• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Kajian Dimensi Sosial Politik atas Keputusan Politik

Pulau Nias yang merupakan pulau paling barat di wilayah Sumatera Utara memiliki luas wilayah 5.320,59 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 730.040 jiwa. Mayoritas penduduknya adalah suku Nias dan sebagian terdapat suku Batak, suku Aceh, suku Minang dan etnik Cina. Pertanian merupakan mata pencarian mayoritas masyarakat Nias.

Kehadiran UU otonomi daerah dan PP No. 129 tahun 2000 telah dimanfaatkan oleh pulau Nias dengan melaksanakan pemekaran di pulau Nias. Melalui UU RI No. 9 Tahun 2003 terbentuklah Kabupaten Nias selatan. Dengan demikian saat ini, pulau Nias terdiri atas 2 Kabupaten yakni Kabupaten Nias dengan luas wilayah 3.495,39 km2, terdiri atas 32 kecamatan dan 1 kecamatan persiapan dari Kabuapten Nias Selatan dengan luas wilayah 1.825,2 km2, penduduk 288.233 jiwa

yang terdiri atas delapan kecamatan dengan jumlah pemilu 2004 telah dilaksanakan pada kedua kabupaten ini dan menghasilkan anggota DPRD pilihan rakyat sebanyak 40 orang anggota DPRD Kabupaten Nias dan 30 orang anggota DPRD Kabupaten Nias Selatan.

telah disebutkan Pulau Nias, pada masa kolonial termasuk dalam lingkungan kekuasaan Keresidenan Tapanuli saat ini rencana pembentukan Provinsi Tapanuli menjadi pembahasan di kalangan masyarakat, partai politik, tokoh-tokoh agama, pemerintah, dan DPRD dengan aspirasi masing-masing. Akhir dari semua aspirasi tersebut, keluarlah keputusan DPRD Kabupaten Nias yang menyatakan tidak menyetujui dan menolak bergabung atau digabungkan dalam wilayah Provinsi Tapanuli. Sementara, DPRD Kabupaten Nias Selatan menyatakan menyetujui pembentukan Provinsi Tapanuli. Berdasarkan hal ini bisa dikatakan setengah dari Pulau Nias masuk menjadi wilayah Provinsi Tapanuli dan setengah lagi tidak masuk. Mungkinkah ?.

Keputusan politik kedua lembaga DPRD tersebut tentu terkait dengan pandangan dan keputusan individual anggota DPRD Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias selatan. Fenomena keputusan politik merupakan fenomena kompleks dimana faktor sosial, budaya, geografis, sejarah dan psikologi perlu dianalisis secara komprehensif (Firmanzah 2007: 107).

Pengambilan keputusan politik oleh setiap orang, bisa berdasarkan rasional atau juga nonrasional. Menurut Lindenberg (1985), konsep rasionalitas berangkat dari konsep individu yang memiliki preferensi dan dihadapkan pada kendala (constrairs)

ketika harus mengambil keputusan. Biasanya, premis dasarnya adalah bahwa individu memiliki sifat egois, penuh kalkulasi, dan bermaksud memaksimalkan utilitas. Jadi, semakin seorang individu mampu melaksanakan keuntungan dan sekaligus menekan biaya (cost), dia dianggap semakin rasional. Sebaliknya, ketika individu tidak menggunakan rumus dan perhitungan untung rugi proses pengambilan keputusan maka individu tersebut dianggap tidak rasional.

Berkaitan dengan pengambilan keputusan oleh seseorang, termasuk keputusan politik, tentu tidak terlepas dari motif yang dimilikinya. Weber (Rush, 2007: 179) mengungkapkan ada empat tipe motif, yakni:

a. Yang rasional-bernilai, didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok.

b. Yang afektual-emosional, didasarkan atas kebencian atau ’enthusiasm’ terhadap suatu ide, organisasi atau individu.

c. Yang tradisional, didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu dari suatu kelompok sosial.

d. Yang rasional-bertujuan, didasarkan atas keuntungan pribadi.

