• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Histologi Dan Fisiologi Latisifer Pada Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Histologi Dan Fisiologi Latisifer Pada Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis)"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HISTOLOGI DAN FISIOLOGI LATISIFER PADA

TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis)

HASIL PENELITIAN

VAHNONI LUBIS 100805040

Usulan penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana Sains Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara Medan

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS HISTOLOGI DAN FISIOLOGI LATISIFER PADA

TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis)

HASIL PENELITIAN

VAHNONI LUBIS 100805040

Usulan penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana Sains Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara Medan

Disetujui oleh:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan

ridho dan syafa’at-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian

ini.

Proposal penelitian yang berjudul Analisis Histologi dan Fisiologi

Latisifer Pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) dibuat sebagai salah satu

syarat untuk meraih gelar sarjana Biologi Fakultas Matematikan dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universtas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada ibu

Dr. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan bapak Dr. Radite

Tistama, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan

bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyusunan proposal penelitian ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan proposal

penelitian ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan proposal penelitian

ini.

Medan, Mei 2014

(5)

ANALISIS HOSTOLOGI DAN FISIOLOGI LATISIFER PADA

TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis)

ABSTRAK

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan sumber penghasil karet alam yang

ikut berkontribusi dalam peningkatan devisa negara. Berdasarkan peran ini,

berbagai proses peningkatan kualitas produksi dilakukan baik dalam skala

pertanian maupun dalam skala biologi. Penelitian tentang analisis histologi dan

fisiologi latisifer pada tanaman karet (Hevea brasiliensis) telah dilakukan di Balai

Penelitian Sungei Putih dengan menggunakan rancangan Nested Split Plot. Zat

pengatur tumbuh JA, NAA dan kombinasinya telah diaplikasikan kepada klon PB

260 dan IRR 42 untuk peningkatan parameter histologi dan fisiologi yang

dianggap penting dalam hal peningkatan produksi karet. Parameter histologi

meliputi tebal kulit, jumlah latisifer dan diameter latisifer. Sedangkan parameter

fisiologi meliputi kadar fosfat anorganik, kadar sukrosa dan produksi

karet/sadap/tunas lateral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis klon

berpengaruh nyata terhadap tebal kulit dan produksi karet/sadap/tunas lateral

setalah diberi perlakuan zat pengatur tumbuh JA, NAA dan kombinasinya.

Sedangkan zat pengatur tumbuh berpengaruh terhadap keseluruhan parameter

histologi dan fisiologi meskipun tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Kata kunci: JA, NAA, latisifer, kadar fosfat anorganik, kadar sukrosa, produksi

(6)

HISTOLOGICAL AND PHYSIOLOGICAL ANALYSYS OF LATICIFER

IN RUBBER TREE (Hevea brasiliensis)

ABSTRACT

Rubber tree (Hevea brasiliensis) is the source of natural rubber which contributed

a great deal in terms of the increase in Indonesia foreign exchange. Based on this

contribution, many effort have been done to increasing the quality of production

in agricultural or biological aspects. Study of histology and physiology analisys in

rubber tree (Hevea brasiliensis) has been conducted. The plant growth regulator

JA, NAA and their combination applied in two kinds of Hevea clones, there are

PB 260 and IRR 42 to induce the histological and physiological pharameters

which important to increase rubber production. The histological pharameters are

the thickness of bark, amount of laticifers and diameter of laticifers and the

physiological parameters are inorganic phosphate level, sucrose level and the total

of rubber product in one tapping. The result showed the type of the clones have a

significant response in bark thickness and the rubber production/tapping/lateral

buds and the plant growth regulators affects of all histogycal and physiological

pharameters although the differences were not significant.

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR Vii

DAFTAR LAMPIRAN Viii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat 3

1.5 Hipotesis 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) 5

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 13

(8)

3.4.2 Analisis Fisiologi 15 3.4.2.1 Analisis Kandungan Fosfat Anorganik 15 3.4.2.2 Pembuatan Kurva Standar Fosfat Anorganik 16 3.4.2.3 Perhitungan Konsentrasi Fosfat Anorganik 16

3.4.2.4 Analisis Kandungan Sukrosa 16

3.4.2.5 Pembuatan Kurva Standar Sukrosa 16

3.4.2.6 Perhitungan Konsentrasi Sukrosa 17

3.4.2.7 Pengukuran Kandungan Total Solid Content Lateks 17 3.4.2.8 Perhitungan Kandungan Total Solid Content Lateks 17

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Histologi

4.1.1 Tebal Kulit Tanaman 18

4.1.2 Jumlah Latisifer 20

4.1.3 Diameter Latisifer 22

4.2 Analisis Fisiologi

4.2.1 Kadar Sukrosa Lateks 24

4.2.2 Kadar Fosfat Anorganik Lateks 26

4.2.3 Produksi Karet/Sadap/Tunas Lateral 28

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 31

5.2 Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

(9)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1 Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap tebal kulit pada klon karet PB 260 dan IRR 42

19

2 Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap jumlah latisifer pada klon karet PB 260 dan IRR 42

21

3 Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap diameter latisifer pada klon karet PB 260 dan IRR 42

23

4 Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap kadar fosfat anorganik pada klon karet PB 260 dan IRR 42

24

5 Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap jumlah latisifer pada klon karet PB 260 dan IRR 42

27

6 Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya

terhadap produksi karet pada klon karet PB 260 dan IRR 42

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1 Lay out penelitian 36

2 Bagan alir penelitian 37

3 Alur kerja pemangkasan tanaman klonA 38

4 Alur kerja perlakuan tunas lateral klon 39

5 Alur kerja pembuatan preparat 40

6 Alur kerja penghitungan jumlah latisifer 41

7 Alur kerja pengukuran diameter latisifer 42

8 Alur kerja pengukuran tebal kulit 43

9 Alur kerja pengukuran kadar sukrosa lateks 44

10 Alur kerja pembuatan kurva standart sukrosa 45

11 Alur kerja pengukuran kadar fosfat anorganik lateks 46

12 Alur kerja pembuatan kurva standart fosfat anorganik 47 13 Alur kerja pengukuran produksi karet/sadap/tunas lateral 48

14 Rataan tebal kulit 49

15 Sidik ragam tebal kulit 50

16 Rataan jumlah latisifer 51

17 Sidik ragam jumlah latisifer 51

18 Rataan diameter latisifer 53

19 Sidik ragam diameter latisifer 54

20 Rataan kadar sukrosa 55

21 Sidik ragam kadar sukrosa 56

22 Rataan kadar fosfat anorganik 57

23 Sidik ragam kadar fosfat anorganik 58

24 Rataan produksi karet/sadap/tunas lateral 59

25 Sidik ragam pengukuran produksi karet/sadap/tunas lateral 60

(11)

ANALISIS HOSTOLOGI DAN FISIOLOGI LATISIFER PADA

TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis)

ABSTRAK

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan sumber penghasil karet alam yang

ikut berkontribusi dalam peningkatan devisa negara. Berdasarkan peran ini,

berbagai proses peningkatan kualitas produksi dilakukan baik dalam skala

pertanian maupun dalam skala biologi. Penelitian tentang analisis histologi dan

fisiologi latisifer pada tanaman karet (Hevea brasiliensis) telah dilakukan di Balai

Penelitian Sungei Putih dengan menggunakan rancangan Nested Split Plot. Zat

pengatur tumbuh JA, NAA dan kombinasinya telah diaplikasikan kepada klon PB

260 dan IRR 42 untuk peningkatan parameter histologi dan fisiologi yang

dianggap penting dalam hal peningkatan produksi karet. Parameter histologi

meliputi tebal kulit, jumlah latisifer dan diameter latisifer. Sedangkan parameter

fisiologi meliputi kadar fosfat anorganik, kadar sukrosa dan produksi

karet/sadap/tunas lateral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis klon

berpengaruh nyata terhadap tebal kulit dan produksi karet/sadap/tunas lateral

setalah diberi perlakuan zat pengatur tumbuh JA, NAA dan kombinasinya.

Sedangkan zat pengatur tumbuh berpengaruh terhadap keseluruhan parameter

histologi dan fisiologi meskipun tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Kata kunci: JA, NAA, latisifer, kadar fosfat anorganik, kadar sukrosa, produksi

(12)

HISTOLOGICAL AND PHYSIOLOGICAL ANALYSYS OF LATICIFER

IN RUBBER TREE (Hevea brasiliensis)

ABSTRACT

Rubber tree (Hevea brasiliensis) is the source of natural rubber which contributed

a great deal in terms of the increase in Indonesia foreign exchange. Based on this

contribution, many effort have been done to increasing the quality of production

in agricultural or biological aspects. Study of histology and physiology analisys in

rubber tree (Hevea brasiliensis) has been conducted. The plant growth regulator

JA, NAA and their combination applied in two kinds of Hevea clones, there are

PB 260 and IRR 42 to induce the histological and physiological pharameters

which important to increase rubber production. The histological pharameters are

the thickness of bark, amount of laticifers and diameter of laticifers and the

physiological parameters are inorganic phosphate level, sucrose level and the total

of rubber product in one tapping. The result showed the type of the clones have a

significant response in bark thickness and the rubber production/tapping/lateral

buds and the plant growth regulators affects of all histogycal and physiological

pharameters although the differences were not significant.

