat di tahun 1916 untuk meminta gezaghebber Alor membuka sekolah rakyat di Uhei Lelang, kampung tua suku Adang. Bangsel merupakan ungkapan yang menegaskan bahwa gedung gereja yang dibangun itu merupakan rumah utama di antara semua rumah-rumah jemaat. Dua kata ini merupakan bentuk penegasan tentang keterhubungan historis, iman dan kultur antara jemaat tua Adang di kampung Uhei Lelang Uheidon dengan Jemaat Adang yang ada di Buom Afair Par. Prasasti itu dibuat pada waktu penahbisan gedung kebaktian dan pastori dilaksanakan tanggal 29 Oktober 1998 untuk merayakan usia ke-81 Jemaat Adang.

Alkitab Tua, Sebuah Alkitab Tua dengan tulisan bahasa melayu kuno. Kemungkinan diterima bersama mimbar yang dibawa ke Adang Uhei Lelang. Yag unik dari Bible Tua itu adalah dalam bentuk tulisan tangan oleh Yohanis Bain (Bainko) di sekitar tahun 1935. Ia mengikuti kursus Alkitab di Kalabahi. Karena ketersediaan Alkitab yang terbatas, Yohanes Bain mengambil prakarsa membuat Alkitab tulis tangan sendiri dengan menyalin tulis tangan Alkitab yang sudah ada. Usai kursus, Yohanes Bain menjadi pekabar Injil di jemaat Abol-Kopidil. Bible Tua itu menurut informasi saat ini dipegang oleh seorang cece dari Yohanis Bain.

Sepasang Lemari Tua, Sepasang Lemari Tua. Satunya berada di Gereja dan lainnya berada di Sekolah. Teknologi pembuatannya sama persis dengan Mimbar dan bisa BongkarPasang.

(31)

20

Seperangkat Alat Perjamuan Tua dari Tembaga berupa Cangkir dan Teko. Gong Tua, yang sudah pecah dibunyikan pertamakali sebagai pengganti Lonceng pada saat Kebaktian Utama Pertama di Uhei Lelang.

Banyak Surat Baptis, yang ditandatangani oleh Ds. A.A.Vermeulen dan Ds. Boeken Kruger masih tersimpan dengan baik dalam Lemari Tua di Adang Buom. Surat-surat Sakramen tersebut atas nama Orang-orang Adang, Pura, Ternate, Welai dan Lembur.35

Bekas-bekas pemukiman warga, asrama siswa bahkan juga lapangan bermain anak-anak sekolah dan mata air fuil – ainy yang artinya mata air darah dan nanah letaknya di kedalaman lembah. Tidak dapat disangkali bahwa air dari sumber itu yang diambil untuk dijadikan air baptisan kepada para penerima baptisan kali pertama tertanggal 12 Agustus 1923. Penulis bersama ketua tim penulisan sejarah 100 tahun, Bpk John B. Modu, SIP, M.Si di sumber air fuil – ainy di kampung lama Uhei Lelang

Pahatan kayu berbentuk naga di menara gedung kebaktian Adang Buom. Patung pahatan yang dulunya ditempatkan di kepala dan kaki tiap kampung sebagai simbol kehadiran roh pelindung, sekarang dipindahkan letaknya bubungan menara gedung kebaktian. Tentu ini sebuah bentuk kontekstualisasi iman. Ide kontekstualisasi ini dibahas bersama oleh majelis jemaat dan tua-tua Adang di masa pelayanan Pdt. Pulinggomang. Kontekstualisasi itu dilakukan dengan menempatkan pahatan kepala naga di bawah huruf Yunani XP yang merupakan inisial dari nama Kristus. Ini menunjuk kepada pemahaman baru akan hubungan kuasa-kuasa yang disembah dalam agama pra-kristen dengan Kristus sebagai kepala gereja dan juruselamat dunia. Dulu di dalam agama prakristen kuasa-kuasa disembah sebagai yang terpisah dari Allah di dalam Kristus. Pemberitaan Injil menyadarkan anak-anak Adang bahwa kuasa-kuasa itu tidak lebih dari hamba-hamba berlagak pembesar yang mengendarai sepeda motor bersirene berlari di depan mobil bernomor polisi ALOR 1 yang membawa Kristus sang pemenang untuk memberitakan kedatangan majikannya. Dengan kedatangan Kristus sang majikan kuasa-kuasa itu tidak lagi berhak diberi pujian, hormat dan penyembahan.

