• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Folin Ciocalteau didasarkan pada kekuatan reduksi gugus hidroksil fenolik dan sangat tidak spesifik karena tidak dapat membedakan antar jenis komponen fenolik, tetapi dapat mendeteksi semua jenis fenol dengan sensifitas yang bervariasi. Reaksi oksidasi reduksi ini muncul pada kondisi alkali dimana fenol mereduksi kompleks fosfotungstat- fosfomolibdat pada reagen sehingga menjadi warna biru. Semakin tinggi jumlah gugus hidroksil fenolik maka semakin besar konsentrasi komponen fenolik yang terdeteksi (Khadambi, 2007).

Standar yang digunakan pada uji kadar polifenol adalah asam galat. Asam galat adalah asam organik dengan nama kimia asam 3,4,5-trihidroksi benzoat (C6H2(OH)3CO2H). Struktur asam galat dapat dilihat pada Gambar 12. Asam galat murni berbentuk bubuk organik kristal tak berwarna dan berupa molekul bebas atau bagian dari molekul tanin. Asam galat mempunyai sifat antifungal, antioksidan, dan antiviral.

Gambar 17. Asam galat (Anonim, 2006c)

Larutan standar dibuat dalam satuan g asam galat per g etanol (Oki et al., 2002). Satuan tersebut perlu dikonversi dalam proses perhitungan menjadi g asam galat per ml etanol dengan menggunakan berat jenis etanol, yaitu sebesar 0.79 g/ml (Anonim, 2006b). Kurva standar asam galat yang dihasilkan memiliki persamaan garis linier y = 3.0473x + 0.0223. Gambar kurva standar dapat dilihat pada Gambar 13.

R2 = 0.9866 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 0.0000 0.0158 0.0316 0.0473 0.0631 0.0789 Kadar polifenol (mg asam galat/ml etanol)

Ab

so

rb

an

si

Gambar 18. Kurva standar uji kadar polifenol dengan standar asam galat

Larutan-larutan yang digunakan di dalam uji kadar polifenol ini antara lain, larutan blanko digunakan Na2CO3, akuades, dan sampel; dan sebagai larutan kontrol digunakan Na2CO3, akuades, reagen Folin Ciocalteau, dan sampel. Penambahan Na2CO3 bertujuan membentuk suasana basa agar terjadi reaksi reduksi reagen Folin Ciocalteau dengan gugus OH dari polifenol di dalam sampel. Penambahan sampel di dakam larutan blanko bertujuan mengurangi kesalahan positif dari perhitungan konsentrasi polifenol. Hal ini disebabkan sampel itu sendiri sudah memiliki warna yang dapat terukur oleh spektrofotometer. Hasil absorbansi kontrol nantinya akan dikurangi dengan absorbansi blanko yang kemudian dimasukkan kedalam kurva standar sehingga didapatkan konsentrasi polifenol saja di dalam sampel.

Hasil perhitungan kadar polifenol rempah segar dan rempah bubuk seperti yang terlihat pada Gambar 19 menunjukkan bahwa kadar polifenol yang tertinggi dimiliki cengkeh, sedangkan yang terendah dimiliki bawang putih. Cengkeh segar memiliki kadar polifenol sebesar 619.94 mg/g bahan kering dan cengkeh bubuk sebesar 790.06 mg/g bahan kering. Bawang putih segar memiliki kadar polifenol sebesar 2.81 mg/g bahan kering dan bawang putih bubuk sebesar 0.30 mg/g bahan kering.

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

K

a

da

r po

li

fe

nol

(

m

g/

g s

ol

id)

*

Rempah segar 8.53 31.98 27.31 141.79 2.81 619.94 Rempah bubuk 21.49 38.74 3.11 67.64 0.30 790.06

Lengkuas Jahe Kencur Kunyit Baw ang

putih Cengkeh

Cengkeh memiliki kadar polifenol yang sangat tinggi karena cengkeh merupakan rempah utama penghasil eugenol dan senyawa galat (Yanishlieva-Maslarova dan Heinonen, 2001). Bawang putih memiliki kadar polifenol terendah karena senyawa aktif dalam bawang putih, yaitu allicin dengan struktur kimia C3H5-S-S-C3H5 (Farrell, 1985), bukan termasuk golongan polifenol, melainkan golongan thiosulfonat (Anonim, 2006d).

Bubuk kunyit dilaporkan memiliki konsentrasi curcumin sekitar 3% w/w (Anonim, 2006a). Hasil uji kadar polifenol pada penelitian ini menunjukkan kunyit bubuk mengandung 67.64 mg polifenol per g bahan kering atau 6.76% w/w. Perbedaan kadar polifenol tersebut disebabkan polifenol yang terukur pada penelitian ini adalah polifenol secara keseluruhan, bukan hanya curcumin. Selain curcumin, kunyit juga mengandung senyawa polifenol lain seperti senyawa cineole, phellandrene, terpinolene, dan turmerone (Tiwari et al., 2006).

