• Tidak ada hasil yang ditemukan

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang Undang

3.4 Uji Kadar Karbohidrat

Uji kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan proses hidrolisis asam. Berikut adalah tahapan proses uji kadar pati Gelidium latifolium dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Proses uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium

Gelidium latifolium kering 5 gram

Hidrolisis dengan HCL 3% selama 3 jam

Biarkan sampai dingin

Penetralan dengan (NaOH 4N) sampai berwarna merah muda

Didihkan 10 menit (endapan merah bata) Penambahan indikator PP

Menambahkan kanji 2% (biru tua) Setelah dingin + KI 30% 10 mL dan

25% 25 mL

Titrasi menggunakan Na-tiosulfat 0,1 N Pengenceran sampai 500 mL

Menyaring sampai 10 mL + Luff schrool 25 mL + aquades 15 mL

Analisis Ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95%. ANOVA adalah teknik analisis statistik yang dapat memberikan jawaban atas ada tidaknya skor pada masing-masing kelompok, dengan suatu resiko kesalahan sekecil mungkin (Irianto, 2004). Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) persamaan Rancangan Acak Kelompok adalah sebagai berikut :

μ + + + ………. (10)

Keterangan:

= perlakuan injeksi (ke-i) dan kelompok minggu (ke-j) μ = nilai tengah umum

= pengaruh akibat perlakuan injeksi (ke-i) = pengaruh kelompok minggu (ke-j)

= kesalahan perlakuan percobaan pada perlakuan jenis bahan organik (ke-i) dan ulangan (ke-j)

Untuk melihat pengaruh perbedaan perlakuan terhadap laju pertumbuhan

Gelidium latifolium , dilakukan analisis ragam dengan uji F. Setelah didapatkan hasil beda nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk membandingkan semua pasangan perlakuan yang ada (Boer, 2008). Uji Duncan didasarkan pada

sekumpulan nilai beda nyata yang ukurannya semakin besar tergantung pada jarak pada pangkat-pangkat dari dua nilai tengah yang dibandingkan. Selain itu,

dilakukan uji regresi agar bida mengetahui pola pertumbuhan pada hari tertentu dengan variabel x sebagai periode kultivasi dan variabel y sebagai besar laju pertumbuhan biomassa harian Gelidium latifolium.

34

3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi (Lampiran 1). Pertambahan bobot basah rata-rata memengaruhi bobot basah pada akhir periode kultivasi. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Bobot basah rata-rata dan simpangan baku pada akhir kultivasi

Gelidium latifolium Keterangan :

K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

Bobot basah rata-rata di akhir kultivasi yang dari paling tinggi adalah pada P2 sebesar 4,16±0,14 gram, P1 sebesar 4,03±0,12 gram, P3 sebesar 3,66±0,23 gram, K sebesar 3,54±0,06 gram, dan P4 sebesar 3,26±0,23 gram (Lampiran 2). Makroalga memerlukan sinar matahari untuk melakukan fotosintesis. Fotosintesis yang berlangsung tidak hanya dibantu dengan sinar matahari, tetapi juga zat hara sebagai makanan. Zat hara didapatkan dari nutrien terlarut yang diberikan, yaitu TSP, ZA, dan urea. Penyerapan zat hara dilakukan oleh seluruh bagian tubuh dibantu oleh sirkulasi yang baik yaitu gerakan air. Sistem sirkulasi perlakuan K, P1, dan P2 menjadikan pertumbuhan Gelidium latifolium lebih baik daripada P3 dan P4. Hal ini sesuai dengan pernyataan Indriani dan Sumiarsih (1991) bahwa gerakan air berfungsi untuk memudahkan penyerapan zat hara, membersihkan kotoran yang ada, dan melangsungkan pertukaran dan dalam air.

