• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Metode Analisis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Kadar Air dan Asam Lemak Bebas

Menurut Willis dan Marangoni (2002), kadar air optimum untuk interesterifikasi enzimatik berkisar antara 0.04 sampai 11% (b/v). Hasil analisis kadar air dan asam lemak bebas disajikan pada Tabel 17. Dari tabel tersebut terlihat sampel M75, M77, dan M82 dapat digunakan untuk reaksi interesterifikasi enzimatik karena mempunyai kadar air pada kisaran kadar air optimum.

Asam lemak bebas (ALB) terbentuk karena adanya reaksi hidrolisis. Hidrolisis merupakan reaksi yang memisahkan asam lemak dari gliserol pada molekul minyak (trigliserida) akibat adanya air (Murano, 2003). Menurut Ketaren (1986), proses hidrolisis dibantu oleh adanya asam, alkali, uap air, panas, enzim lipolitik (lipase), dan logam katalis seperti Cu dan Fe.

Tabel 17. Nilai kadar air dan asam lemak bebas bahan baku

Sampel Kode sampel Kadar air (%) Asam Lemak

Bebas (%) NDRPO 0.065±0.004 1.33±0.01 RPO 0.093±0.001 1.30±0.00 RPO/RPS 0.105±0.003 1.40±0.05 CNO 0.029±0.002 0.33±0.00 (RPO/RPS):CNO 75:25 M75 0.083±0.000 1.00±0.01 77.5:22.5 M77 0.086±0.000 1.15±0.04 82.5:17.5 M82 0.093±0.002 1.26±0.03

Keterangan: Data ± Standar deviasi; NDRPO= Neutralized deodorized red palm oil; RPO=Red palm olein; RPS= Red palm stearin; CNO= Coconut oil.

Dari Tabel 17 terlihat terjadi peningkatan ALB berturut-turut pada sampel M75, M77, dan M82. Peningkatan ALB ini diduga disebabkan kadar air yang semakin tinggi. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan hidrolisis yang mengubah minyak menjadi asam lemak bebas sehingga dapat menyebabkan ketengikan (Ketaren, 1986).

Kadar air dan ALB hasil penelitian Widarta (2008), Hasrini (2008), dan Riyadi (2009) dapat dilihat pada Tabel 18.Dari tabel tersebut terlihat kadar air dan ALB hasil penelitian Widarta (2008), Hasrini (2008), dan

33 Riyadi (2009) lebih kecil dari hasil penelitian tahap ini. Hal ini disebabkan oleh terjadinya kerusakan minyak sawit selama penyimpanan sehingga menyebabkan kenaikan kadar air dan ALB. Menurut Hartley (1977), ALB sudah terdapat di dalam minyak sejak bahan tersebut mulai dipanen dan jumlahnya terus bertambah selama proses pengolahan dan penyimpanan.

Tabel 18. Nilai kadar air dan ALB hasil penelitian Widarta (2008), Hasrini (2008), dan Riyadi (2009)

Sampel Kadar air (%)

Widarta (2008) Hasrini (2008) Riyadi (2009)

CPO 0.14 ± 0.01 - - NRPO 0.58 ± 0.11 0.035±0.003 0.34 ± 0.31 NDRPO - - 0.00 ± 0.00 RPO - 0.015±0.001 - RPO/RPS - 0.016±0.001 - CNO - 0.002±0.000 -

Asam lemak bebas (%)

Widarta (2008) Hasrini (2008) Riyadi (2009)

CPO 3.62 ± 0.21 - - NRPO 0.13 ± 0.02 0.64±0.04 0.484 ± 0.15 NDRPO - - 0.490 ± 0.15 RPO - 0.51±0.02 - RPO/RPS - 0.79±0.03 - CNO - 0.13±0.01 -

Keterangan: Data ± Standar deviasi; CPO= Crude palm oil; NRPO= Neutralized red palm oil; NDRPO= Neutralized deodorized red palm oil; RPO= Red palm olein; RPS= Red palm stearin; CNO= Coconut oil.

