• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. PENELITIAN PENDAHULUAN

5.1.2.3. Kadar Protein

Pengukuran kadar protein pada bawang putih dilakukan dengan metode

Kjeldahl. Analisis protein dilakukan tiga kali ulangan dari masing-masing sampel. Perhitungan kadar protein didapatkan dari rata-rata tiga ulangan pada masing-masing sampel. Nilai kadar protein pada bawang putih varietas Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Kadar protein bawang putih varietas Kating dan Shantung

Berdasarkan hasil ujit(independent samples) pada Lampiran 3a, kadar protein bawang putih varietas Kating berdeda dengan varietas Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Faktor yang menentukan perbedaan kandungan protein dari masing-masing bahan adalah varietas, pengaruh kondisi pertumbuhan, waktu panen, dan cara pengolahannya (Winarno dan Koswara 2002).

Berdasarkan hasil ujit(independent samples) pada Lampiran 3b, kadar protein lapisan katom Kating berdeda dengan lapisan katom Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar protein lapisan katom Kating lebih besar dibandingkan lapisan katom Shantung seperti terlihat pada Gambar 12.

5.1.3 Kondisi Kromatografi Gas

Kromatogafi gas digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif komponen-komponen volatil. Oleh karena itu dibutuhkan optimasi atau pencarian kondisi operasi yang tepat untuk memisahkan komponen-komponen volatil dengan baik, berdasarkan bentuk dan garis dasar puncak kromatogram. Tahap ini bertujuan mencari kondisi kromatogafi gas yang dapat memisahkan masing-masing komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih dengan baik, yaitu dengan cara mencari program operasi kromatogafi gas yang tepat.

Untuk mendapatkan program operasi kromatogafi gas yang tepat, dilakukan dengan menginjeksikan standar internal dan eksternal ke dalam kolom kromatogafi gas. Hal ini bertujuan melihat kemampuan kolom dalam melakukan fraksinasi terhadap standar-standar tersebut, terutama standar eksternal. Apabila saat diinjeksikan, standar internal dan eksternal tersebut dapat terfraksinasi dengan baik, berarti kolom tersebut cocok untuk memfraksinasi standar-standar tersebut dan kondisi operasi yang digunakan telah sesuai. Beberapa standar yang digunakan adalah benzyl alcohol(standar internal), dialil monosulfida dan dialil disulfida (standar eksternal), sertadiethyl ether(pelarut).

Pada Lampiran 4 dapat dilihat kromatogram hasil injeksi pelarut diethyl ether

sebesar 0.1 µl. Injeksi ini dilakukan dengan volume yang kecil sebabdiethyl etheryang digunakan memiliki kemurnian yang tinggi. Penginjeksian dengan volume yang besar dikhawatirkan akan menghasilkan puncak yang terlalu tinggi sehingga sulit tergambar. Puncak yang terbentuk pada kromatogram yang dihasilkan cukup baik denganretention timesebesar 2.1 menit dan luas area sebesar 2,788,922. Pada kromatogram ini, terlihat tidak terdapat pengotor dari senyawa lain. Ini menunjukkan bahwa pelarut diethyl ether

tersebut masih dalam keadaan baik sebab tidak tercemar oleh senyawa lain. Kemurnian

diethyl etheryang terdeteksi pada kromatogram yang dihasilkan sangat tinggi mencapai 100%. Hasil ini menunjukkan bahwa pelarutdiethyl ethertersebut layak digunakan dalam penelitian ini.

Hasil kromatogram standar internalbenzyl alcoholdapat dilihat pada Lampiran 5. Konsentrasibenzyl alcoholyang digunakan sebesar 2% dengan menggunakan pelarut

diethyl ether. Standar internal ini diinjeksikan pada kolom kromatogafi gas dengan volume injeksi sebesar 2 µl. Hal ini merupakan volumetrial and erroryang digunakan untuk melihat kemampuan kolom dalam memfraksinasi standar internal. Puncak yang terbentuk pada kromatogram yang dihasilkan memiliki retention time yang cukup baik yaitu sebesar 26.853 menit, tetapi memiliki luas area yang kurang optimal yaitu sebesar 170,279. Oleh karena itu, solusinya adalah dengan memperbesar volume injeksi dari sebelumnya yaitu sebesar 5 µl. Untuk optimasi penginjeksian standar internal digunakan volume injeksi 5 µl, sebab jika digunakan volume lebih besar dikhawatirkan akan menghasilkan puncak yang terlalu tinggi dan luas area yang terlalu besar.