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Latisifer merupakan sel khusus yang terdapat pada lebih dari 20 kelompok

tanaman angiospermae. Pembentukan latisifer bergantung pada indikator

morfologi dari masing-masing spesies (Hagel et al., 2008). Berdasarkan

morfologinya, latisifer dikategorikan kedalam 2 tipe yaitu articulated dan

non-articulated. Kehadiran kedua tipe latisifer ini ditemukan pada Hevea brasiliensis.

Latisifer pada H. brasiliensis ditemukan pada kotiledon, daun, bunga buah, akar,

batang dan floem sekunder pada kulit (Sando et al., 2009).

Sebagian besar latisifer juga dibedakan berdasarkan karakter anatomi dan

perbedaan kandungan sitoplasma latisifer yang diketahui sebagai lateks.

Komponen yang dihasilkan latisifer (lateks) berupa senyawa bioaktif yang pada

dasarnya berperan sebagai toksin yang memberikan efek sitotoksik terhadap

musuhnya musuhnya (Hagel et al., 2008).

Lateks mengandung sekitar 25-40% bahan karet mentah (Fachry et. al.,

2011). Bahan karet inilah yang diolah dan dimanfaatkan untuk menghasilkan

produk untuk kebutuhan manusia dan menjadikan karet sebagai salah satu

komoditas penting baik di Amerika maupun negara lainnya (Onokpise & Louime,

2012). Menurut Anwar dalam Nasarudin & Maulana (2009), di Indonesia

pendapatan devisa dari komoditi karet pada tahun 2004 mencapai US$ 2.25

milyar yang bernilai setara dengan 5% dari pendapatan negara. Kebutuhan inilah

yang mendorong dilakukannya usaha-usaha peningkatan produksi lateks pada

tanaman penghasil lateks khususnya Hevea brasiliensis.

Selama ini telah banyak usaha yang dilakukan untuk meningkatkan

produksi lateks dari tanaman karet. Peningkatan produksi lateks pada tanaman

karet tersebut dilaksanakan melalui berbagai usaha antara lain teknik budidaya

yang baik seperti menanam klon unggul, pemupukan dengan dosis tepat dan

(14)

penelitian peningkatan produksi lateks tersebut dilakukan dalam aspek pertanian

dan perkebunan saja, namun aspek biologinya belum banyak diteliti.

Teknik perakitan klon-klon unggul pada tanaman karet, ketebalan kulit,

jumlah latisifer dan diameter latisifer merupakan faktor yang penting diamati

karena lateks dihasilkan oleh latisifer yang didapati dalam jumlah tinggi pada

bagian kulit disamping faktor genetik dan faktor lingkungan yang juga

mempengaruhinya (Woelan & Sayurandi, 2009; Aidi & Daslin, 2006).

Aplikasi stimulan pada tanaman karet, tidak semua memberikan respon

yang diharapkan. Hal ini tergantung pada setiap klon karet (Nasaruddin &

Maulana, 2009). Klon karet yang berbeda kemungkinan memberikan respon yang

berbeda terhadap stimulan yang diperlakukan.

Stimulasi lateks umumnya dilaksanakan pada tanaman karet yang telah

dewasa. Tujuannya untuk mendapatkan kenaikan hasil lateks sehingga diperoleh

tambahan keuntungan bagi pengusaha perkebunan karet. Pemberian stimulan

tanpa menurunkan intensitas sadapan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan

tanaman, terutama tanaman yang masih muda. Oleh karena itu tanaman karet

hanya bisa dipacu produksinya dengan stimulan jika telah berumur 10 tahun atau

15 tahun. Pemberian stimulan berfungsi memperpanjang masa pengaliran lateks

sehingga produksi yang diperoleh pada penyadapan lebih tinggi apalagi jika

didukung dengan dosis yang tepat (Nasaruddin & Maulana, 2009).

Zat pengatur tumbuh mempunyai peranan dalam pertumbuhan dan

perkembangan bagi tumbuhan (Abidin, 1983). Penelitian tentang asam jasmonat

(JA) dalam mempengaruhi diferensiasi latisifer telah dilakukan pada klon tertentu

yang berasal dari kebun percobaan di Kepulauan Hainan, Cina. Perlakuan

diberikan pada tanaman yang telah menghasilkan 2-4 unit pemanjangan, tepatnya

pada bagian pucuk teratas dari setiap unit pemanjangan klon karet yang digunakan

(Hao & Wu, 2000). Disisi lain auksin merupakan salah satu hormon tumbuh yang

tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman. NAA

ditemukan mampu menginduksi penebalan kulit pada tanaman karet (Abidin,

1983; Koryati, 2004).

Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan JA dan NAA untuk menguji

(15)

latisifer pada beberapa klon karet yang berasal dari kebun percobaan Balai

Penelitian Karet Sungei Putih.

1.2.Rumusan Permasalahan

a. Bagaimana pengaruh jenis klon terhadap kondisi histologi dan fisiologi latisifer

pada tanaman karet.

b. Bagaimana pengaruh jenis zat pengatur tumbuh terhadap terhadap kondisi

histologi dan fisiologi latisifer pada tanaman karet.

c. Bagaimana interaksi klon dan zat pengatur tumbuh terhadap terhadap kondisi

histologi dan fisiologi latisifer pada tanaman karet.

1.3.Tujuan Penelitian

a. Mengetahui pengaruh jenis klon terhadap kondisi histologis dan fisologis

tanaman karet.

b. Mengetahui pengaruh jenis zat pengatur tumbuh terhadap kondisi histologis

dan fisologis tanaman karet.

c. Mengetahui pengaruh interaksi antara klon dan zat pengatur tumbuh terhadap

kondisi histologis dan fisologis tanaman karet.

1.4.Hipotesis

a. Terdapat pengaruh jenis klon terhadap kondisi histologis dan fisologis tanaman

karet.

b. Terdapat pengaruh jenis zat pengatur tumbuh terhadap kondisi histologis dan

fisologis tanaman karet.

c. Terdapat interaksi klon dan zat pengatur tumbuh terhadap kondisi histologis

dan fisologis tanaman karet.

1.5. Manfaat

Keberadaan latisifer merupakan salah satu faktor penting yang

mempengaruhi produksi lateks dari kelompok Hevea. JA yang selama ini

digunakan sebagai komponen pembasmi patogen dan gangguan serangga pada

(16)

2000). Sampai sekarang ini, belum banyak ditemukan substansi tumbuh yang

mampu menginduksi diferensiasi latisifer pada tanaman karet. Oleh karena itu,

kombinasi JA dan NAA sebagai agen diferensiasi ini diharapkan dapat

memberikan informasi bagi petani karet untuk dapat meningkatkan produksi dan

menjadi teknologi terbarukan dalam hal peningkatkan produksi lateks pada

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)

2.1.1. Biologi Karet

Tanaman karet berasal dari bahasa latin Hevea yang berasal dari Negara Brazil.

Karet merupakan kebutuhan vital bagi kehidupan manusia sehari-hari, hal ini

terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang

terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt, sabuk transmisi, dock

fender, sepatu dan sandal karet. Karet merupakan salah satu komoditas pertanian

di Indonesia. Komoditas ini relatif lebih lama di budidayakan daripada komoditas

perkebunan lainnya. Tanaman ini di introduksi pada tahun 1864 (Nasaruddin &

Maulana, 2009).

Pada awal abad ke 19 dalam berbagai eksplorasi yang dilakukan oleh

orang Eropa, ditemukan pula tumbuhan-tumbuhan lain yang menghasilkan getah

selain Hevea brasiliensis Muell Arg.. Tumbuhan tersebut antara lain adalah Ficus

elastic Roxb, Funtumina elastic Stapf, Willughbeia sp., Palaquiun gutta BurckI,

Parthenium agenatum Gray, Saladigo sp., dan Manihot glazziovii (Setyamidjaja,

1986).

2.1.2. Morfologi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)

2.1.2.1 Bunga, Buah dan Biji

Taksa kehidupan hewan maupun tumbuhan ditempatkan berdasarkan banyaknya

jumlah kekerabatan yang dipelajari untuk menggali potensi yang lebih baik lagi.

Termasuk tanaman karet yang juga mengalami aturan seperti itu (Obouayeba et

al, 2012).

Tanaman karet adalah tanaman berumah satu (monoecious). Pada satu

tangkai bunga yang berbentuk bunga majemuk, terdapat bunga betina dan bunga

jantan. Pembungaan pada tanaman karet dimulai setelah selesai masa gugur daun

(18)

yang terdapat dalam malai payung tambahan yang jarang. Pangkal tenda bunga

berbentuk lonceng. Pada ujungnya terdapat lima tajuk yang sempit. Panjang tenda

bunga berkisar 4-8 mm. Bunga betina berambut vilt dan memiliki ukuran yang

lebih besar dibandingkan bunga jantan. Bunga betina mengandung bakal buah

yang beruang tiga. Bunga jantan memiliki 10 benang sari yang tersusun menjadi

satu tiang (Tim Penulis PS, 2011). Walaupun demikian penyerbukan dapat terjadi

secara sendiri maupun secara silang (Setyamidjaja, 1986).