34

B. Penelitian Tahap Kedua: Pemilihan Formula Bahan Baku

Penelitian tahap kedua bertujuan untuk memilih satu formula bahan baku. Pemilihan formula bahan baku dilakukan terhadap tiga formula hasil penelitian Hasrini (2008) yaitu campuran antara RPO/RPS (1:1) dan CNO dengan rasio 75:25, 77.7:22.5, dan 82.5:17.5. Ketiga formula tersebut merupakan formula yang menghasilkan karakteristik mendekati profil bahan baku margarin ritel dan margarin industri sesudah diinteresterifikasi enzimatik (Hasrini, 2008). Dari ketiga formula tersebut terlihat rasio RPO/RPS lebih tinggi dari rasio CNO. Hal ini berhubungan dengan slip melting point yang ingin dihasilkan. Slip melting point minyak sawit cenderung sedikit lebih tinggi dari suhu mulut yaitu 36.72 (Gee, 2007), sehingga diperlukan pencampuran dengan minyak kelapa dalam jumlah kecil supaya nilai slip melting point-nya berada dalam kisaran suhu tubuh. Interesterifikasi enzimatik pada tahap ini menggunakan enzim Lipozyme TL IM yang merupakan enzim spesifik (sn-1,3). Karakteristik hasil interesterifikasi enzimatik yang dianalisis adalah total karoten, slip melting point, dan solid fat content. Hasil analisis terhadap karakteristik tersebut terdapat pada Lampiran 2.

1. Total Karoten

Hasil ANOVA menunjukkan bahwa total karoten sampel berbeda nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa total karoten sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik pada sampel M75, M77, dan M82 berbeda nyata. Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa total karoten sesudah interesterifikasi enzimatik antara sampel M75, M77, dan M82 tidak berbeda nyata (Lampiran 3). Perbandingan total karoten sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik dapat dilihat Tabel 19. Dari tabel tersebut terlihat terjadi penurunan total karoten sesudah interesterifikasi enzimatik.

35

Tabel 19. Perbandingan total karoten sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik (IE)

Sampel Total karoten (ppm) Retensi karoten (%) Sebelum IE Sesudah IE

M75 262.42 ± 6.80b 209.88 ± 0.28a 79.98 M77 265.01 ± 12.65b 212.92 ± 4.84a 80.34 M82 269.02 ± 8.73b 227.00 ± 0.83a 84.38

Keterangan: Data ± Standar deviasi; Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%; M75= Rasio (RPO/RPS):CNO 75:25; M77= Rasio (RPO/RPS):CNO 77.5:22.5; M82= Rasio (RPO/RPS):CNO 82.5:17.5.

Penurunan total karoten diduga karena terjadinya reaksi oksidasi selama reaksi interesterifikasi enzimatik berlangsung. Adanya ikatan ganda menyebabkan karoten peka terhadap oksidasi yang lebih cepat dengan adanya sinar dan logam, khususnya tembaga, besi, dan mangan (Wafford, 1980). Menurut Winarno (1992), adanya perlakuan pemanasan pada minyak dapat mengurangi jumlah karoten.

Total karoten sesudah interesterifikasi enzimatik pada sampel M75, M77, dan M82 tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena perlakuan dari ketiga sampel tersebut sama sehingga tingkat kerusakan terhadap karoten juga sama. Selain itu rasio RPO/RPS dari sampel M75, M77, dan M82 hampir sama yaitu 75, 77.5, dan 82.5. Rasio RPO/RPS yang hampir sama menyebabkan total karoten dari ketiga sampel tersebut hampir sama. Hal ini disebabkan karena RPO/RPS merupakan sumber karoten.

Retensi karoten merupakan bilangan dalam persen yang menunjukkan seberapa besar karoten yang dapat bertahan selama reaksi berlangsung. Nilai retensi karoten dari ketiga sampel berkisar antara 79- 85%. Retensi karoten dari ketiga sampel tersebut relatif tinggi karena interesterifikasi dilakukan pada suhu 60 . Sampel M82 mempunyai retensi karoten tertinggi yaitu 84.38%. Menurut Budiyanto et al. (2008), perubahan kandungan karoten pada minyak sawit merah sangat dipengaruhi oleh konsentrasi karoten awal pada minyak sawit merah, temperatur pemanasan, dan lama pemanasan minyak sawit merah.