Kromatogram hasil optimasi volume injeksi standar internal (benzyl alcohol2%) sebesar 5 µl dapat dilihat pada Lampiran 6. Puncak yang terbentuk pada kromatogram cukup baik. Pada kromatogram tersebut terlihat bahwa puncak daribenzyl alcoholmuncul

dengan retention time sebesar 26.028 menit dan luas area sebesar 485,194. Data ini selanjutnya akan digunakan untuk analisis kuantitatif pada penelitian utama.

Hasil penginjeksian standar eksternal (dialil monosulfida dan dialil disulfida) dapat dilihat pada Lampiran 7, 8, dan 9. Pada Lampiran 7 dapat dilihat kromatogram hasil injeksi standar eksternal dialil monosulfida. Standar ini diinjeksikan sebesar 0.1 µl pada kolom kromatogafi gas. Terlihat bahwa kromatogram yang dihasilkan menghasilkan puncak yang baik dengan kemurnian yang sangat tinggi sebesar 99.08%. Puncak dari standar ini memilikiretention timesebesar 12.967 menit dan luas area sebesar 540,926.

Lampiran 8 memperlihatkan kromatogram hasil injeksi standar eksternal dialil disulfida. Sama seperti standar dialil monosulfida, standar ini juga diinjeksikan sebesar 0.1 µl pada kolom kromatogafi gas. Puncak yang terbentuk cukup baik dengan kemurnian yang tinggi sebesar 79.45%. Puncak dari standar ini memiliki retention time sebesar 30.017 menit dan luas area sebesar 427,076.

Lampiran 9 memperlihatkan kromatogram hasil injeksi standar campuran dari tiga komponen yaitu dialil monosulfida, dialil disulfida, danbenzyl alcohol2%. Puncak-puncak yang dihasilkan cukup baik dan memiliki retention timesecara berurutan, yaitu 12.933 menit (dialil monosulfida), 26.933 menit (benzyl alcohol), dan 30.025 menit (dialil disulfida). Terlihat retention time dari benzyl alcohol berada di antara retention time

kedua standar eksternal dan terpisah dengan baik. Ini memperlihatkan bahwa benzyl alcoholcukup baik digunakan sebagai standar internal dalam fraksinasi komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida.Retention timedari ketiga komponen standar campuran tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan retention time pada analisis kualitatif dari kromatogram sampel.

Penginjeksian standar-standar di atas dilakukan pada kromatogafi gas dengan kondisi operasi seperti yang tertera pada Tabel 6. Kondisi operasi ini merupakan kondisi yang sudah dioptimasi dan telah sesuai untuk menganalisis komponen-komponen volatil pembentuk flavor pada sampel bawang putih dengan dua varietas yang berbeda yaitu Shantung dan Kating. Kromatogafi gas yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13. Pada dasarnya suatu kromatogafi gas terdiri dari enam komponen utama, yaitu (1) sistem gas pengembang (carrier gas) termasuk tangki penyuplai gas serta pengatur dan alirannya, (2) sistem penyuntikan sampel, (3) kolom pemisah, (4) sistem pendeteksian (detector), (5) elektrometer dan sistem pencatat (recorder), dan (6) unit termostat untuk mengatur suhu oven (Fardiaz 1989).