35

(32)

21

Manfaat Memori Kolektif bagi Jemaat Adang

Jemaat Adang Buom dapat dikatakan bahwa salah satu gereja yang masih mewariskan nilai-nilai budaya hingga saat ini. Dalam hal ini, jemaat Adang tidak pernah berhenti untuk mengingat kembali kisah apa saja yang terjadi bahkan tidak sebatas mengingat melainkan menjaga benda,benda peninggalan dan menceritakan kembali kisah yang telah terjadi itu kepada anak cucu secara turun-temurun hingga saat ini. Ada dua hal yang patut diterima untuk generasi muda Adang masa kini yakni, Pertama, saling menghargai satu dengan yang lain dalam perbedaan, betapa ini sebuah teladan yang patut ditiru dan dilestarikan oleh generasi sekarang. Kedua, Bagi generasi sekarang jangan pernah meremehkan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat oleh pengaruh globalisasi dan life-style kehidupan modern, resistensi yang ditunjukkan penduduk pegunungan di wilayah Adang dan sikap selektif dalam menentukan pilihan merupakan sebuah kearifan yang patut diberikan jempol dan apresiasi penuh. Jemaat dapat menghargai alam sekitar dengan tidak mencemari lingkungan, tidak saja menjaga benda-benda peninggalan sejarah tetapi peka terhadap lingkungan.

Berdasarkan data yang ada, dapat dianalisis bahwa memori kolektif terhadap mitos Adang dan Tuandiri sangat mempengaruhi perilaku jemaat Adang Buom. Jemaat Adang memiliki kepribadian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan memiliki sikap terbuka, terlihat jelas dalam perayaan ulang tahun gereja yang ke 100 tahun (Sejarah 43 Tahun di Uhei Lelang dan 57 Tahun di Adang Buom). Hanya untuk merayakan 100 tahun, gereja hingga membentuk panitia khusus untuk menyelenggarakan perayaan ini, dana yang dikeluarkan sangat banyak ± puluhan juta.36

Dilihat dari keadaan gereja, jemaat-jemaat yang di dalamnya termasuk jemaat yang sederhana, hanya beberapa yang memiliki status sosial di atas sedikit. Tetapi, jemaat begitu antusias untuk merayakan hingga berbagai cara mereka lakukan demi mengsukseskan acara tersebut. Kegiatan-kegiatan yang di lakukan sebelum hari yang dinantikan itu tiba adalah mereka berkunjung ke kampung lama untuk menapak tilas kisah yang pernah terjadi, bahkan kisah yang sangat menyakitkan yaitu bencana kebakaran yang terjadi di Adang Uheidon (kampung lama) tahun 1958 memulai babak baru sejarah Jemaat Adang Uhei Lelang Uheidon. Terjadi migrasi penduduk dari kampung tua di gunung ke berbagai penjuru di kawasan Nuh Atinang alias Kepala Burung. Migrasi ini juga menjadi titik awal lahirnya sebuah jemaat baru yang sekarang bernama Adang Buom. Anak-anak dari suku Adang Uhei

36

(33)

22

Lelang Uheidon ada yang bermigrasi ke Buom (tonglah hail haling) di arah Selatan yang berlokasi di kawasan pantai.

Tahun 1960 mulailah mereka memprakarsai pendirian sebuah gedung kebaktian untuk dijadikan pusat kehidupan rohani dan pembinaan spiritual. Lokasinya di Foilipta. Bangunan gedung kebaktian jemaat asal Adang di desa Buom menjadi bagunan rumah ibadah ketiga dalam sejarah Jemaat Adang, sekaligus rumah ibadah pertama dalam sejarah jemaat Adang Buom. Menyusul pembangunan rumah ibadah, warga Jemaat Adang yang turun ke Buom untuk menetap di sana untuk seterusnya juga membangun pastori dan sekolah untuk lancarnya kegiatan pembinaan rohani di perkampungan yang baru di Buom. Selain dari pada itu umat muslim juga berpartisipasi dalam acara prayaan ini, mereka tdak saja sebagai tamu undangan tetapi saling bekerja sama dalam bekerja salah satunya ialah membantu jemaat membuat anak tanggah berjumlah 100 dari jalan masuk pagar gereja hingga pintu utama gereja. kegiatan-kegiatan lainnya adalah membuat pameran-pameran budaya di lingkungan gereja, dekorasi yang begitu mewah, dana untuk konsumsi mulai dari awal kerja hingga akhir kegiatan, semua mereka lakukan untuk menunjukan kepada semua orang bahwa, walaupun gereja kecil dengan jemaat yang sederhana tetapi mereka bisa melakukan yang terbaik bukan untuk di puji orang melainkan wujud dari ungkapan terima kasih kepada para leluhur, orang-orang tua dalam perjuangan berdirinya gereja yang mandiri dan untuk kebaikan Tuhan atas penyertaan yang diberikan kepada jemaat Adang mencapai usia ke 100 tahun. Perayaan ini tidak semata-mata untuk memeriahkan ulang tahun ke 100, tetapi tiap tahun jemaat selalu melakukannya,walaupun tidak semeriah yang terjadi pada Oktober 2017 lalu tetapi jemaat selalu memiliki kesadaran untuk merayakan sebagai tanda ungkapan syukur.