Nilai total karoten sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik dari hasil penelitian Hasrini (2008) dapat dilihat pada Tabel 20. Dari tabel

36 tersebut nilai retensi karoten hasil penelitian Hasrini (2008) lebih tinggi dari nilai retensi karoten hasil penelitian tahap ini. Hal ini diduga disebabkan perbedaan kandungan prooksidan dalam minyak sawit akibat perbedaan tahapan dalam proses pemurnian (refining) minyak sawit sehingga menghasilkan retensi karoten yang berbeda. Prooksidan merupakan zat yang dapat mempercepat reaksi oksidasi (Winarno, 1992).

Tabel 20. Perbandingan total karoten sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik (IE) hasil penelitian Hasrini (2008)

Sampel Total karoten (ppm) Retensi karoten (%) Sebelum IE Sesudah IE

M75 363.13±3.35 356.43±2.39 98.15

M77 378.21±3.03 366.72±4.06 96.96

M82 392.81±2.86 381.32±3.72 97.07

Keterangan: Data ± Standar deviasi; M75= Rasio (RPO/RPS):CNO 75:25; M77= Rasio (RPO/RPS):CNO 77.5:22.5; M82= Rasio (RPO/RPS):CNO 82.5:17.5.

2. Slip Melting Point dan Solid Fat Content

Hasil ANOVA menunjukkan bahwa slip melting point (SMP) sampel berbeda nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa SMP sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik pada sampel M75, M77, dan M82 berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa SMP sesudah interesterifikasi enzimatik antara sampel M75 tidak berbeda nyata dengan sampel M77 dan sampel M77 tidak berbeda nyata dengan sampel M82 (Lampiran 4). Tabel 21 memperlihatkan Nilai SMP sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik yang dibandingkan dengan nilai SMP margarin komersial A, margarin komersial B, dan margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006). Hasil analisis lengkap terhadap margarin komersial A dan margarin komersial B dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan Tabel 21 terlihat nilai SMP sesudah interesterifikasi enzimatik lebih rendah dibandingkan dengan sebelum interesterifikasi enzimatik.

Penurunan SMP sesudah reaksi interesterifikasi enzimatik diduga disebabkan terbentuknya trigliserida baru yang titik lelehnya lebih rendah.

37 Penurunan nilai SMP menghasilkan sifat lemak yang lebih lunak dibandingkan sebelum reaksi. Nilai SMP sesudah interesterifikasi enzimatik antara sampel M75 tidak berbeda nyata dengan sampel M77 dan sampel M77 tidak berbeda nyata dengan sampel M82. Hal ini disebabkan diduga disebabkan rasio RPO/RPS antara M75 dengan M77 dan M75 dengan M82 tidak terlalu berbeda. Rasio RPO/RPS pada sampel M75, M77, dan M82 berturut-turut adalah 75, 77.5, dan 82.5%.

Tabel 21. Nilai SMP sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik yang dibandingkan dengan SMP margarin komersial A, margarin komersial B, dan margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006). Sampel SMP ( o C) Sebelum IE Sesudah IE M75 34.1 ± 0.9cd 30.1 ± 0.9a M77 35.6 ± 0.5de 31.4 ± 0.5ab M82 36.5 ± 0.4e 32.5 ± 0.7bc

Margarin komersial target (Fattahi-far et

al., 2006)    33.5±0.5

Margarin komersial A 35.6±0.2

Margarin komersial B    37.2±0.0

Keterangan: Data ± Standar deviasi; Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%; M75= Rasio (RPO/RPS):CNO 75:25; M77= Rasio (RPO/RPS):CNO 77.5:22.5; M82= Rasio (RPO/RPS):CNO 82.5:17.5.

Margarin komersial A dan margarin komersial B merupakan margarin yang dibuat secara hidrogenasi. Nilai SMP margarin komersial A cenderung lebih rendah dari margarin komersial B, hal ini terkait dengan kegunaan dari margarin komersial A yaitu digunakan sebagai bahan olesan pada roti, sedangkan margarin komersial B biasanya digunakan untuk menumis. Nilai SMP hasil interesterifikasi cenderung lebih rendah dari nilai SMP margarin komersial A dan margarin komersial B, hal ini berarti produk yang dihasilkan cenderung lebih lunak.

