• Tidak ada hasil yang ditemukan

Page 4 of 58 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Page 4 of 58 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT) Penerjemahan Al-Quran

Penulis : Ahmad Sarwat, Lc.,MA 58 hlm

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Judul Buku

Penerjemahan Al-Quran

Penulis

Ahmad Sarwat, Lc. MA

Editor

Fatih

Setting & Lay out

Fayyad & Fawwaz

Desain Cover

Faqih

Penerbit

Rumah Fiqih Publishing

Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan

(5)

Daftar Isi

Daftar Isi ... 5

A. Sejarah Penerjemahan Al-Quran ... 7

1. Dilakukan Oleh Non Muslim ... 7

2. Ditentang Ulama Al-Azhar dan Seluruh Dunia ... 9

3. Penerjemahan Dari Kalangan Muslimin ... 10

B. Kendala Penerjemahan ... 11

1. Terbatasnya Padanan Kata ... 11

a. Quru’ ... 11

b. Menyembelih ... 12

c. Banyak Nama Unta ... 14

d. Nasi dan Variannya ... 19

e. Berselimut dan Berkelumun... 21

2. Kendala Rasa Bahasa ... 22

a. Kewajiban Puasa Ramadhan ... 23

b. Larangan Menyetubuhi Istri Haidh ... 24

c. Kewajiban Menjalani Masa ‘Iddah... 24

d. Kewajiban Menghadirkan Saksi Tuduhan Zina ... 25

e. Denda Membunuh Karena Tersalah ... 26

f. Kewajiban Memakai Jilbab ... 27

g. Hukum Menyusui Anak Hingga Dua Tahun .... 28

h. Hukum Memberi Pesangon Buat Mantan Istri ... 28

(6)

j. Perintah Membaca Ta’awaudz Sebelum Baca

Quran ... 29

3. Terbatasnya Ruang Penerjemahan ... 30

4. Banyaknya Versi Penafsiran Para Ulama ... 31

5. Lemahnya Penguasaan Bahasa Indonesia ... 31

a. Tsamarat dan Fakihah ... 32

b. Haidh dan Mahidh. ... 36

C. Kaidah Gramatika Bahasa Arab ... 38

1. Fi’il Madhi... 38

a. Selesai Baca Quran Baru Baca Ta'awudz ... 39

b. Wudhu Dikerjakan Setelah Shalat? ... 40

2. Fi'il Amr ... 41

a. Perintah Yang Sunnah ... 41

d. Kalimat Perintah Punya 16 Makna ... 48

3. Huruf ... 49

a. Fauqa (قوف) : Di Atas ... 49

b. Wa (َ و) : Dan ... 51

D. Bukan Makna Secara Harfiyah ... 53

1. Waris Anak Perempuan Lebih Dari Dua Orang 53 2. Hukum Melakukan Sa'i, Bolehkah? ... 54

3. Bayar Fidyah Bagi Yang Mampu Puasa? ... 55

4. Sakit atau Safar : Wajib Ganti Puasa? ... 57

(7)

A. Sejarah Penerjemahan Al-Quran

1. Dilakukan Oleh Non Muslim

Kalau kita tengok sejarah penerjemahan Al-Quran ke dalam berbagai bahasa selain Arab, justru yang melakukannya bukan dari kalangan muslimin.

Dalam muqaddimah Al-Quran dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh yayasan Penerjemah Al-Quran, ada disebutkan sekelumit sejarah penerjemahan Al-Quran. Disebutkan justru penerjemahan itu awalnya ditentang oleh para ulama karena sebab umumnya terjemahan itu tidak benar dan jauh melenceng dari makna yang sebenarnya.

Memang kalau kita telusuri sejarah, penerjemahan Al-Quran pertama kali justru untuk dilakukan oleh orang-orang non-muslim.

1135 Terbit terjemahan Al-Quran pertama dalam bahasa latin untuk keperluan Biara Culgni 1530 terbit terjemah di Venice dalam bahasa

Latin oleh Robert Ketton (Robetus Retanensis). Kemudian dari terjemahan bahasa Latin inilah Al-Quran diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain di Barat. 1616 terbit terjemahannya dalam bahasa

(8)

(Bavaria).

1647 terbit dalam bahasa Prancis oleh Du Ryer. 1649 Terbit dalam bahasa Perancis oleh

Alexander Ross

1689 Terbit dalam bahasa Latin oleh Ludovici Maracci

1734 Terbit dalam bahasa Inggris oleh George Sale

1776 terbit dalam bahasa Rusia di St. Petersburg. 1783 Terbit dalam bahasa Perancis oleh Savari 1840 Terbit dalam bahasa Perancis oleh

Kasimirski. Banyaknya terbit Al-Quran dalam bahasa Perancis karena kepentingan penjajahan. Saat itu Perancis sedang menjajah Al-Jazair dan Afrika Utara

1773 Terbit dalam bahasa Jerman oleh Boysen 1828 Terbit dalam bahasa Jerman oleh Wahl 1840 Terbit dalam bahasa Jerman oleh Ullmann

Namun semua terjemahan itu punya cacat yang fatal.

▪ Pertama, umumnya terjemahan ditulis oleh non-muslim yang selain tidak mengerti bahasa Arab, juga tidak mengerti Al-Quran. Mereka adalah para orientalis yang kurang kredibel.

(9)

▪ Kedua, tujuan penerjemahan itu umumnya sekedar untuk bisa menguasai negeri muslim yang sedang mereka jajah.

▪ Ketiga, kebanyakan isi terjemahannya nyaris justru keliru dan menjelek-jelekkan Islam dan semangat ingin menjauhkan bangsa Eropa dari penyebaran Islam.

▪ Keempat, hampir semua terjemahan itu tidak menyertakan teks aslinya bahasa Arab. Sehingga tidak bisa disebut sebagai Al-Quran, karena sekedar terjemah yang sangat besar terjadi miss-interpretasi.

2. Ditentang Ulama Al-Azhar dan Seluruh Dunia Dengan riwayat penerjemahan Al-Quran di Eropa yang sangat sedemikian buruk dan menyesatkan itulah maka reaksi awal dari kalangan para ulama muslim sedemikian keras menolak berbagai macam upaya penerjemahan. Sebab nyaris semua penerjemahan itu keliru fatal, menyesatkan dan jauh sekali dari apa yang dimaksud.

Para ulama di seluruh dunia, mulai dari ulama Afrika Utara, Asia Selatan, termasuk para ulama Al-Ahzar, juga umumnya menentang berbagai macam bentuk penerjemahan Al-Quran.

Semua itu wajar karena yang menulis terjemahan itu memang musuh-musuh Islam yang sejak awal sudah benci dan sinis terhadap agama Islam. Mereka rata-rata mengerjakan penerjemahan Al-Quran hanya semata-mata karena punya kepentingan untuk memperdaya umat Islam sendiri.

(10)

3. Penerjemahan Dari Kalangan Muslimin

Di masa modern ini, penerjemahan Al-Quran sudah tidak lagi ditentang, bahkan malah mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak, termasuk juga para ulama.

Mereka menyadari pentingnya Al-Quran diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia, namun dengan berbagai catatan yang penting, agar tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan sebelumnya.

Setidaknya yang menerjemahkan harus dari kalangan muslim sendiri, biar sejak awal tidak ada konflik kepentingan. Ditambah harus yang benar-benar lurus aqidahnya serta menguasai berbagai macam perangkat dalam memahami Al-Quran.

(11)

B. Kendala Penerjemahan

Secara teknis, meskipun penerjemahan Al-Quran dilakukan oleh para ulama dan ahli tafsir, namun tetap saja masalahnya masih banyak. Kendala-kendala itu menanti di tengah jalan, antara lain : 1. Terbatasnya Padanan Kata

Bahasa Arab yang sedemikian luas itu, seringkali tidak kita temukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Para penerjemah akhirnya menggunakan padanan kata yang hanya sedikit mendekati, namun sebenarnya tidak terlalu tepat untuk digunakan. Penulis suguhkan beberapa contoh biar lebih jelas. a. Quru’

Kata quru’ (ءورق) di dalam Al-Quran muncul terkait dengan berapa lama masa ‘iddah yang harus dijalani seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya. Disebutkan bahwa masa ‘iddah itu tiga kali quru’. Tapi kata quru’ ini tidak punya padanan kata dalam Bahasa Indonesia, sehingga tidak bisa diterjemahkan secara presisi. Lagi pula kata ini dalam bahasa Arabnya sendiri sudah punya dua makna yang saling berbeda, antara masa haidh dan masa suci dari haidh.

Coba perhatikan terjemahan Al-Quran dari Kementerian Agama RI di bawah ini.

(12)

Terjemahan edisi tahun 1989 menggunakan footnote pada lafadz quru’, yang dijelaskan menjadi (quru’ dapat diartikan suci dan haid)

Sedangkan dalam terjemah edisi 2019, footnotenya menghilang dan penjelasannya dimasukkan ke dalam kurung (suci atau haidh).