Injeksi ditambah aerasi lebih efektif meningkatkan pertambahan bobot basah Gelidium latifolium yang dikultivasi. Besar kecepatan yang diinjeksikan seragam sebesar 200 cc/menit didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Barat (2011) dengan menggunakan kecepatan 500 cc/menit. Kecepatan yang digunakan pada penelitian ini diturunkan dari kecepatan

penelitian sebelumnya, hal ini bertujuan untuk tetap menjaga derajat keasaman dari media air laut, karena volume air yang digunakan lebih sedikit.

Aerasi menimbulkan gelembung-gelembung udara di dalam air dan menyebabkan pergerakan serta sistem sirkulasi di dalamnya. Penggunaan batu aerasi membantu memecah gelembung udara agar difusi di dalam air berlangsung lebih cepat dan terserap sempurna oleh makroalga. Lama injeksi pun

(P1, P2 dan P3). Hal ini tidak berlaku untuk P4 karena mengalami

penurunan selisih bobot basah rata-rata pada awal kultivasi. Selisih pertambahan bobot basah rata-rata Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 11.

Gambar 11. Selisih pertambahan bobot basah rata-rata dan simpangan baku

Gelidium latifolium Keterangan :

K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

Perlakuan P4 yakni injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi mengalami penurunan bobot basah rata-rata pada minggu ke-2 pemeliharaan, namun di minggu selanjutnya pertambahan bobot meningkat kembali. Secara keseluruhan selisih pertumbuhan bobot basah rata-rata menunjukkan peningkatan di awal pemeliharaan, setelah beberapa minggu pemeliharaan mengalami penurunan. Perlakuan P3 yaitu injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi mengalami penurunan yang signifikan di akhir pemeliharaan yaitu setelah minggu ke-4. Hal ini berbeda dengan perlakuan P4 yang mengalami penurunan sejak minggu ke-2. Penurunan ini diakibatkan oleh pelunakan bagian thallus sehingga mengurangi bobot basah

Gelidium latifolium yang dikultivasi. Bagian thallus yang melunak dipotong agar tidak memengaruhi pertumbuhan bagian yang lainnya.

Selisih tertinggi terjadi pada kultivasi P2 di minggu ke-4 sebesar

0,2383±0,11gram, sedangkan selisih pertumbuhan negatif terjadi pada kultivasi P4 di minggu ke-2 sebesar -0,0933±0,37 gram dan kultivasi P3 di minggu ke-6 sebesar 0,0017±0,08 gram (Lampiran 3).

4.2 Laju Pertumbuhan Gelidium latifolium

Laju pertumbuhan Gelidium latifolium untuk setiap perlakuan bervariasi baik laju pertumbuhan hariannya maupun laju pertumbuhan relatifnya, ekuivalen dengan pertambahan bobot rata-ratanya. Kultivasi berlangsung selama 42 hari dan pengukuran laju pertumbuhan dilakukan setiap satu minggu sekali.

Pemeliharaan makroalga selama 42 pada penelitian ini didasarkan pada kisaran waktu yang dibutuhkan untuk kultivasi makroalga antara 6-8 minggu Indriani dan

Pemberian karbondioksida atau injeksi pada jumlah yang berbeda

memberikan pengaruh yang berbeda pada lingkungan hidupnya. Berikut adalah grafik laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama kultivasi 42 hari pada perlakuan yang berbeda hari tersaji pada Gambar 12.

Gambar 12. Laju pertumbuhan harian dan simpangan baku Gelidium latifolium Keterangan :

K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

Laju pertumbuhan harian perlakuan P4 yaitu injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi sangat fluktuatif , dilihat pada minggu ke-2 terjadi penurunan dari 0,54±0,15% menjadi 0,02±0,85%, namun pada minggu ke-3 mengalami kenaikan menjadi 0,12±0,58% (Lampiran 4). Bila melihat perlakuan P4, besarnya injeksi sebanyak 3.000 cc menyebabkan lingkungan menjadi lebih asam sehingga nilai pH menurun. Penurunan pH juga terjadi pada P3 dengan besarnya injeksi sebanyak 2.000 cc, namun tidak sebesar penurunan pH pada P4. Hal ini berbeda dengan P1 dan P2, penurunan pH dapat dinormalkan kembali oleh proses aerasi yang memicu terjadinya resirkulasi (Lampiran 10). Laju pertumbuhan harian selama kultivasi 42 hari dapat

diregresikan untuk mengetahui pertumbuhan pada hari-hari selanjutnya. Berikut adalah persamaaan regresi laju pertumbuhan harian control dan perlakuan yang berbeda Gelidium latifolium.