Buah karet memiliki pembagian ruang yang jelas. Masing-masing ruang

membentuk setengah bola. Jumlah ruang biasanya tiga, kadang-kadang sampai

enam ruang. Garis tengah buah 3-5cm. Bila buah sudah masak, maka akan pecah

dengan sendirinya. Pemecahan terjadi dengan kuat menurut ruang-ruangnya (Tim

Penulis PS, 2011). Setiap pecahan akan tumbuh menjadi individu baru jika jatuh

ketempat yang tepat (Setiawan & Andoko, 2007).

Proses pemasakan buah berlangsung selama 5½-6 bulan. Musim panen

biji berlangsung pendek. Hanya sekitar 1½ bulan. Sedangkan daya kecambah bij

sangat cepat berkurang, terutama bila penanganannya kurang baik. Berdasarkan

proses pembuahannya, dikenal tiga golongan biji pada karet yaitu biji legitim,

prope legitim dan ilegitim (Setyamidjaja, 1986).

2.1.2.2 Akar, Batang dan Daun

Karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi

pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan

memiliki percabangan yang tinggi. Dibeberapa kebun karet terdapat kecondongan

arah tumbuh tanamanya agak miring ke arah utara (Nugroho, 2010). Dibatang

inilah terkandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Setiawan & Andoko,

2007).

Sebagai tanaman berbiji belah akar pohon karet berupa akar tunggang

yang mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi keatas. Dengan akar

yang seperti itu pohon karet bisa berdiri kokoh meskipun tingginya mencapai 25

meter (Setiawan & Andoko, 2007).

Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi

(19)

utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai utama 3-20 cm, sedangkan panjang

tangkai anak daun antara 3-10 cm. Anak daun berbentuk memanjang elips,

memanjang dengan ujung runcing (Nugroho, 2010).

Dalam pertumbuhan karet diketahui bahwa menjelang berakhirnya musim

hujan, pohon karet mulai menggugurkan daunnya (Setyamidjaja, 1986). Daun

karet ini berwarna hijau dan menjadi kuning atau merah menjelang rontok. Seperti

kebanyakan tanaman tropis, daun-daun karet akan rontok pada puncak musim

kemarau untuk mengurangi penguapan (Setiawan & Andoko, 2007), tetapi masa

gugur daun pada tanaman tidak terjadi dalam waktu yang bersamaan. Masa gugur

daun dipengaruhi oleh jenis klon dan keadaan iklim setempat (Setyamidjaja,

1986).

2.2. Lateks

2.2.1. Latisifer

Lateks sewaktu keluar dari latisifer masih dalam keadaan steril (Fachry et al.,

2011). Lateks Hevea brasiliensis merupakan getah/cairan sel yang berbentuk

suspensi yang terdiri dari partikel-partikel karet dan non karet seperti protein,

karbohidrat, lipid, asam nukleat, karotenoid, dan lain-lain. Adanya beberapa

protein spesifik yang terdapat di dalam lateks, yang diduga memiliki peranan

penting dalam proses aliran lateks (Soedjanaatmadja, 2008; Fachry et. al., 2011).

Lateks terdapat pada suatu rongga dan sel sejenis yang bergabung yang

dikenal sebagai latisifer (Fachry et al., 2011; Gomez, 1982). Latisifer biasanya

memiliki struktur berongga dengan cabang ataupun tidak. Pada beberapa spesies,

latisifer yang sangat kompleks dihubungkan oleh anastomosis antara yang satu

dengan yang lainnya. Berdasarkan ontogeninya, latisifer dapat dibedakan menjadi

tipe articulatedi dan non-articulated yang kebanyakan orang menyebutnya

sebagai pembuluh (Gomez, 1982).

2.2.2. Fisiologi Lateks

Menurut Sando et al (2009), Hevea brasiliensis Muell Arg. merupakan tanaman

tropik yang memproduksi karet alami dengan rumus kimia cis-1,4-polyisoprene.

(20)

brasiliensis yang digunakan dibeberapa daerah karena memiliki produktivitas

yang tinggi dan kualitas karet yang baik. Berat molekul karet yang dihasilkan

Hevea brasiliensis telah diketahui. Karet alami yang dihasilkan Hevea brasiliensis

menarik perhatian tinggi sebagai industri polimer yang sangat bermanfaat karena

tidak ada komponen fisik buatan yang dapat menggantikannya.

Partikel karet merupakan suatu komponen koloidal yang terdapat dalam

lateks. Di dalam lateks, karet mengisi sekitar 30-45% dari keseluruhan komposisi.

Partikel karet memiliki ukuran yang sangat bervariasi, dari mulai 0,02 sampai 3

µm dengan distribusi maksimum 0,1 µm (Wititsuwannakul et. al., 2008).

Lateks adalah hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa yang

ditranslokasikan dari daun melalui pembuluh tapis kedalam latisifer. Didalam

latisifer terdapat enzim seperti invertase yang akan mengatur proses perombakan

sukrosa untuk dapat membentuk karet. Lateks terdiri dari komponen karet dan

bukan karet yang mana memiliki komposisi berbeda pada masing-masing pohon.

Komposisi lateks tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang paling

berperan adalah faktor lingkungan dan faktor genetik (Dalimunthe, 2004).

Penurunan kondisi fisiologis tanaman karet dapat diketahui dengan

mengamati kadar karet kering lateks dan diagnosis lateks. Bila terjadi cekaman

eksploitasi yang berat, maka kadar karet kering lateks akan menurun secara

drastis. Kadar sukrosa lateks berkaitan erat dengan penerapan eksploitasi terhadap

tanaman karet karena hasil fotosintesis yang ditranslokasikan kebagian tanaman

yang lain dalam bentuk sukrosa. Fosfat anorganik merupakan indikator aktifitas

metabolik yang menggambarkan kemampuan tanaman karet untuk mengubah

sukrosa menjadi partikel karet didalam lateks (Junaidi et al., 2010).

2.3. Asam Jasmonat

2.3.1. Biosintesis

Jasmonat merupakan kelompok senyawa yang diketahui sebagai oksilipin yang

berperan dalam regulasi pertumbuhan tanaman dan pertahanan. Jasmonat

memiliki distribusi yang luas dalam tubuh tanaman, aktif dalam konsentrasi yang

(21)

Secara umum, mekanisme biosintesis JA terbentuk setelah terjadi

pelukaan pada bagian tanaman tertentu. Pelukaan yang terjadi pada bagian

tersebut melepaskan suatu hormone polipeptida yang disebut sistemin. Hormon

sistemin kemudian berikatan dengan reseptor hormon yang terdapat pada

membran plasma. Pelekatan hormon sistemin dengan reseptor melepaskan enzim

lipase yang kemudian didistribusikan menuju ke membrane lipida. Pada

membrane lipida, lipase mengaktifkan asam linolenat bebas (18:3) yang

merupakan prekursor utama pembentukan JA. Asam linolenat berubah menjadi

12-Oxophytodienoic acid. Dari 12-Oxophytodienoic acid inilah kemudian

terbentuk JA (Taiz & Zeiger, 2002).

2.3.2. Manfaat

Jasmonat merupakan salah satu komponen tumbuh dari suatu sinyal molekul dan

hormon tanaman. Jasmonat merupakan turunan dari asam lemak polyunsaturated

yang terbentuk melalui jalur octadecanoid. JA merupakan produk akhir dari jalur

tersebut dan berperan sebagai hormon bioaktif. Ciri utama jasmonat yang paling

mudah dilihat adalah sturktur cincin pentasiklik. Meskipun aktivitas biologis

tanaman tidak memiliki batasan untuk menghasilkan JA, tetapi JA merupakan

suatu metabolit yang berbeda dan memiliki sifat yang tidak sebaik prekursor

biosintesisnya (Schaller and Stinzi, 2008).

JA dan metil jasmonat memiliki fungsi penting dalam respon pertahanan

tanaman yang disebabkan karena adanya pelukaan mekanik maupun pelukaan

oleh serangga herbivora dan gangguan patogen. Jasmonat juga diikutsertakan

dalam pembentukan vegetative storage proteins (VSPs) pada bagian vegetatif

tanaman. Jasmonat dan turunannya berperan dalam menstimulasi bentuk dari

tuber atau bulbus. Jamonat dapat bertindak seperti ABA. Jasmonat dapat

menghambat pertumbuhan dalam cekaman osmotik yang kurang baik. JA dapat

menghambat pertumbuhan dan germinasi akar dan tunas pada biji yang tidak

dalam keadaan dormansi (Srivastava, 2002).

Seperti hormon tumbuhan yang lain, JA memiliki peranan yang cukup

besar dalam hal aktifitas fisiologis, perkecambahan biji, perkembangan organ

(22)

sebagai molekul yang memberikan sinyal pertahanan tumbuhan dari serangga

pemakan tanaman dan pathogen nekrotrop (Schaller and stinzi, 2008).