Coba bayangkan bagaimana kita yang termasuk orang awam bisa memahami maksud ayat ini. Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’ (suci atau haid). Bisa dipastikan sulit memahami terjemahan macam begini. Tiga kali suci atau haid itu maksudnya apakah boleh memilih salah satu, ataukah suci dan haidh, atau bagaimana? Lalu apa pula yang dimaksud dengan menahan diri di ayat itu? Bersabar atau berduka atau apa? Sama sekali tidak jelas, bukan?

Kalau hanya mengandalkan terjemahan saja, tidak mungkin bisa dipahami maksudnya. Lain halnya bila bukan penjelasannya bisa lebih panjang lagi, tapi namanya sudah bukan lagi terjemah tapi sudah menjadi tafsir.

b. Menyembelih

Menyembelih hewan di dalam Al-Quran disebutkan dengan tiga istilah yang berbeda, yaitu dzabh (حبذ), nahr (رحن) dan ‘aqr (رقع). Ketiganya memang punya makna yang berdekatan, namun masing-masing tetap berbeda secara teknisnya. Sayangnya dalam Bahasa Indonesia kita tidak punya padanan kata yang tepat untuk menjelaskan

(13)

bagaimana bentuk dari teknis penyembelihan masing-masing. Dan akibatnya penerjemahannya menjadi kurang akurat.

Dzabaha (حبذ) disebutkan di dalam beberapa ayat, misalnya ََsurat Al-Baqarah ayat 67 (ََاوُح بْذ تََ ْن أَْمُك ُرُمْأ يَ َّاللَََّّنِإ َ ة ر ق ب), Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. Juga oada ayat 71

surat yang sama : (َ نوُل عْف ي َاوُدا ك َا م وَ ََا هوُح ب ذ ف) Kemudian

mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. Dan juga surat

Ash-Shaffat : 107 (َ ميِظ عَََ حْبِذِبََُها نْي د ف و) Dan Kami tebus anak itu

dengan seekor sembelihan yang besar.

Yang kedua adalah Nahr (رحن) dan sering diterjemahkan juga sebagai ’menyembelih’, padahal sebenarnya nahr itu berbeda dengan menyembelih. Nahr adalah menusuk leher unta hingga mengenai

hulqum (موقلح) dari atas dada. Penusukan dilakukan

dengan tombak tepat pada bagian leher seekor unta, karena hewan itu cukup besar dan sulit untuk digeletakkan di atas tanah terlebih dahulu. Namun di banyak terjemahan, rata-rata ‘nahr’ diterjemahkan sekedar menjadi ’menyembelih’ saja atau malah jadi ’berkurban’.

حرَحنْاَو َكِّ بَرِّل ِّ لَصَف

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. (QS. Al-Kautsar : 2)

’Aqar ( رقع) seringkali diterjemahkan secara mudah menjadi ’menyembelih’. Padahal ’aqr itu bukan menyembelih, setidaknya bukan seperti yang kita kenal. ’Aqr itu menebas leher unta ketika unta itu

(14)

masih berdiri. Disebutkan di dalam Al-Quran :

حمِِّّ بَّر ِّرحمَأ حنَع احوَ تَعَو َةَقاَّنلا اوُرَقَعَ ف

Kemudian mereka ’sembelih’ unta betina itu, dan

mereka berlaku angkuh terhadap perintah

Tuhan.(QS. Al-A'raf : 77)

اَهوُرَقَعَ ف ُهوُبَّذَكَف

Lalu mereka mendustakannya dan

‘menyembelih’ unta itu (QS. Asy-Syams : 14)

Memang perbedaan teknis bentuk penyembelihan tidak terlalu mempengaruhi hukum dan ketentuannya. Sehingga kalau pun ketiganya mau diterjemahkan sama sama jadi penyembelihan, tidak akan mengganggu hukumnya.

c. Banyak Nama Unta

Orang Arab sangat akrab unta. Jangan heran kalau dalam Al-Quran ada 9 kata yang berlainan namun semua mengacu kepada satu hewan unta. ▪ Pertama : Jamal (ل م ج)

Jamal adalah sebutan unta jantan.

َجِّلَي َّٰتََّح َةَّنَحلْا َنوُلُخحدَي َلََو

ُلَمَحلْا

ِّ مَس ِّفِ

ِّطاَيِّحلْا

tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. (QS. Al-Araf : 40)

▪ Kedua : Jimalah (تلا م ِج)

Bentuk lain dari jamal adalah jimalah. Allah SWT sebutkan jimalah ketika menggambarkan betapa

(15)

besarnya bunga api di dalam neraka yang sebesar dan setinggi istana. Penggambarannya dengan membandingkannya dengan tubuh unta yang amat besar.

َ رْفُصََ ت لا م ِجَُهَّن أ ك

Seolah-olah ia iringan unta yang kuning. (QS. Al-Mursalat : 33)

▪ Ketiga : Naqah (ة قا ن)

Naqah adalah unta betina, sebagai lawan dari jamal. Di dalam Al-Quran terulang-ulang sampai 7 kali, semuanya mengacu kepada unta Nabi Shalih

alihissalam yang disembelih.

ِّهِّذَٰه

َِّّللّا ُةَقَنَ

اَهوُّسََتَ َلََو ۖ َِّّللّا ِّضحرَأ ِّفِ حلُكحَتَ اَهوُرَذَف ۖ ًةَيآ حمُكَل

ٌميِّلَأ ٌباَذَع حمُكَذُخحأَيَ ف ٍءوُسِّب

Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih". (QS. Al-Araf : 73)

اوُرَقَعَ ف

َةَقاَّنلا

حمِِّّ بَّر ِّرحمَأ حنَع احوَ تَعَو

Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. (QS. Al-Araf : 77)

َه ِّمحوَ ق َيََو

ِّهِّذ

ُةَقَنَ

ًةَيآ حمُكَل َِّّللّا

(16)

mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu (QS. Hud : 64)

َدوَُثَ اَنح يَ تآَو

َةَقاَّنلا

ًةَرِّصحبُم

Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat. (QS. Al-Isra’ : 59)

ِّهِّذَه َلاَق

ٌةَقَنَ

ٍموُلحعَم ٍمحوَ ي ُبحرِّش حمُكَلَو ٌبحرِّش اََلَ

Shaleh menjawab: "Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran untuk mendapatkan air, dan kamu mempunyai giliran pula untuk mendapatkan air di hari yang tertentu. (QS. Asy-Syuara : 155)

اوُلِّسحرُم َّنَِّإ

ِّةَقاَّنلا

حِّبَطحصاَو حمُهح بِّقَتحراَف حمَُّلَ ًةَنح تِّف

Sesungguhnya Kami akan mengirimkan unta betina sebagai cobaan bagi mereka, maka tunggulah (tindakan) mereka dan bersabarlah. (QS. Al-Qamar : 27)

َِّّللّا ُلوُسَر حمَُلَ َلاَقَ ف

َِّّللّا َةَقَنَ

اَهاَيحقُسَو

lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: ("Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya". (QS. Asy-Syams : 13)

▪ Keempat : Ibil (لِبِإ)

َنِّمَو

ِّلِّبِّحلْا

ِّحيَْنح ثا ِّرَقَ بحلا َنِّمَو ِّحيَْنح ثا

(17)

(QS. Al-Anam : 144)

َلَِّإ َنوُرُظحنَ ي َلََفَأ

ِّلِّبِّحلْا

حتَقِّلُخ َفحيَك

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, (QS. Al-Ghasyiyah : 17)

▪ Kelima : Ba’ir (ريِع ب)

ُلحِّحِ ِّهِّب َءاَج حنَمِّلَو ِّكِّلَمحلا َعاَوُص ُدِّقحفَ ن اوُلاَق

ٍيِّعَب

ٌميِّعَز ِّهِّب َنََأَو

Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf : 72) ▪ Keenam : Dhaamir (رِما ض)

ِّ لُك ٰىَلَعَو ًلَاَجِّر َكوُتحَيَ ِّ جَحلِّْبِ ِّساَّنلا ِّفِ حنِّ ذَأَو

ٍرِّماَض

حنِّم َيِّْتحَيَ

ٍقيِّمَع ٍ جَف ِّ لُك

Dan berserulah kepada manusia untuk

mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (QS. Al-Hajj : 27)

▪ Ketujuh : Budn (َ نْدُب)

َو

َنحدُبحلا

َِّّللّا ِّرِّئاَعَش حنِّم حمُكَل اَهاَنحلَعَج

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi´ar Allah. (QS. Al-Hajj : 36)

(18)

▪ Kedelapan : Rikab (با ك ِر)

َلََو ٍلحيَخ حنِّم ِّهحيَلَع حمُتحفَجحوَأ اَمَف حمُهح نِّم ِّهِّلوُسَر ٰىَلَع َُّللّا َءاَفَأ اَمَو

ٍباَكِّر

Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun. (QS. Al-Hasyr : 6)

▪ Kesemblihan : al-bahirah, as-saaibha, al-wasilah,

ham

حنِّم َُّللّا َلَعَج اَم

َّنِّكَٰلَو ۙ ٍماَح َلََو ٍةَليِّصَو َلََو ٍةَبِّئاَس َلََو ٍةَيَِّبَ

َنوُلِّقحعَ ي َلَ حمُهُرَ ثحكَأَو ۖ َبِّذَكحلا َِّّللّا ىَلَع َنوَُتَحفَ ي اوُرَفَك َنيِّذَّلا

Allah sekali-kali tidak pernah mensyari´atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. (QS. Al-Maidah : 103)

Bahirah adalah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan. Lalu, unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi, dan tidak boleh diambil air susunya. Saibah adalah unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja karena suatu nazar. Misalnya, jika orang Arab Jahiliah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, dia biasa bernazar akan menjadikan untanya sā’ibah jika maksud atau perjalanannya berhasil dan selamat.

