• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaitan Proses Impeachment dengan Beberapa Asas Hukum

Asas hukum adalah adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum. Dalam bahasa Inggris, kata asas diformatkan sebagai principle, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada tiga pengertian kata asas yaitu: hukum dasar, dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, dan dasar cita-cita. Peraturan konkret (seperti undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan asas hukum, demikian pula dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan sistem hukum.151

Apabila dalam sistem hukum terjadi pertentangan, maka asas hukum akan tampil untuk mengatasi pertentangan tersebut. Misalnya, terjadi pertentangan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya, maka harus kembali melihat asas hukum sebagai prinsip dasar yang mendasari suatu peraturan hukum yang berlaku secara universal.152

Paton menyatakan bahwa asas hukum tidak akan pernah habis kekuatannya hanya karena telah melahirkan suatu aturan atau peraturan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan mampu terus melahirkan aturan dan peraturan seterusnya. Menurut van Eikema Hommes asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar hukum, atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum, praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut.

151 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 95.

152

Dengan kata lain, asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.153

Asas hukum memiliki beberapa fungsi. Pertama, menjaga ketaatan asas atau konsistensi. Contoh, dalam hukum Acara Perdata dianut asas pasif bagi hakim, artinya hakim hanya memeriksa pokok-pokok sengketa yang ditentukan oleh para pihak yang berpekara dan bukan oleh hakiam. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya keadilan. Dengan demikian, hakim menjadi pasif dan terjagalah ketaatan asas atau konsistensi dalam Hukum Acara Perdata, karena para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri persengketaannya. Kedua, menyelesaikan konflik yang terjadi dalam sistem hukum. Fungsi ini antara lain diwujudkan dalam asas hukum lex superior derogate legi inferiori, yaitu aturan yang hierarkisnya lebih tinggi, diutamakan pelaksanaanya daripada aturan yang lebih rendah. Ketiga, sebagai rekayasa sosial, baik dalam sistem hukum maupun dalam sistem peradilan. Pada fungsi rekayasa sosial, kemungkinan difungsikannya suatu asas hukum untuk melakukan rekayasa sosial di bidang peradilan, seperti asas hukum acara peradilan di Indonesia menganut asas tidak ada keharusan mewakilkan kepada pengacara, diubah menjadi asas keharusan untuk diwakili. Asas yang masih dianut tersebut, sebetulnya sebagai bentuk diskriminasi koloial Belanda, sehingga sudah perlu dihapuskan. Dengan demikian, asas hukum difungsikan sebagai a tool of social engineering bagi masyarakat.154

153

Achmad Ali, Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum dan Penemuan Hukum oleh Hakim, Ujung Pandang, Yayasan Obor Indonesia, 1988, hlm. 117-118.

154

Pengaturan dalam Pasal 7A UUD 1945155 hanya merumuskan jenis pidana yang dapat membuat Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya sedangkan substansi norma hukumnya atau hukum materiilnya tidak diatur.156 Yusril Ihza Mahendra dan A. M Rachman mengusulkan agar rumusan pasal tersebut harus diperjelas dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi. Jika rumusan yang tercantum dalam Pasal 7A UUD 1945 harus diperjelas dengan menggunakan pendapat Barda Nawawi Arief sebagai delik atau tindak pidana biasa, maka akan dikemukakan beberapa asas-asas hukum yang berlaku secara umum, diantaranya adalah:

a. Asas equality before the law

Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.157

155

Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

156

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan.., op. cit.,,hal 472.