Standar spreads yang digunakan pada penelitian ini adalah standar margarin komersial yang digunakan oleh Fattahi-far et al. (2006). Fattahi- far et al. (2006) melakukan interesterifikasi antara minyak biji teh yang tidak dihidrogenasi (nonhydrogenated tea seed oil) dengan biji teh yang dihidrogenasi (hydrogenated tea seed oil) untuk memproduksi margarin.

38 Fattahi-far et al. (2006) melaporkan produk hasil interesterifikasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku spreads. Dari ketiga sampel hasil interesterifikasi, nilai SMP sampel M82 paling mendekati nilai SMP margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006) yaitu 32.5 .

Nilai SMP hasil penelitian Hasrini (2008) dapat dilihat pada Tabel 22. Dari tabel tersebut terlihat nilai SMP sesudah interesterifikasi enzimatik dari hasil penelitian Hasrini (2008) lebih tinggi dari SMP sesudah interesterifikasi enzimatik dari hasil penelitian tahap ini. Perbedaan ini diduga karena perbedaan nilai SMP awal sebelum interesterifikasi enzimatik sehingga dihasilkan nilai SMP yang berbeda sesudah interesterifikasi enzimatik.

Tabel 22. Nilai SMP sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik hasil penelitian Hasrini (2008) Sampel SMP ( oC) Sebelum IE Sesudah IE M75 31.15±0.23 32.63±0.15 M77 33.34±0.78 33.60±0.94 M82 36.19±0.28 34.86±0.74

Keterangan: Data ± Standar deviasi; M75= Rasio (RPO/RPS):CNO 75:25; M77= Rasio (RPO/RPS):CNO 77.5:22.5; M82= Rasio (RPO/RPS):CNO 82.5:17.5. Menurut Nusantoro (2009), solid fat content (SFC) dari campuran lemak merupakan faktor utama yang menentukan tekstur lemak. Penentuan SFC pada penelitian ini menggunakan metode IUPAC, penentuan SFC merupakan salah satu prosedur analisis yang penting dalam industri minyak, lemak, dan produk turunannya. Berdasarkan Goh dan Ker (1991) terdapat metode lain untuk menentukan SFC yaitu metode AOCS, yang hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan metode IUPAC.

Gambar 6 memperlihatkan profil SFC sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik yang dibandingkan dengan profil SFC margarin komersial A, margarin komersial B, margarin komersial target (Fattahi-far

et al., 2006), margarin ritel (Pandiangan, 2008), dan margarin industri (Pandiangan, 2008).

39 Berdasarkan Gambar 6 terlihat terjadi perubahan nilai SFC sesudah interesterifikasi enzimatik. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan komposisi trigliserida dan interaksinya. Costales-rodriguez et al. (2008) juga melaporkan bahwa reaksi interesterifikasi dapat mengubah perilaku pelelehan campuran lemak akibat perubahan komposisi trigliserida. Sesudah interesterifikasi enzimatik, sampel M82 mempunyai nilai SFC tertinggi dan sampel M75 mempunyai nilai SFC terendah. Nilai SFC yang tinggi pada sampel M82 karena sampel tersebut mempunyai kandungan asam lemak jenuh berantai panjang paling tinggi diantara ketiga sampel tersebut. Menurut Winarno (1992), asam lemak jenuh mempunyai titik leleh lebih tinggi dari asam lemak tidak jenuh dan titik leleh asam lemak semakin tinggi dengan semakin panjang rantai asam lemak.

SFC sampel M75, M77, dan M82 cenderung mendekati SFC margarin komersial A dan mempunyai SFC lebih rendah dari margarin komersial B, margarin ritel (Pandiangan, 2008), dan margarin industri (Pandiangan, 2008). Hal ini berarti hasil interesterifikasi tersebut lebih cocok digunakan sebagai bahan olesan. Secara umum, profil SFC sampel M82 tidak terlalu berbeda dengan profil SFC margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006) dan masih dalam kisaran SFC yang spreadable di suhu ruang (25 ). Menurut Adhikari et al. (2010), spreadabilitas yang baik pada suhu 25 adalah ketika jumlah padatan lemak sekitar 15-35%.