(19)

Waṣilah adalah seekor domba betina yang melahirkan anak kembar yang terdiri atas jantan dan betina. Unta jantan disebut waṣīlah, tidak boleh disembelih dan diserahkan kepada berhala.

Ham adalah unta jantan yang tidak boleh diganggu-ganggu lagi karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali. Perlakuan terhadap bahīrah, sā’ibah, waṣīlah dan ḥām ini adalah kepercayaan Arab Jahiliah.

▪ Kesepuluh ‘Isyar (َرا شِع)

اَذِّإَو

ُراَشِّعحلا

حتَلِّ طُع

dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan) (QS. At-Takwir : 4)

Semua itu kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi unta saja. Padahal makna dan pengertiannya berbeda-beda.

d. Nasi dan Variannya

Sebenarnya bukan hanya bahasa Arab saja yang kaya dengan kosa kata, hal yang sama juga terjadi sebaliknya. Sebagai bangsa yang makananan pokoknya nasi, kita punya kosa kata yang beragam untuk menyebut berbagai keadaan nasi.

▪ Nasi yang belum tanak masih setengah matang namanya aron.

▪ Nasi yang masih mentah sama sekali, namanya beras.

▪ Kalau yang mentah itu masih ada kulitnya, namanya beda lagi yaitu gabah.

(20)

▪ Kalau masih ada tangkainya disebut padi. ▪ Dan kalau kulitnya saja tanpa berasnya

disebut merang.

▪ Nasi yang dimasak dengan jumlah air lebih banyak hingga lumat disebut bubur.

▪ Sedangkan kalau nasi dimasak di dalam panci, maka bagian yang kering dan keras di paling dasar itu namanya kerak.

▪ Kalau menyuguhkan nasi yang sudah matang berbentuk kukusan namanya tumpeng.

▪ Kalau dibungkus dengan daun jati, orang Cirebon menyebutnya jamblang.

▪ Ada banyak tehnik memasak nasi, kalau memasaknya dengan dibungkus daun, tergantung daun apa. Kalau pakai daun kelapa, namanya ketupat.

▪ Kalau pakai daun pisang namanya lontong atau timbel.

▪ Kalau dicampur rajangan nangka, orang Jawa menyebutnya megono.

▪ Kalau nasi yang sudah lama dijemur terus digoreng namanya legendar atau rengginang. ▪ Dan nasi yang difermentasi namanya uli. Nama-nama itu hanya ada dalam bahasa Indonesia saja dan musthail diterjemahkan ke dalam bahasa Arab atau Inggris. Kaau pun dipaksakan juga untuk diterjemahkan, hanya akan menjadi ruz (َ ز ُر) dan rice saja. Ternyata bahasa Arab dan Inggris tidak punya padanan kata yang serinci bahasa Indonesia

(21)

dalam urusan nasi.

Sebabnya barangkali karena mereka tidak makan nasi sebagai makanan pokok. Bukannya mereka tidak kenal nasi, tetapi pengetahuan mereka tentang nasi amat terbatas, sehingga istilah-istilah yang terkait dengan nasi pun terbatas juga.

Sampai disini kita jadi tahu bahwa menerjemah Al-Quran itu ternyata bukan perkara sederhana, tidak semudah yang kita bayangkan. Ternyata ada begitu banyak kendala yang harus dijawab dengan baik dan bijaksana.

e. Berselimut dan Berkelumun

Contoh lain bagaimana rumitnya menerjemahkan Al-Quran ketika menerjemahkan dua nama surat yang bersebelahan dan punya kemiripan, yaitu surat ke-73 Al-Muzzammil dan surat ke-74 Al-Muddatstsir. Tim penerjemah Al-Quran di Kementerian Agama itu bertahun-tahun tidak selesai berdiskusi untuk mendapatkan terjemahan yang paling mendekati bahasa aslinya, ternyata nyaris tidak pernah bisa memuaskan.

Pada Al-Quran dan Terjemahnya Edisi tahun 1971, al-muzzammil diterjemahkan menjadi : Orang

Yang Berselimut dan al-muddatstsir diterjemahkan

menjadi Orang Yang Berkemul. Namun pada Edisi cetakan tahun 2019, arti masing-masing mengalami perubahan. Al-muzzammil diartikan menjadi : Orang

Berkelumun, sedangkan al-muddatstsir diartikan

sebagai Orang Yang Berselimut.

Meski nampak sederhana, namun biar bagaimana pun Al-Quran ini perkataan Allah yang asli

(22)

dan original. Semua pilihan diksinya tidak ditetapkan secara ‘ngasal’. Dua diksi muzzammil dan

al-muddatstsir meski punya kedekatan makna, tetapi

kedua tetap saja berbeda.

Akan menjadi mudah kalau diterangkan lewat lembar-lembar kitab tafsir, namun ketika harus jadi terjemah, satu kata harus diwakili dengan satu kata, maka disitulah terasa betapa lemahnya terjemahan itu. Terjemahan itu nyaris tidak mampu mentransformasi makna yang dimaksud oleh Allah SWT.

2. Kendala Rasa Bahasa

Kendala berikutnya dalam penerjemahan Al-Quran adalah masalah rasa bahasa. Beberapa penerjemahan terasa bias ketika pilihan diksinya meragukan secara hukum. Salah satu contoh yang agak mengganggu adalah penggunaan istilah : ‘hendaklah’. Secara rasa bahasa, ungkapan ‘hendaklah’ ini memang cukup halus dan sopan, namun sekaligus juga menyisakan ketidak-pastian dari segi hukum.

Perintah yang menggunakan ungkapan ‘hendaklah’ terkesan tidak terlalu diwajibkan. Perintahnya berhenti sekedar saran, himbauan atau ajakan saja. Tidak ada kesan bahwa yang tidak melaksanakannya akan berdosa atau dihukum. Sama sekali tidak terasa ada konsekuensi hukum di balik perintah ‘hendaklah’.

Memang pada sebagian terjemahan yang menggunakan istilah hendaklah, ada yang bukan kewajiban dan memang hanya kesunnahan atau

(23)

anjuran saja. Itu tidak bisa dipungkiri.

Tapi yang jadi masalah, baik yang hukumnya wajib atau pun yang hukumnya tidak wajib, ternyata sama-sama menggunakan istilah ‘hendaklah’. Sayangnya, penerjemahan dengan menggunakan kata ‘hendaklah’ ini bertabur banyak sekali di dalam Al-Quran. Dan kita tidak tahu mana yang hukumnya jadi wajib dan mana yang hukumnya tidak wajib.

Padahal kita hanya berpegang pada terjemahan ini dan kalau sampai kita keliru menudga tidak wajib padahal ternyata hukumnya wajib, jelas-jelas ini sebuah kesalahan fatal.

Berikut ini beberapa contoh perintah dalam Al-Quran yang kita tahu hukumnya memang wajib, namun karena menggunakan istilah ‘hendaklah’, nilai kewajibannya jadi agak terasa menurun dan terdegradasi.

a. Kewajiban Puasa Ramadhan

ُهحمُصَيحلَ ف َرحهَّشلا ُمُكحنِّم َدِّهَش حنَمَف

Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al-Baqarah : 185)

Untungnya kita sejak kecil sudah diajarkan oleh guru ngaji kita bahwa puasa bulan Ramadhan itu wajib. Dan seluruh umat Islam juga sudah tahu bahwa di bulan Ramadhan itu kita wajib berpuasa, tanpa harus mendasarkannya pada ayat Al-Quran.

Seandainya kita tidak tahu terlebih dahulu hukumnya dan semata-mata hanya mengandalkan

(24)

pengetahuan dari terjemahan Al-Quran belaka, boleh jadi kita menganggap puasa di bulan Ramadhan itu tidak wajib, sekedar himbauan atau saran. Setidaknya sekedar puasa sunnah. Karena terjemahnya memang demikian, hendaklah ia berpuasa dan bukan wajiblah berpuasa.

b. Larangan Menyetubuhi Istri Haidh

ِّضيِّحَمحلا ِّفِ َءاَسِّ نلا اوُلِّزَتحعاَف ىًذَأ َوُه حلُق

Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh (QS. Al-Baqarah : 222)

Ketika istri sedang datang bulan mendapat darah haidh, hukumnya terlarang melakukan hubungan atau kontek seksual (penetrasi). Namun kalau kita baca larangan itu dalam versi terjemahan, larangannya hanya menggunakan redaksi :

hendaklah. Kesan yang kita dapat bisa

bermacam-macam. Tapi setidaknya tidak tertutup kemungkinan kalau ada yang memahami bahwa larangan ini sifatnya hanya himbauan, dan bukan larangan yang serius dan beresiko dosa besar.

c. Kewajiban Menjalani Masa ‘Iddah

َةَعَ بحرَأ َّنِّهِّسُفح نَِّبِ َنحصَّبََتََي اًجاَوحزَأ َنوُرَذَيَو حمُكحنِّم َنحوَّ فَوَ تُ ي َنيِّذَّلاَو

اًرحشَعَو ٍرُهحشَأ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat

(25)

bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah : 234)

Bila seorang wanita menjadi janda karena suaminya meninggal dunia, maka menjalani masa 'iddah selama 4 bulan 10 hari itu hukumnya wajib. Kewajiban ini sudah termuat di dalam Al-Quran dengan sangat jelas dan terang.