Tabel 6. Persamaan regresi linear laju pertumbuhan harian Gelidium latifoloum

Kontrol x = 0.463 - 0.000659 t

Perlakuan 1 x = 0.913 - 0.00401 t Perlakuan 2 x = 1.02 - 0.00486 t Perlakuan 3 x = 0.698 - 0.00404 t Perlakuan 4 x = 0.322 - 0.00502 t

Nilai x adalah besarnya laju pertumbuhan sedangkan t adalah lamanya waktu kultivasi. Persamaan regresi kontrol dan beberapa perlakuan menunjukan nilai yang berbeda-beda. Laju pertumbuhan harian tertinggi dari semua perlakuan terjadi pada P2 yaitu 1,06±0,14% di minggu ke-4, sedangkan laju pertumbuhan harian terendah dari semua perlakuan terjadi pada P4 yaitu 0,02±0,85% di minggu ke-2. Kondisi laju pertumbuhan harian pada akhir pertumbuhan setiap perlakuan

pertumbuhan makroalga, tapi juga memicu organisme lain untuk tumbuh baik pada lingkungan tersebut. Salah satunya adalah fungi Rhizopus sp. yang

menempel pada thallusGelidium latifolium. Fungi ini menyebabkan penurunan laju pertumbuhan harian kulivasi P4 pada minggu ke-2 dan P3 pada minggu ke-6. Organisme mikro lainnya seperti mikroalga, tumbuh pada akuarium sehingga tampak seperti warna hijau di dinding-dinding akuarim.

Metode kultivasi monoline floating efektif untuk pemeliharaan Gelidium latifolium selama penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aslan (1998) bahwa tingkat pertumbuhan makroalga dengan metode apung adalah sekitar 2,00-3,00%, metode lepas dasar sekitar 1,66-1,75%, dan metode dasar sekitar 0,30-0,53%. Menurut Soegiarto et al. (1978) kisaran laju pertumbuhan makroalga yang baik adalah antara 2-3%. Kultivasi pada setiap perlakuan dalam penelitian belum termasuk pada kategori baik karena laju pertumbuhannya kurang dari 2% sampai akhir pemeliharaannya.

Selain laju pertumbuhan harian, Gelidium latifolium juga memiliki pertumbuhan relatif. Berikut adalah diagram laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium selama 42 hari pada setiap perlakuan tersaji pada Gambar 13.

Gambar 13. Laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium Keterangan :

K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

Besar laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium di akhir kultivasi pada setiap perlakuan yang berbeda dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah P2 sebesar 32,66%, P1 sebesar 29,43%, P3 sebesar 19,82%, K sebesar 16,64%, dan P4 sebesar 7,91% (Lampiran 5). Laju pertumbuhan relatif

menunjukkan hubungan presentase bobot saat akhir kultivasi dan bobot saat awal penanaman.

Hasil analisis secara statistik dengan selang kepercayaan 95%,

menghasilkan bahwa perlakuan K yaitu kontrol memiliki nilai variasi ragam b. Perlakuan P1 yaitu injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi, P2 yaitu injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi, serta P3 yaitu injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan Gelidium

nilai variasi ragam a memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot yang paling rendah. Perlakuan K sebagai kontrol berada pada peringkat b artinya perlakuan P1, P2, dan P3 memiliki besar nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot lebih tinggi dari perlakuan kontrol sedangkan perlakuan P4 memiliki besar nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot lebih rendah.