Sampel M82 dipilih sebagai formula terpilih untuk digunakan pada penelitian tahap ketiga karena sampel tersebut mempunyai nilai retensi dan total karoten tertinggi, nilai SMP paling mendekati SMP margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006), dan nilai SFC sampel tersebut masih dalam kisaran nilai SFC yang spreadable di suhu ruang.

Gambar 7 memperlihatkan profil SFC hasil penelitian Hasrini (2008). Dari gambar tersebut terlihat nilai SFC menurun sesudah interesterifikasi enzimatik kecuali pada suhu 20 . Nilai SFC hasil penelitian Hasrini (2008) lebih tinggi dari hasil penelitian tahap ini. Hal ini diduga karena perbedaan bahan baku yang digunakan. Hasrini menggunakan NRPO (neutralized red palm oil) sebagai bahan baku, sedangkan bahan baku

40 yang digunakan pada penelitian ini adalah NDRPO (neutralized deodorized red palm oil). Kondisi bahan baku memengaruhi reaksi interesterifikasi enzimatik karena kondisi bahan baku menentukan aktivitas dari enzim dan jenis reaksi yang terjadi.

41

Keterangan: M75= Rasio (RPO/RPS):CNO 75:25; M77= Rasio (RPO/RPS):CNO 77.5:22.5; M82= Rasio (RPO/RPS):CNO 82.5:17.5.

Gambar 6. Profil SFC sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik (IE) yang dibandingkan dengan SFC margarin komersial A, margarin komersial B, margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006), margarin ritel (Pandiangan, 2008), dan margarin industri (Pandiangan, 2008). 0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50 SF C   (% ) suhu (°C) SFC sampel M75 sebelum IE sesudah IE

margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006) margarin komersial A margarin komersial B margarin ritel (Pandiangan, 2008) margarin industri (Pandiangan, 2008) 0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50 SF C   (%) suhu (°C) SFC sampel M77 sebelum IE sesudah IE

margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006) margarin komersial A margarin komersial B margarin ritel (Pandiangan, 2008) margarin industri (Pandiangan, 2008) 0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50 SFC   (%) suhu (°C) SFC sampel M82 sebelum IE sesudah IE

margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006) margarin komersial A margarin komersial B margarin ritel (Pandiangan, 2008) margarin industri (Pandiangan, 2008)

42

Keterangan: M75= Rasio (RPO/RPS):CNO 75:25; M77= Rasio (RPO/RPS):CNO 77.5:22.5; M82= Rasio (RPO/RPS):CNO 82.5:17.5.

Gambar 7. Profil SFC sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik (IE) hasil penelitian Hasrini (2008)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 10 20 30 40 50 SF C   (%) suhu ( ) SFC sampel M77 sebelum IE sesudah IE 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 10 20 30 40 50 SF C   (%) suhu ( ) SFC sampel M82 sebelum IE sesudah IE 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 10 20 30 40 50 SFC   (%) suhu ( ) SFC sampel M75 sebelum IE sesudah IE

43

C. Penelitian Tahap Ketiga: Pengaruh Kecepatan Agitasi dan Lama Reaksi terhadap Karakteristik Produk Bahan Baku Spreads Hasil Interesterifikasi Enzimatik Minyak Sawit Merah.

Formula terpilih dari penelitian tahap kedua yaitu campuran antara RPO/RPS dan CNO dengan rasio 82.5:17.5 digunakan pada penelitian tahap ketiga. Penelitian tahap ketiga bertujuan untuk melihat pengaruh kecepatan agitasi dan lama reaksi terhadap karakteristik produk hasil interesterifikasi enzimatik. Interesterifikasi enzimatik pada penelitian tahap ketiga dilakukan dengan menggunakan enzim Novozyme 435 yang merupakan enzim lipase non-spesifik. Karakteristik yang dianalisis pada penelitian tahap ini adalah total karoten, slip melting point, solid fat content, kadar air, dan asam lemak bebas. Hasil analisis terhadap karakteristik tersebut terdapat pada Lampiran 6.

