• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Histologi .1 Tebal Kulit

4.2.2 Kadar Fosfat Anorganik Lateks

Perhitungan kadar fosfat anorganik dilakukan pada 20 kali pengenceran didalam larutan asam triklorat (TCA). Konsentrasi fosfat anorganik diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Data penghitungan dan hasil sidik ragam kadar fosfat anorganik (Lampiran 22, 23) menunjukkan bahwa jenis klon dan jenis zat pengatur tumbuh yang diperlakukan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar fosfat anorganik pada tanaman muda (usia 4 tahun).

Pada masing-masing klon kandungan fosfat anorganik adalah tinggi (>10mM) (Tabel 5). Hal ini mungkin disebabkan karena pada penelitian ini tanaman yang digunakan adalah tanaman yang belum menghasilkan dan belum mengalami penyadapan. Lateks yang dihasilkan oleh tanaman muda (usia 4 tahun) berjumlah sedikit sehingga tidak terdapat substansi sukrosa yang cukup untuk dapat diubah menjadi partikel karet. Perubahan sukrosa menjadi partikel karet memerlukan kehadiran fosfat anorganik sebagai penyedia energi. Diduga terjadi akumulasi fosfat anorganik pada lateks karena tidak dimanfaatkan dalam proses perubahan sukrosa menjadi partikel karet sehingga menyebabkan fosfat anorganik terakumulasi dan kadarnya meningkat.

Meskipun kadar fosfat anorganik tergolong kedalam tingkatan yang tinggi, tetapi ditemukan penurunan kadar fosfat anorganik pada klon IRR 42 jika dibandingkan dengan kontrol perlakuan. Penurunan kadar fosfat anorganik ini

mungkin berkaitan dengan bertambahnya tebal kulit tanaman pada klon IRR 42. Diduga pemanfaatan fosfat anorganik sebagai penyedia energi dalam proses diferensiasi sel-sel pada jaringan kulit lebih tinggi pada klon IRR 42 sehingga kadar fosfat anorganik mengalami penurunan yang signifikan.

Tabel 5. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap ukuran kadar fosfat anorganik lateks pada klon karet PB 260 dan IRR 42.

Perlakuan KLON Rataan

PB 260 IRR 42

Kontrol 50,00 56,70 53,35a

JA 55,87 31,43 43,65a

NAA 55,17 39,67 47,42a

JA+NAA 51,40 37,87 44,63a

Rataan 53,11a 41,42a 47,26

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan's Multiple Range Test pada

taraf α 5%

Karakter fisiologi lateks seperti kadar sukrosa, fosfat anorganik, magnesium, tiol, pH dan potensial redoks merupakan hal yang penting dalam biosintesis karet. Fosfat anorganik dan sukrosa merupakan dua parameter fisiologi yang didiagnosa dari lateks. Stimulasi pada tanaman karet dapat mempengaruhi perubahan karakter fisiologi lateks tersebut (Sethuraj & Mathew, 1992; Sumarmadji, 2000; Silpi et al., 2006).

Korelasi diantara kedua parameter (fosfat dan sukrosa) dapat digunakan untuk menetapkan tipe metabolisme dari tanaman (Silpi et al., 2006). Kehadiran fosfat anorganik menunjukkan metabolisme energi lateks. Fosfat mempengaruhi sintesis nukleotida, transfer energi dan sintesis isopren melalui ikatan adenosin fosfat dan pirofosfat (Sethuraj & Mathew, 1992; Sumarmadji, 2000).

Pada tanaman muda (usia 3-4 tahun), kadar fosfat anorganik yang sangat rendah berkisar antara 2-6 mM merupakan suatu tanda peringatan bahwa tanaman sedang mengalami kelelahan dalam menyediakan energi untuk metabolisme. Suplai fosfat anorganik kurang mencukupi untuk membantu sel-sel pembuluh lateks dalam mengubah sukrosa menjadi partikel karet (Rachmawan & Sumarmadji, 2007).

Pada tanaman yang telah disadap, kisaran optimal kadar fosfat anorganik lateks adalah 10-20 mM. Semakin rendah kadar fosfat anorganik dari kisaran

optimal tersebut berarti kemampuan tanaman dalam melakukan metabolisme juga semakin berkurang. Sebaliknya, semakin tinggi kadar fosfat anorganik dari kisaran optimalnya, mengindikasikan bahwa tanaman mengalami over eksploitasi atau mengindikasikan tanaman terserang penyakit (d’ Auzac et al., 1989).