JA dan metil jasmonat merupakan turunan dari asam linolenat. Telah

diketahui bahwa kelompok jasmonat ini memberikan sinyal respon terhadap

gangguan biotik maupun abiotik pada berbagai tanaman yang sama baiknya pada

masing-masing tahapan perkembangan. Sepanjang tahun 1990, banyak indikasi

yang mengatakan bahwa jasmonat juga berperan dalam pengaturan morfogenesis

organ tanaman (Wei-Min et al., 2003).

2.4. Auksin

2.4.1. Biosintesis

Went mempelajari suatu senyawa yang dapat mempengaruhi sinyal pertumbuhan

dengan mendifusikan senyawa tersebut pada bagian ujung koleoptil kedalam blok

agar. Faktanya senyawa tersebut dibentuk pada suatu bagian dan ditransportasikan

dalam jumlah tertentu ke bagian yang mampu memberikan respon (Taiz & Zeiger,

2004).

Menurut Abidin (1983), IAA merupakan auksin endogen yang terbentuk

dari triptofan yang merupakan suatu senyawa dengan inti indole dan selalu

terdapat dalam jaringan tanaman. Dalam biosintesisnya IAA dapat berasal dari 3

jenis prekursor yaitu:

1. Tryptophan berubah menjadi Indole pyruvic Acid, kemudian indole

3-Acetaldehyde dan pada akhirnya membentuk Indole-3-Acetic-Acid (IAA).

2. Tryptamine berubah menjadi Indole-3-acetaldehyde dan selanjutnya

menjadi Indole-3-Acetic-Acid (IAA).

3. Indole-3-Acetonitrile menjadi Indole-3-Acetic-Acid (IAA) melalui

bantuan enzim nitrilase yang mana prosesnya belum diketahui.

Asam amino aromatik triptofan termasuk dalam jalur utama biosintesis

IAA. Hasil intermediet yang terdapat dalam triptofan dan IAA adalah asam indol

piruvat, triptoamin dan indol asetaldehida. Triptofan sendiri terbentuk dari PEP

(fosfo enol piruvat) dan eritrosa-4-fosfat (Wattimena, 1988).

Pemecahan IAA dapat pula terjadi secara alami akibat berlangsungnya

(23)

riboflavin dan ß-karoten pada tanaman akan menyerap cahaya. Energi yang

dihasilkan dari proses penyerapan ini dapat mengoksidasi IAA. Sedangkan

oksidasi enzim yang terjadi pada IAA dilakukan oleh enzim hidrogen peroksidase

yang mampu menghasilkan indolaldehid yang bersifat inaktif. Terdapat hubungan

antoagonis antara aktivitas oksidase IAA dengan kandungan IAA didalam

tanaman. Apabila kandungan IAA didalam tanaman tinggi maka aktivitas IAA

oksidase menjadi rendah, begitu pula sebaliknya (Abidin 1983).

2.4.2. Manfaat

Auksin merupakan hormon pertumbuhan pertama yang ditemukan pada tumbuhan

dan banyak aksi komponen fisiologis pada sel tumbuhan bergantung pada

aktivitas auksin tersebut. Auksin dan sitokinin berbeda dengan hormon tumbuhan

yang lain. Auksin dan sitokinin merupakan agen sinyal sangat penting dalam

mempengaruhi viabilitas tanaman. Auksin mengontrol bermacam-macam proses

perkembangan tanaman diantaranya perpanjangan batang, dominansi apikal,

inisiasi akar, perkembangan buah dan pertumbuhan (Taiz dan Zeiger, 2002).

Ditambahkan oleh Abidin (1983), dari segi fisiologisnya auksin berpengaruh

terhadap perkembangan sel, fototropisme, geotropisme, partenokarpi, absisi,

pembentukan kalus dan respirasi.

Zat pengatur tumbuh IAA berperan dalam pembentukan akar pada

potongan jaringan dan juga pembentukan tunas pada beberapa jaringan tanaman

yang diperbanyak melalui teknik kultur jaringan (Fatrurrahman, 2011). Hasil

penelitian terhadap metabolisme auksin menunjukkan bahwa konsentrasi auksin

didalam tanaman, mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Abidin, 1983). Aplikasi

campuran hormon IAA dengan kinetin mampu mempercepat pertambahan lilit

batang dan tebal kulit pada pohon karet (Koryati, 2004).

Setelah diketahui IAA merupakan salah satu fitohormon yang penting,

maka disintesis senyawa serupa yang telah teruji keaktifannya secara biologis.

Senyawa sintetik tersebut diantaranya asam indol-3 propionat, asam indole-3

butirat, asam naftalenasetat, asam 2,4 diklorofenoksi asetat dan asam

S-karboksimetil-N. Golongan senyawa sintetik yang pertama dibuat adalah

(24)

yang tidak tanpa cirri indol tetapi mempunyai aktifitas biologis seperti IAA. NAA

digunakan sebagai hormon akar (Wattimena, 1988).

NAA dan 2,4 D pada umumnya digunakan pada konsentrasi rendah untuk

mengenali tipe respon auksin dalam pertumbuhan sel, pembelahan sel,

pembuahan dan perakaran meskipun efek yang ditimbulkan bervariasi. NAA lebih

aktif dibandingkan IAA dalam menginduksi pertumbuhan akar pada stek batang.

(25)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Oktober

2014 di Balai Penelitian Karet Sungei Putih, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli

Serdang dan Laboratorium Ilmu Dasar, Universitas Sumatera Utara, Medan,

Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang akan digunakan adalah botol sampel, mikro pipet, pisau silet,

waterbath, neraca analitik, erlenmeyer, gelas ukur, oven, pipet tetes, pisau cutter,

object glass, cover glass, pinset, gunting, tabung reaksi dan shacker.

Bahan yang digunakan adalah tunas lateral tanaman Hevea brasiliensis

klon jenis IRR 42 dan PB 260, JA, asam naftalenat, whatman, parafilm, anthrone,

TCA 2,5%, KH2PO4, H2SO4, heptamolibdat, NaCl 0,9%, HNO3, formalin, asam

asetat, akuades, alkohol 70%, alkohol absolut, sudan 3, aseton dan gliserin.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian menggunakan rancangan petak tersarang (RPT) split plot dengan 2

petak, yaitu:

a. Petak utama (Klon) yaitu: PB260, IRR 42

b. Anak petak (Zat pengatur tumbuh) yaitu: kontrol, JA, NAA dan JA+NAA

Dengan kombinasi perlakuan :

PB260K PB260JA PB260NAA PB260JA+NAA

IRR42K IRR42JA IRR42NAA IRR42JA+NAA

Dengan demikian diperoleh 8 kombinasi perlakuan dengan jumah ulangan

sebanyak 3 ulangan. Sehingga jumlah keseluruhan tanaman yang digunakan

(26)

Hasil penelitian dianalisis menggunakan sidik ragam dengan model linear

sebagai berikut :

Y

ijk

= µ +

ʈ

i

+

β

j(i)

+ €

(ij)k

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan perlakuan yang

menunjukkan perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan Multiple

Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 2007).

3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Analisis Histologi 3.4.1.1 Pemangkasan Klon

Proses pemangkasan dilakukan pada klon jenis IRR 42 dan PB 260 usia

1-2 tahun. Pemangkasan dilakukan secara bersamaan dan perkembangan dikontrol

setiap minggu sampai muncul tunas lateral berumur 50 hari.

3.4.1.2 Perlakuan Tunas Lateral Klon

Perlakuan terhadap tunas lateral pada klon menggunakan metode Hao

dan Wu (2000) yang telah dimodifikasi. Tunas lateral berumur 50 hari dari setiap

jenis klon dibalut dengan whatman sepanjang 10 cm yang telah ditetesi 0,5 ml

larutan JA 1000 ppm, larutan NAA 1000 ppm dan kombinasi larutan JA dengan

NAA 1000 ppm pada bagian 10 cm dari batang utama terhadap tunas lateral.

Whatman pada tunas lateral ditutup dengan parafilm. Setiap satu minggu sekali,

whatman diganti dan diberi perlakuan yang sama (ditetesi 0,5 ml larutan JA 1000

ppm, NAA 1000 ppm dan kombinasi larutan JA dengan NAA 1000 ppm).

Setelah 50 hari tunas lateral dipotong sepanjang 10 cm di bagian perlakuan.

3.4.1.3 Pembuatan Preparat

Pembuatan preparat jaringan menggunakan metode Gomez et al (1972)

yang telah dimodifikasi. Sampel jaringan diambil pada bagian batang yang diberi

perlakuan dengan menggunakan sampler bast dan langsung dimasukkan kedalam

larutan NaCl fisiologis. Sampel jaringan kemudian difiksasi selama satu malam.

Sampel jaringan yang telah difiksasi dimasukkan kedalam larutan KOH 15%

(27)

selama 2 jam. Sebelum masuk pada tahapan pewarnaan, sampel jaringan

dimasukkan kedalam alkohol 70%. Setelah 15 menit, sampel jaringan dimasukkan

kedalam pewarna sudan III selama 30 menit. Sampel jaringan diiris secara

melintang atau membujur menggunakan silet dan diamati dibawah mikroskop.