Selain pengujian berdasarkan perlakuan, dilakukan juga analisis statistik berdasarkan waktu kultivasi makroalga. Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh lamanya hari tidak berbeda nyata terhadap laju perlumbuhan Gelidium latifolium

sehingga tidak diperlukan uji lanjut untuk melihat variasi nilai ragamnya.

4.3 Pemanfaatan Karbondioksida pada Kultivasi Gelidium latifolium Karbondioksida diinjeksikan ke dalam air laut sebagai media kultivasi makroalga dengan aliran yang sama namun lamanya berbeda. Perlakuan P1, P2, P3, dan P4 diinjeksi dengan kecepatan 200 cc/menit dengan lama 10-15 menit. Berikut diagram nilai besarnya input yang diberikan pada setiap perlakuan tersaji pada Gambar 14.

Gambar 14. Input pada kultivasi Gelidium latifolium Keterangan :

K = tidak mendapatkan injeksi

P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

Karbondioksida ( ) merupakan molekul gas yang bisa larut dalam air laut. Karbondioksida berikatan dengan air membentuk senyawa anorganik yaitu asam karbonat yang akan terurai menjadi ion bikarbonat. Semakin banyak yang masuk ke dalam air, jumlah asam pun meningkat. Penelitian yang

dilakukan merupakan salah satu aplikasi dari pemanfaatan karbondioksida terlarut yakni memanfaatkan yang berasal dari injeksi untuk pertumbuhan biomassa Gelidium latifolium. Penelitian ini didukung oleh teori Aresta (2010) bahwa pemanfaatan gas karbondioksida dapat dijadikan sebagai teknologi

renewable yakni pengonversian karbon menjadi biomassa tumbuhan akuatik atau terestrial.

Injeksi pada perlakuan P1 dan P3 ataupun P2 dan P4 dilakukan dengan kecepatan yang sama namun hasil kelarutanya berbeda. Hal ini

pergerakan air memengaruhi jumlah kelarutan gas yang diinjeksikan ke dalam air laut. Diagram berikut menunjukkan bahwa terlarut harian pada setiap perlakuan nilainya berfluktuasi.

Gambar 15. Jumlah terlarut harian pada kultivasi Gelidium latifolium Keterangan:

K = tidak bisa diukur menggunakan titrasi NaOH karena keadaan basa. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

Nilai terlarut harian paling tinggi terjadi pada perlakuan P4 pada hari ke-33 yaitu 37,25 mg/L, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan P1 hari ke-

42 yaitu 19,95 mg/L. Semakin lama waktu injeksi semakin tinggi nilai kelarutannya. Hal ini disebabkan oleh input yang berdifusi dengan air laut lebih banyak. Karbondiksida pada kontrol tidak dapat diukur menggunakan titrasi NaOH karena jumlah karbondioksida sangat sedikit dan terserap sempurna oleh

thallusGelidium latifolium. Selain itu, karbondioksida berubah menjadi bentuk lain yaitu ion bikarbonat ( ). Nilai kelarutan memiliki fase naik dan turun setelah 3 kali injeksi dilakukan. Faktor penggantian air laut pada akuarium yang dilakukan setelah 3 kali injeksi menyebabkan kualitas air menjadi fluktuatif. Berikut adalah persentasi perbandingan total terlarut setiap perlakuan, tersaji pada Gambar 16.

Gambar 16. Jumlah total terlarut pada kultivasi Gelidium latifolium Keterangan :

K = tidak mendapatkan injeksi

P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

Menurut Effendi (2003) salah satu faktor yang memengaruhi kelarutan adalah tekanan parsial. Tekanan parsial akan berkurang akibat adanya kegiatan fotosintesis dan pemanasan. Kemampuan fotosintesis individu makroalga yang berbeda-beda serta pemanasan pada siang hari menjadi penyebab variasi nilai pada setiap perlakuan.