Tabel 6. Kondisi operasi kromatogafi gas untuk analisis komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih

Kondisi GC Keterangan

Column Capillary column, RTX-5 (5%diphenyl/95%dimethyl polysiloxane), ø 0.53 mm

Detector FID

Carrier gas Nitrogen

Initial temp 40°C

Initial time 1 min

Program rate 2°C/min

Final temp 160°C

Final time 1 min

Injector temp 225°C

Detector temp 225°C

Gambar 13. Kromatogafi gas (SHIMADZU, GC 14 B)

5.1.4 Penentuan Metode Ekstraksi

Metode ekstraksi yang digunakan pada tahap ini yaitu metode ekstraksi Maserasi (perendaman) dan metode ekstraksi-distilasi Likens-Nickerson. Kedua metode tersebut berbeda dalam penggunaan suhu pada proses ekstraksinya. Tujuannya adalah mendapatkan metode ekstraksi terbaik yang digunakan untuk mengekstraksi komponen volatil pembentuk flavor yaitu dialil sulfida dan dialil disulfida. Tahap ini merupakan tahap penyeleksian metode ekstraksi yang nantinya akan digunakan pada penelitian utama. Penentuan metode ekstraksi ini dilakukan melalui tiga cara. Pertama dengan uji pembedaan (difference from control test), sampel yang diuji adalah aroma distilat dibandingkan dengan aroma bawang putih segar sebagai kontrol, kedua dengan

perbandingan rendemen hasil ekstraksi dari dua metode ekstraksi tersebut, dan ketiga dengan perbandingan kromatogram hasil injeksi GC (gas chromatogaphy).

Uji pembedaan (difference from control test) dilakukan terhadap 10 panelis terlatih yang ada di PT. Garudafood Putra Putri Jaya. Para panelis menilai aroma distilat dari bawang putih yang telah diekstrak dengan dua metode (Maserasi dan Likens-Nickerson). Uji pembedaan ini menggunakan nilai tingkatan enam skor penilaian, dilakukan dengan membandingkan aroma distilat dari masing-masing varietas (Kating dan Shantung) terhadap kontrol. Kontrol yang digunakan adalah bawang putih segar dari masing-masing varietas yang telah dihaluskan. Nilai rata-rata skor penilaian hasil uji pembedaan (difference from control) dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Skor penilaian aroma distilat bawang putih varietas Kating dan Shantung

Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 10a menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Kating ada yang berdeda dengan kontrol karena nilai Sig. sampel (0.000) < (0.05). Kemudian dilakukan uji lanjut Dunnett untuk mengetahui sampel mana yang berbeda dengan kontrol. Berdasarkan uji lanjut Dunnett dapat diketahui bahwa aroma distilat bawang putih varietas Kating yang diekstrak dengan metode Maserasi dan Likens-Nickerson berbeda dengan kontrol. Dari hasil uji Dunnett terlihat bahwa perbedaan nilai rata-rata bawang putih varietas Kating yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih kecil dibandingkan metode Maserasi terhadap kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Kating yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih mirip dengan kontrol dibandingkan yang diekstrak dengan metode Maserasi.

Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 10b menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Shantung ada yang berdeda dengan kontrol karena nilai Sig. sampel (0.001) < (0.05). Kemudian dilakukan uji lanjut Dunnett untuk mengetahui sampel mana yang berbeda dengan kontrol. Berdasarkan uji lanjut Dunnett dapat diketahui bahwa aroma distilat bawang putih varietas Shantung yang diekstrak dengan metode Maserasi dan Likens-Nickerson berbeda dengan kontrol. Dari hasil uji Dunnett terlihat bahwa perbedaan nilai rata-rata bawang putih varietas Shantung yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih kecil dibandingkan metode Maserasi terhadap

kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Shantung yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih mirip dengan kontrol dibandingkan yang diekstrak dengan metode Maserasi.

Selain menggunakan uji pembedaan (difference from control), penentuan metode ekstraksi terbaik juga ditentukan dengan membandingkan besarnya nilai rendemen hasil ekstraksi. Rendemen hasil ekstraksi dihitung berdasarkan bobot sampel setelah diekstrak dibandingkan dengan bobot sampel awal. Nilai rendemen hasil ekstraksi menggunakan dua metode ekstraksi (Maserasi dan L-N) pada sampel bawang putih varietas Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 15.

Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 11a, rendemen bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Maserasi berdeda dengan metode Likens-Nickerson pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Rendemen bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Maserasi lebih besar dibandingkan metode Likens-Nickerson. Ini menunjukkan bahwa jumlah komponen yang terekstrak dengan menggunakan metode Maserasi lebih banyak daripada metode Likens-Nickerson.

Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 11b, rendemen bawang putih varietas Shantung yang diekstraksi dengan metode Maserasi tidak berbeda dengan metode Likens-Nickerson pada taraf signifikansi 5% karena nilai P > 0.05.

Gambar 15. Rendemen hasil ekstraksi bawang putih var. Kating dan Shantung (per 50 g bawang putih segar)

Hasil yang didapatkan pada pemilihan metode ekstraksi terbaik berbeda antara uji pembedaan (difference from control) dan analisis rendemen. Berdasarkan uji pembedaan (difference from control), metode ekstraksi terbaik adalah metode Likens-Nickerson, sedangkan berdasarkan analisis rendemen adalah metode Maserasi. Untuk menentukan metode yang paling tepat digunakan untuk ekstraksi bawang putih varietas Kating dan Shantung diperlukan analisis kromatogafi gas.

Hasil injeksi kromatogasi gas dari bawang putih varietas Kating dan Shantung dengan menggunakan dua metode ekstraksi (Maserasi dan Likens-Nickerson) dapat dilihat pada Lampiran 12(a,b), 13(a,b), 14(a,b), dan 15(a,b). Dari hasil injeksi ini, akan

dilihat kromatogram yang didapat untuk menentukan metode ekstraksi yang lebih baik dalam mengekstrak bawang putih dari dua jenis varietas (Kating dan Shantung). Pada Lampiran 12(a,b), dapat dilihat hasil kromatogram bawang putih varietas Shantung yang diekstraksi dengan metode Likens-Nickerson menggunakan pelarut diethyl ether

sebanyak 50 ml. Pada kromatogram ini, teridentifikasi adanya puncak-puncak yang menunjukan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida secara kualitatif.

Penentuan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida yang terdapat pada sampel, secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan standar eksternal. Pada penelitian ini, tidak digunakan dialil trisulfida sebagai standar eksternal sebab sulit diperoleh dari supplier. Oleh karena itu diputuskan hanya menggunakan dua standar eksternal, yaitu dialil monosulfida dan dialil disulfida. Dialil trisufida juga merupakan salah satu komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih, tetapi persentasenya paling kecil pada bawang putih jika dibandingkan dua komponen lainnya (dialil monosulfida dan dialil disulfida), seperti terlihat pada Gambar 3. Secara kuantitatif, dialil monosulfida dan dialil disulfida yang terdapat pada sampel ditentukan dengan menggunakan standar internal benzyl alcohol yang diinjeksikan bersama sampel. Konsentrasibenzyl alcoholyang digunakan sebesar 2% (Kurniawan 1994).

Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 terlihat bahwa jumlah komponen dialil disulfida lebih besar jumlahnya dibandingkan komponen dialil monosulfida. Hasil ini sesuai dengan diagram alir pada Gambar 3, dimana persentase jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dari dialil monosulfida (Block 1992).

Tabel 7. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dengan metode Likens-Nickerson

Sampel Dialil monosulfida

(ppm)

Dialil disulfida (ppm)

Bawang putih

var. Shantung L-N 0.413 69.796

Pada Lampiran 13(a,b), terlihat hasil kromatogram bawang putih varietas Shantung yang diekstraksi dengan metode Maserasi menggunakan pelarut diethyl ether

sebanyak 50 ml. Secara kualitatif, tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen dialil monosulfida, sedangkan komponen dialil disulfida dapat teridentifikasi. Komponen dialil monosulfida tidak teridentifikasi pada kromatogram yang dihasilkan, sebab tidak muncul puncak denganretention timeyang berada pada kisaranretention time

standar eksternal dialil monosulfida. Pada kromatogram ini, tidak dapat dihitung jumlah komponen dialil monosulfida secara kuantitatif. Hanya komponen dialil disulfida yang dapat dianalisis secara kuantitatif. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung yang ekstraksi dengan metode Maserasi dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dengan metode Maserasi