Weber membedakan rasionalitas nilai (value rational) dengan rasionalitas tujuan (goal rational). Rasionalitas nilai diartikan sebagai orientasi aksi berdasarkan suatu nilai apakah itu etika, moralitas, agama, hal-hal yang bersifat estetika, kesukaan atau asal-usul. Rasionalitas seorang individu dinilai sejauh mana individu tersebut mengambil keputusan atas nilai-nilai yang dia pegang, dan bukan dari tujuan yang hendak dicapai. Rasionalitas tujuan, di sisi lain, diartikan sebagai orientasi keputusan

dan aksi berdasarkan kesesuaian dengan tujuan akhir, metode pencapaiannya, dan konsekuensinya. Individu akan dinilai rasional ketika keputusan dan aksinya mendukung tujuan akhir.

Namun Rudolf Herbele (Rush, 2007: 178) menyatakan bahwa ada empat masalah yang menyulitkan studi mengenai motif yang mendorong tingkah laku sosial dan perilaku politik seseorang, yakni :

a. Motif yang sebenarnya sengaja disembunyikan oleh individu, dan si pengamat secara konsekuen disesatkan oleh hal-hal yang tampak sebagai informasi yang cermat.

b. Motif yang sesungguhnya mungkin tidak jelas bagi individu, dan mungkin dia merasionalisasi tindakan sendiri sebelum, sesudah atau selama berlangsungnya peristiwa.

c. Motif yang sebenarnya mungkin tidak jelas, tidak hanya bagi individu yang tindakannya tengah diselidiki akan tetapi juga bagi orang lain yang telah dipengaruhi tindakannya.

d. Motif itu tanpa kecuali selalu kompleks dan sulit untuk diukur secara cermat. Sementara itu, Evans dan Over (Firmanzah, 2007; 108) membedakan dua konsep rasionalitas. Pertama, rasionalitas diartikan sebagai berpikir, berbicara, berargumen, mengambil keputusan, dan beraksi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif (R1). Rasionalitas jenis ini lebih mengedepankan alasan-alasan pribadi guna mencapai tujuan personiil. Kedua, rasionalitas diartikan sebagai berpikir, berbicara, berargumen, mengambil keputusan dan beraksi berdasarkan sebuah sistem

normativ tertentu (R2). Rasionalitas jenis ini lebih menekankan pada seberapa besar derajat kesamaan (konformitas) antara keputusan individu dengan “best-practice” yang terdapat dan diyakini kebenarannya dalam masyarakat. Semakin sesuai keputusan individu dengan standar sosial, dia semakin dianggap rasional pula. Begitu juga sebaliknya, semakin tidak sesuai antara apa yang ingin dicapai dan diwujudkan dengan tujuan masyarakat pada umumnya, individu tersebut semakin dianggap tidak rasional.

Granovetter, seperti yang dikutip oleh Firmansyah (2007: 112), mengemukakan bahwa individu adalah produk sosial yang dibentuk dan berkembang melalui interaksi sosial. Boudon dalam sumber yang sama, menyatakan bahwa di balik keputusan dan aksi terdapat alasan-alasan (reasons) yang mendasarinya.

Firmansyah (2007: 128) mengajukan argumentasi bahwa faktor internal maupun eskternal individu secara simultan mempengaruhi cara individu dalam berfikir dan membuat keputusan politik. Ada dua perspektif yang disebutkannya, yakni environment-determinist dengan free-choice. Menurut paradigma pertama, individu dianggap sebagai produk masyarakat. Sistem nilai dan perilaku yang muncul pada masing-masing individu merupakan hasil bentukan lingkungan. Menurut perspektif ini, kita dapat menganalisis karakter suatu masyarakat melalui perilaku individunya, karena perilaku individu merupakan cerminan dari masyarakat secara luas. Sementara itu, paradigma kedua melihat dalam perspektif yang sama sekali berbeda. Individu dianggap memiliki derajat kebebasan yang cukup tinggi untuk berbeda dari lingkungannya. Individu bukanlah produk lingkungan, karena setiap

individu memiliki sistem nilai, kemampuan, cara berpikir dan perilaku yang berbeda satu dengan yang lain. Lingkungan bukan menentukan perilaku individu, melainkan hanya mempengaruhinya. Keputusan akhir dari perilaku yang akan diambil ditentukan sendiri oleh setiap individu. Jadi, menurut perspektif ini tidaklah mengherankan apabila ada perbedaan antara apa yang diwajibkan oleh lingkungan dengan apa yang dilakukan individu.