1. Total Karoten

Analisis total karoten pada penelitian ini dilakukan pada panjang gelombang 446 nm. Hal ini karena karoten mempunyai kisaran warna kuning sampai merah. Menurut Fennema (1996), panjang gelombang maksimum karoten berkisar antara 430-480 nm. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa total karoten sampel berbeda nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada lama reaksi 0 sampai 24 jam, total karoten perlakuan kecepatan agitasi 100 rpm berbeda nyata dengan perlakuan kecepatan agitasi200 rpm kecuali pada lama reaksi 24 jam. Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa pada perlakuan kecepatan agitasi 100 rpm, total karoten produk berbeda nyata pada lama reaksi 0 sampai 24 jam kecuali pada lama reaksi 1 sampai 2 jam. Pada perlakuan kecepatan agitasi 200 rpm, total karoten produk berbeda nyata pada lama reaksi 0 sampai 24 jam (Lampiran 7).

Total karoten sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik diperlihatkan pada Tabel 23. Berdasarkan tabel tersebut terlihat total karoten pada perlakuan kecepatan agitasi 200 rpm lebih rendah dari total karoten perlakuan kecepatan agitasi 100 rpm. Hal ini diduga karena

44 kecepatan agitasi yang tinggi menyebabkan distribusi panas yang lebih merata sehingga reaksi oksidasi terhadap karoten lebih besar. Panas berperan dalam meningkatkan laju reaksi oksidasi (Gordon 2004). Menurut Fennema (1996) faktor-faktor yang memengaruhi oksidasi lemak juga mampu meningkatkan degradasi vitamin A (karoten).

Tabel 23. Total karoten rata-rata sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik (IE) Perlakuan Kode sampel Total karoten (ppm) Retensi (%) Kecepatan agitasi(rpm) Lama reaksi (jam) 100 0 A0 215.85±1.65j 100.00 1 A1 210.05±1.24i 97.32 2 A2 207.37±1.40hi 96.07 4 A4 195.74±1.21f 90.68 8 A8 182.71±1.01d 84.65 16 A16 168.04±0.82c 77.85 24 A24 152.20±1.28a 70.51 200 0 B0 210.62±2.05i 100.00 1 B1 205.96±1.11h 97.79 2 B2 201.29±0.96g 95.57 4 B4 188.83±3.70e 89.65 8 B8 170.54±3.08c 80.97 16 B16 160.29±0.72b 76.10 24 B24 149.62±0.75a 71.04

Keterangan: Data ± Standar Deviasi; Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%; A0 dan B0= Sebelum IE; A1, A2, A4, A8, A16, A24, B1, B2, B4, B8, B16, dan B24= Sesudah IE.

Berdasarkan Tabel 23 terlihat total karoten semakin rendah dengan semakin lama reaksi. Hal ini diduga disebabkan reaksi oksidasi yang semakin tinggi dengan semakin lama reaksi. Menurut Rianto (1995), suhu dan lama pemanasan sangat berpengaruh terhadap penurunan total karoten dan β-karoten. Semakin lama pemanasan, penurunan total karoten semakin besar dan semakin tinggi suhu pemanasan, penurunan total karoten juga semakin besar. Karoten menurun drastis pada suhu sekitar 180-210   (Petterson, 1983).

45 Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk menyerap dan mengubah karoten menjadi vitamin A. Karoten yang terserap oleh tubuh tidak semuanya diubah menjadi vitamin A. FAO-WHO telah mengadakan perhitungan bahwa separuh dari karoten yang terserap diubah menjadi vitamin A, jadi kira-kira hanya 1/6 dari total kandungan karoten dalam bahan pangan yang akhirnya dimanfaatkan tubuh (Winarno, 1992). Satuan takaran vitamin A yang digunakan adalah international unit (IU) atau satuan internasional. Menurut Winarno (1992), telah banyak disarankan agar satuan takaran itu diganti dengan retinol equivalent (RE), karena satuan ini lebih tepat serta dapat memberikan gambaran keadaan sesungguhnya, termasuk masalah pertimbangan penyerapan serta derajat konversinya menjadi vitamin A.