3.4.1.4 Pengukuran Tebal Kulit Tanaman

Tebal kulit tanaman dihitung dibawah mikroskop cahaya dengan

perbesaran 4 X 10. Tebal kulit tanaman dihitung pada penampang preparat yang

dilakukan pada 3 titik (kanan, tengah, kiri). Tebal kulit tanaman yang terukur

dicatat dan dihitung rata-ratanya.

3.4.1.5 Penghitungan Jumlah Latisifer

Jumlah latisifer dihitung dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 4

X 10. Latisifer dihitung pada penampang preparat sepanjang 500 µm yang

dilakukan pada 3 titik. Latisifer yang terhitung dicatat dan dihitung rata-ratanya.

Jumlah latisifer yang terlihat dan terhitung menunjukkan diferensiasi latisifer

yang terjadi.

3.4.1.6 Pengukuran Diameter Latisifer

Diameter latisifer dihitung dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran

4 X 10. Diameter latisifer dihitung pada penampang preparat sepanjang 500 µm

yang dilakukan pada 3 titik. Diameter latisifer yang terukur dicatat dan dihitung

rata-ratanya.

3.4.2 Analisis Fisiologi

3.4.2.1 Analisis Kandungan Fosfat Anorganik

Analisis kandungan fosfat anorganik dilakukan dengan menggunakan

metode Taussky & Shorr (1953) yang telah dimodifikasi. Sebanyak 0,3 ml sampel

lateks dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan TCA 2,5% hingga

volume 1,5 ml. Sampel ditambahkan 1 ml pereaksi campur (Fe2SO4 + Akuades +

Larutan Molibdat) dan divorteks. Sampel didiamkan selama 10 menit pada suhu

(28)

3.4.2.2 Pembuatan Kurva Standar Fosfat Anorganik

Pembuatan kurva standar fosfat dilakukan dengan membuat seri larutan

standar sebagai berikut:

Ditambahkan 1 ml pereaksi campur dan divorteks. Sampel didiamkan selama 10

menit pada suhu kamar. Absorbansi sampel diukur pada panjang gelombang 750

nm.

3.4.2.3 Perhitungan Konsentrasi Fosfat Anorganik

Konsentrasi fosfat dihitung dengan menggunakan rumus:.

3.4.2.4 Analisis Kandungan Sukrosa

Analisis kandungan sukrosa lateks menggunakan metode Dische (1962)

yang telah dimodifikasi. Sebanyak 150 µL sampel lateks dimasukkan ke dalam

tabung reaksi. Sampel ditambahkan 350 µL TCA 2,5% dan 3 ml pereaksi

anthrone kemudian divorteks. Sampel dimasukkan kedalam waterbath selama 15

menit dan dipindahkan ke dalam air biasa hingga dingin. Absorbansi sampel

diukur pada panjang gelombang 627 nm.

3.4.2.5 Pembuatan Kurva Standar Sukrosa

Pembuatan kurva standar sukrosa dilakukan dengan membuat seri larutan

standar sebagai berikut:

Konsentrasi Akhir (mM) 0 0,15 0,3 0,45 0,6 0,9 1,2

Volume Sukrosa 2 mM (µL) 0 37,5 75 112,5 150 225 300

Volume TCA 2,5% (µL) 500 463 425 387,5 350 275 200

Ditambahkan 3 ml pereaksi anthrone dan divorteks. Sampel dimasukkan kedalam

waterbath selama 15 menit dan dipindahkan ke dalam air biasa. Absorbansi

sampel diukur pada panjang gelombang 627 nm.

Konsentrasi Akhir (mM) 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

Volume KH2PO4 2 mM (µL) 0 15 30 45 60 75 90 105

Volume TCA 2,5% (µL) 1500 1485 1470 1455 1440 1425 1410 1395

(29)

3.4.2.6 Perhitungan Konsentrasi Sukrosa

Konsentrasi sukrosa dihitung dengan menggunakan rumus:

3.4.2.7Analisis Produksi Karet/Sadap/Tunas Lateral

Analisis produksi karet dilakukan dengan menggunakan metode Balai

Penelitian Sungei Putih yang telah dimodifikasi. Tunas lateral tanaman disayat

pada bagian yang diberi perlakuan. Tetesan lateks yang keluar ditampung

menggunakan kertas saring yang telah ditimbang beratnya hingga lateks berhenti

mengalir. Lateks yang tertampung diatas kertas saring ditimbang untuk mendapati

berat basah lateks. Lateks yang tertampung pada kertas saring dikeringkan

didalam oven selama 1 jam pada suhu 100-105ºC. Ditimbang berat kering lateks

dan dipersentasekan kandungan karet yang terdapat pada lateks.

3.4.2.8Persentase Produksi Karet/Sadap/Tunas Lateral

Persentase produksi karet dihitung dengan menggunakan rumus:

Produksi Karet (%) = (Berat kering / Berat basah) X 100%

(30)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan tentang pengamatan histologis

yang meliputi tebal kulit, jumlah latisifer dan diameter latisifer dan pengamatan

fisiologis yang meliputi kandungan fosfat, kandungan sukrosa dan produksi karet

pada tanaman karet (Hevea brasiliensis) didapatkan hasil sebagai berikut:

4.1 Analisis Histologi 4.1.1 Tebal Kulit

Pengukuran tebal kulit tanaman dilakukan secara mikroskopis menggunakan

mikroskop cahaya. Klon PB 260 merupakan tipe klon penghasil lateks dengan

tingkat metabolisme yang tinggi. Sedangkan klon IRR 42 merupakan tipe klon

penghasil lateks dan kayu dengan tingkat metabolisme yang cenderung lebih

rendah jika dibandingkan dengan klon PB260. Hasil data perhitungan dan sidik

ragam menunjukkan bahwa tebal kulit tanaman dipenaruhi oleh jenis klon

(Lampiran 18, 19).

Pengaruh faktor perlakuan jenis klon berpengaruh nyata terhadap tebal

kulit tanaman (Tabel 1). Secara visual terlihat bahwa klon IRR 42 pada umumya

memiliki ukuran lilit batang yang lebih besar dibandingkan klon PB 260. Tebal

kulit tanaman ini mungkin disebabkan oleh perbedaan genetik antara kedua klon

dan ukuran lilit batang pada masing-masing klon. Terjadi pengalihan

substansi-substansi tanaman tertentu kedalam mekanisme pembentukan sel-sel pada

jaringan kulit sehingga terjadi penebalan pada bagian kulit.

Pada pengaruh faktor perlakuan jenis zat pengatur tumbuh JA, NAA dan

kombinasinya tidak berpengaruh nyata terhadap tebal kulit tanaman karet.

Pemberian JA pada klon PB 260 dan IRR 42 justru menyebabkan penurunan tebal

kulit tanaman. JA diduga mengalihkan proses metabolik tanaman dalam

(31)

Tabel 1. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap tebal kulit tanaman pada klon karet PB 260 dan IRR 42.

Perlakuan KLON Rataan

PB 260 IRR 42

Kontrol 880,54 1601,23 1240,89a

JA 860,64 1199,63 1030,13a

NAA 917,26 1450,39 1183,82a

JA+NAA 892,44 1440,94 1166,69a

Rataan 887,72a 1423,05b 1155,38

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan's Multiple Range Test pada

taraf α 5%

Karakteristik pada kulit karet yang memiliki pengaruh terhadap potensi

produksi lateks adalah tebal kulit dan jumlah cincin pembuluh lateks (Dalin et al.,

2010). Kulit merupakan faktor yang sangat penting diamati terutama ketebalannya

karena latisifer yang mengandung lateks terdapat pada kulit (Woelan dan

Sayurandi, 2009).

Jumlah baris latisifer berkurang seiring dengan peningkatan pengambilan

sampel dengan jarak yang tidak teratur. Baris-baris latisifer yang satu dengan

yang lain memiliki korelasi positif terhadap ketebalan kulit tanaman (Gomez,

1982). Biasanya pertumbuhan tebal kulit akan mengikuti pertumbuhan lilit batang

(Woelan dan Sayurandi, 2009).

Kulit berkembang dengan cara yang sama dalam setiap kasus meskipun

kecepatannya berbeda dibawah pengaruh intensitas stimulasi ethrel dan auksin

(2,4 D) (d’Auzac et al, 1989). Pada penelitian ini, auksin (dalam bentuk NAA)

pada konsentrasi 1000 ppm juga menghasilkan pertambahan tebal kulit paling

besar meskipun dengan perbedaan yang tidak nyata jika dibandingkan dengan

perlakuan yang lain pada klon PB 260. Auksin secara eksogen akan

mempengaruhi kadar auksin endogen. Pemberian ZPT pada konsentrasi tertentu

akan menstimulasi pertumbuhan tanaman, karena meningkatkan level hormon

endogen (Wattimena, 1982). Auksin (dalam bentuk IAA) pada konsentrasi 50

ppm menyebabkan pertambahan tebal kulit yang nyata pada klon PB 260 tanaman

Hevea brasiliensis (Koryati, 2004). Dibutuhkan konsentrasi zpt yang tepat untuk

(32)

diperlukan beberapa tingkatan konsentrasi NAA untuk menghasilkan

pertambahan tebal kulit yang lebih besar.