Tapi berapa banyak para wanita muslimah yang melanggar ketentuan ini. Tidak lama setelah wafatnya suami, belum apa-apa sudah keluar rumah, berdandan dan berihas serta bercampur dengan para lelaki. Mengapa mereka bisa seenaknya melanggar aturan masa iddah ini?

Boleh jadi penyebabnya karena salah paham terjemahan Al-Quran. Soalnya di dalam terjemahan hanya disebut : hendaklah. Seolah-olah larangan itu sifatnya himbauan, saran, atau sekedar adat kebiasaan tradisi nenek moyang. Sangat besar kemungkinan ada orang awam yang baca terjemahan dan menyimpulkan seperti ini :

“Kalau mau dan ada waktu, silahkan saja menjalani masa iddah yang lamanya sampai 4 bulan 10 hari. Tapi kalau ada keperluan mendesak, seperti kesibukan, tuntutan profesi, atau terikat kontrak bisnis, maka tidak apa-apa bila masa ‘iddah itu tidak dijalankan sepenuhnya. Toh larangannya di dalam terjemahan Al-Quran hanya dengan menggunakan istilah : hendaklah. Tidak haram-haram amat lah”.

d. Kewajiban Menghadirkan Saksi Tuduhan Zina

(26)

حمُكحنِّم

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). (QS. An-Nisa : 15)

Menuduh orang berzina kalau tidak bisa mendatangkan saksi 4 orang laki-laki, maka hukumannya akan berbalik kepada si penuduh, yaitu dicambuk 80 kali. Maka wajiblah bagi yang menuduh zina untuk menghadirkan keempat orang saksi itu. Kewajibannya telah ditetapkan di dalam Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 15 di atas. Namun kalau kita baca terjemahannya, ternyata menggunakan kata :

hendaklah.

Kalau mereka yang secara khusus belajar ilmu fiqih bab qadzaf, tentu tahu bahwa menghadirkan saksi 4 orang itu hukumnya wajib. Tapi bagaimana bila tidak pernah belajar ilmu fiqih dan hanya mengandalkan semata-mata terjemahan Al-Quran belaka? Jangan-jangan kehadiran saksi itu sifatnya hanya himbauan saja dalam pikirannya. Dan kekeliruan seperti ini sangat fatal tentunya.

e. Denda Membunuh Karena Tersalah

ٍةَنِّمحؤُم ٍةَبَ قَر ُريِّرححَتَ ف ًأَطَخ اًنِّمحؤُم َلَتَ ق حنَمَو

ِّهِّلحهَأ َٰلَِّإ ٌةَمَّلَسُم ٌةَيِّدَو

Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu). (QS. An-Nisa : 92)

(27)

Membunuh nyawa orang lain karena sebab kesalahan itu hukumannya cukup berat, yaitu membebaskan budak serta membayar diyat. Ketentuan ini sudah ditegaskan di dalam Al-Quran. Sayangnya ketika orang yang tidak belajar ilmu fiqih jinayat dan semata-mata mengandalkan pengetahuannya berdasarkan terjemahan Al-Quran, terus dia membaca terjemahan ayatnya ternyata menggunakan kata : hendaklah, sangat boleh jadi dia keliru memahami. Bisa jadi dia beranggapan bahwa membayar denda itu sifatnya suka rela dan seikhlasnya. Bukan apa-apa, karena di terjemahannya memang dituliskan : hendaklah. Secara rasa bahasa, ini hanya himbauan dan bukan ketentuan mutlak.

f. Kewajiban Memakai Jilbab

َيِّْنحدُي َيِّْنِّمحؤُمحلا ِّءاَسِّنَو َكِّتاَنَ بَو َكِّجاَوحزَِّلِ حلُق ُِّّبَِّنلا اَهُّ يَأ َيَ

َّنِّهِّبيِّب َلََج حنِّم َّنِّهحيَلَع

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS. Al-Ahzab : 59)

Kewajiban memakai jilbab dalam arti menutup aurat salah satunya ditetapkan di dalam Al-Quran lewat surat Al-Ahzab ayat 59 ini. Sayangnya, terjemahannya menggunakan istilah : hendaklah. Terjemahan seperti ini kurang menegaskan status perintah menutup aurat, apakah hukumnya wajib atau sekedar himbauan belaka.

(28)

Jangan salah seandainya nanti ada yang bilang menutup aurat tidak wajib, karena dia keliru memahami terjemahan yang hanya menyebut :

hendaklah dan tidak menekankan sisi kewajibannya.

Terjemahannya semacam itu bukan keliru, namun masih belum terasa unsur kewajiban menutup aurat.

Dan berikut ini adalah beberapa contoh ayat yang menggunakan istilah ‘hendaklah’, namun umumnya kita sepakat hukumnya tidak wajib. Kita tahu tidak wajib karena kita pernah belajar ilmu fiqih sebelumnya. Tapi mereka yang tidak belajar ilmu fiqih dan hanya semata-mata mengandalkan terjemahan saja, tentu akan dibuat bingung.

g. Hukum Menyusui Anak Hingga Dua Tahun

َّمِّتُي حنَأ َداَرَأ حنَمِّل ۖ ِّحيَْلِّماَك ِّحيَْلحوَح َّنُهَد َلَحوَأ َنحعِّضحرُ ي ُتاَدِّلاَوحلاَو

َةَعاَضَّرلا

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS. Al-Baqarah : 233)

Jumhur ulama sepakat bahwa hukum wanita menyusui bayinya bukan kewajiban tapi hanya anjuran. Dan di dalam terjemahan ini, perintahnya menggunakan kata : hendaklah. Kadang ada juga yang mewajibkannya, tapi anehnya dasarnya menggunakan terjemahan yang bunyinya :

hendaklah. Padahal ada begitu banyak terjemahan

yang menggunakan kata hendaklah dan tidak bermakna kewajiban.

(29)

اًعاَتَم ُهُرَدَق ِِّّتَحقُمحلا ىَلَعَو ُهُرَدَق ِّعِّسوُمحلا ىَلَع َّنُهوُعِّ تَمَو

ِّفوُرحعَمحلِّبِ

Dan hendaklah kamu berikan suatu mut´ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. (QS. Al-Baqarah : 236)

Ayat ini memerintahkan mantan suami untuk memberi sekedar harta kepada mantan istrinya. Istilah yang agak mirip adalah semacam pesangon atau uang kerahiman. Namun perintahnya menggunakan kata hendaklah, dan hukumnya memang tidak wajib.

i. Perintah Mencatat Hutang

َذِّإ اوُنَمآ َنيِّذَّلا اَهُّ يَأ َيَ

ُهوُبُ تحكاَف ىًّمَسُم ٍلَجَأ َٰلَِّإ ٍنحيَدِّب حمُتح نَ ياَدَت ا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqarah : 282)

Ayat ini memerintahkan mencatat transaksi hutang piutang dengan rekasi hendaklah. Kita baru tahu hukumnya tidak wajib ketika kita membaca tafsirnya atau membuka penjelasnnya dalam bab fiqih munakahat. Sedangkan bila hanya mengandalkan terjemahan belaka, tidak jelas apakah mencatat hutang itu hukumnya wajib atau tidak. j. Perintah Membaca Ta’awaudz Sebelum Baca

(30)

ِّمي ِّجَّرلا ِّناَطحيَّشلا َنِّم َِّّللِّّبِ حذِّعَتحساَف َنآحرُقحلا َتحأَرَ ق اَذِّإَف

Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS. An-Nahl : 98)

Ayat ini memerintahkan kita untuk membaca ta’awudz sebelum membaca Al-Quran dengan redaksi : hendaklah. Namun tidak jelas apa status hukumnya, apakah hukumnya wajib membacanya dan kalau tidak maka jadi berdosa, ataukah hukumnya sunnah saja. Kejelasan status ini baru kita dapat ketika kita sudah membuka kitab tafsir atau kitab fiqih. Kalau semata hanya mengandalkan terjemahan saja, sama sekali gelap dan tidak jelas. 3. Terbatasnya Ruang Penerjemahan

Menerjemahan Al-Quran itu berbeda dengan menafsirkan Al-Quran. Untuk terjemah Al-Quran, tuntutannya adalah bagaimana menjelaskan dengan singkat dan padat, dengan menggunakan padanan-padanan kata dalam bahasa yang jadi hasil terjemahan.