Di Amerika, mekanisme penyerapan pendapat publik lebih baku dan sistematis. Mandat dari masyarakat pemilih (popular voice) disampaikan melalui agen yang berperan membawa misi dan memfasilitasi kepentingan masyarakat melalui payung hukum negosiated rulemaking Act of 1990, para wakil rakyat di legislatif harus benar-benar menangkap pesan dan merespon apa yang disampaikan para agen politik tersebut. Menurut Richardson, (2000 : 219) bahwa mekanisme politik yang dibangun tersebut membuat wakil rakyat memiliki ”sence of meeting” dengan kebutuhan masyarakat. Harus diakui bahwa mekanisme seperti ini belum ada di Indonesia.

Keputusan DPRD Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan tentu saja memiliki implikasi bagi masyarakat pada kedua kabupaten tersebut. Pemberian otonomi kepada daerah sesungguhnya merupakan suatu langkah untuk memberdayakan rakyat, baik dari segi politik maupun ekonomi. DPRD sebagai perwakilan rakyat tentu dituntut untuk mengerti dan mendengar aspirasi masyarakat yang diwakilinya, dengan demikian diharapkan terjadi yang namanya partisipasi politik yakni adanya keterlibatan individu pada berbagai macam-macam tingkatan di dalam suatu sistem dan aktivitas politik.

Indikator sosial politik yang dianalisis dalam kajian ini termasuk tingkat partisipasi masyarakat sehingga keputusan politik yang diambil dalam lembaga-lembaga legislatif memiliki daya dukung dalam implementasinya. Demikian juga sebaliknya. Huntington (1990:6) mendefinisikan partisipasi politik dalam penyelenggaraan pemerintah adalah kegiatan warga negara biasa (private citizen) yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Huntington dalam sumber yang sama, membedakan partisipasi politik atas partisipasi otonom dan partisipasi mobilisasi. Partisipasi otonom terjadi dengan sukarela dan atas kemauan sendiri. Sementara partisipasi mobilisasi terjadi karena dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu dalam masyarakat.

Miriam Budiardjo (2006:161) menyatakan bahwa partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu; berkampanye, menghadiri kelompok diskusi; dan sebagainya.

Abidin (2006: 164) menyatakan bahwa bentuk partisipasi masyarakat tidak selalu berupa dukungan, tetapi juga dapat berupa kritik, protes, tuntutan, dan bahkan tantangan. Jadi yang penting adalah bukan bentuk dari partisipasi, tetapi ada tidaknya

partisipasi masyarakat tersebut. Bahkan Miriam Budiardjo (Harun, 2006: 130) menyatakan bahwa partisipasi dapat bersifat perorangan atau secara kelompok, diorganisasikan atau secara spontan, ditopang atau sporadis, secara baik-baik atau dengan kekerasan, legal atau tidak legal, aktif atau tidak aktif.

Berdasarkan proses, partisipasi ini dapat dibedakan atau partisipasi langsung, rakyat langsung berpartisipasi seperti halnya dalam pemilihan presiden langsung yang diadakan di Indonesia pada tahun 2004 yang lalu, dimana setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih, memiliki hak suara yang sama atau disebut dengan one man, one vote. Sedangkan partisipasi tidak langsung inilah yang dikenal dengan sistem perwakilan yakni melalui lembaga DPR atau DPRD. Rakyat mempercayakan partisipasinya melalui wakil-wakilnya yang dipilih pada saat pemilihan umum. Pemahaman mengenai sistem perwakilan ini tentunya harus memberikan gambaran bahwa perwakilan individu dapat memahami dan memperjuangkan aspirasi, nilai, kepercayaan dan sikap dari yang diwakilinya. Oleh karenanya, sistem perwakilan haruslah menggambarkan hal-hal berikut:

a. Karakteristik kostituen yang diwakili b. Peranan mereka (anggota dewan)

c. Hubungan mereka (anggota dewan) dengan konstituen

d. Persepsi mereka (anggota dewan) akan suara hati atau opini politik konstituen (Eisinger, 1982: 148) (Napitupulu, 2005: 20).