* Kadar polifenol sudah dikonversi terhadap kadar air sampel (Lampiran)

Gambar 19. Grafik perbandingan kadar polifenol rempah segar dan rempah bubuk

Grafik perbandingan kadar polifenol, seperti yang terlihat pada Gambar 19, menunjukkan ada rempah yang memiliki kadar polifenol dalam bentuk bubuk lebih rendah dibandingkan bantuk segarnya dan ada juga rempah yang memiliki kadar polifenol dalam bentuk bubuk lebih tinggi dibandingkan bantuk segarnya. Lengkuas, jahe, dan cengkeh memiliki kadar polifenol dalam bentuk bubuk lebih tinggi dibandingkan bentuk segarnya. Hal ini dapat disebabkan terlepasnya polifenol terikat akibat perlakuan panas (Tiwari et al., 2006) dan terbebasnya polifenol akibat kerusakan sel yang terjadi selama proses pengeringan (Bartly dan Jacobs, 2000).

Proses pengeringan menyebabkan lapisan-lapisan protein pada bahan pangan yang berfungsi menghalangi masuknya oksigen dari udara mengalami kerusakan. Kerusakan lapisan protein menyebabkan butiran lemak, liposom, atau membran yang dilindungi oleh lapisan protein tersebut terpapar langsung oleh oksigen yang dapat lewat melalui permukaan lapisan tipis non-lipid. Oleh karena itu, oksidasi lipid terjadi lebih cepat pada bahan pangan kering dibandingkan bahan pangan basah. Namun demikian, reaksi oksidasi tersebut hanya terjadi selama penyimpanan bahan pangan kering. Selama proses pengeringan itu sendiri, oksidasi lipid terbatas akibat waktu pengeringan yang singkat, sehingga antioksidan biasanya tidak rusak akibat proses pengeringan (Pokorny, 2001).

Meskipun antioksidan biasanya tidak rusak akibat proses pengeringan, penurunan kadar polifenol pada bentuk bubuk dibandingkan bentuk segarnya sangat besar. Kadar polifenol kencur bubuk 8.8 kali lebih rendah dibandingkan kencur segar, kadar polifenol kunyit bubuk 2.1 kali lebih rendah dibandingkan kunyit segar, dan kadar polifenol bawang putih bubuk 9.4 kali lebih rendah dibandingkan bawang putih segar. Perbedaan besarnya penurunan kadar polifenol pada bentuk bubuk dibandingkan bentuk segarnya terjadi karena stabilitas komponen rempah berbeda-beda tergantung jenis rempah (Tiwari et al., 2006). Meskipun memiliki struktur umum yang sama, polifenol yang terkandung dalam masing-masing rempah memiliki rantai samping berbeda-beda yang akan mempengaruhi stabilitasnya (Suresh et al., 2005).

Penelitian yang dilakukan Sowbhagya et al. (2004) menunjukkan bahwa senyawa curcumin pada kunyit cukup stabil terhadap panas tetapi sensitif terhadap cahaya. Ekstrak etanol dari lengkuas juga terbukti memiliki stabilitas terhadap panas yang baik (Berghofer dan Juntachote, 2005). Eugenol pada cengkeh bersifat stabil dalam kondisi normal namun sensitif terhadap cahaya (Anonim, 2005a). Hanya gingerol yang dilaporkan tidak stabil terhadap panas akibat adanya grup ß-hidroksi-keto pada struktur kimianya (Bhattarai et al., 2001).

Salah satu kelemahan uji polifenol adalah tidak mampu membedakan tipe-tipe fenol yang terkandung (Lee dan Widmer, 1996), sehingga tidak dapat diketahui secara spesifik jenis polifenol apa yang berkontribusi besar terhadap penurunan kadar polifenol secara keseluruhan. Menurut Porter (1979), ada tiga jenis fenol yaitu fenol monohidrat, dihidrat, dan trihidrat. Fenol monohidrat dapat menghambat rantai radikal bebas, contohnya BHA dan BHT. Fenol dihidrat menunjukkan efektifitas antioksidan paling tinggi dibandingkan fenol monohidrat dan trihidrat. Aktivitas fenol trihidrat disebabkan adanya grup karboksil, seperti yang terdapat pada asam galat. Semakin besar grup alkil pada struktur fenolik, semakin rendah efektifitasnya di dalam minyak pada AOM.

Dokumen terkait