Pengukuran kelarutan dilakukan pada sore hari karena pada waktu tersebut cahaya mulai redup. Fotosintesis memerlukan cahaya matahari untuk mengeksitasi elektron yang terdapat pada klorofil sehingga keadaan elektron dalam klorofil menjadi tidak stabil dan mendesak molekul air terpecah menjadi

dan . Ion berperan dalam pembentukan menjadi glukosa melewati reaksi terang. Oleh karena itu, pada saat cahaya mulai meredup efektivitas fotosintesis menurun sehingga dilakukan pengukuran sisa.

Kelarutan yang terjadi pada P1, P2, P3, dan P4 telah melebihi batas normal perairan, oleh karena itu sisa yang tidak dapat larut dalam air mengalami difusi dan tertampung pada kantong plastik yang telah diinstalasikan pada akuarium P3 dan P4.

Karbondioksida sisa merupakan gas sisa yang terbebaskan dari air laut dan tertampung pada penampung plastik . Penampung plastik yang digunakan untuk menangkap dilengkapi dengan keran agar gas yang masuk tidak berdifusi dengan gas dari luar. Konsentrasi gas diukur menggunakan Orsat Apparatus. Pengukuran sisa ini dilakukan hanya pada P3 dan P4 yakni perlakuan injeksi tanpa aerasi. Persentasi jumlah sisa dapat diukur karena tidak terjadi pertukaran dengan gas lainnya yang berada di luar akuarium. Penampungan gas dilakukan setelah selesai injeksi yaitu pukul 10.00, kemudian pengukuran dilakukan pada sore hari bersamaan dengan pengukuran kualitas air. Jumlah sisa harian setiap pemberian injeksi berfluktuasi, namun perlakuan P4 selalu mendominasi P3. Berikut adalah nilai sisa harian yang terukur oleh

Orsat Apparatus tersaji pada Gambar 17.

Gambar 17. Sisa hasil pengukuran Orsat Apparatus

Keterangan :

K, P1, dan P2 tidak diukur karena mendapat masukan gas dari luar. P3 = injeksi 2000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.

perairan bahwa pada temperatur 25-27 °C berkisar antara 0,45-0,48 mg/L. Besarnya nilai temperatur berkebalikan dengan nilai kelarutan karbondioksida.

4.4 Kualitas Air

Penelitian ini melakukan pengukuran beberapa kualitas air, yaitu temperatur, salinitas, dan derajat keasaman (pH). Nilai temperatur air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 18.

Gambar 18. Parameter temperatur air selama kultivasi Gelidium latifolium

Selama 6 minggu pemeliharaan, temperatur air bervariasi antara 25-27 ⁰C. Perubahan temperatur disebabkan oleh redup terangnya penyinaran matahari.

Pada hari yang sama nilai temperatur pun sama, karena penempatan posisi akuarium berada di posisi yang terpapar cahaya matahari, namun besarnya tidak fluktuatif karena temperatur ruangan terkontrol oleh AC. Menurut Luning (1990) makroalga mempunyai kisaran temperatur spesifik karena adanya enzim pada tubuhnya. Makroalga dapat tumbuh di daerah tropis pada kisaran temperatur 20- 30 ⁰C dan hidup optimal pada temperatur 28 ⁰C. Gelidium latifolium tidak dapat tumbuh dengan baik jika rentang temperaturnya luas. Tunas thallus mengalami pemberhentian pertumbuhan dikarenakan perubahan temperatur yang fluktuatif. Temperatur juga memengaruhi kelembaban udara di sekitar lingkungan tempat kultivasi. Kelembaban yang tinggi juga tidak begitu bagus untuk pertumbuhan

Gelidium latifolium saat kultivasi.