Ada seorang pemuda yang bernama Y (inisial) ketika ditanya mengenai cerita mitos ini, ia sedikit bingung dan kurang memahami cerita ini padahal dapat dikatakan bahwa dia adalah seorang pemuda yang aktif di gereja. Penulis pun mulai menjelaskan lebih banyak cerita mitos ini, kemudian dia katakan bahwa “memang saya pernah mendengar cerita ini tetapi hanya sekedar cerita dari para orang tua dan memang tiap kali ulang tahun gereja walaupun tidak rayakan besar-besaran tetapi kami selalu berdoa bersama menaikan ungkapan syukur. Saya sangat tertarik dengan cerita ini, dalam pembagian Oikos kami pun dalam bahasa daerah sesuai lokasi tempat tinggal masing-masing. Hal yang masih kurang dalam diri kami khusus sebagai pemuda-pemudi adalah kami kurang kreatif dan masih sedikit pasif dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan gereja. Contoh sederhana, banyak orang mengatakan

(34)

23

bahwa gereja kami ini memiliki nilai budaya yang tinggi tetapi kami kurang merawatnya dalam hal kreatif memasukan nilai-nilai budaya dalam tiap kebaktian, hanya saat ibadah menggunakan liturgi khusus yakni ibadah etnis, baru lah kami mengikutinya”37

sangat memprihatinkan sekali bagi generasi-generasi sekarang yang sangat minim sekali mendapat informasi mengenai cerita-cerita mitos yang telah terjadi. Gereja harus bisa melakukan sesuatu bagi generasi sekarang ini, sebab tantangan terbesar sekarang adalah teknologi yang semakin canggih yang secara perlahan dapat menyingkirkan budaya yang ada, oleh karena itu gereja dapat membuat sesuatu yakni seminar atau diskusi mengenai kisah atau sejarah yang pernah terjadi di masa lalu, dalam ibadah-ibadah minggu dapat disisihkan ibadah beraroma budaya.

Gereja tidak dapat terpisahkan dari sejarah

Sejarah adalah kejadian di masa lalu khususnya yang berhubungan dengan manusia yang disusun berdasarkan sumber sejarah yang ada. Sumber sejarah adalah peninggalan-peninggalan berbagai peristiwa atau keadaan di masa lampau. Dengan demikian, kejadian yang baru terjadi kemarin pun bisa dikatakan sebagai sejarah. Sejarah merupakan studi tentang sebab dan akibat. Dalam sejarah, suatu peristiwa akan menjadi bermakna jika kita mengetahui mengapa peristiwa tersebut terjadi. Istilah “sejarah” berbeda dengan “ilmu sejarah”. Ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa penting manusia di masa lalu.Menurut, William H. Freederick, etimologi kata “sejarah” berasal dari bahasa Melayu sejarah yang berasal dari bahasa Arab شجرة (šajaratun) yang berarti “pohon”. Istilah tersebut digunakan karena silsilah keluarga kerajaan mirip seperti pohon terbalik. Kata tersebut pertama kali diserap dalam bahasa Melayu pada abad ke-13. Meskipun demikian, dalam bahasa Arab sendiri, “sejarah” disebut تاريخ (tarikh).Berikut adalah arti kata sejarah menurut Kamus BesarBahasa Indonesia (KBBI):

Sejarah adalah noun (nomina/kata benda) yang berarti: 1. Asal-usul (keturunan) silsilah

2. Kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau 3. Pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau; ilmu sejarah

Berikut adalah beberapa pengertian sejarah menurut para ahli sejarah:

1. Menurut Herodotus, sejarah adalah sistem mempelajari kejadian awal dan terbentuk dalam kronologi yang terdiri dari bukti konkrit atau catatan-catatan.