157

Asas persamaan dihadapan hukum ini termuat dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum…,” Sedangkan dalam Pasal 28D ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak…,dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didalam hukum.”158

Berdasarkan asas equality before the law berwenanglah peradilan umum untuk memeriksa, mengadili, dan memutus serta menjatuhkan pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika berwenang, bagaimana nantinya jika berlawanan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Mengingat peradilan umum memiliki waktu yang lebih banyak sehingga kebenaran materiil lebih berpeluang untuk didapatkan. Jika tidak berwenang tentu hal itu merupakan pengingkaran terhadap asas equality before the law, oleh karena pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dientuh lembaga peradilan.159

Literatur lain menyatakan, setelah putusan Mahkamah Konstitusi ditindaklanjuti dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR, seyogyanya presiden/wakil presiden diproses lagi dengan proses hukum biasa, mulai dari tingkat pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung. Sebab, mantan presiden/wakil presiden telah melakukan tindak pidana. Dalam hal ini

158

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan.., op. cit.,,hal 473.

159 Fatkhurohman, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 55.

berlaku asas hukum equality before the law (setiap orang memiliki kedududukan yang sama di depan hukum).160

Seandainya proses hukum biasa itu menyatakan sang mantan presiden/wakil presiden tidak bersalah hingga tingkat terakhir (kasasi di MA), akan terdapat dua putusan yang berbeda dari lembaga yang sama-sama memegang kekuasaan yudikatif tertinggi (Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 antara lain menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan Mahkamah Konstitusi). Walaupun putusan itu tidak akan memulihkan kembali kedudukan sang mantan presiden seperti sedia kala, tetap saja putusan yang berbeda itu mengundang problem tersendiri, yaitu soal kepastian hukum.161

b. Asas nebis in idem

Prinsip hukum ini dalam hukum perdata mengandung pengertian sebuah perkara dengan objek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Syarat-syarat diatas harus terpenuhi untuk dapat dikatakan perkara nebis in idem. Jadi, misalkan sebuah perkara dengan objek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihak yang bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk nebis in idem.162

160

Refly Harun, Masalah Impeachment dalam Perubahan UUD 1945, reflyharun.blogspot.com. Akses pada tanggal 1 Maret 2010.

161

Ibid.

162 Miftakhulhuda, Nebis in idem, miftakhulhuda.wordpress.com, Akses pada tanggal 1 Maret 2010.

Sebuah gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung nebis in idem, maka hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Prinsip hukum demikian secara jelas diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata. Sedangkan, Mahkamah Agung menganut pendirian sebuah perkara yang tidak memenuhi syarat formil dan diputus tidak dapat diterima, perkara tersebut bukan termasuk nebis in idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya.163

Demikian halnya dalam hukum pidana, juga melarang seorang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Memang prinsip ini semata-mata untuk melindungi hak asasi manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan mengedepankan kepastian hukum. Dengan dasar nebis in idem, sebuah perkara yang diperiksa di pengadilan dapat dihentikan penyidikan atau penuntutannya jika ditemukan nebis in idem. Sebuah perkara yang nebis in idem yang tetap diperiksa ke pengadilan, maka seorang hakim harus memutuskan tuntutan jaksa tidak dapat diterima.164

Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri menganut prinsip nebis in idem sesuai dengan ketentuan yang menyatakan: ”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali” (Pasal 60 UU MK) Sedangkan larangan menguji terhadap materi muatan yang sama telah dijabarkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan pengujian terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau

163

Ibid.

164

bagian undang-undang yang telah diputuskan oleh MK dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda (Pasal 42 Ayat (2) PMK No.06/PMK/2005). Dengan demikian, seseorang yang pernah mengajukan pengujian materi sebuah undang-undang atau oleh pemohon baru, dapat mengajukan untuk kedua kalinya terhadap materi yang sama, asalkan alasan-alasan yang digunakan untuk menguji norma berbeda dengan sebelumnya. MK dalam sebuah putusannya pada 1 Maret 2006 perkara pengujian UU Pengadilan Pajak yang diajukan Amiruddin dkk, telah mempertimbangkan bahwa meskipun Pemohon memenuhi syarat kualifikasi sebagai Pemohon, akan tetapi ternyata Pemohon tidak memiliki syarat-syarat konstitusionalitas yang dapat menjadi alasan permohonan dapat menguji kembali terhadap Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, MK memutus menyatakan tidak berwenang mengadilinya materi permohonan yang pernah diajukan dan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.165