Masalahnya, selalu tidak pernah tersedia ruang yang cukup untuk memuat penjelasan yang panjang itu di dalam halaman terjemah. Seringkali suatu kata sulit untuk diterjemahkan secara kata per kata, kecuali hanya bisa dijelaskan lewat narasi yang panjang. Dan untuk itu penggunakan footnote atau catatan kaki tidak bisa dihindari. Terjemah Al-Quran Kementerian Agama itu tidak bisa menghindari 765

footnote pada edisi terbaru 2019 dari sebelumnya

(31)

Ada semacam kesepakatan bahwa penggunaan footnote harus dikurangi, barangkali biar tidak menggeser penerjemahan menjadi penafsiran, atau biar tidak jadi terlalu tebal. Namun pembatasan ini sebenarnya jadi masalah, karena ayat mana saja yang dirasa perlu dijelaskan lewat footnote yang mana yang dirasa tidak terlalu perlu, justru menjadi perdebatan panjang.

Selain itu, kalau demi menghindari footnote akhirnya digunakan penjelasan di dalam kurung. Masalahnya muncul ketika terjemahan itu diperdengarkan, diucapkan atau dibacakan. Apakah tanda kurung itu diucapkan juga atau tidak. Dibaca atau tidak dibaca, dua-duanya menjadi janggal. 4. Banyaknya Versi Penafsiran Para Ulama

Para musaffir yang ulung dari para ulama kalangan salafushshalih sejak awal ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran seringkali berselisih dan tidak sepakat dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.

Sehingga perbedaan penafsiran yang banyak ini menjadi kendala tersendiri bagi para penerjemah. Versi tafsir yang manakah yang mau digunakan dalam penerjemahan? Dan membuat pilihan ini kemudian menjadi tidak mudah. Karena seringkali terjemahan resmi Depag RI pun sering dipermasalahkan juga oleh beberapa pihak tertentu. 5. Lemahnya Penguasaan Bahasa Indonesia

Satu lagi kendala yang justru sangat vital dalam program menerjemah Al-Quran, yaitu kendala lemahnya penguasaan para penerjemah dalam

(32)

Bahasa Indonesia. Para penerjemah memang kita akui keahliannya dalam bahasa Arab dan sudah tidak lagi ada masalah, justru masalahnya ketika harus mengungkapkan dalam bahasa Indonesia.

Rupanya Bahasa Indonesia kita tercinta ini meski sekilas mudah dan jadi bahasa percakapan sehari-hari, ternyata begitu harus dituliskan dalam format teks tulisan, jadi tidak mudah juga.

Para penerjemah ternyata harus menyertakan para ahli bahasa Indonesia, agar terjemahan mereka ke dalam Bahasa Indonesia tidak keliru secara struktur dan tatanan bahasa.

a. Tsamarat dan Fakihah

Contohnya ketika menerjemahkan kata tsamarat (تارمث) menjadi buah-buahan. Kalau tidak teliti bisa terjadi bias. Sebab dalam bahasa Indonesia ‘buah’ itu berbeda dengan ‘buah-buahan’. Buah adalah apa yang dihasilkan oleh tanaman, yang wujud dari buah bisa berupa daun, akar umbi dan lainnya. Sedang ‘buah-buahan’ meski memang dihasilkan oleh tanaman juga, tapi sifatnya lebih khusus lagi, yaitu yang kita kenal sebagai buah segar atau dalam bahasa Inggris kita sebut fruits.

Dalam terjemah Al-Quran versi Departemen Agama RI, kita masih membaca lafadz tsamarat (تارمث) yang diterjemahkan menjadi buah-buahan. Silahkan cek ayat ini di terjemahannya :

حمُكَل اًقحزِّر ِّتاَرَمَّثلا َنِّم ِّهِّب َجَرحخَأَف ًءاَم ِّءاَمَّسلا َنِّم َلَزح نَأَو

(33)

Dia hasilkan dengan (hujan) itu 'buah-buahan' sebagai rezeki untukmu. (QS. Al-Baqarah : 22)

Perhatikan terjemahannya : tertulis disitu 'buah-buahan'. Padahal buah-buahan itu dalam bahasa Arab disebut dengan fawakih (هكاوف), yang merupakan bentuk jama' dari fakihah (ةهكاف). Dalam bahasa Inggris disebut fruit.

Sebenarnya untuk buah-buahan dalam arti buah segar atau fruit yang dimaksud itu, di dalam Al-Quran juga disebutkan dengan istilah yang lebih tepat yaitu

fakihah (ةهكاف) :

َنوُعَّدَي اَم حمَُلََو ٌةَهِّكاَف اَهيِّف حمَُلَ

Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. (QS. Yasin : 57)

ٍباَرَشَو ٍةَيِّثَك ٍةَهِّكاَفِّب اَهيِّف َنوُعحدَي اَهيِّف َيِّْئِّكَّتُم

di dalamnya mereka bertelekan (diatas dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan minuman di surga itu. (QS. Shad : 51)

َنوُلُكحَتَ اَهح نِّم ٌةَيِّثَك ٌةَهِّكاَف اَهيِّف حمُكَل

Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebahagiannya kamu makan. (QS. Az-Zukhruf : 73)

َيِّْنِّمآ ٍةَهِّكاَف ِّ لُكِّب اَهيِّف َنوُعحدَي

(34)

buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran), (QS. Ad-Dukhan : 55)

َنوُهَ تحشَي اَِّّمِ ٍمحَلَْو ٍةَهِّكاَفِّب حمُهَنَحدَدحمَأَو

Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini. (QS. Ath-Thur : 22)

ِّماَمحكَحلِا ُتاَذ ُلحخَّنلاَو ٌةَهِّكاَف اَهيِّف

Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. (QS. Ar-Rahman : 11)

ِّناَجحوَز ٍةَهِّكاَف ِّ لُك حنِّم اَمِّهيِّف

Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan. (QS. Ar-Rahman : 52)

ٌناَّمُرَو ٌلحَنََو ٌةَهِّكاَف اَمِّهيِّف

Di dalam keduanya (ada macam-macam) buah-buahan dan kurma serta delima. (QS. Ar-Rahman : 68)

َنوَُّيَخَتَ ي اَِّّمِ ٍةَهِّكاَفَو

dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, (QS. Al-Waqiah : 20)

ٍةَيِّثَك ٍةَهِّكاَفَو

(35)

َاًّب أ وَ ة هِكا ف و

dan buah-buahan serta rumput-rumputan, (QS. Abasa : 31)

ُهِّكاَوَ ف اَهيِّف حمُكَل ٍباَنحعَأَو ٍليَِّنَ حنِّم ٍتاَّنَج ِّهِّب حمُكَل َنَحأَشحنَأَف

ِّمَو ٌةَيِّثَك

َنوُلُكحَتَ اَهح ن

Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan, (QS. Al-Mukminun : 19)

وُمَرحكُم حمُهَو ۖ ُهِّكاَوَ ف

َن

yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, (QS. Ash-Shaffat : 42)

َنوُهَ تحشَي اَِّّمِ َهِّكاَوَ فَو

Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka ingini. (QS. Al-Mursalat : 42)

Sedangkan tsamar (رمث) atau jama'nya tsamarat (تارمث) maknanya lebih luas dari sekedar buahbuahan. Tsamarat itu termasuk apa pun yang dihasilkan oleh pohon dan tumbuhan, termasuk juga kurma, biji-bijian, umbi-umbian, gandum, padi dan lainnya.

Dan kalau mengacu kepada kewajiban zakat hasil tanaman, seperti kurma, anggur, gandum, padi dan makanan pokok lainnya, yang digunakan dalam Al-Quran bukan هكاوف atau buah-buahan, tetapi tsamar.

(36)

ِّهِّداَصَح َمحوَ ي ُهَّقَح اوُتآَو َرَحثََأ اَذِّإ ِّهِّرََثَ حنِّم اوُلُك

Makanlah buahnya apa-bila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya. (QS. Al-An'am : 141)

Buah di ayat ini maksudnya bukan rambutan, pepaya, mangga, pisang, jambu yang dibeli di pasar Minggu. Buah disini maksudnya 'hasil' tanaman dan wujudnya malah gandum atau padi.

Pokoknya yang menjadi makanan pokok atau disebut istilahnya quth al-balad ََ)دلبلا َتوق(. Jadi ingat hasil diskusi kemarin, ternyata menulis terjemah Al-Quran jauh lebih pusing dari pada menuliskan tafsir para ulama.

b. Haidh dan Mahidh.

Haidh dan mahid tentu saja berbeda, meski punya akar kata yang sama dan saling berdekatan. Haidh adalah darah yang rutin keluar dari rahim wanita karena kesehatannya, sedangkan istilah mahidh bukan haidh dan berbeda dengan haidh. Mahidh adalah isim zaman (waktu) yang berarti tempat keluarnya darah haidh, yaitu kemaluan wanita. Atau juga merupakan isim makan (tempat) yang berarti masa haidh.

