IFAS EFAS
3. Gili Air
Persentasi penutupan karang hidup terbesar Gili Air dijumpai pada stasiun 12 (bagian selatan) sebesar 19,34% dan terkecil pada stasiun 9 (timur) sebesar 2,63% Secara keseluruhan kondisi ekosistem terumbu karang Gili Air digolongkan ke dalam kategori buruk. Persentasi penutupan karang hidup terbesar Gili Air disajikan dalam Gambar 9.
19,34 16,73 11,85 2,63 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 9 10 11 12 st a si u n p er sen tase p en u tu p an k a ra ng hi d up (% )
Gambar 9 Histogram persentasi penutupan karang hidup di Gili Air.
Komposisi penutupan subtrat dasar di Gili Air merupakan daerah dengan penutupan karang hidup terendah, bagian ini merupakan daerah yang berpasir. Soft coral yang dijumpai hanya memiliki persentasi penutupan sebesar 1,31%,
coral massive 1,03%, dan submassive 0,27%. Persentase penutupan karang hidup pada stasiun 10 (utara) sebesar 11,85% yang termasuk dalam kategori buruk. Persentasi penutupan terbesar pada bagian ini adalah coral submassive
sebesar 6,75% diikuti coral massive 2,75% dan lifeform lainnya dibawah 2%. Stasiun 11 adalah penutupan karang hidup sebesar 16,73%. Penutupan karang paling tinggi di stasiun 11 memiliki persentasi coral massive sebesar 12, 98%, kemudian Acropora digitate sebesar 8,01%. Penutupan karang terkecil adalah
coral encrusting sebesar 4,27%, sedangkan penutupan soft coral pada bagian hanya sebesar 4,50%. Stasiun 12 yang merupakan daerah sedikit berpasir memiliki persentasi penutupan soft coral sebesar 11,12%, penutupan soft coral
merupakan yang terbesar pada daerah ini. Lifeform lainnya yang dapat dijumpai pada bagian ini adalah Acropora digitate 0,28%, coral massive 4,17%, coral submassive 2,72%, coral foliose 0,68% dan Acropora tabulate 0,39%.
Dari gambaran kondisi terumbu karang diatas diperoleh bahwa tingkat kerusakan paling tinggi terdapat di Gili Air, dengan penutupan karang hidup sebesar 2,63% dibandingkan Gili Trawangan dan Gili Meno. Peningkatan jumlah wisatawan dan penduduk akan meningkatkan intensitas pemanfaatan dan konflik
pemanfaatan yang secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan peningkatan tekanan terhadap ekosistem (Kunzmann, 2001; Growrie,2004).
Tekanan terhadap ekosistem menyebabkan penurunan produktivitas, keanekaragaman dan kemelimpahan biota penyusun ekosistem.
Penyebaran penduduk di desa Gili Indah tidak merata, jumlah penduduk yang terbanyak terdapat di dusun Gili Air dengan mayoritas mata pencaharian sebagai nelayan sedangkan yang paling sedikit adalah penduduk gili Meno (Monografi Desa Gili Indah, 2004). Hal ini dapat menunjukkan bahwa rusaknya terumbu karang diperkirakan sebagai akibat sebagian besar kelompok penduduk lokal secara sosial dan ekonomi tergolong tidak berdaya (miskin). Peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas pemanfaatan ini menyebabkan meningkatnya tekan terhadap ekosistem yang ada. Degradasi ekosistem terumbu karang yang terjadi di kawasan TWAL Gili Indah akan berdampak secara langsung dan tidak langsung pada keberlanjutan pemanfaatan atau aktivitas perekonomian di kawasan TWAL Gili Indah Lombok.
Pengembangan pariwisata pada lingkungan fisik paling dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di Gili Trawangan. Adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan sebelum dan sesudah pengembangan pariwisata membuat suatu perubahan dalam social life masyarakat. Berdasarkan wawancara dari responden, maka 96% responden menjawab adanya perubahan lingkungan, yaitu mulai bertumbuhnya kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya melestarikan lingkungan sebagai suatu potensi dalam mendukung pariwisata. Mereka mulai menyadari bahwa pendapatan mereka sebagian besar bergantung pada pariwisata, sehingga mulai ada keinginan masyarakat itu sendiri untuk menjaga dan memperbaiki kondisi terumbu karang, melalui terumbu buatan.