Parameter kualitas air yang diukur selanjutnya adalah salinitas. Nilai salinitas semua perlakuan besarnya sama di setiap pengukuran. Nilai salinitas air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 19.

tersebut relatif tinggi disebabkan oleh tingkat penguapan air dalam akuarium yang cukup tinggi, sehingga dilakukan penambahan air tawar. Penguapan ditandai adanya butiran garam pada dinding akuarium. Menurut Aslan (1998) Gelidium

yang hidup di perairan Indonesia adalah jenis yang yang menyukai salinitas tinggi yaitu 33‰.

Parameter kualitas air yang diukur adalah derajat keasaman (pH). Derajat keasaman yang ideal untuk pertumbuhan makroalga yaitu 8-9. Apabila perairan terlalu asam ataupun terlalu basa maka akan menghambat pertumbuhan

makroalga (Puslitbangkan, 1991). Menurut Zatnika dan Angkasa (1994) derajat derajat keasaman yang baik untuk pertumbuhan makroalga yaitu antara 7-9 dengan kisaran derajat derajat keasaman optimum sebesar 7,3-8,2. Nilai derajat keasaman air laut pada setiap perlakuan bervariasi mulai dari yang terendah yaitu 6,3 sampai tertinggi 8,8. Nilai derajat keasaman air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 20.

Gambar 20. Parameter derajat keasaman air selama kultivasi Gelidium latifolium

Perlakuan berpengaruh terhadap nilai pH, semakin lama injeksi

semakin asam air laut. Selain itu, faktor aerasi pun memberikan pengaruh pada perubahan derajat keasaman. Aerasi bisa mengembalikan derajat keasaman air karena adanya penambahan udara dari luar akuarium terutama oksigen yang bisa menurunkan kandungan asam di dalam air. Menurut Mackereth et al. (1989), derajat keasaman sangat berkaitan erat dengan , semakin tinggi kadar maka semakin tinggi derajat keasamannya dan hal ini juga berlaku sebaliknya semakin rendah maka semakin rendah derajat keasamannya. Pada kondisi asam, jumlah dalam air tinggi disebabkan adanya reaksi dan air menghasilkan asam karbonat sedangkan pada konsidi basa bentuk berubah menjadi ion bikarbonat ataupun karbonat. Selama kultivasi kontrol memiliki pH tertinggi 8,77 dan terendah 8,30. Perlakuan P1 memiliki pH tertinggi 7,50 dan terendah 7,33. Perlakuan P2 memiliki pH tertinggi 7,30 dan terendah 7,07. Perlakuan P3 memiliki pH tertinggi 7,13 dan terendah 6,63. Perlakuan P4 memiliki pH tertinggi 6,63 dan terendah 6,20.

Gambar 21. Makroalga yang terserang fungi

Fungi pada thallus diisolasi pada media PDA (Potato Dextrose Agar) berbahan dasar kentang untuk mengetahui jenis fungi yang menghambat pertumbuhan. Fungi disimpan pada media tersebut selama satu minggu di dry cabinet sampai terlihat jelas koloni dan hifanya. Berikut adalah gambar fungi hasil isolasi dari Gelidium latifolium (Gambar 22).

(a) (b)

Gambar 22. Rhizopus sp.; (a) Pengamatan K.Nishimura dan (b) Hasil isolasi pada media PDA

Sumber: K. Nishimura 1999 Sumber: Dokumentasi pribadi

Fungi di atas adalah kapang Rhizopus sp. yang biasa digunakan dalam pembuatan kecap. Kapang tersebut memiliki kemampuan untuk hidup pada salinitas tinggi sehingga bisa hidup pada tubuh makroalga yang hidup di laut. Warna putih (Gambar 21) disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada pada thallus. Pada proses isolasi banyak ditemukan beberapa jenis fungi, tetapi yang lebih dominan adalah Rhizopus sp.