Namun dalam penerjemahannya seringkali mahidh itu diterjemahkan begitu saja menjadi darah haidh. Tidak terkecuali terjemahan dari Kemenag RI baik yang edisi 1989 ataupun edisi terbaru 2019.

(37)

6. Pengakuan Tim Penerjemah

Pengakuan dari para anggota tim penerjemah Al-Quran di Kementerian Agama RI cukup menarik kita amati, ternyata menurut mereka menerjemahkan Al-Quran itu jauh lebih rumit dan njelimet dari menulis kitab tafsir. Sebab terjemah itu dibatasi oleh ruang yang amat terbatas. Di antara kendala dalam penerjemahan Al-Quran adalah tidak tersedianya padangan kata yang tepat dan akurat yang mampu mewakili esensi dan konten suatu diksi dalam tiap kata di Al-Quran.

Banyak sekali kata dan istilah di dalam Al-Quran yang sejak awal memang tidak ada padanan katanya di dalam Bahasa Indonesia. Sehingga seringkali diterjemahkan secara bebas seusai dengan pendekatan tafsirnya.

(38)

C. Kaidah Gramatika Bahasa Arab

Bahasa Arab yang digunakan di dalam Al-Quran adalah bahasa Arab yang sudah punya nilai sastra tinggi, dinamis dan punya taste yang unik. Hanya mereka amat mahir dalam bahasa Arab saja yang bisa memahami arah pembicaraan Al-Quran. Apa-apa yang diungkapkan oleh Al-Quran terkadang jauh melewati batas-batas gramatika bahasa Arab itu sendiri.

Maka mereka yang kemahiran bahasa Arab-nya masih sangat mengandalkan gramatika bahasa seperti ilmu Nahwu atau ilmu Sharaf, pastilah akan mengalami kebingungan dan kegalauan, manakala meneliti banyak detail ayat Al-Quran.

Berikut ini Penulis akan berikan beberapa contoh betapa diksi yang digunakan Al-Quran ternyata seringkali menembus sekat-sekat gramatika bahasa Arab itu sendiri.

1. Fi’il Madhi

Dalam bahasa Arab, kita mengenal fi'il madhi (ََلعف يضام) yang menunjukkan suatu pekerjaan dimana zamannya yang sudah berlalu. Misalnya qara’a (أرق) adalah fi’il madhi yang berarti membaca, namun dari sisi waktu sudah berlalu, sehingga terjemahnnya lengkapnya menjadi : dia telah membaca. Ketika diubah menjadi fi’il mudhari’ berubah menjadi

(39)

yaqra’u (أرقي) dan artinya punikut berubah menjadi sedang atau akan membaca, atau bisa juga bermakna membaca terus menerus.

a. Selesai Baca Quran Baru Baca Ta'awudz

Ini sekedar contoh saja. Sebelum baca Al-Quran disunnahkan kita melafadzkan ta’awwudz yaitu membaca lafadz َ َAudzubillahi

minasy-syaithanirrajim (ميجرلاَناطيشلاَنمَللهابَذوعأ), intinya meminta

perlindungan dari godaan syetan yang terkutuk. Namun kalau kita membaca petikan ayat di dalam surat An-Nahl berikut ini, kita akan merasakan keanehan. Betapa tidak, coba perhatikan perintah Allah disitu :

اَذِّإَف

َتحأَرَ ق

ِّمي ِّجَّرلا ِّناَطحيَّشلا َنِّم َِّّللِّّبِ حذِّعَتحساَف َنآحرُقحلا

Apabila kamu telah membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS. An-Nahl : 98)

Perintahnya menggunakan fi'il madhi yang secara keterangan waktu justru sudah selesai dikerjakan atau sudah berlalu. Lafazh fa idza qara'ta (تأرق َاذإف) secara kaidah ilmu Sharaf bermakna : “apabila kamu

telah membaca Al-Quran, maka bacalah ta'awudz”.

Jika demikian, maka setiap selesai membaca Al-Quran, kita tidak membaca shadaqallahul-'azhim, tetapi malah membaca auzdubillahi

minasy-syaithanir-rajim. Aneh bukan? Bukankah seharusnya

perintahnya menggunakan fi'il mudhari' yang menunjukkan waktu yang akan datang, sehingga berbunyi : apabila kamu akan membaca Al-Quran.

(40)

Tapi begitulah, ternyata kaidah gramatika bahasa Arab tidak bisa secara langsung dijadikan dasar untuk memahami kandungan hukum dalam Al-Quran. b. Wudhu Dikerjakan Setelah Shalat?

Contoh lain bagaimana penggunaan kaidah bahasa Arab belum tentu tidak bisa diterapkan untuk menarik kesimpulan huklum syariah adalah ketika kita membaca ayat Al-Quran yang memerintahkan untuk berwudhu berikut ini :

ا اَهُّ يَأ َيَ

اَذِّإ اوُنَمآ َنيِّذَّل

حمُتحمُق

حمُكَهوُجُو اوُلِّسحغاَف ِّة َلََّصلا َلَِّإ

َلَِّإ حمُكَلُجحرَأَو حمُكِّسوُءُرِّب اوُحَسحماَو ِّقِّفاَرَمحلا َلَِّإ حمُكَيِّدحيَأَو

ِّحيَْبحعَكحلا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu telah mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah : 6)

Perhatikan ayat ini menggunakan fi'il madhi yang secara waktu sudah berlaku, yaitu idza qumtum

ilashshalati (ةلاصلاََىلإَمتمق). Artinya : “apabila kamu telah

melakukan shalat, maka basuhlah wajahmu dan seterusnya”.

Perintah ini aneh, kenapa berwudhu diperintahkan setelah mengerjakan shalat? Bukankah seharusnya berwudhu terlebih dahulu baru mengerjakan shalat?

Kebetulan saja kita sudah diajarkan sejak kecil untuk berwudhu sebelum shalat, sehingga di kepala

(41)

kita sudah tertanam konsep wudhu sebelum shalat. Bayangkan kalau kita tidak pernah diajarkan sejak kecil konsep beruwdhu sebelum shalat, lalu semata-mata kita menggunakan pendekatan kaidah ilmu sharaf dalam bahasa Arab dalam memahami ayat ini, maka hasilnya jadi aneh. Setiap selesai shalat, kita baru mengerjakan wudhu'.

2. Fi'il Amr

Dalam kaidah gramatika bahasa Arab, kita juga mengenal fi'il amr (رمأَلعف) yang merupakan perintah untuk mengerjakan sesuatu. Misalnya kata qara’ –

yaqra’u di atas bisa diubah menjadi fi’il amr yaitu

iqra' (أرقا) yang maknanya bacalah. Kalau Allah SWT memerintahkan sesuatu kepada kita, maka kita sepakat hukumnya wajib. Persis sebagaimana para khatib kalau berpesan dalam khutbahnya, mari kita laksanakan semua perintah Allah.

Para ulama ushul punya kaidah baku dalam hal ini, yaitu al-amru yaqtadhi al-wujub (بوجولاَيضتقيَرملأا), yang artinya bahwa perintah itu berkonsekuensi pada kewajiban.

Namun dalam kenyataannya, tidak semua perintah Allah di dalam Al-Quran bernilai wajib. Kadangkalah hanya sunnah, kadangkali hanya mubah, bahkan kadang perintah itu justru haram dilakukan.

a. Perintah Yang Sunnah

Di antara contoh perintah dalam Al-Quran yang hukumnya berubah menjadi sunnah adalah perintah shalat tahajjud, shalat Idul Adha dan perintah mendatangkan saksi ketika berhutang.

(42)

▪ Perintah Shalat Tahajjud

ِّهِّب حدَّجَهَ تَ ف ِّلحيَّللا َنِّمَو

Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu (QS. Al-Isra : 79)

Meski tahajjud ini diperintahkan lewat fi'il amr, namun tidak ada satu pun ulama yang mengatakan hukumnya wajib. Sebab sudah menjadi ijma’ para ulama bahwa shalat yang wajib hanya shalat lima waktu saja. Di luar shalat lima waktu hukumnya sunnah, termasuk hukum shalat Tahajjud.

▪ Perintah Shalat Idul Adha

Begitu juga ketika Allah SWT perintahkan shalat Idul Ahda dalam ayat berikut ini :

حرَحنْاَو َكِّ بَرِّل ِّ لَصَف

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. (QS. Al-Kautsar : 2)

Ternyata shalat yang diperintahkan disini bukan shalat 5 waktu, melainkan shalat Idul Adha. Hukumnya sunnah muakkadah. Tapi dari mana para ulama tahu bahwa perintah shalat di ayat ini maksudnya shalat Idul Adha? Padahal tidak tercantum di dalam ayat ini?

Ternyata para ulama mengetahuinya lewat siyaq yang terkandung di dalam ayat itu, yaitu perintah untuk berqurban. Shalat apa yang diperintahkan sebelum kita menyembelih hewan qurban? Ya, tentu saja shalat Idul Adha, dimana sudah menjadi ijma’

(43)

para ulama hukumnya tidak wajib, melainkan sunnah muakkadah.