1 RE= 1 µg retinol (3.33 IU) 1 RE= 6 µg -karoten (10 IU) 1 RE= 12 µg karotenoid (10 IU)

Angka kecukupan gizi (AKG) merupakan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis, seperti kehamilan dan menyusui. Secara umum AKG untuk vitamin A sebesar 600 RE (BPOM, 2007). Sampel perlakuan kecepatan agitasi 100 rpm dengan lama reaksi 1 jam memiliki total karoten 210.05 ppm, Jika diasumsikan bahan baku spreads hasil interesterifikasi enzimatik yang digunakan untuk memproduksi spreads sebanyak 80% dari total berat

spreads dan jumlah berat per takaran saji 10 g, maka sampel perlakuan kecepatan agitasi 100 rpm dengan lama reaksi 1 jam mengandung 280.07 RE pertakaran saji (210.05 µg/g x 80% x 10 g : 6 µg -karoten/RE = 280.07 RE). Hal ini berarti sampel tersebut dapat memenuhi 46.08% AKG (208.07 RE : 600 RE = 46.08%). Jumlah AKG yang dapat dipenuhi oleh sampel sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik pertakaran saji dapat dilihat pada Tabel 24.

46

Tabel 24. Nilai AKG sampel sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik (IE) Perlakuan Kode Sampel Total karoten (ppm) AKG (%) Kecepatan agitasi(rpm) Lama reaksi (jam) 100 0 A0 215.85 47.97 1 A1 210.05 46.68 2 A2 207.37 46.08 4 A4 195.74 43.50 8 A8 182.71 40.60 16 A16 168.04 37.34 24 A24 152.20 33.82 200 0 B0 210.62 46.80 1 B1 205.96 45.77 2 B2 201.29 44.73 4 B4 188.83 41.96 8 B8 170.54 37.90 16 B16 160.29 35.62 24 B24 149.62 33.25

Keterangan: A0 dan B0= Sebelum IE; A1, A2, A4, A8, A16, A24, B1, B2, B4, B8, B16, dan B24= Sesudah IE.

Berdasarkan Tabel 24 terlihat semua sampel dapat diklaim mengandung -karoten yang tinggi karena dapat memenuhi lebih dari 20% AKG vitamin A per takaran saji. Suatu pangan dapat diklaim mengandung -karoten tinggi apabila dapat memenuhi 20% AKG vitamin A per takaran saji (FDA, 2009).

2. Slip Melting Point dan Solid Fat Content

Slip melting point (SMP) merupakan salah satu karakteristik minyak/lemak yang mencerminkan sifat pelelehan. Titik leleh yang tajam di bawah suhu tubuh berkontribusi pada efek cooling dalam mulut (Wainwrigh, 1999). Hasil ANOVA menunjukkan bahwa SMP sampel berbeda nyata. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada perlakuan kecepatan agitasi 100 rpm, nilai SMP produk berbeda nyata pada lama reaksi 0 sampai 24 jam kecuali pada lama reaksi 2 sampai 4 jam dan 8 sampai 24 jam. Pada perlakuan kecepatan agitasi 200 rpm, nilai SMP

47 produk berbeda nyata pada lama reaksi 0 sampai 24 jam kecuali pada lama reaksi 2 sampai 4 jam (Lampiran 8).

Tabel 25 memperlihatkan nilai SMP rata-rata sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik. Berdasarkan tabel tersebut terlihat nilai SMP sesudah interesterifikasi lebih rendah dari sebelum interesterifikasi. Hal ini diduga disebabkan menurunnya jumlah trigliserida yang mempunyai titik leleh tinggi dan terbentuk trigliserida baru yang titik lelehnya lebih rendah. Menurut Karabulut et al. (2004), SMP yang rendah disebabkan oleh rendahnya jumlah trigliserida bertitik leleh tinggi. Penurunan nilai SMP diperlukan untuk menghilangkan tekstur seperti lilin (waxy flavor) ketika dikonsumsi (Criado et al., 2007b).