Kesadaran ini terbukti dari kondisi penutupan terumbu karang saat ini yang mengalami perbaikan khususnya di kawasan Gili trawangan. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Unit Konservasi Sumberdaya Alam NTB di dalam Laporan Inventarisasi kerusakan terumbu karang pada kawasan konservasi Gili Indah tahun 2001, penutupan karang hidup meningkat dari 30% menjadi 47,88%. Hal ini tidak lepas adanya perubahan pola pikir maryarakat di Gili Trawangan akan pentingnya pariwisata bagi kehidupan mereka dibandingkan dengan dua gili lainnya. Menurut mereka, apabila terumbu karang rusak, apa yang dapat dijual sebagai potensi Gili Trawangan? Dan jika
pariwisata menurun, maka pendapatan mereka dari mana?. Pada akhirnnya masyarakat mulai mengurangi penangkapan ikan dengan jaring muroami dan bom, bahkan masyarakat mau berikan konpensasi kepada masyarakat nelayan yang berasal dari gili lainnya berupa uang sebagai bukti pentingnya konservasi terumbu karang.
Berdasarkan pengamatan di kawasan gili Indah, secara umum ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan terumbu karang yaitu :
a) Penggunaan bom dan potasium
Sebelum pariwisata berkembang seperti sekarang ini penduduk desa Gili Indah terkenal sebagai pengebom. Mereka melakukan cara penangkapan ikan dengan cara ini karena dianggap sangat efektif, mudah dilakukan, tidak tergantung musim dan modal yang diperlukan untuk melakukan kegiatan tersebut relatif tidak terlalu besar. Ini sejalan dengan hasil studi tim Peneliti COREMAP tahun 1996 yang menunjukkan bahwa metode penangkapan dengan bom maupun bahan kimia (potas) itu dilakukan kerena dianggap sangat efektif, mudah dilakukan, tidak tergantung musim dan modal yang diperlukan untuk melakukan kegiatan tersbut relatif tidak terlalu besar. Namum demikian, faktor eksternal seperti kesempatan bekerja dan berusaha dibidang lain sebagai alternatif, maupun alternatif teknologi lainnya yang tersedia tentu juga berpengaruh
.
b). Pembuangan jangkar/sauh kapal dan Nelayan
Penyebab kerusakan terumbu karang lainnya yang cukup dominan adalah pembuangan jangkar. Pembuangan jangkar ini dilakukan oleh para pengendara perahu (Boatman). Mereka sering membuang jangkar di berbagai tempat disekitar ke tiga pulau ini, baik ketika menurunkan penumpang maupun untuk menambat/memarkir kapal. Salah satu faktor yang menyebabkan pembuangan jangkar sembarangan ini adalah belum tersedianya tempat menambatkan perahu yang baik, seperti mouring buoy, di daerah perairan ini. Pelabuhan yang baik dan memadai di masing-masing gili juga belum tersedia. Akibatnya sering kali perahu-perahu tersebut menurunkan penumpang di berbagai tempat. Dari segi pengetahuan para pengendara perahu, sebenarnya telah mengetahui bahwa pembuangan jangkar ini akan merusak karang. Bagi perahu milik anggota koperasi, penyuluhan tentang dampak pembuangan jangkar tersebut terhadap karang sudah diberikan, demikian pula pengaturan zonasi mengenai lokasi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan pembuangan jangkar sudah diatur dalam awiq-awiq. Namun kurangnya
kesadaran para pemilik kapal merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masih terjadinya pembuangan jangkar disembarang tempat. Selain itu para pemilik boat yang berasal dari luar Desa Gili Indah juga paling banyak yang melakukan pembuangan jangkar pada zona yang dilarang.
c) Budidaya Rumput Laut
Kegiatan budidaya rumput laut turut pula menyebabkan kerusakan karang, meski terbatas pada areal budidaya itu sendiri. Hal ini terjadi karena kadang-kadang karang itu harus dibongkar untuk membentuk lokasi budidaya rumput laut yang baik. Dari hasil pengamatan yang kami lakukan di lapangan, karang-karang yang dirusak dilokasi budidaya rumput laut adalah karang yang sudah mati, sehingga tidak berguna lagi. Mereka tahu kalau kegiatan itu merusak, tetapi karena karang tersebut telah mati maka bagi mereka hal itu tidak apa-apa.
d). Penggunaan Jaring Muroami
Seperti dijelaskan oleh salah seorang tokoh masyarakat, penggunaan jaring muroami juga dapat merusak karang. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat ini dapat merusak karang terutama karena nelayan memburu ikan-ikan karang dengan cara menumbuk karang tersebut dengan batu. Jumlah kelompok jaring muroami saat ini berjumlah 4 kelompok namun yang masih aktif melakukan kegiatan penangkapan ikan adalah 2 kelompok sedangkan 2
kelompok lainnya tidak dapat beroperasi karena untuk mengoperasikan jaring muroami diperlukan tenaga kerja yang disebut dengan “Sawi” sebanyak 30 orang dan 3 buah perahu. Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh alat ini tidak terlalu besar akan tetapi jika dilakukan secara terus menerus maka akan menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap kerusakan terumbu karang
.