▪ Perintah Adanya Saksi Dalam Akad Hutang

Masalah hutang-piutang di dalam Al-Quran sempat disebut-sebut, yaitu termuat di dalam surat yang paling panjang dan di ayat yang paling panjang juga.

ٌلُجَرَ ف ِّحيَْلُجَر َنَوُكَي حَلَ حنِّإَف ۖ حمُكِّلاَجِّر حنِّم ِّنحيَديِّهَش اوُدِّهحشَتحساَو

َرِّ كَذُتَ ف اَُهُاَدححِّإ َّلِّضَت حنَأ ِّءاَدَهُّشلا َنِّم َنحوَضحرَ ت حنَِّّمِ ِّنَتََأَرحماَو

ٰىَرحخُحلِا اَُهُاَدححِّإ

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah : 282)

Potongan ayat di atas tegas sekali dimana Allah SWT memerintahkan hutang-piutang itu harus disaksikan oleh dua orang saksi. Lebih dari itu, kalau tidak ada dua orang laki-laki, maka posisinya digantikan oleh dua orang perempuan. Kenapa harus dua orang perempuan? Karena boleh jadi ada yang lupa, maka temannya akan membantu mengingatkan. Dan begitulah betapa rincinya ketentuan, sampai masuk urusan yang teknis sekali.

Namun para ulama sepakat bahwa meski ayat ini memerintahkan harus ada saksi dalam akad hutang-piutang, namun mereka tidak mewajibkan adanya

(44)

saksi. Maksudnya, bila ada akad hutang-piutang yang tidak mendatangkan saksi, tetap hukumnya sah dan tidak ada dosa atas hal itu.

b. Perintah Yang Mubah

Beberapa perintah Allah dalam Al-Quran ada yang hukumnya tidak wajib, tapi sekedar mubah saja. Padahal perintah itu menggunakan fi'il amr. Misalnya perintah bekerja seusai shalat Jumat, jima’ istri di malam bulan Ramadhan, dan perintah berburu seusai ihram.

▪ Perintah Bekerja Setelah Shalat Jumat

Contohnya adalah perintah untuk bertebaran di muka bumi dan mencari rizki seusai shalat Jumat.

َِّّللّا ِّلحضَف حنِّم اوُغَ تح باَو ِّضحرَحلِا ِّفِ اوُرِّشَتح ناَف ُة َلََّصلا ِّتَيِّضُق اَذِّإَف

َنوُحِّلحفُ ت حمُكَّلَعَل اًيِّثَك ََّللّا اوُرُكحذاَو

Apabila telah ditunaikan shalat, maka

bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumuah : 10)

Kalau hanya mengandalkan makna harfiyah dalam ayat ini, maka bila selesai shalat Jumat kita tidak bertebaran mencari rizki, maka kita berdosa karena mengabaikan perintah Allah.

Namun kita semua tahu bahwa hukum bekerja cari rizki seusai shalat Jumat tidak wajib. Bahkan di Timur Tengah sana, hari Jumat malah merupakan hari libur. Mereka justru tidak bekerja di hari Jumat. Lantas apakah mereka semua berdosa dan masuk

(45)

neraka gara-gara tidak mengamalkan perintah Allah? Jawabnya jelas tidak.

▪ Perintah Jima’ Malam Ramadhan

Kalau kita teliti ayat berikut ini, maka kita sadar bahwa ternyata di malam bulan Ramadhan itu ada perintah untuk melakukan jima’.

حمُكَل َُّللّا َبَتَك اَم اوُغَ تح باَو َّنُهوُرِّشَبِ َن حلْاَف

Maka mulai sekarang campurilah (berjima’lah) dengan mereka (yaitu para istri) dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. (QS. Al-Baqarah : 187)

Kalau hanya berlandaskan kaidah gramatika bahasa Arab, melakukan jima’ ini merupakan perintah Allah SWT di dalam Al-Quran, maka siapa yang tidak berjima’ dengan istrinya akan berdosa karena meninggalkan perintah Allah SWT.

Namun seluruh ulama sepakat bahwa meski datang dengan format perintah, namun hukumnya tidak wajib. Hukumnya boleh-boleh saja tidak sampai sunnah apalagi wajib.

▪ Perintah Berburu Usai Ihram

Potongan ayat kedua dari Surat Al-Maidah ini agak aneh, karena kita diperintahkan untuk berburu apabila telah usai bertahallul dari ihram. Perhatikan baik-baik lafadznya :

َاوُدا طْصا فَْمُتْل ل حَا ذِإ و

Bila kamu sudah tahallul maka berburulah (QS. Al-Maidah : 2)

(46)

Kalau hanya mengandalkan kaidah grammatika bahasa Arab semata, maka berburu menjadi kewajiban bagi siapa pun yang telah selesai dari berihram. Sebab sighatnya datang dalam bentuk fi’il amr dan secara ghalibnya yang namanya perintah itu menjadi kewajiban. Seharusnya kita berdosa kalau tidak berburu usai bertahallul.

Namun seluruh ulama sepakat bahwa hukum berburu di ayat itu sama sekali bukan sunnah apalagi kewajiban. Hukum berburu seusai berihram disepakati hanya mubah alias boleh-boleh saja. Kita mengetahuinya dari latar belakangnya, dimana awalnya berburu saat ihram itu diharamkan dan diancam terkena denda, lalu kemudian seusai ihram diperintahkan, maka kesimpulannya bukan wajib atau sunnah melainkan hukumnya boleh.

c. Perintah Yang Haram Dilaksanakan

Sampai disini pembahasan tentang hukum dari perintah akan semakin seru. Sebab perintah Allah SWT itu bukan sunnah dan bukan wajib, tetapi malah justru haram untuk dilaksanakan. Di antarnya perintah pada ayat-ayat berikut ini :

▪ Perintah Menyembah Tuhan Selain Allah

ِّهِّنوُد حنِّم حمُتح ئِّش اَم اوُدُبحعاَف

Maka sembahlah apa yang kamu kehendaki selain Dia. (QS. Az-Zumar : 15)

Meski ayat ini memerintahkan kita menyembah tuhan selain Allah, namun perbuatan itu jelas terlarang dan hukumnya haram serta syirik. Sebab

(47)

ayat ini diturunkan dalam konteks sedang mengancam orang kafir.

Kalau berani sembah saja tuhan-tuhan yang kamu sukai selain Allah. Jelas ini bukan perintah, tetapi ini sebenarnya ancaman. Kalau sampai dikerjakan, bukan dapat pahala tetapi malah menuai dosa dan siksa di neraka.

▪ Perintah Boleh Mengerjakan Apa Saja

Unik juga ayat berikut ini kalau kita potong lafazh di depan dan di belakangnya.

حمُتح ئِّش اَم اوُلَمحعا

Perbuatlah apa saja yang kamu kehendaki. (QS. Fushshilat : 40)

Meski ayat ini memerintahkan kita melakukan apa saja yang kita mau, termasuk yang haram-haram, namun jelas melakukan yang haram itu tidak boleh, terlarang dan berdosa. Sebab lagi-lagi perintah ini dalam konteks sedang mengancam orang kafir. Maknanya begini, kalau berani kerjakan saja apa yang kamu mau. Ini bukan perintah untuk mengerjakan semau kita, ini adalah ancaman yang beresiko dosa dan siksaan di alam api neraka.

▪ Perintah Bersenang-senang Dalam Kekafiran Orang-orang kafir yang dimarahi oleh Allah memang diperlakukan cukup unik, yaitu justru diperintah menikamati kekafiran dan dosa-dosa dalam hidup, sebagaimana ayat berikut :

(48)

ِّراَّنلا َلَِّإ حمُكَيِّصَم َّنِّإَف اوُعَّ تََتَ حلُق

Katakanlah,"Silahkan bersenang-senang, karena karena tempat kalian di neraka (QS. Ibrahim : 30)

Namun ayat ini meski membolehkan bahkan memerintahkan kita bersenang-senang dalam dosa dan kekafiran, namun hal itu dilarang, haram dan berdosa. Kalau sampai kita melakukannya, maka akan di siksa di neraka.

▪ Perintah Memalsukan Al-Quran

Memalsu Al-Quran adalah perbuatan yang haram dan terlarang. Namun justru Allah SWT malah memerintahkannya, sebagaimana tertuang di dalam ayat berikut :

ِّهِّلحثِّم حنِّم ٍةَروُسِّب اوُتحأَف َنَِّدحبَع ٰىَلَع اَنحلَّزَ ن اَِّّمِ ٍبحيَر ِّفِ حمُتح نُك حنِّإَو

َِّّللّا ِّنوُد حنِّم حمُكَءاَدَهُش اوُعحداَو

َيِّْقِّداَص حمُتح نُك حنِّإ

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al-Baqarah : 23)

Meski kalimatnya dalam bentuk perintah, namun hukumnya tentu saja tidak boleh dilakukan. Karena itu berarti membuat Al-Quran palsu.

d. Kalimat Perintah Punya 16 Makna

Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Usul Fiqih-nya menyebutkan bahwa para ulama banyak menulis

(49)

tentang tema amr atau perintah ini dan menyebutkan bahwa ada banyak makna dari suatu perintah (amr).