Tabel 25. SMP rata-rata sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik (IE)

Perlakuan Kode

sampel SMP ( ) Kecepatan agitasi(rpm) Lama reaksi (jam)

100 0 A0 36.5±0.4g 1 A1 30.1±0.2a 2 A2 31.0±0.0bc 4 A4 31.5±0.0cd 8 A8 34.5±0.7ef 16 A16 34.5±0.4ef 24 A24 35.0±0.4f 200 0 B0 36.5±0.4g 1 B1 30.6±0.5ab 2 B2 32.0±0.0d 4 B4 32.2±0.7d 8 B8 34.0±0.0e 16 B16 35.9±0.2g 24 B24 35.0±0.4f

Keterangan: Data ± Standar deviasi; Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%; A0 dan B0= Sebelum IE; A1, A2, A4, A8, A16, A24, B1, B2, B4, B8, B16, dan B24= Sesudah IE.

Secara umum nilai SMP hasil interesterifikasi enzimatik semakin tinggi dengan semakin lama reaksi. Hal ini diduga karena kandungan monogliserida yang semakin besar dengan semakin lama reaksi. Menurut Gunstone dan Padley (1997), monogliserida memiliki titik leleh yang lebih

48 tinggi dibandingkan dengan bentuk trigliseridanya. Monogliserida dapat terbentuk dari reaksi hidrolisis lemak, reaksi hidrolisis lemak ditandai dengan adanya ALB, nilai ALB hasil penelitian tahap ini semakin tinggi dengan semakin lama reaksi.

Nilai SMP menentukan wujud dari suatu produk. Produk yang mempunyai nilai SMP di bawah 25 cenderung berwujud cair pada suhu ruang, begitu juga sebaliknya. Selain itu, nilai SMP juga menentukan kemudahan produk untuk meleleh di mulut. Produk yang mempunyai nilai SMP lebih tinggi dari suhu mulut (30-35 ), maka produk tersebut cenderung berwujud padat ketika dimakan, sehingga menimbulkan tekstur seperti lilin (waxy flavor) di mulut. SMP sesudah interesterifikasi berkisar antara 30.1 sampai 35.0 . Hal ini berarti produk yang dihasilkan dari interesterifikasi enzimatik tersebut cenderung berwujud cair ketika dimakan.

SMP hasil interesterifikasi enzimatik cenderung lebih rendah dari SMP margarin komersial A (35.6 ) dan margarin komersial B (37.2 ). SMP hasil interesterifikasi perlakuan kecepatan agitasi 200 rpm dengan lama reaksi 16 jam cenderung mendekati SMP margarin komersial A yaitu 35.9 , sehingga produk hasil interesterifikasi tersebut cocok sebagai bahan olesan. Nilai SMP margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006) adalah 33.5 , sampel hasil interesterifikasi yang paling mendekati nilai SMP tersebut adalah sampel perlakuan kecepatan agitasi 200 rpm dengan lama reaksi 8 jam yaitu 34.0 .

Solid fat content (SFC) berperan pada banyak karakteristik produk seperti penampilan umum, kemudahan pengemasan, sifat organoleptik, kemudahan penyebaran (spreading), dan pengeluaran minyak. SFC tidak

lebih dari 32% pada suhu 10 penting untuk spreadibilitas yang bagus pada suhu refrigerator. SFC pada suhu 20 dan 22 menentukan stabilitas produk dan ketahanan terhadap pengeluaran minyak pada suhu kamar. SFC antara 35 dan 37 menentukan kekentalan dan sifat pelepasan flavor

49 Profil SFC sebelum dan sesudah interesterifikasi enzimatik yang dibandingkan dengan profil SFC margarin komersial A, margarin komersial B, margarin komersial target (Fattahi-far et al., 2006), margarin ritel (Pandiangan, 2008), dan margarin industri (Pandiangan, 2008) dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. Dari gambar tersebut terlihat sesudah interesterifikasi terjadi perubahan nilai SFC. Perubahan SFC dari lemak atau campurannya diakibatkan oleh berubahnya komponen

Dokumen terkait