e) Pengambilan Karang
Penyebab kerusakan karang lainnya adalah kegiatan pengambilan karang secara langsung. Menurut kepala desa Gili Indah, dulu di daerah ini dilakukan pengambilan karang secara besar-besaran untuk dibakar. Namun sekarang kegiatan ini sudah tidak dijumpai lagi.
f) Aktivitas Snorkeling dan Penyelaman (Diving)
Kegiatan snorkeling dan diving yang dilakukan dalam jumlah besar sering menyebabkan kerusakan terumbu karang karena terinjak-injak atau terbentur oleh penyelam. Keadaan tersebut antara lain disebabkan perbandingan antara pemandu selam atau snorkeling dengan pesertanya terlalu kecil sehingga pengawasan menjadi lemah. Faktor lainnya adalah kemampuan, keterampilan dan skill peserta snorkeling atau diving masih rendah sehingga cenderung menginjak atau menabrak karang.
5.1.2 Kepadatan Ikan Karang
Jumlah total ikan yang teramati di seluruh stasiun pengamatan adalah 1529 ekor yang terdiri 15 famili serta 69 spesies (Lampiran 1 dan 2). Dari gambar 11 memperlihatkan kepadatan di ketiga pulau berkisar antara 659 ind/250m2 sampai 306 ind/250m2. Kepadatan ikan karang tertinggi di Gili Trawangan, secara empiris dapat dihubungkan dengan persentase penutupan terumbu karang yang dimiliki oleh Gili Trawangan cukup baik jika dibandingkan dengan kedua gili lainnya. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan tingkat penutupan terumbu karang terhadap keberadaan ikan-ikan karang. Hal ini juga didukung oleh Hodijah dan Begen (1999) yang mengemukakan bahwa ada hubungan yang erat antara kondisi terumbu karang terhadap keberadaan ikan karang suatu perairan. Jumlah total ikan yang teramati di seluruh stasiun pengamatan disajikan dalam Gambar 10.
659 624 306 0 100 200 300 400 500 600 700
Gili Traw angan Gili Meno Gili Air
lokasi pengukuran k e pa da ta n ik a n k a ra n g ind/ 2 5 0 m 2
Gambar 10 Histogram rata-rata kepadatan ikan karang di Gili Indah.
Dari seluruh stasiun pengamatan, Pomacentridae memiliki kepadatan terbesar di ketiga pulau dengan persentase 70,48% dari jumlah total ikan. Spesies dari famili Pomacentridae yang memiliki kepadatan terbesar di ketiga gili adalah Chysiptera parasema, Chromis xanthura dan Abudefduf vagiensis.
Labridae dengan persentase sebesar 10,59% dengan jumlah terbesar pada jenis
Leptojulis cyanopleura, Anampses lennardi dan Thallasoma purpureum. Acanthuridae memiliki persentase sebesar 6,45% dengan jumlah terbesar pada jenis Acanthurus gramophilus, Acanthurus nigricauda dan Acanthurus olivacenatus.
Kelimpahan dan keanekaragaman ikan karang berhubungan dengan keadaan terumbu karang (Gambar 11), sehingga apabila persentase penutupan karang disuatu tempat kecil maka kelimpahan dan keanekaragaman ikan di
daerah tersebut akan kecil juga. Hal lain yang mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman ikan karang adalah pemilihan tempat oleh ikan dalam melakukan pemijahan dan meletakkan telurnya serta kelimpahan larva ikan disuatu perairan. 2.7 2.5 1.8 0.6 0.7 0.7 0.1 0.1 0.4 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Trawang Meno Air
H' E C
Gambar 11 Histogram keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C) komunitas ikan karang di kawasan Gili Indah.
Gambar 11 memperlihatkan indeks keanekaragaman ikan karang di ketiga pulau. Nilai keanekaragaman yang diperoleh berkisar antara 2,8 sampai 1,8. Nilai keanekaragaman tertinggi terdapat di Pulau Gili Trawangan serta yang terkecil terdapat di Pulau Gili Air. Semakin kecil jumlah spesies dan variasi jumlah individu atau ada beberapa individu yang jumlahnya lebih besar maka keanekagaraman suatu ekosistem akan mengecil. Pada lokasi penelitian kepadatan tiap spesies tidak merata, ada beberapa spesies yang jumlahnya jauh lebih besar sehingga nilai keanekaragaman kecil.