Dengan demikian, dalam satu sistem perwakilan yang baik, anggota dewan perwakilan rakyatnya harus benar-benar mewakili kepentingan dari konstituennya.

Oleh karenanya angota dewan haruslah melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap keputusan politiknya.

Menurut Myron Weiner (Nihin, 2000: 156) ada lima penyebab partisipasi politik, yakni: (1) Modernisasi, (2) Perubahan-perubahan struktur sosial, (3) Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern, (4) Konflik diantara kelompok-kelompok pimpinan politik, dan (5) Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Jadi partisipasi politik bukan sebatas kegiatan pencoblosan pada saat Pemilu.

Sementara Milbrath (Rush, 2007: 165) menyatakan bahwa partisipasi politik itu bervariasi, berkaitan dengan empat faktor utama: (1) sejauh mana orang menerima perangsang politik, (2) karakteristik pribadi seseorang, (3) karakteristik sosial seseorang, (4) keadaan politik atau lingkungan politik dalam mana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri. Karakteristik sosial seseorang seperti status sosio-ekonomisnya, kelompok ras atau etnis, usia, jenis kelamin, agamanya, hidup di desa atau di kota, turut mempegaruhi partisipasi politik seseorang.

Nihin (2000:161) menyatakan bahwa partisipasi politik masyarakat tidak bisa berlangsung dengan optimal karena pertama, tidak ada peluang untuk berpartisipasi. kedua, keterbatasan kemampuan anggota tersebut dan ketiga, masyarakat tidak memahami perumusannya. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson (Nihin, 2000: 162) menyatakan bahwa bagi masyarakat miskin pedesaan atau perkotaan, jika menghadapi rintangan dalam partisipasi politik, “orang-orang misikin itu biasanya tidak begitu berpartisipasi di dalam politik oleh karena partisipasi seringkali

kelihatannya tidak relevan dengan urusan mereka yang pokok, atau tidak ada gunanya, atau kedua-duanya. Bagi banyak orang miskin, masalah yang paling mendesak adalah pekerjaan, pangan, dan bantuan medis untuk hari ini, hari esok atau minggu depan. Hasil-hasil survei mencerminkan hal itu. Sebagian kecil saja dari orang-orang yang berpenghasilan rendah dan berpendidikan sangan rendah, yang mempunyai minat dalam politik, menganggap politik relevan bagi urusan mereka, atau merasa bisa ikut mempengaruhi pihak berwajib, pada tingkat nasional atau setempat”.

Sementara Robert Lane (Rush, 2007: 179) dalam studinya tentang keterlibatan politik, mengemukakan bahwa partisipasi politik memenuhi empat macam fungsi, yakni: Pertama, sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis; kedua, sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial; ketiga, sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus; dan keempat, sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan bawah-sadar dan kebutuhan psikologis tertentu.

Bila pendapat Lane ini di atas dihubungkan dengan pendapat Weber tentang motif-motif pada bagian depan, maka dapat dikatakan bahwa partisipasi politik itu ditentukan oleh sikap-sikap sosial dan sikap-sikap politik individu yang mendasar, yang erat berasosiasi, baik dengan karakteristik pribadi dan sosial, maupun dengan lingkungan sosial dan lingkungan politik yang membentuk konteks perilaku politiknya.