Ketebalan kulit bertambah seiring dengan pertambahan usia tanaman.

Pertumbuhan tebal kulit merupakan karakteristik spesifik pada klon tertentu.

Tujuan melakukan evaluasi ketebalan kulit adalah untuk mendapatkan tanaman

yang mempunyai kulit yang cukup tebal sehingga diharapkan menghasilkan

baris-baris latisifer yang lebih banyak. Tanaman dengan kulit yang terlalu titpis tidak

diharapkan karena berpotensi besar untuk terjadi pelukaan kambium pada saat

penyadapan (Kurnia, 2011).

Menurut Woelan dan Sayurandi (2009), anatomi kulit saat tanaman belum

menghasilkan juga perlu diketahui. Kesalahan dalam mengeksploitasi kulit akan

mengganggu produksi lateks selama umur ekonomi tanaman.

4.1.2 Jumlah Latisifer

Analisis histologi latisifer pada klon PB 260 dan IRR 42 dilakukan pada tunas

lateral berumur 50 hari dari tanaman muda (usia 4 tahun). Diferensiasi latisifer

dapat dilihat dari pertambahan jumlah latisifer yang dipengaruhi oleh banyak

faktor antara lain faktor musim, faktor genetik dan zat pengatur tumbuh. Hasil

analisis data penghitungan dan hasil sidik ragam jumlah latisifer (Lampiran 14,

15) menunjukkan bahwa faktor perlakuan jenis klon dan faktor perlakuan jenis zat

pengatur tumbuh berpengaruh nyata terhadap jumlah latisifer.

Jenis klon dan zat pengatur tumbuh yang diberikan berpengaruh nyata

terhadap jumlah latisifer (Tabel 2). Respon klon PB 260 terhadap perlakuan

berbeda nyata dengan klon IRR 42 dan perlakuan JA, NAA dan kombinasinya

berbeda nyata terhadap kontrol perlakuan. JA, NAA dan kombinasinya

menyebabkan pertambahan jumlah latisifer pada kedua klon. Perlakuan yang

paling baik dalam menginduksi diferensiasi latisifer pada kedua klon adalah

kombinasi JA+NAA diikuti oleh JA dan NAA dengan jumlah latisifer

berturut-turut 31,39, 24,78 dan 19,45. Pertambahan jumlah pembuluh lateks

mengindikasikan terjadinya peningkatan aktivitas diferensiasi sel-sel parenkim

(33)

Tabel 2. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap diferensiasi latisifer pada klon karet PB 260 dan IRR 42.

Perlakuan KLON Rataan

PB 260 IRR 42

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan's Multiple Range Test pada

taraf α 5%

Pada Hevea, latisifer diketahui terdapat didalam semua organ tanaman

termasuk batang, daun, bunga dan buah (Gomez, 1982). Latisifer pada Hevea

brasiliensis tergolong kedalam tipe saluran getah berbuku dan beranastomosis

yang saling berartikulasi dengan susunan yang spesifik dimana masing-masing

saluran getah berbuku mengadakan hubungan lateral satu sama lain dan

membentuk stuktur seperti jala atau retikulum (Setjo dkk, 2004; Priyadarshan,

2011; Gomez, 1982). Pada sayatan melintang kulit dari hevea, latisifer memiliki

bentuk agak bundar yang terletak berdekatan dengan parenkim. Latisifer disusun

pada baris-baris yang teratur sejajar dengan kambium. Hevea memiliki cincin

latisifer yang konsentris. Masing-masing cincin atau baris dipisahkan oleh sieve

elements dan parenkim floem (Gomez, 1982).

Berdasarkan penelitian Hao & Wu (2000) dan Wijayati (2005), JA dan

auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang menginduksi pertambahan jumlah

sel-sel sekretori tanaman. Kombinasi JA dan auksin dalam konsentrasi 1000 ppm

merupakan kombinasi yang bekerja secara searah dan memberikan respon balik

yang positif terhadap pertambahan jumlah latisifer pada tanaman Hevea

brasiliensis.

Menurut Hao & Wu (2000), pada batang aplikasi JA menginduksi

pembentukan baris-baris latisifer pada floem sekunder. Ini membuktikan bahwa

laju diferensiasi latisifer dari kambium vaskuler dipengaruhi oleh JA. Hao & Wu

melakukan penelitian lanjutan menggunakan JA dalam beberapa tingkatan

konsentrasi dan beberapa tingkatan pertumbuhan batang dan daun. Diketahui

(34)

masing-masing tingkatan pertumbuhan batang dan daun pada konsentrasi 0,005%.

Penelitian yang hampir serupa dilakukan oleh Wei-Min et al (2003), aplikasi JA

menginduksi baris latisifer sekunder pada floem sekunder yang dilukai. Baris

latisifer sekunder yang terbentuk sangat dekat dengan kambium, berjumlah lebih

banyak, berukuran lebih kecil dan berisi sedikit karet yang ditandai dengan warna

coklat yang terang.

Dari berbagai proses, jasmonat eksogen juga menghambat perkecambahan

biji, pertumbuhan kalus, pertumbuhan akar, fotosintesis, dan biosintesis dari

ribulosabifosfat karboksilase. Beberapa efek mungkin terjadi karna respon stres

akibat pemberian jasmonat dengan konsentrasi yang terlalu tinggi. Sifat sistemik

Jasmonat pada tanaman masih belum dapat dijelaskan secara pasti. Jasmonat

mungkin merupakan salah satu substansi yang diangkut dalam tanaman. Tidak

diketahui apakah jasmonat mengalami mobilisasi atau tidak didalam tubuh

tumbuhan (Davies, 1995).

Inisiasi latisifer dari kambium pada pohon yang matang sadap merupakan

suatu proses yang teratur (Gomez, 1982). Menurut Wattimena (1988), auksin

berperan pada pertumbuhan sekunder tanaman termasuk pembelahan sel-sel

didaerah kambium. Ditambahkan dalam penelitian wijayati (2005), konsentrasi

auksin (dalam bentuk IAA) sebesar 300 ppm memberikan efek yang signifikan

terhadap jumlah sel sekretori pada rimpang C. domestica yang terletak menyebar

baik diantara jaringan dasar dari parenkim korteks maupun jaringan dasar stele.

4.1.3 Diameter Latisifer

Pengukuran diameter latisifer dilakukan pada penampang melintang kulit batang

tanaman. Besarnya diameter diukur searah dengan sintesis latisifer dari kambium

menuju bagian epidermis. Hasil analisis data penghitungan dan hasil sidik ragam

diameter latisifer (Lampiran 16, 17) menunjukkan bahwa faktor perlakuan jenis

zat pengatur tumbuh berpengaruh terhadap diameter latisifer.

Jenis klon yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap diameter

latisifer, sedangkan jenis perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap

diameter latisifer (Tabel 3.). Respon perlakuan JA, NAA dan JA+NAA berbeda

(35)

besar jika dibandingkan perlakuan JA, NAA dan kombinasinya pada kedua klon.

Jika dikaitkan dengan parameter sebelumnya, perlakuan kontrol memiliki jumlah

latisifer yang sedikit dan memiliki diameter yang besar. Dengan demikian induksi

zat pengatur tumbuh yang diberikan mengakibatkan pertambahan jumlah latisifer

dan membuat ukurannya semakin kecil. Diameter latisifer yang bertambah kecil

diduga karena aktifitas pembelahan sel-sel latisifer yang meningkat.

Tabel 3. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap ukuran diameter pada klon karet PB 260 dan IRR 42.

Perlakuan KLON Rataan

PB 260 IRR 42

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan's Multiple Range Test pada taraf α 5%

Parameter-parameter histologi merupakan komponen yang penting untuk

menentukan karakter produksi pada beberapa progeni tanaman Hevea brasiliensis.

Menurut Sethuraj & Mathew (1992), salah satu parameter histologi yang juga

penting adalah diameter latisifer. Besaran diameter pembuluh lateks sangat

dipegaruhi oleh umur tanaman (Woelan dan Sayurandi, 2009).

Menurut Evans et al. (1984), dua hormon yang digabungkan dan

diaplikasikan mungkin bekerja secara masing-masing atau mungkin berinteraksi

dalam mempengaruhi proses yang sama. Ketika dua hormon memberikan

pengaruh yang sebanding saat diperlakukan secara tunggal, dapat diartikan bahwa

gabungan dari kedua hormon tersebut bekerja secara masing-masing dalam

mempengaruhi suatu proses, tetapi ketika gabungan hormon menunjukkan hasil

yang lebih besar atau lebih sedikit dibandingkan jumlah respon yang ditimbulkan

pada masing-masing hormon maka proses tersebut dipengaruhi oleh interaksi dari

kedua hormon.

Karakteristik auksin terhadap jaringan batang adalah sebagai promotor

pemanjangan sel dalam 10 sampai 20 menit setelah aplikasi yang diikuti dengan

(36)

hidrogen. Stimulasi pemanjangan sel pada batang terjadi pada sebagian besar

tanaman dikotil (Evans et al, 1984). Tetapi mungkin Hevea brasiliensis tidak

mengalami aturan demikian. Dijelaskan oleh Koryati (2004) melalui penelitiannya

bahwa, auksin (dalam bentuk IAA) tidak memberikan perbedaan yang nyata

terhadap jumlah dan diameter latisifer.