Sampel Dialil monosulfida

(ppm)

Dialil disulfida (ppm)

Bawang putih

var. Shantung Maserasi __ 1.144

Jika dibandingkan hasil kromatogram pada Tabel 7 dan 8, terlihat bahwa metode Likens-Nickerson lebih baik dibandingkan metode Maserasi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, dengan metode Likens-Nickerson dapat teridentifikasi komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida dengan baik, sedangkan metode Maserasi tidak. Secara kuantitatif, metode Likens-Nickerson menghasilkan jumlah komponen dialil disulfida yang lebih besar dibandingkan metode Maserasi untuk sampel bawang putih varietas Shantung. Komponen dialil monosulfida tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif, sebab pada kromatogram dari metode Maserasi tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen tersebut.

Pada Lampiran 14(a,b), terlihat hasil kromatogram bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Likens-Nickerson menggunakan pelarut diethyl ether

sebanyak 50 ml. Secara kualitatif, teridentifikasi dengan baik puncak-puncak yang menunjukkan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Hasil analisis kuantitatif tertera pada Tabel 9. Terlihat bahwa jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dibandingkan dialil monosulfida.

Tabel 9. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dengan metode Likens-Nickerson

Sampel Dialil monosulfida

(ppm)

Dialil disulfida (ppm)

Bawang putih

var. Kating L-N 1.719 52.541

Pada Lampiran 15(a,b), terlihat hasil kromatogram bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Maserasi menggunakan pelarutdiethyl ethersebanyak 50 ml. Secara kualitatif, tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen dialil monosulfida, sedangkan komponen dialil disulfida dapat teridentifikasi. Pada kromatogram ini, tidak dapat dihitung jumlah komponen dialil monosulfida secara kuantitatif sebab komponen tersebut tidak teridentifikasi puncaknya. Hanya komponen dialil disulfida yang dapat dianalisis secara kuantitatif. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil disulfida dapat dilihat pada Tabel 10. Secara kualitatif dan kuantitatif, hasil yang didapatkan dengan menggunakan metode Maserasi memiliki kemiripan, yaitu tidak teridentifikasi komponen dialil monosulfida sehingga jumlahnya tidak dapat ditentukan.

Tabel 10. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dengan metode Maserasi

Sampel Dialil monosulfida

(ppm)

Dialil disulfida (ppm)

Bawang putih

var. Kating Maserasi __ 0.613

Jika dibandingkan hasil kromatogram pada Tabel 9 dan 10, terlihat metode ekstraksi Likens-Nickerson lebih baik dibandingkan metode ekstraksi Maserasi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, metode Likens-Nickerson dapat mengidentifikasi komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida dengan baik, sedangkan metode Maserasi tidak. Secara kuantitatif, metode Likens-Nickerson menghasilkan jumlah komponen dialil disulfida yang lebih besar dibandingkan metode Maserasi untuk sampel bawang putih varietas Kating. Komponen dialil monosulfida tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif sebab pada kromatogram dari metode Maserasi tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen tersebut.

Berdasarkan hasil perbandingan kromatogram di atas, terlihat bahwa metode ekstraksi Likens-Nickerson lebih baik dari metode ekstraksi Maserasi, baik untuk sampel bawang putih varietas Shantung maupun Kating. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap kromatogram yang dihasilkan. Kromatogram dari sampel yang diekstraksi dengan metode Likens-Nickerson menghasilkan puncak-puncak yang lebih baik secara kualitatif maupun kuantitatif dibandingkan metode Maserasi.