37 Hasil wawancara pada seorang pemuda gereja Adang Buom melalui via telpon pada kamis, 21 juni 2018 pukul 19.54 WITA

(35)

24

2. Menurut Moh. Yamin, SH, sejarah adalah ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan kenyataan. 3. Menurut J.V. Brice, sejarah adalah catatan-catatan dari apa yang telah dipikirkan, dikatakan, dan diperbuat oleh manusia.38

Dalam hal ini, sejarah perjuangan para misionaris yang membawa Injil pertama kali masuk di gereja Adang Buom ini sangatlah tidak mudah, tentu saja mengalami suka dan duka. Kehidupan jemaat Adang mula-mula yaitu hidup dalam agama pagan (melakukan ritual kepada dewa-dewa, membuat patung-patung untuk di sembah dan penyembahan berhala lainnya). Sangat besar pengaruh dari ingatan-ingatan kolektif masa lalu yang dituturkan kembali oleh orang-orang tua dan adanya bukti-bukti peninggalan sejarah gereja. Pengaruhnya ialah anak cucu saat ini walaupun tidak merasakan langsung kejadian awalnya tetapi mereka dapat merasakan bagaimana hangatnya cerita yang dituturkan. Dari cerita-cerita tersebut mengandung nilai-nilai moral, ingatan kolektif sangat berperan penting dalam memberikan makna cerita para leluhur atau pun mitos Adang dan Tuandiri.

Ingatan kolektif tidak akan pernah hilang walaupun waktu berubah dan tradisi menghilang, sebab proses mengingat akan terus di jaga dan diwariskan ke generasi berikut nya hingga saat ini. Tidak sebatas pada penuturan sejarah masa lalu, melainkan untuk menjaga tetap nilai toleransi antar umat beragama. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa kerukunan antar agama sudah ada sebelum masuknya Injil. Orang-orang belum mengerti apa-apa tentang apa-apa itu Yesus Kristus serta Injil-Nya, tetapi mereka mengetahui hal-hal baik apa-apa yang harus mereka lakukan salah satunya ialah berbuat baik bagi sesama, memiliki sikap terbuka dan membangun relasi yang harmonis. Gereja tidak bisa melupakan sejarah apalagi meninggalkan begitu saja, melainkan dirawat, diwariskan dan dilestarikan supaya tetap diingat dan tidak pernah terlupakan.

38Hedi Sastrawan, pengertian Sejarah.

(36)

25

PENUTUP A. Kesimpulan

Dari berbagai penjelasan di atas maka penulis menyimpulkan beberapa hal yakni:

1. Mitos Dalam Memori Kolektif Jemaat Adang Buom

Setiap masyarakat pasti memiliki mitos atau cerita-cerita yang mengkisahkan sebuah pengalaman yang tidak bisa dilupakan melainkan selalu ada dalam ingatan tiap-tiap orang. Seperti yang dikatakan oleh Halbwachs bahwa setiap individu memiliki memorinya sendiri, hal ini berhubungan dengan faktor sosial seperti keluarga, tradisi, kepercayaan, budaya dan tempat. Artinya bahwa ingatan kolektif sebuah masyarakat tertanam di dalam kesadaran para warganya. Di dalam mitos terdapat memori kolektif yang memiliki nilai pengajaran yang menuntun orang pada jalan yang benar, seperti hal nya dengan cerita-cerita dalam kitab suci. Tentu saja kita tidak memiliki pengalaman langsung yang sesuai dengan setiap cerita yang kita baca atau pun kita dengar, tetapi melalui ingatan-ingatan kolektif yang di turunkan dari generasi ke generasi hingga saat ini maka cerita-cerita itu tetap ada dan malah kita jadikan cerita itu sebagai sesuatu yang benar dan mempercayai serta mengimani. Mitos adang dan Tuandiri ini menjadi sebuah cerita masa lalu yang dikenang hingga saat ini, sebab pengaruhnya sangat besar bagi kehidupan serta tumbuh kembangnya iman dalam jemaat Adang Buom dan mitos ini merupakan warisan sosial turun-temurun.