Nilai keseragaman menunjukkan pola sebaran dan komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Nilai keseragaman berkisar anatara 0 sampai 1, apabila nilai keseragaman mendekati 1 maka komposisi individu tiap jenis tidak berbeda banyak. Nilai keseragaman ikan karang dari seluruh stasiun pengamat berkisar antara 0,4 hingga 0,7. Nilai keseragaman yang diperoleh mendekati 1, hal ini menunjukkan komposisi tiap jenis yang terdapat di dalam komunitas tidak berbeda, walaupun ada beberapa individu yang dijumpai dalam jumlah besar dibandingkan dengan jenis lainnya.
Nilai dominasi digunakan untuk mengetahui apakah ada spesies tertentu yang mendominasi suatu komunitas. Nilai dominasi pada semua stasiun pengamatan mendekati 0 yaitu berkisar antara 0.4 sampai 0,1. Hal ini menyatakan relatif tidak ada dominasi dari spesies tertentu yang mendominasi komunitas di seluruh stasiun pengamatan. Nilai komunitas 0.4 termasuk kedalam
kategori sedang yang berarti ada kecenderungan satu spesies yang mendominasi komunitas. Spesies yang mendominasi di Pulau Gili Air adalah
Chrysiptera parasema. Dominasi Chrysiptera parasema di Pulau Gili Air mungkin disebabakan oleh tidak adanya pemangsa ikan tersebut. Keadaan habitat terumbu karang di Pulau Gili termasuk kedalam daerah bersubtrat pasir karena besarnya penutupan pasir tersebut. Menurut Bell and Galzin (1985) pada daerah bersubtrat pasir pemangsaan lebih berpengaruh terhadap kelimpahan ikan karang daripada persentase penutupan terumbu karang.
Secara umum keadaan komunitas ikan karang di TWAL Gili Indah dalam keadaan labil kecuali keadaan komunitas ikan karang di Pulau Gili Air yang termasuk ke dalam keadaan tertekan. Rendahnya kestabilan komunitas ikan karang disebabkan oleh gangguan atau tekanan dari lingkungan seperti rusaknya terumbu karang dan penangkapan ikan yang merusak di kawasan TWAL Gili Indah.
Menurut Bell dan Galzin (1985), famili Pomacentridae biasanya merupakan famili yang paling sering dijumpai di terumbu karang dan memiliki kelimpahan terbesar dibandingkan dengan famili yang lain. Besarnya kelimpahan dari famili Pomacentridae disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan untuk konsumsii (Acanthuridae) atau ikan hias untuk akuarium (Chetodontidae) oleh nelayan.
Beberapa jenis ikan yang tergolong ikan target ditemukan di stasiun penelitiian, yang terdiri dari famili siganidae (Siganus javus), Scridae (Scarus ghoban, Scarus oviceps), Serranidae ( Ephinephelus macrospilis, Ephinephelus caureleupunctalus), Caesionidae (Caesio xanthonata). Selain ikan target, dalam penelitian ini juga ditemukan Ikan major group yang terdiri dari beberapa famili: famili Serranidae, Labridae, Acanthuridae, Pomacentridae. Kondisi ikan target yang ditemukan dalam penelitian ini tergolong rendah, hasil ini dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang yang rusak atau tidak stabil dalam mendukung komunitas ikan karang. Seperti yang dilaporkan oleh Lalamentik (2001), untuk jenis ikan target dapat diketahui kehadirannya apabila didukung oleh habitat terumbu karang termasuk beberapa komponen seperti karang batu, algae, sponge maupun karang lunak. Jadi dapat disampaikan bahwa apabila ekosistem terumbu karang kurang baik maka kehadiran dari ikan karang akan meningkat sebaliknya apabila ekosistem terumbu karang tidak baik maka kehadiran ikan karang akan menurun. Hal ini terjadi pada kawasan Gili Indah tersebut disebabkan tingkat kerusakan cukup tinggi sehingga mempengaruhi ekosistem
terumbu karang. Sedangkan ikan indikator berupa jenis ikan karang kepe-kepe yang sangat jarang ditemukan baik pada daerah rataan terumbu maupun di daerah tubir. Situasi ini merepleksikan bahwa spesies dari ikan indikator mempunyai ’niche’ ekologi yang luas dan tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan komposisi habitat.
5.1.3 Aktivitas Kegiatan Perikanan
Masyarakat nelayan di desa Gili Indah dalam aktivitas penangkapan ikan menggunakan alat tangkap mourami, pancing dan panah.