• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Kaidah Gramatika Bahasa Arab

2. Fi'il Amr

Dalam kaidah gramatika bahasa Arab, kita juga mengenal fi'il amr (رمأَلعف) yang merupakan perintah untuk mengerjakan sesuatu. Misalnya kata qara’ –

yaqra’u di atas bisa diubah menjadi fi’il amr yaitu

iqra' (أرقا) yang maknanya bacalah. Kalau Allah SWT memerintahkan sesuatu kepada kita, maka kita sepakat hukumnya wajib. Persis sebagaimana para khatib kalau berpesan dalam khutbahnya, mari kita laksanakan semua perintah Allah.

Para ulama ushul punya kaidah baku dalam hal ini, yaitu al-amru yaqtadhi al-wujub (بوجولاَيضتقيَرملأا), yang artinya bahwa perintah itu berkonsekuensi pada kewajiban.

Namun dalam kenyataannya, tidak semua perintah Allah di dalam Al-Quran bernilai wajib. Kadangkalah hanya sunnah, kadangkali hanya mubah, bahkan kadang perintah itu justru haram dilakukan.

a. Perintah Yang Sunnah

Di antara contoh perintah dalam Al-Quran yang hukumnya berubah menjadi sunnah adalah perintah shalat tahajjud, shalat Idul Adha dan perintah mendatangkan saksi ketika berhutang.

▪ Perintah Shalat Tahajjud

ِّهِّب حدَّجَهَ تَ ف ِّلحيَّللا َنِّمَو

Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu (QS. Al-Isra : 79)

Meski tahajjud ini diperintahkan lewat fi'il amr, namun tidak ada satu pun ulama yang mengatakan hukumnya wajib. Sebab sudah menjadi ijma’ para ulama bahwa shalat yang wajib hanya shalat lima waktu saja. Di luar shalat lima waktu hukumnya sunnah, termasuk hukum shalat Tahajjud.

▪ Perintah Shalat Idul Adha

Begitu juga ketika Allah SWT perintahkan shalat Idul Ahda dalam ayat berikut ini :

حرَحنْاَو َكِّ بَرِّل ِّ لَصَف

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. (QS. Al-Kautsar : 2)

Ternyata shalat yang diperintahkan disini bukan shalat 5 waktu, melainkan shalat Idul Adha. Hukumnya sunnah muakkadah. Tapi dari mana para ulama tahu bahwa perintah shalat di ayat ini maksudnya shalat Idul Adha? Padahal tidak tercantum di dalam ayat ini?

Ternyata para ulama mengetahuinya lewat siyaq yang terkandung di dalam ayat itu, yaitu perintah untuk berqurban. Shalat apa yang diperintahkan sebelum kita menyembelih hewan qurban? Ya, tentu saja shalat Idul Adha, dimana sudah menjadi ijma’

para ulama hukumnya tidak wajib, melainkan sunnah muakkadah.

▪ Perintah Adanya Saksi Dalam Akad Hutang

Masalah hutang-piutang di dalam Al-Quran sempat disebut-sebut, yaitu termuat di dalam surat yang paling panjang dan di ayat yang paling panjang juga.

ٌلُجَرَ ف ِّحيَْلُجَر َنَوُكَي حَلَ حنِّإَف ۖ حمُكِّلاَجِّر حنِّم ِّنحيَديِّهَش اوُدِّهحشَتحساَو

َرِّ كَذُتَ ف اَُهُاَدححِّإ َّلِّضَت حنَأ ِّءاَدَهُّشلا َنِّم َنحوَضحرَ ت حنَِّّمِ ِّنَتََأَرحماَو

ٰىَرحخُحلِا اَُهُاَدححِّإ

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah : 282)

Potongan ayat di atas tegas sekali dimana Allah SWT memerintahkan hutang-piutang itu harus disaksikan oleh dua orang saksi. Lebih dari itu, kalau tidak ada dua orang laki-laki, maka posisinya digantikan oleh dua orang perempuan. Kenapa harus dua orang perempuan? Karena boleh jadi ada yang lupa, maka temannya akan membantu mengingatkan. Dan begitulah betapa rincinya ketentuan, sampai masuk urusan yang teknis sekali.