4.2 Analisis Fisiologi

4.2.1 Kadar Sukrosa Lateks

Perhitungan sukrosa dilakukan pada 20 kali pengenceran didalam larutan asam

triklorat (TCA). Konsentrasi sukrosa diukur menggunakan sprektrofotometer pada

panjang gelombang 627 nm. Dari data penghitungan dan hasil sidik ragam kadar

sukrosa (Lampiran 20, 21) menunjukkan bahwa jenis klon dan jenis zat pengatur

tumbuh yang diperlakukan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

kadar sukrosa pada tanaman muda (usia 4 tahun).

Jenis klon dan jenis perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata

terhadap kadar sukrosa. Terjadi penurunan kadar sukrosa pada klon PB 260 dan

IRR 42 jika dibandingkan oleh kontrol perlakuan (Tabel 4). Kadar sukrosa yang

dihasilkan berkisar antara 4-6 mM tergolong kedalam kategori rendah-sedang (d’

Auzac, 1989). Hal ini mungkin disebabkan karena tanaman yang digunakan

merupakan tanaman muda dan merupakan tanaman belum meghasilkan sehingga

proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman masih aktif seperti pembentukan

latisifer. Latisifer membutuhkan sukrosa dalam jumlah yang banyak sebagai

substansi utama yang dimafaatkan dalam pembentukannya.

Tabel 4. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap ukuran kadar sukrosa lateks pada klon karet PB 260 dan IRR 42.

Perlakuan KLON Rataan

PB 260 IRR 42

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan's Multiple Range Test pada

(37)

Regulasi hormon terhadap pertumbuhan dan perkembangan bergantung

pada respon aplikasi hormon kepada tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan

merupakan hal yang dapat membatasi produktivitas tanaman. Beberapa proses

penting seperti fotosintesis, metabolisme nitrogen dan berbagai proses yang lain

mungkin tidak menyebabkan produktivitas tanaman meningkat karena hasil dari

proses-proses tersebut digunakan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan

(Evans et al, 1984).

Perbedaan antar spesies dapat dipahami setelah ditemukan bahwa

fotosintesis itu sendiri adalah sistem reaksi enzimatik yang cenderung dipengaruhi

oleh keseluruhan sistem metabolisme sel (Steward, 1960). Fotosintesis merupakan

suatu proses pembentukan karbohidrat (sakarida) dari senyawa anorganik dengan

bantuan cahaya matahari (Ai, 2012).

Menurut d’Auzac et al. (1989), regenerasi lateks dikontrol oleh 4

mekanisme yakni:

1. Ketersediaan sukrosa

2. Regulasi aktivitas enzimatik

3. Ketersediaan energi biokimia dan regenerasi insitu

4. Reaksi yang menginduksi fenomena penuaan dan reaksi anioksidan yang

melawan molekul oksigen toksik atau detoksifikasi latisifer.

Latisifer merupakan tempat utama dari biosintesis karet (Priyadarshan,

2011). Sakarida didalam latisifer terutama hadir dalam bentuk sukrosa. Sukrosa

tersebut merupakan prekursor dalam pembentukan partikel karet. Alokasi sukrosa

kelatisifer didasari pada keseimbangan antara sukrosa yang dihasilkan dan yang

dimanfaatkan (d’Auzac et al., 1989).

Perubahan kadar sukrosa pada lateks setelah diberi perlakuan seperti

auksin sintetik dan etephon sangat dipengaruhi oleh tingkat metabolisme dalam

jaringan (d’Auzac et al., 1989). Kadar sukrosa rendah (< 5 mM) memberikan

indikasi penggunaan bahan asimilat menjadi lateks sangat intensif atau dapat

dikatakan tanaman mengalami lelah fisiologi dengan kemampuan produksi yang

semakin menurun (Sumarmadji dkk, 2006).

Kadar sukrosa yang terukur dalam lateks merupakan selisih antara influks

(38)

Kadar sukrosa lateks yang tinggi tidak mutlak memberikan gambaran pada

potensi produksinya tetapi justru dapat menggambarkan produksi aktual yang

rendah, karena produksi lateks dan pertumbuhan berkompetisi dengan kuat dalam

hal penggunaan sukrosa (Sumarmadji, 2000). Tetapi kemudian dijelaskan oleh

Priyadarshan (2011), kehadiran gula pada latisifer merupakan atribut utama

pengatur metabolisme lateks, yang bergantung pada ketersediaan karbohidrat pada

jaringan latisifer dan kegunaannya dalam tingkatan sel. Katabolisme sukrosa

menghasilkan molekul asetat yang menginisiasi rantai isoprene dan menghasilkan

energi yang penting untuk memanfaatkan latisifer. Konsentrasi gula yang tinggi

memiliki korelasi yang positif terhadap produksi lateks.

4.2.2 Kadar Fosfat Anorganik Lateks

Perhitungan kadar fosfat anorganik dilakukan pada 20 kali pengenceran

didalam larutan asam triklorat (TCA). Konsentrasi fosfat anorganik diukur

menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Data

penghitungan dan hasil sidik ragam kadar fosfat anorganik (Lampiran 22, 23)

menunjukkan bahwa jenis klon dan jenis zat pengatur tumbuh yang diperlakukan

tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar fosfat anorganik pada

tanaman muda (usia 4 tahun).

Pada masing-masing klon kandungan fosfat anorganik adalah tinggi

(>10mM) (Tabel 5). Hal ini mungkin disebabkan karena pada penelitian ini

tanaman yang digunakan adalah tanaman yang belum menghasilkan dan belum

mengalami penyadapan. Lateks yang dihasilkan oleh tanaman muda (usia 4 tahun)

berjumlah sedikit sehingga tidak terdapat substansi sukrosa yang cukup untuk

dapat diubah menjadi partikel karet. Perubahan sukrosa menjadi partikel karet

memerlukan kehadiran fosfat anorganik sebagai penyedia energi. Diduga terjadi

akumulasi fosfat anorganik pada lateks karena tidak dimanfaatkan dalam proses

perubahan sukrosa menjadi partikel karet sehingga menyebabkan fosfat anorganik

terakumulasi dan kadarnya meningkat.

Meskipun kadar fosfat anorganik tergolong kedalam tingkatan yang tinggi,

tetapi ditemukan penurunan kadar fosfat anorganik pada klon IRR 42 jika

(39)

mungkin berkaitan dengan bertambahnya tebal kulit tanaman pada klon IRR 42.

Diduga pemanfaatan fosfat anorganik sebagai penyedia energi dalam proses

diferensiasi sel-sel pada jaringan kulit lebih tinggi pada klon IRR 42 sehingga

kadar fosfat anorganik mengalami penurunan yang signifikan.

Tabel 5. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap ukuran kadar fosfat anorganik lateks pada klon karet PB 260 dan IRR 42.

Perlakuan KLON Rataan

PB 260 IRR 42

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan's Multiple Range Test pada

taraf α 5%

Karakter fisiologi lateks seperti kadar sukrosa, fosfat anorganik,

magnesium, tiol, pH dan potensial redoks merupakan hal yang penting dalam

biosintesis karet. Fosfat anorganik dan sukrosa merupakan dua parameter fisiologi

yang didiagnosa dari lateks. Stimulasi pada tanaman karet dapat mempengaruhi

perubahan karakter fisiologi lateks tersebut (Sethuraj & Mathew, 1992;

Sumarmadji, 2000; Silpi et al., 2006).

Korelasi diantara kedua parameter (fosfat dan sukrosa) dapat digunakan

untuk menetapkan tipe metabolisme dari tanaman (Silpi et al., 2006). Kehadiran

fosfat anorganik menunjukkan metabolisme energi lateks. Fosfat mempengaruhi

sintesis nukleotida, transfer energi dan sintesis isopren melalui ikatan adenosin

fosfat dan pirofosfat (Sethuraj & Mathew, 1992; Sumarmadji, 2000).

Pada tanaman muda (usia 3-4 tahun), kadar fosfat anorganik yang sangat

rendah berkisar antara 2-6 mM merupakan suatu tanda peringatan bahwa tanaman

sedang mengalami kelelahan dalam menyediakan energi untuk metabolisme.

Suplai fosfat anorganik kurang mencukupi untuk membantu sel-sel pembuluh

lateks dalam mengubah sukrosa menjadi partikel karet (Rachmawan &

Sumarmadji, 2007).

Pada tanaman yang telah disadap, kisaran optimal kadar fosfat anorganik

(40)

optimal tersebut berarti kemampuan tanaman dalam melakukan metabolisme juga

semakin berkurang. Sebaliknya, semakin tinggi kadar fosfat anorganik dari

kisaran optimalnya, mengindikasikan bahwa tanaman mengalami over eksploitasi

atau mengindikasikan tanaman terserang penyakit (d’ Auzac et al., 1989).