UUD 1945 maupun UU MK menyebutkan kewajiban MK untuk memutus pendapat DPR dalam bagian yang berbeda dengan kewenangan MK yang lain.166 Maka penafsiran atas pemisahan pancantuman ketentuan tersebut adalah bahwa MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Permasalahannya adalah apakah pemisahan pencantuman ini juga berdampak pada kewenangan mengadili MK dan sifat putusannya? Pada ketentuan yang mengatur masalah kewenangan

165

Miftakhul Huda, Majalah Kontitusi BMK, Jakarta No.28-April 2009, hal. 76.

MK disebutkan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Selain itu, sifat putusan MK atas empat kewenangan tersebut bersifat final. Sedangkan ketentuan yang mengatur masalah kewajiban MK hanya disebutkan bahwa MK wajib memberikan putusan. Dengan demikian, apakah hal ini berarti bahwa kewajiban MK untuk memberi putusan atas pendapat DPR tidak pada tingkat pertama dan terakhir? Dan apakah putusan MK atas pendapat DPR tidak bersifat final?

Sebelum berangkat pada pembahasan masalah kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta apakah sifat putusan MK juga bersifat final pada perkara memutus pendapat DPR maka untuk mengerucutkan permasalahan perlu dipahami bahwa masalah-masalah tersebut hanya akan muncul apabila putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR. Apabila putusan MK adalah menolak permohonan atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima, Konstitusi telah menutup segala kemungkinan bagi DPR untuk melanjutkan proses impeachment ke MPR.167

Ada berbagai macam kelompok pendapat yang menafsirkan hal ini. Kelompok pertama yang melihat bahwa pemisahan kewajiban dari kewenangan-kewenangan MK lainnya adalah karena memang putusan MK atas pendapat DPR itu tidak pada tingkat pertama dan terakhir serta sifat putusan tersebut tidaklah final dan mengikat. Landasan pemikiran kelompok pertama ini adalah karena bilamana putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR, maka DPR akan meneruskan proses impeachment ke MPR. Hal ini berarti bahwa ada institusi lain

setelah MK yang menilai pendapat DPR tersebut. Dan putusan MK bukanlah kata akhir dalam proses impeachment. MPRlah yang memiliki kata akhir atas proses impeachment melalui keputusan yang diambil dengan suara terbanyak. Putusan MK digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh anggota MPR dalam mengambil keputusan tersebut. Yang kemudian akan timbul permasalahan adalah bilamana Keputusan yang diambil oleh suara terbanyak di MPR berbeda dengan putusan MK karena putusan MK tidak memiliki sifat final dan mengikat. Secara sosiologis, dampak atas perbedaan putusan di dua lembaga negara ini akan menimbulkan kebingungan di masyarakat.168

Kelompok kedua yang menyatakan bahwa putusan MK atas pendapat DPR bersifat final dan mengikat.Artinya bahwa putusan MK atas pendapat DPR itu adalah final dari segi yuridis dan seharusnyalah mengikat semua pihak yang terkait dengan putusan ini. Jadi meskipun ada institusi lain yang melanjutkan proses impeachment, yaitu MPR, maka institusi ini tidak melakukan review atas putusan MK yang bersifat yuridis tapi menjatuhkan keputusan dari sisi politis karena menggunakan mekanisme pengambilan suara terbanyak sehingga putusan MK adalah putusan yang final dari sisi yuridis. Mengenai kekuatan mengikat dari putusan MK maka sesungguhnya putusan MK ini juga memiliki kekuatan mengikat kepada MPR. Namun ada semacam celah dalam kelompok ini yang berpendapat bahwa meskipun memiliki kekuatan mengikat, putusan MK ini juga bersifat non-executable.169 168 Ibid. 169 Ibid.