Berdasarkan hasil uji pembedaan (difference from control) dan analisis kromatografi gas, terlihat bahwa metode Likens-Nickerson lebih baik dari metode Maserasi, baik pada bawang putih varietas Kating maupun Shantung. Sedangkan berdasarkan analisis rendemen, metode Maserasi lebih baik dari metode Likens-Nickerson. Analisis rendemen tidak sepenuhnya menggambarkan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih, sebab rendemen dipengaruhi oleh perbedaan varietas. Oleh karena itu, diputuskan bahwa metode Likens-Nickerson merupakan metode terpilih dan akan digunakan pada tahap ekstraksi selanjutnya.

Menurut Block (1992), metode Likens-Nickerson merupakan metode ekstraksi yang lebih sederhana dan praktis daripada metode ekstraksi lainnya, ini disebabkan hasil ekstrak yang diperoleh berupa minyak distilat yang bebas dari senyawa organik seperti karbohidrat dan lilin. Selain itu, Block (1992) menyatakan bahwa komponen volatil aktif yang terdapat pada bentuk distilat adalah komponen sekunder yang merupakan hasil degradasi senyawa alisin.

5.1.5 Kondisi Ekstraksi

Tahap ini bertujuan mencari kondisi ekstraksi optimum dari metode ekstraksi terbaik. Pada penelitian ini, kondisi ekstraksi dilakukan berdasarkan kandungan tiga komponen aktif pada bawang putih, yaitu dialil sulfida, dialil disulfida, dan dialil trisulfida. Ketiga komponen tersebut digunakan sebagai indikator karena merupakan komponen utama turunan alisin, penentu cita rasa, mempunyai aktivitas bioaktif, dan terdapat pada bawang putih segar dan olahannya (Morton dan MacLoad 1982).

Pada saat persiapan sampel, bobot bawang putih yang digunakan hanya 50 g. Hal ini digunakan untuk mempercepat waktu persiapan sampel. Selain itu, Kurniawan (1994) menyatakan bahwa dengan menggunakan jumlah sampel minimal sebanyak 50 g sudah dapat mendeteksi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada kromatogram. Berat bawang putih 50 g digunakan sebagai dasar ekstraksi pada penelitian selanjutnya dengan penambahan air sebanyak 200 ml (Kurniawan 1994).

Penghancuran sampel bawang putih dilakukan dengan menggunakan alat penghancur secara manual. Alat penghancur sampel bawang putih ini dapat dilihat pada Gambar 16. Penghancuran bawang putih tidak menggunakan warring blender sebab sampel menjadi lengket dan menempel di bagian dalamwarring blendersehingga sampel sulit diambil. Selain itu, penggunaaan warring blender dalam waktu cukup lama dapat memicu kenaikan suhu. Oleh karena itu digunakan alat penghancur manual untuk mengurangi kelemahan pada warring blender. Penghancuran bawang putih sebaiknya dilakukan dalam waktu singkat untuk mencegah kenaikan suhu yang dapat mengurangi keaktifan enzim-enzim pada bawang putih. Block (1992) menyatakan bahwa enzim alinase aktif pada suhu 23C.

Gambar 16. Alat penghancur bawang putih

Sebelum digunakan untuk mengekstrak sampel pada penelitian utama, perlu dilakukan optimasi pada metode Likens-Nickerson. Menurut Kurniawan (1994), optimasi didapatkan pada kombinasi jumlah pelarut diethy ether sebanyak 80 ml dan lamanya waktu ekstraksi 2 jam. Penelitian ini langsung melakukan optimasi pada kombinasi tersebut.

Pada saat ekstraksi digunakan MgSO4 anhidrat untuk menghambat pengembangan sampel dan mencegah terbentuknya busa selama distilasi berlangsung. Setelah dilakukan ekstraksi, hasil ekstraksi dipekatkan dengan menggunakan gas N2. Proses pemekatan pernah dicoba menggunakan kolom vigreux tetapi hasil injeksinya kurang baik pada kromatogafi gas. Hal ini dikarenakan kolom vigreux menggunakan panas untuk menguapkan sisa pelarut yang masih bercampur dengan distilat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penguapan pada distilat yang dipekatkan dan juga degadasi dari komponen volatil pembentuk flavor yang terekstrak.

Dokumen terkait