Namun para ulama sepakat bahwa meski ayat ini memerintahkan harus ada saksi dalam akad hutang-piutang, namun mereka tidak mewajibkan adanya

saksi. Maksudnya, bila ada akad hutang-piutang yang tidak mendatangkan saksi, tetap hukumnya sah dan tidak ada dosa atas hal itu.

b. Perintah Yang Mubah

Beberapa perintah Allah dalam Al-Quran ada yang hukumnya tidak wajib, tapi sekedar mubah saja. Padahal perintah itu menggunakan fi'il amr. Misalnya perintah bekerja seusai shalat Jumat, jima’ istri di malam bulan Ramadhan, dan perintah berburu seusai ihram.

▪ Perintah Bekerja Setelah Shalat Jumat

Contohnya adalah perintah untuk bertebaran di muka bumi dan mencari rizki seusai shalat Jumat.

َِّّللّا ِّلحضَف حنِّم اوُغَ تح باَو ِّضحرَحلِا ِّفِ اوُرِّشَتح ناَف ُة َلََّصلا ِّتَيِّضُق اَذِّإَف

َنوُحِّلحفُ ت حمُكَّلَعَل اًيِّثَك ََّللّا اوُرُكحذاَو

Apabila telah ditunaikan shalat, maka

bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumuah : 10)

Kalau hanya mengandalkan makna harfiyah dalam ayat ini, maka bila selesai shalat Jumat kita tidak bertebaran mencari rizki, maka kita berdosa karena mengabaikan perintah Allah.

Namun kita semua tahu bahwa hukum bekerja cari rizki seusai shalat Jumat tidak wajib. Bahkan di Timur Tengah sana, hari Jumat malah merupakan hari libur. Mereka justru tidak bekerja di hari Jumat. Lantas apakah mereka semua berdosa dan masuk

neraka gara-gara tidak mengamalkan perintah Allah? Jawabnya jelas tidak.

▪ Perintah Jima’ Malam Ramadhan

Kalau kita teliti ayat berikut ini, maka kita sadar bahwa ternyata di malam bulan Ramadhan itu ada perintah untuk melakukan jima’.

حمُكَل َُّللّا َبَتَك اَم اوُغَ تح باَو َّنُهوُرِّشَبِ َن حلْاَف

Maka mulai sekarang campurilah (berjima’lah) dengan mereka (yaitu para istri) dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. (QS. Al-Baqarah : 187)

Kalau hanya berlandaskan kaidah gramatika bahasa Arab, melakukan jima’ ini merupakan perintah Allah SWT di dalam Al-Quran, maka siapa yang tidak berjima’ dengan istrinya akan berdosa karena meninggalkan perintah Allah SWT.

Namun seluruh ulama sepakat bahwa meski datang dengan format perintah, namun hukumnya tidak wajib. Hukumnya boleh-boleh saja tidak sampai sunnah apalagi wajib.

▪ Perintah Berburu Usai Ihram

Potongan ayat kedua dari Surat Al-Maidah ini agak aneh, karena kita diperintahkan untuk berburu apabila telah usai bertahallul dari ihram. Perhatikan baik-baik lafadznya :

َاوُدا طْصا فَْمُتْل ل حَا ذِإ و

Bila kamu sudah tahallul maka berburulah (QS. Al-Maidah : 2)

Kalau hanya mengandalkan kaidah grammatika bahasa Arab semata, maka berburu menjadi kewajiban bagi siapa pun yang telah selesai dari berihram. Sebab sighatnya datang dalam bentuk fi’il amr dan secara ghalibnya yang namanya perintah itu menjadi kewajiban. Seharusnya kita berdosa kalau tidak berburu usai bertahallul.

Namun seluruh ulama sepakat bahwa hukum berburu di ayat itu sama sekali bukan sunnah apalagi kewajiban. Hukum berburu seusai berihram disepakati hanya mubah alias boleh-boleh saja. Kita mengetahuinya dari latar belakangnya, dimana awalnya berburu saat ihram itu diharamkan dan diancam terkena denda, lalu kemudian seusai ihram diperintahkan, maka kesimpulannya bukan wajib atau sunnah melainkan hukumnya boleh.

c. Perintah Yang Haram Dilaksanakan

Sampai disini pembahasan tentang hukum dari perintah akan semakin seru. Sebab perintah Allah SWT itu bukan sunnah dan bukan wajib, tetapi malah justru haram untuk dilaksanakan. Di antarnya perintah pada ayat-ayat berikut ini :

▪ Perintah Menyembah Tuhan Selain Allah

ِّهِّنوُد حنِّم حمُتح ئِّش اَم اوُدُبحعاَف

Maka sembahlah apa yang kamu kehendaki selain Dia. (QS. Az-Zumar : 15)

Meski ayat ini memerintahkan kita menyembah tuhan selain Allah, namun perbuatan itu jelas terlarang dan hukumnya haram serta syirik. Sebab

ayat ini diturunkan dalam konteks sedang mengancam orang kafir.