Bilamana putusan MK sama dengan keputusan yang diambil oleh MPR maka masih tersisa sebuah permasalahan yaitu apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan sehingga dia diberhentikan dari jabatannya? Bilamana hal ini dapat dilakukan apakah bukan berarti bertentangan dengan asas nebis in idem?

Dari perspektif bahwa yang menjadi obyek perkara dalam pemeriksaan perkara di MK adalah pendapat DPR semata maka Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pelaku pelanggaran hukum tidak menjadi obyek dalam proses impeachment di MK. Oleh sebab itu proses peradilan di Pengadilan Negeri untuk meminta pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan tidak bertentangan dengan asas nebis in idem.170 Selain itu MK adalah peradilan tata negara yang mengadili jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden sedangkan Pengadilan Negeri adalah cabang peradilan dalam Mahkamah Agung yang mengadili pertanggungjawaban individu atas perbuatan yang dilakukannya. MK dan Peradilan negeri memiliki wilayah kewenangan yang berbeda sehingga tidak bertentangan dengan asas nebis in idem. Namun demikian yang perlu menjadi catatan adalah bahwa selayaknya pertimbangan hukum serta putusan yang dijatuhkan MK menjadi bahan pertimbangan hakim pengadilan negeri (hakim tinggi bila mengajukan banding serta hakim agung bila mengajukan kasasi) dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus tersebut sehingga ada keselarasan putusan hukum antara MK dengan PN (PT maupun MA). Sehingga hakim pengadilan

170

Indriyanto Seno Adji berpendapat bahwa pengertian asas nebis in idem dalam hukum pidana hanya terjadi pada saat pelaku, objek pidana dan alasan penuntutannya sama. Dengan demikian, kondisi ini tidak mungkin dapat terjadi pada perkara impeachment, mengingat model pembuktian di pengadilan negeri dan di Mahkamah Konstitusi memiliki karakteristik yang berbeda.

negeri (hakim tinggi maupun hakim agung) tidak melakukan review atas putusan MK. Terkecuali memang bilamana ditemukan bukti baru yang menguatkan kedudukan mantan Presiden dan/atau Wakil Presiden sehingga dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukannya ketika menjabat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.171

c. Asas Supremacy of law (Supremasi Hukum)

Asas supremasi hukum merupakan upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Dalam perspektif supremasi hukum, pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. 172

Persamaan negara hukum Eropa Kontinental dengan negara hukum Anglo Saxon adalah keduanya mengakui adanya Supremasi Hukum. Perbedaannya adalah pada Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang

171

Ibid.

172

berdiri sendiri sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili pada peradilan yang sama. Sedangkan negara hukum Eropa Kontinental terdapat peradilan administrasi yang berdiri sendiri. Supremasi hukum dapat dianggap sebagai unsur utama yang mendasari terciptanya masyarakat yang demokratis dan adil. Jika hukum tidak ditegakkan betul, selalu ada kecenderungan dari pihak-pihak yang kuat untuk bersikap sewenang-wenang dan yang lemah diperlakukan tidak adil.173

Pemerintahan dapat disebut berdasarkan hukum apabila menyatakan bahwa hukum adalah otoritas tertinggi dan bahwa semua warga negara termasuk para pejabat pemerintah tunduk pada hukum dan sama-sama berhak atas perlindungannya. “Kesepakatan” bersama untuk menerima ini akan menjanjikan munculnya sebuah keteraturan dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Dalam proses impeachment terlihat bahwa penegakan hukum tetap dilaksanakan terhadap setiap perbuatan yang bertentangan atau melanggar hukum itu sendiri. Hukum harus dijalankan dan diterapkan terhadap siapapun dalam kehidupan bernegara tanpa terkecuali. Seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pimpinan tertinggi lembaga eksekutif tidak dapat lepas dari tuntutan hukum ketika melakukan perbuatan melanggar hukum. Ketika melakukan perbuatan melanggar hukum maka Presiden dan/atau Wakil Presiden harus mempertanggungjawabkan perbuatannya baik secara pribadi maupun jabatan. Secara pribadi maka Presiden dan/atau Wakil Presiden harus