Fosfat anorganik memiliki muatan negatif yang membantu menstabilkan partikel karet sehingga memperlambat koagulasi lateks dan memperlama waktu aliran lateks. Tanaman dengan kadar fosfat yang tinggi mendukung berlangsungnya proses metabolisme yang aktif dalam sitosol sel latisifer terutama biosintesis lateks (Kurnia, 2011; Sumarmadji, 2000).

4.2.3 Produksi Karet/Sadap/Tunas lateral

Analisis produksi karet dilakukan dengan cara menampung tetesan lateks pada kertas saring dan melakukan pemanasan lateks didalam oven hingga diperoleh berat karet kering. Dari data penghitungan dan hasil sidik ragam kadar sukrosa (Lampiran 25, 26) menunjukkan bahwa jenis klon yang diperlakukan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produksi karet pada tanaman muda (usia 4 tahun).

Diketahui bahwa faktor perlakuan jenis klon berbeda nyata terhadap produksi karet, sedangkan pengaruh faktor perlakuan jenis zat pengatur tumbuh tidak berbeda nyata terhadap produksi karet (Tabel 6). Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan tingkat metabolisme tanaman dalam merubah sukrosa menjadi partikel karet dengan suplai energi yang berasal dari fosfat. Beberapa parameter histologi seperti jumlah dan diameter latisifer juga diduga memberikan kontribusi terhadap produksi karet yang dihasilkan oleh klon PB 260 dan IRR 42.

Tabel 6. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap produksi karet/sadap/tunas lateral pada klon karet PB 260 dan IRR 42.

Perlakuan KLON Rataan

PB 260 IRR 42 Kontrol 60,81 44,36 52,59a JA 56,73 43,22 49,97a NAA 61,05 41,09 51,07a JA+NAA 62,64 42,81 52,73a Rataan 60,31a 42,87b 51,59

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan's Multiple Range Test pada taraf α 5%

Hasil karet kering/pohon/sadap suatu klon karet bergantung pada ukuran lilit batang. Pada klon yang sama produksi akan lebih besar pada tanaman dengan lilit batang yang besar (Oktavia & Lasminingsih, 2010). Tetapi dari hasil penelitian ini didapati bahwa tebal kulit tidak memiliki korelasi yang positif terhadap produksi karet. Klon IRR 42 yang memiliki kulit yang lebih tebal memiliki produksi karet yang lebih rendan dibandingkan dengan klon PB 260 yang memiliki kulit lebih tipis.

Lateks umumnya mengandung 25-40% bahan karet mentah yang mengandung senyawa kimia kompleks antara lain karet hidrokarbon, protein, lipid, karbohidrat, garam anorganik dan lain lain. Kandungannya bergantung pada jenis tanaman dan cara penyadapan. Pada tanaman yang belum disadap kandungan karet pada tanaman mampu mencapai 60% atau lebih (Sethuraj & Mathew, 1992; Fachry et al., 2012). Tingkat aliran lateks dan perubahan dari tekanan turgor memiliki hubungan langsung terhadap aspek anatomi pada sistem latisifer (Priyadarshan, 2011).

Tingginya nilai koefesien keragaman produksi karet kering pada tanaman disebabkan banyaknya faktor produksi yang mempengaruhi seperti genetik, lilit batang, tebal kulit, jumlah latisifer, diameter latisifer dan lingkungan yang masing-masing komponennya juga memiliki keragaman (Akbar et al., 2013).

Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa, klon PB 260 yang memiliki tebal kulit lebih kecil memiliki produksi lateks yang lebih tinggi. Produksi lateks yang tinggi tidak ditunjukkan dari seberapa besar ukuran lilit batang dan tebal kulit. Produksi lateks mungkin dipengaruhi oleh tingkat metabolisme yang terjadi pada masing-masing tanaman. Menurut Sethuraj & Mathew (1992), metabolisme mengambil peranan penting dalam bidang produksi melalui pembentukan lateks didalam jaringan latisifer. Kandungan sukrosa yang tinggi mengindikasikan adanya ketersediaan prekursor karet yang banyak didalam latisifer dan diikuti dengan metabolisme yang aktif.

Menurut Rachmawan & Sumarmadji (2007), kadar karet kering diukur sebagai TSC (Total Solid Content) melalui perbandingan persen berat kering dan

bobot basah tetesan lateks. Fluktuasi kadar karet kering tidak hanya dipengaruhi oleh faktor umur tanaman tetapi juga dipengaruhi oleh respon tanaman terhadap penyadapan. Tanaman yang telah disadap cenderung memiliki nilai kadar karet kering yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang baru saja disadap. Peningkatan kadar karet kering menunjukkan adanya semacam adaptasi tanaman terhadap produksi lateks in situ karena perlakuan dari luar seperti penyadapan.

BAB 5

Dokumen terkait