Salah satunya apa yang ditulis oleh Ibnu Mas'ud Al-Hanafi, dimana ada 16 makna yang berbeda dari kalimat perintah dalam Al-Quran. Diantaranya wajib,

nadb, ibahah, tahdid, irsyad, ta'dib, indzar, imtinan, ikram, imtihan, takwin, ta'jiz, ihanah, taswiyah, doa, tamanni, ihtiqar, khabar. i'tibar, takjub, takzib, masyurah, iradatul imtitsal, izn, im'an dan tafwidh.

Sedangkan As-Subki dalam Jam'ul Jawami' malah menyebutkan lebih banyak lagi, yaitu hingga ada 26 makna yang berbeda. Hal yang mana juga yang dikatakan oleh Ibnu Badran.

3. Huruf

Dalam bahasa Arab, selain isim (مسا) dan fi’il (لعف), juga dikenal huruf (فورح), diantaranya fii (يف) yang bermakna di atau di dalam, ila (ىلإ) yang berarti ke atau kepada, ‘an (نع) yang berarti dari, serta fauqa (قوف) yang berarti di atas.

Namun seringkali makna dari huruf-huruf itu sendiri tidak sejalan dengan hukum yang berlaku, karena ada qarinah atau pembanding lain yang lebih kuat. Di antaranya kasus berikut ini :

a. Fauqa ( قوف) : Di Atas

Dalam bab waris, bila almarhum meninggalkan ahli waris yang hanya terdiri dari anak perempuan saja, ketentuannya adalah bila jumlahnya hanya satu orang, dia mendapat setengah. Namun lebih dari satu orang, berdua, bertiga, berempat dan

(50)

seterusnya, mereka mendapatkan bagian sebesar 2/3.

Namun apa yang sudah dijelaskan oleh para ulama ternyata agak berbeda dengan teks di dalam Al-Quran, yaitu surat An-Nisa’ ayat 11.

َكَرَ ت اَم اَثُلُ ث َّنُهَلَ ف ِّحيَْتَ نح ثا َقحوَ ف ًءاَسِّن َّنُك حنِّإَف

Ayat ini menggunakan kata fauqa (قوف) yang maknanya secara harfiyah adalah di atas. Dalam hal ini disebutkan fauqa itsnataini. Secara nalar bahasa, seharusnya berarti ‘di atas dua orang’. Berarti bukan dua orang melainkan di atasnya yaitu tiga, empat, lima dan seterusnya.

Namun ternyata yang benar memang dua ke atas dan bukan di atas dua. Sehingga terjemahan yang lebih sesuai dengan konten ilmu waris adalah sebagai berikut :

Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. (QS. An-Nisa’ : 11)

Dasarnya ada hadits yang menyebutkan bahwa untuk dua anak perempuan bagian mereka berdua adalah dua per tiga.

َ ل َِك َ َ ثلا َُم َ وَن َِلَِب َْنَ ت َْي َِك َ َ ثلا َُلَ ث َِنا َ َ و َ بلا َِقا َِلَي َ ْلا خ

Untukmu 1/8 dan untuk dua puterimu 2/3. Sisanya untuk saudara.

Hadits ini terkait dengan Utsman bin Ma’zhun yang wafat meninggalkan istri dan dua puteri. Namun saudara Utsman yang bernama Qudamah bin Ma’zhun ingin mengambil seluruh harta

(51)

peninggalannya. Maka si istri menghadap Rasulullah SAW mengadukan halnya, lalu Beliau SAW menegaskan bahwa untuk istri 1/8 dan untuk kedua punternya 2/3. Sisanya barulah menjadi hak saudaranya.

b. Wa ( و) : Dan

Para ulama sepakat bahwa urutan dalam membasuh anggota wudhu itu tidak boleh terbolak-balik. Urutannya harus wajah terlebih dahulu, kemudian kedua tangan hingga siku, lalu mengusap sebagian kepala dan terakhir adalah mencuci kaki.

Namun di dalam Al-Quran, penyebutan semua anggota wudhu itu tidak menggunakan kata tsumma (مث) yang bermakna kemudian. Tetapi hanya menggunakan kata wa () yang berarti ‘dan’.

Dalam ilmu bahasa, penggunaan dan ini sama sekali tidak menunjukkan urutan. Misalnya kalau kita sebut : Muhammad dan Ali telah tiba. Siapakah yang tiba duluan? Tidak ada yang duluan, karena keduanya datang bersamaan. Lain halnya bila disebutkan begini : Muhammad tiba kemudian Ali pun tiba. Ini jelas sekali bahwa yang tiba duluan itu Muhammad, baru kemudian Ali menyusul belakangan.

Mari kita masukkan kata dan ini di dalam ayat tentang wudhu :

حمُكِّسوُءُرِّب اوُحَسحماَو ِّقِّفاَرَمحلا َلَِّإ حمُكَيِّدحيَأَو حمُكَهوُجُو اوُلِّسحغاَف

ِّحيَْبحعَكحلا َلَِّإ حمُكَلُجحرَأَو

(52)

Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah : 6)

Kalau menggunakan kaidah bahasa, melakukan wudhu itu tidak boleh urut, seharusnya berbarengan. Sebab Allah SWT menggunakan kata ‘dan’ bukan ‘kemudian’.

Setidaknya kalau pun dicucinya bergantian, tidak ada ketentuan harus wajah terlebih dahulu, karena toh semua disebutkan bersamaan dan sejajar. Ayatnya tidak mengandung makna bergiliran, melainkan bersamaan.

Namun kalau sampai ada orang berwudhu’ dan memulainya dengan cuci kaki, terus mengusap kepala, terus mencuci tangan, lalu mencuci wajahnya dan terakhir kumur, maka kita sepakat mengatakan wudhu’nya tidak sah. Karena tidak tertub urutannya. Padahal dalam mazhab Asy-Syafi’I, tertib urutan wudhu itu menjadi rukun dalam berwudhu’. Tidak boleh wudhu dengan cara terbolak-balik, yang akibatnya malah tidak sah wudhu’nya.

Lalu dari mana kemudian kita dapatkan ketentuan seperti ini?

Jawabnnya bukan dari Al-Quran melainkan dari hadits nabawi. Disebutkan di semua hadits tentang praktek wudhu Nabi SAW yang selalu ada urutannya dan tidak pernah terbolak-balik. Sehingga disepakati bahwa wajib tertib meski pun tidak tercantum ketentuan itu di dalam Al-Quran.

(53)

D. Bukan Makna Secara Harfiyah

Seringkali suatu ayat Al-Quran yang kita baca secara apa adanya justru malah bikin kita jadi keliru dalam memahaminya. Padahal secara logika bahasa tidak ada yang keliru.

Namun para ulama ternyata punya pemahaman yang lebih tepat dibandingkan dengan kita yang hanya memahami secara harfiyah.

1. Waris Anak Perempuan Lebih Dari Dua Orang Contoh sederhana dalam urusan hak waris anak perempuan tanpa keberadaan anak laki. Kalau anak perempuan hanya satu, dia mendapat bagian separuh harta pewaris. Kalau lebih dari satu, mereka mendapat 2/3 bagian. Itu yang kita pahami berdasarkan penjelasan para ulama.

Padahal di dalam surat An-Nisa ayat 11, lafadznya tidak demikian. Lafadznya menyebutkan

'fauqats-nataini' (نيتنثاَقوف), yang secara harfiyah bermakna 'di

atas dua orang'.

َكَرَ ت اَم اَثُلُ ث َّنُهَلَ ف ِّحيَْتَ نح ثا َقحوَ ف ًءاَسِّن َّنُك حنِّإَف

Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. (QS. An-Nisa’ : 11)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya program BOS bagi SMP Terbuka mulai bulan Juli 2007, maka dana bantuan “block grant” untuk tambahan biaya operasional SMP Terbuka yang selama ini diterima oleh

Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah pesisir dan kepulauan kecil yang ekstensif, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia

Psi selaku dosen wali yang telah mendukung dan memberi pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini dan juga untuk seluruh dosen fakultas

Jika Anda memerlukan bantuan, layanan, bantuan teknis, atau sekedar menginginkan informasi lebih lanjut tentang produk Lenovo, ada sejumlah sumber dari Lenovo yang dapat digunakan

Dalam rangka mendukung pemerintahan yang good governance maka Rumah Sakit Umum Daerah Al Ihsan Provinsi Jawa Barat membuat suatu Laporan Kinerja Instansi Pemerintah

Ciri utama dari sebuah topik adalah cakupan masalah yang bersifat umum dan tidak diuraikan secara lebih detail (Keraf, 1980:108). Topik yang ada dalam lagu anak di antaranya adalah

Dari realisasi belanja barang dan Jasa ini, selengkapnya dengan rincian pada lampiran 23 NO PERKIRAAN ANGGARAN 2015 REALISASI 2015 % 2014 3. Dibandingkan dengan realisasi

Bagaimana cara merancang continuous stired tank reactor pada pabrik n-butil metakrilat dengan proses esterifikasi asam metakrilat dan butanol menggunkan katalis asam