173

mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum biasa (proses pro yustisia) sedangkan secara jabatan maka Presiden dan/atau Wakil Presiden harus mempertanggungjawabkannya melalui proses Impeachment. Untuk menegakkan hukum terhadap perbuatan Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut, juga harus sesuai dengan hukum (konstitusi) yaitu melalui mekanisme impeachment. Hal ini juga sejalan dengan asas equality before the law.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perubahan UUD membawa dampak bagi perubahan sistem ketatanegaraan dengan merevolusi struktur dan mekanisme ketatanegaraan Indonesia. Seperti adanya mekanisme pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara langsung serta kekuasaan membentuk UU mengalami pergeseran dari Presiden kepada DPR.

Perubahan UUD telah membuat DPR menjadi lembaga yang sangat berdaya, karena DPR banyak memegang peranan penting dalam jalannya sistem ketatanegaraan. Landasan atas diberikannya kewenangan yang demikian penting di DPR adalah berangkat dari kebutuhan akan adanya mekanisme kontrol yang kuat akibat dari pelajaran rezim otoritarian dimasa lalu yang dipegang oleh penguasa pemerintahan.

Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya bukanlah hal yang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum perubahan UUD, Indonesia juga memiliki mekanisme bagaimana Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya. Ini terjadi dalam masa Soekarno dan Abdurrahman Wahid. Namun demikian proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan (impeachment) melalui proses politik dan hukum baru diadopsi dalam perubahan UUD 1945.

Diawali oleh tuduhan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat oleh DPR

berdasarkan pelaksanaan fungsi pengawasannya, kemudian DPR menjadi pemohon dalam proses impeachment di MK. Bila MK membenarkan pendapat DPR, maka DPR pula-lah yang akan membawa tuduhan tersebut kepada MPR untuk mendapat penyelesaian akhir dari kasus impeachment ini. Pada intinya, impeachment adalah suatu proses yang didesain untuk menjalankan sebuah mekanisme checks and balances dalam kekuasaan.

Alasan-alasan impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden ditentukan secara limitatif dalam konstitusi, meskipun alasan-alasan tersebut memiliki penafsiran yang sangat luas dan dapat saja subjektif terutama dalam sebuah lembaga politik di DPR. Alasan-alasan impeachment yang memancing banyak tafsir adalah atas tuduhan “tindak pidana berat lainnya” (high crimes) dan “perbuatan tercela” (misdemeanor).

Alasan impeachment yang dituduhkan DPR tersebut adalah alasan yang berangkat dari sebuah proses politik dimana kepentingan-kepentingan yang lebih bermain untuk menghasilkan sebuah keputusan. Oleh sebab itu, ada sebuah lembaga yang memberikan legitimasi dalam perspektif yuridis dengan memberikan tafsiran atas tuduhan yang dijatuhkan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut. Lembaga konstitusional yang berwenang untuk memberikan tafsir yuridis atas tuduhan DPR tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. Pada posisi ini MK memiliki peranan yang sangat strategis karena MK adalah salah satu lembaga pemegang kekuasaan kehakiman.

Akan tetapi pada proses impeachment ini MK tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pribadi yang melakukan “tindak

pidana”.Tapi obyek sengketa yang menjadi fokus pemeriksaan MK adalah pendapat DPR. Oleh sebab itu, bilamana ada pengadilan yang memeriksa Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang telah diberhentikan atas tuduhan melakukan pelanggaran hukum maka pengadilan tersebut tetap memiliki kewenangan untuk melakukannya dan tidak bertentangan dangan asas nebis in idem. Karena