Fosfat anorganik memiliki muatan negatif yang membantu menstabilkan

partikel karet sehingga memperlambat koagulasi lateks dan memperlama waktu

aliran lateks. Tanaman dengan kadar fosfat yang tinggi mendukung

berlangsungnya proses metabolisme yang aktif dalam sitosol sel latisifer terutama

biosintesis lateks (Kurnia, 2011; Sumarmadji, 2000).

4.2.3 Produksi Karet/Sadap/Tunas lateral

Analisis produksi karet dilakukan dengan cara menampung tetesan lateks pada

kertas saring dan melakukan pemanasan lateks didalam oven hingga diperoleh

berat karet kering. Dari data penghitungan dan hasil sidik ragam kadar sukrosa

(Lampiran 25, 26) menunjukkan bahwa jenis klon yang diperlakukan memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap produksi karet pada tanaman muda (usia 4

tahun).

Diketahui bahwa faktor perlakuan jenis klon berbeda nyata terhadap

produksi karet, sedangkan pengaruh faktor perlakuan jenis zat pengatur tumbuh

tidak berbeda nyata terhadap produksi karet (Tabel 6). Hal ini mungkin

disebabkan karena perbedaan tingkat metabolisme tanaman dalam merubah

sukrosa menjadi partikel karet dengan suplai energi yang berasal dari fosfat.

Beberapa parameter histologi seperti jumlah dan diameter latisifer juga diduga

memberikan kontribusi terhadap produksi karet yang dihasilkan oleh klon PB 260

dan IRR 42.

Tabel 6. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap produksi karet/sadap/tunas lateral pada klon karet PB 260 dan IRR 42.

Perlakuan KLON Rataan

(41)

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kelompok perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan's Multiple Range Test pada taraf α 5%

Hasil karet kering/pohon/sadap suatu klon karet bergantung pada ukuran

lilit batang. Pada klon yang sama produksi akan lebih besar pada tanaman dengan

lilit batang yang besar (Oktavia & Lasminingsih, 2010). Tetapi dari hasil

penelitian ini didapati bahwa tebal kulit tidak memiliki korelasi yang positif

terhadap produksi karet. Klon IRR 42 yang memiliki kulit yang lebih tebal

memiliki produksi karet yang lebih rendan dibandingkan dengan klon PB 260

yang memiliki kulit lebih tipis.

Lateks umumnya mengandung 25-40% bahan karet mentah yang

mengandung senyawa kimia kompleks antara lain karet hidrokarbon, protein,

lipid, karbohidrat, garam anorganik dan lain lain. Kandungannya bergantung pada

jenis tanaman dan cara penyadapan. Pada tanaman yang belum disadap

kandungan karet pada tanaman mampu mencapai 60% atau lebih (Sethuraj &

Mathew, 1992; Fachry et al., 2012). Tingkat aliran lateks dan perubahan dari

tekanan turgor memiliki hubungan langsung terhadap aspek anatomi pada sistem

latisifer (Priyadarshan, 2011).

Tingginya nilai koefesien keragaman produksi karet kering pada tanaman

disebabkan banyaknya faktor produksi yang mempengaruhi seperti genetik, lilit

batang, tebal kulit, jumlah latisifer, diameter latisifer dan lingkungan yang

masing-masing komponennya juga memiliki keragaman (Akbar et al., 2013).

Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa, klon PB 260 yang memiliki tebal

kulit lebih kecil memiliki produksi lateks yang lebih tinggi. Produksi lateks yang

tinggi tidak ditunjukkan dari seberapa besar ukuran lilit batang dan tebal kulit.

Produksi lateks mungkin dipengaruhi oleh tingkat metabolisme yang terjadi pada

masing-masing tanaman. Menurut Sethuraj & Mathew (1992), metabolisme

mengambil peranan penting dalam bidang produksi melalui pembentukan lateks

didalam jaringan latisifer. Kandungan sukrosa yang tinggi mengindikasikan

adanya ketersediaan prekursor karet yang banyak didalam latisifer dan diikuti

dengan metabolisme yang aktif.

Menurut Rachmawan & Sumarmadji (2007), kadar karet kering diukur

(42)

bobot basah tetesan lateks. Fluktuasi kadar karet kering tidak hanya dipengaruhi

oleh faktor umur tanaman tetapi juga dipengaruhi oleh respon tanaman terhadap

penyadapan. Tanaman yang telah disadap cenderung memiliki nilai kadar karet

kering yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang baru saja disadap.

Peningkatan kadar karet kering menunjukkan adanya semacam adaptasi tanaman

(43)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Jenis klon berpengaruh terhadap kondisi histologis latisifer berupa tebal kulit,

jumlah latisifer dan diameter latisifer dan berpengaruh terhadap kondisi

fisiologis latisifer berupa produksi karet.

b. Zat pengatur tumbuh berpengaruh terhadap kondisi histologis latisifer berupa

jumlah latisifer dan diameter latisifer dan tidak berpengaruh terhadap kondisi

fisiologis latisifer.

c. Interaksi antara zat pengatur tumbuh dan klon berpengaruh terhadap kondisi

histologi latisifer berupa tebal kulit, jumlah latisifer dan diameter latisifer dan

berpengaruh terhadap kondisi fisiologis latisifer berupa kadar fosfat, kadar

sukrosa dan produksi karet.

5.2 Saran

a. Diperlukan metode pembuatan preparat yang lebih baik untuk menghitung

jumlah diameter latisifer, mengukur diameter latisifer dan mengukur tebal kulit

tanaman.

b. Diperlukan pengujian zat pengatur tumbuh pada klon yang berbeda untuk

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1983. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang zat Pengatur Tumbuh. Bandung: Angkasa.

Ai, N, S. 2012. The Evolution Of Photosynthesis in Plant. Scientific Journal Of Science. Manado: University of Sam ratulangi. 12(1): pg. 1

Dailin, A., Sayurandi, Pasaribu, S. A., 2010. Potensi keunggulan klon karet harapan IRR seri 200 dari hasil seleksi pohon induk. Jurnal penelitian karet. 28(1): pg. 5

Dalimunthe, A. 2004. Biosintesis lateks. Medan: USU Digital Library.

d’ Auzac ???????????

Davies, P, J. 1995. Plant Hormones: Phisiology, biochemistry and molecular biology. Second Edition. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Pg. 179.

Dische, Z. M. 1962. Carbohydrate Chemistry. New York: Acad Press.

Evans et al. 1984. Editor (Scott, T. K.). Hormonal Regulation Of Development II. Berlin-Heidelberg: Springer-Verlag. Pg 6, 24, 48

Fachry, A. R., Sari, T. I., Putra, B. A., Kristianto, D. A. 2012. Pengaruh penambahan filler kaolin terhadap elastisitas dan kekerasan produk souvenir dari karet alam (Hevea brasiliensis). Prosiding STNK TOPI: hal. 205-210. Pekanbaru.

Faturrahman. 2011. Multiplikasi Eksplan Anthurium (anthurium sp.) Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) dan Indole Acetic Acid (IAA) Secara Kultur Jaringan. Jurnal Agroekoteknologi. 2(1): hal. 25-33.

Gomez, J. B., 1982. Anatomy of Hevea and Its Influence On Latex Production. Kuala Lumpur: Malaysian rubber research and development board. Pg 1-2, 15-21.

Gomez,K.A dan Gomez, A.A. 2007. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua.Universitas Indonesia. Jakarta.

Gambar

Tabel 1. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap tebal kulit  tanaman pada klon karet PB 260 dan IRR 42
Tabel 2. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap diferensiasi latisifer pada klon karet PB 260 dan IRR 42
Tabel 3. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap ukuran diameter pada klon karet PB 260 dan IRR 42
Tabel 4. Pengaruh pemberian JA, NAA dan kombinasinya terhadap ukuran kadar sukrosa lateks pada klon karet PB 260 dan IRR 42
+4

Referensi

Dokumen terkait

RENCANA UM UM PENGADAAN BARANG DAN JASA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TANAH LAUT.. TAHUN

Universitas Negeri

Maka, Pokja ULPD Propinsi Kepulauan Riau menyatakan PELELANGAN GAGAL atas pekerjaan Pembangunan Dock Kering Speed Boat Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau

Prosedur ini bertujuan memberi latihan SEMUA guru-guru dan staf sekurang-kurangnya 7 hari dalam tahun semasa untuk meningkatkan kompetensi bagi melaksanakan P &amp; P yang

Berdasarkan hasil penclitian yang dilakukan Wahyuni (2004) tentang kemampuan adesi Streptococcus agalactiae dari susu sapi perah mastitis subklinis pada sel epitel ambing,

Selain ingin mengetahui faktor-faktor penentu dari pertumbuhan per kapita, mereka juga menggunakan interaksi antar tingkat GDP per kapita awal dengan tingkat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa minat melakukan pemeriksaan pap smear sesuai yang diharapkan, yaitu responden mengalami peningkatan minat yang lebih baik, dengan demikian

Tidak hanya orang tua memainkan peran penting dalam mempengaruhi perilaku konsumen anak-anak mereka, tetapi anak-anak telah ditemukan untuk memainkan peran berpengaruh dalam