Klasifikasi Rhizopus menurut Germain et al. (2006), yaitu Kingdom : Fungi Divisio : Zygomycota Class : Zygomycetes Ordo : Mucorales Familia : Mucoraceae Genus : Rhizopus

Koloni Rhizopus sp. berwarna putih berangsur-angsur menjadi abu-abu serta sporangia globus atau sub globus berwarna coklat gelap sampai hitam bila telah masak. Sporangiofor tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara, tumbuh berlawanan dan terletak pada posisi yang sama dengan sporangiofora, Bentuk spora bulat, oval atau berbentuk elips atau silinder.

Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp. tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6 dan membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air fungi lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Hal ini selaras dengan hasil pengamatan yang dilakukan, Rhizopus sp. tumbuh pada thallus makroalga perlakuan P4. Pada perlakuan P4 kualitas airnya lebih asam dibandingkan perlakuan lainnya akibat lama injeksi dan tidak ditambahkannya aerasi.

Thallus yang terserang fungi mengalami pembusukan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal ini disebabkan oleh aktivitas fungi yang tumbuh pada

mencapai 30% (Aslan, 1998). Menurut Rasyid et al. (1999) Gelidium sp. memiliki kandungan agar 26,5%. Hasil uji kadar karbohidrat yang dilakukan dalam penelitian berkisar antara 16,40-20,40%.

Kadar karbohidrat yang diuji adalah jenis monosakarida yaitu glukosa dan dihasilkan dari hidrolisis pati (amilum). Penentuan kadar karbohidrat kuantitatif dilakukan melaui metode Luff Schrool dengan prinsip dasarnya adalah hidrolisis karbohidrat dalam Gelidium latifolium kering menjadi monosakarida yang dapat mereduksi menjadi (SNI 01-2891-1992).

Tahapan reaksi yang terjadi adalah :

R-COH + CuO  Cu + R-COOH

+ CuO  Cu + O

Cu + 2KI  Cu +

2Cu  +

+  NaI

Uji kadar karbohidrat dilakukan sebelum dan sesudah kultivasi. Kadar karbohidrat sebelum kultivasi nilainya sebesar 18,23%, sedangkan setelah kultivasi bervariasi sesuai perlakuannya. Kadar karbohidrat kontrol nilainya

sebesar 19,40%, P1 sebesar 20,40%, P2 sebesar 19,40%, P3 sebesar 16,87%, dan P4 sebesar 16,40%. Besar kelima nilai kadar karbohidrat setelah kultivasi

tersebut tidak terlalu berbeda dengan nilai kadar karbohidrat sebelum kultivasi. Kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum dan sesudah kultivasi tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7. Kadar karbohidrat Gelidium latifoliumsebelum dan sesudah kultivasi

Kadar karbohidrat pada perlakuan P3 dan P4 merupakan kadar paling kecil dibandingkan yang lainnya. Nilai ini terjadi diperkirakan karena pada P3 dan P4 tumbuh fungi yang memfermentasi sakarida dari bagian thallus makroalga. Menurut Sudarmaji dan Markakis (1977), selama proses fermentasi akan terjadi perubahan pada kadar air setelah 24 jam fermentasi, kadar air akan mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64%. Perubahan-perubahan lain yang terjadi selama fermentasi adalah berkurangnya kandungan oligosakarida penyebab flatulence. Penurunan tersebut akan terus berlangsung sampai fermentasi 72 jam.

Kadar karbohidrat sebelum kultivasi lebih rendah dari K, P1, dan P2, setelah kultivasi dikarenakan sampel yang uji sebelum kultivasi adalah bibit yang memiliki karakteristik thallus lebih muda daripada sampel yang telah dikultivasi. Setelah dikultivasi Gelidium latifolium telah mengalami proses metabolisme dan

Waktu Uji Perlakuan Kadar Karbohidrat

Sebelum kultivasi - 18.23% Sesudah kultivasi K 19.40% P1 20.40% P2 19.40% P3 16.87% P4 16.40%

lingkungan secara mudah makan kegiatan fotosintesis yang memanfaatkan karbon anorganik akan berjalan dengan mudah, namun harus didukung dengan

Dokumen terkait