Dengan demikian, maka DPRD sebagai wakil masyarakat diharapkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tetap mendengar aspirasi masyarakat yang

diwakilinya serta senantiasa mengembangkan partisipasi politik masyarakatnya dan mengutamakan kepentingan rakyat. Kompas, 10 Juni 2002 memperlihatkan komitmen DPR pada kepentingan rakyat, pribadi, atau partai sebagai berikut:

Tabel. 2 Komitmen DPR pada Kepentingan Rakyat, Pribadi atau Partai

Persentase Keterangan 8-9/8/00 24-25/10/01 30-3/1/02 27-28/3/02 30-31/5/02 Rakyat 22,2 11,7 6,4 4,6 11,0 Pribadi - 27,9 43,8 31,6 24,5 Partai 70,8 55,1 42,5 60,0 61,6 Tidak tahu 7,0 5,3 7,3 4,0 2,9 Jumlah (n) 1.569 802 877 854 830

Sumber : Harian Kompas, 10 Juli 2002

Kondisi tersebut di atas diharapkan tidak paralel dengan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, termasuk di DPRD Kabupaten Nias dan Nias selatan di dalam setiap keputusan politik yang mereka ambil.

Menyangkut perilaku anggota lembaga perwakilan rakyat, dalam mengambil suatu keputusan, Paimin Napitupulu (2005:55-57) menyatakan bahwa keputusan seorang anggota dewan memberikan suara tergantung pada banyak faktor dan konteks, yaitu :

1. Pengaruh kebijakan anggota itu sendiri dan pendirian filosofis (Burn, 1989: 291). Orientasi ideologis atau isu merupakan penentu terbaik bagaimana para anggota dewan akan memberikan suara dalam beragam persoalan. Dalam banyak hal pengaruh kebijakan dan pendirian filosofi pada DPR sulit dibedakan.

2. Pengaruh pemilih/konstituen (Burn, 1989: 292; Janda, 1987: 364). Pengaruh utama pada angota legislatif berasal dari persepsi mereka tentang bagaimana yang dirasakan oleh konstituen mereka. Jarang seorang angota dewan secara konsisten dan sengaja memberikan suara bertentangan dengan kehendak masyarakat dari daerah pemilihannya.

3. Pengaruh kolega (Burns, 1989: 293). Keputusan voting juga dipengaruhi oleh nasihat dari anggota angota yang diperoleh dari wakil lain.

4. Pengaruh staf dewan (Burns, 1989: 292). Staf dewan adalah birokrasi dalam dewan. Informasi dari para staf dewan ini sangat besar pengaruhnya bagi setiap anggota dewan.

5. Pengaruh partai politik (Burns, 1989: 294). Sumber pengaruh lain pada perilaku legislatif adalah partai politik. Partai politik seringkali memberi tekanan berupa garis partai yang harus dilaksanakan oleh angota dewan.

6. Pengaruh kepala negara/kepala daerah dan lembaga lain (Burn, 1989: 296). Banyaknya kekuatan regional, lokal, ikatan persahabatan-dapat mengesampingkan pengaruh partai. Anggota-anggota dewan kadang-kadang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok informal (delegasi lokal, kelompok ideologis, kaukus etnis, kelompok regional, dan bahkan kelompok kolega dengan siapa mereka dipilih).

Selanjutnya, Chapman dan Palda (Firmanzah, 2007: 130) menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan ekonomi memiliki hubungan dalam pengambilan keputusan politik. Individu yang tidak memiliki tingkat pendidikan tinggi akan cenderung

menggunakan non-rasional dalam pengambilan keputusan. Faktor-faktor emosional, rumor, isu, stereotipe dan pendapat umum merupakan hal penting dalam proses pengambilan keputusan politik. Sementara itu, orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan relatif tinggi akan cenderung lebih berhati-hati dalam proses pengambilan keputusan. Kebenaran informasi yang diperoleh tidak begitu saja diterima. Letak geografis juga turut mempengaruhi setiap individu dalam menganalisis sesuatu. Orang yang di daerah perkotaan relatif lebih terbiasa dengan informasi yang beragam dan kontradiktif dibandingkan dengan individu yang hidup di pedesaan.

Jung (Calvin S. 1993; 182) seorang psikiater, menyebutkan bahwa keseluruhan kepribadian terdiri dari sejumlah sistem yang berbeda namun saling berinteraksi. Sistem-sistem yang terpenting adalah ego, ketidaksadaran pribadi beserta kompleks-kompleksnya, ketidaksadaran kolektif arkhetipus-arkhetipusnya, persona dan bayang-bayang.