Kalau berani sembah saja tuhan-tuhan yang kamu sukai selain Allah. Jelas ini bukan perintah, tetapi ini sebenarnya ancaman. Kalau sampai dikerjakan, bukan dapat pahala tetapi malah menuai dosa dan siksa di neraka.

▪ Perintah Boleh Mengerjakan Apa Saja

Unik juga ayat berikut ini kalau kita potong lafazh di depan dan di belakangnya.

حمُتح ئِّش اَم اوُلَمحعا

Perbuatlah apa saja yang kamu kehendaki. (QS. Fushshilat : 40)

Meski ayat ini memerintahkan kita melakukan apa saja yang kita mau, termasuk yang haram-haram, namun jelas melakukan yang haram itu tidak boleh, terlarang dan berdosa. Sebab lagi-lagi perintah ini dalam konteks sedang mengancam orang kafir. Maknanya begini, kalau berani kerjakan saja apa yang kamu mau. Ini bukan perintah untuk mengerjakan semau kita, ini adalah ancaman yang beresiko dosa dan siksaan di alam api neraka.

▪ Perintah Bersenang-senang Dalam Kekafiran Orang-orang kafir yang dimarahi oleh Allah memang diperlakukan cukup unik, yaitu justru diperintah menikamati kekafiran dan dosa-dosa dalam hidup, sebagaimana ayat berikut :

ِّراَّنلا َلَِّإ حمُكَيِّصَم َّنِّإَف اوُعَّ تََتَ حلُق

Katakanlah,"Silahkan bersenang-senang, karena karena tempat kalian di neraka (QS. Ibrahim : 30)

Namun ayat ini meski membolehkan bahkan memerintahkan kita bersenang-senang dalam dosa dan kekafiran, namun hal itu dilarang, haram dan berdosa. Kalau sampai kita melakukannya, maka akan di siksa di neraka.

▪ Perintah Memalsukan Al-Quran

Memalsu Al-Quran adalah perbuatan yang haram dan terlarang. Namun justru Allah SWT malah memerintahkannya, sebagaimana tertuang di dalam ayat berikut :

ِّهِّلحثِّم حنِّم ٍةَروُسِّب اوُتحأَف َنَِّدحبَع ٰىَلَع اَنحلَّزَ ن اَِّّمِ ٍبحيَر ِّفِ حمُتح نُك حنِّإَو

َِّّللّا ِّنوُد حنِّم حمُكَءاَدَهُش اوُعحداَو

َيِّْقِّداَص حمُتح نُك حنِّإ

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al-Baqarah : 23)

Meski kalimatnya dalam bentuk perintah, namun hukumnya tentu saja tidak boleh dilakukan. Karena itu berarti membuat Al-Quran palsu.

d. Kalimat Perintah Punya 16 Makna

Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Usul Fiqih-nya menyebutkan bahwa para ulama banyak menulis

tentang tema amr atau perintah ini dan menyebutkan bahwa ada banyak makna dari suatu perintah (amr).

Salah satunya apa yang ditulis oleh Ibnu Mas'ud Al-Hanafi, dimana ada 16 makna yang berbeda dari kalimat perintah dalam Al-Quran. Diantaranya wajib,

nadb, ibahah, tahdid, irsyad, ta'dib, indzar, imtinan, ikram, imtihan, takwin, ta'jiz, ihanah, taswiyah, doa, tamanni, ihtiqar, khabar. i'tibar, takjub, takzib, masyurah, iradatul imtitsal, izn, im'an dan tafwidh.

Sedangkan As-Subki dalam Jam'ul Jawami' malah menyebutkan lebih banyak lagi, yaitu hingga ada 26 makna yang berbeda. Hal yang mana juga yang dikatakan oleh Ibnu Badran.

Dokumen terkait