2. Mitos Adang dan Tuandiri Mengandung Nilai Moral

Pada dasar nya orang Alor memiliki sifat dan sikap yang terbuka terhadap berbagai suku, budaya, ras, agama dll. Suku Adang melalui cerita mitos, mereka mimiliki nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya yakni, toleransi, kerukunan, menjaga keakraban antar agama dan tidak pernah memandang orang lain melalui kedudukan atau kelas sosial serta tetap mempererat tali persaudaraan. Nilai-nilai seperti inilah yang harus tetap dipegang, dijaga dan diwariskan supaya menjadi teladan bagi orang-orang sekitar dan lebih umumnya bagi seluruh masyarakat Indonesia, agar jangan sebatas ucapan saja yang mengatakan Indonesia adalah negara demokratis dan negara multi kultural yakni banyak bahasa, budaya, suku, ras, agama tetapi tidak pernah mencerminkan niali-nilai moral yang mempersatukan, justru negara kita lah yang memiliki banyak sekali persoalan mengenai perbedaan pendapat tentang agama sehingga menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak dapat dipungkiri.

(37)

26

Makna yang dapat di ambil adalah sikap mengahargai sesama, nilai-nilai warisan yang harus tetap di ingat dan di turunkan ke generasi berikutnya dan yang terakhir adalah menjaga Alam sekitar dengan rasa yang penuh bertanggung jawab kepada Sang Pencipta.

B. Saran

Usul serta saran yang dapat penulis berikan ialah:

1. Gereja

 Gereja harus lebih melestarikan budaya-budaya yang ada di dalam jemaat salah satu contohnya ialah dalam ibadah-ibadah disisipkan liturgi-liturgi khusus yang berbau budaya

 Gereja dapat merancang sebuah kegiatan yang melibatkan kaum muslim dengan tujuan tetap menjaga kerukunan dan toleransi, agar supaya jangan hanya terlihat saat lebaran atau tahun baru saja yang melakukan perkunjungan semata-mata sebagai sebuah kewajiban tetapi ketika melakukan kegiatan ini maka dapat memperdalam hubungan kekeluargaan.

 Dalam ulang tahun gereja mendatang, jangan saja merancang acara atau ibadah perayaan tetapi dapat membuat seminar atau diskusi mengenai cerita-cerita mitos masa lalu dengan menghadirkan tua-tua adat, tokoh-tokoh gereja dan orang-orang yang mengetahui akan hal ini untuk di bagi bersama anak cucu yang sekarang ini.

2. Jemaat

 Jemaat harus tetap melestarikan budaya yang ada walaupun dunia semakin modern tetapi budaya harus dijunjung tinggi nilai-nilai moralnya.

 Jangan pernah merasa diri rendah ketika berada di tengah-tengah orang banyak dengan kelas sosial yang tinggi, tetapi belajarlah untuk bersama-sema membangun hidup yang baik di tengah-tengah jemaat dan masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang berbeda terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Tarigan dan Samuel (2014) yang menyatakan bahwa dimensi lingkungan dari sustainability report memiliki

Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung yang berkaitan dengan prosedur yang digunakan, alur dokumen bagian Gudang

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Magetan dan Ponorogo yang terdaftar resmi di Bank Indonesia. Data diperoleh dari laporan

Hasil penelitian ini menunjukkan isolat FMA indigenus rizosfir tanaman jahe sehat dari lahan endemik yang diintroduksi pada bibit jahe mampu menahan perkembangan penyakit layu

Promosi dalam Pemasaran Produk dan Jasa Perpustakaan Perguruan Tinggi. Makalah disampaikan pada lokakarya pengguna dan promosi perpustakaan perguruan tinggi di Malang, tanggal 25

Untuk mengetahui distribusi tekanan dan kecepatan aliran fluida di dalam rumah pompa yang dioperasikan sebagai turbin.. Dapat mengetahui bentuk – bentuk (tampilan

Dalam pandangan Al-Ghazali di dalam karyanya Ihya’ Ulum Al- Din uang adalah “nikmat (Alloh) yang digunakan masyarakat sebagai mediasi atau alat untuk mendapatkan

sepenuhnya adalah hak cipta atas nama saya dan penulis lain dalam karya ilmiah tersebut, karena karya ilmiah ini tidak memiliki copyright