Ego adalah jiwa sadar yang terdiri dari persepsi-persepsi, ingatan, pikiran dan perasaan sadar seseorang. Ketidaksadaran pribadi merupakan daerah yang berdekatan dengan ego, terdiri dari pengalaman-pengalaman yang pernah sadar tetapi kemudian direpresikan, dilupakan, atau diabaikan namun pada saat-saat tertentu bisa menjadi sadar. Kompleks-kompleks adalah kelompok yang terorganisasi atau konstalasi perasaan, pikiran, persepsi dan ingatan yang terdapat dalam ketidaksadaran dari masa lampau oleh leluhur seseorang akibat dari pengalaman yang berulang selama banyak generasi dan merupakan fondasi ras yang diwariskan dalam keseluruhan struktur kepribadian. Arkhetipus-arkhetipus adalah komponen struktur dari ketidaksadaran

kolektif gambaran-gambaran primodial, image-image, gambaran mitologi, dan pola-pola tingkah laku yang mengandung unsur emosi yang besar. Persona adalah topeng yang dipakai sang pribadi respon terhadap tuntutan masyarakat yang seringkali, meski tidak selalu, ia bukanlah hakikat pribadi yang sebenarnya.

Jung membedakan dua sikap atau orientasi utama kepribadian yakni sikap ekstraversi, yaitu mengarahkan sang pribadi ke dunia luar, dunia obyektif, dan sikap introversi, yaitu mengarahkan orang ke dunia dalam, dunia subyektif. Teori Jung di atas tentu dapat menjelaskan sikap dan perilaku anggota DPRD Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan dalam mengambil keputusan tentang rencana pembentukan Provinsi Tapanuli.

Sikap dan perilaku seperti yang dikatakan juga di atas terlihat dalam pertemuan 3 Mei 2007 antara Pansus DPRD Sumatera Utara dengan pemerintah dan DPRD Kabupaten/kota di wilayah rencana Provinsi Tapanuli, Wakil Bupati Nias menyatakan bahwa ada beberapa pertimbangan Nias tidak bergabung dengan rencana pembentukan Provinsi Tapanuli antara lain dari segi historis, pembentukan Provinsi Tapanuli pada awalnya direncanakan sebagai salah satu manifestasi eks Keresidenan Tapanuli ternyata daerah kabupaten/kota yang tergabung dalam eks Keresidenan tersebut tidak dilibatkan seluruhnya, dan dari aspek geografis, kepulauan Nias terpisah 92 mil laut dari daratan pulau Sumatera. Menurutnya bila dilihat dari sarana dan prasarana transportasi yang tersedia saat ini, jarak tempuh Gunung Sitoli-Medan hanya 50 menit dengan pesawat udara dibandingkan dengan perjalanan laut sekitar 10

jam Gunung Sitoli-Sibolga ditambah perjalanan darat sekitar lima jam dari Sibolga-Siborongborong.

Sebaliknya pada pertemuan masyarakat Nias di kota medan dengan Pemkab Nias dalam rangka pelantikan Panitia Pemekaran Kota Gunung Sitoli di Medan, pertengahan Mei 2007, Ketua DPRD Kabupaten Nias Selatan menegaskan bahwa keputusan mendukung pembentukan Provinsi Tapanuli sudah final dalam paripurna DPRD Kabupaten Nias Selatan karena pemekaran membawa banyak manfaat bagi masyarakat, sambil mencontohkan kahidupan masyarakat di wilayah Kabupaten Nias Selatan yang makin baik dan hal tersebut merupakan hasil pascapemekaran dari Kabupaten Nias.

Dinamika dan kondisi sosial politik yang berbeda pada kedua Kabupaten yang ada dipulau Nias dalam merespon rencana pembentukan tapanuli ini merupakan suatu fakta di lapangan yang tentu berkaitan erat dengan pribadi anggota DPRD, termasuk tingkat pendidikan dan lingkungannya, partai politik, dan organisasi massa yang ada di pulau Nias selama ini.

2.6 Pemekaran Provinsi Gorontalo (sebagai informasi dan bahan perbandingan)