BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.2 Kajian Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Pada bagian ini ditinjau secara ringkas hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Tinjauan ini bertujuan untuk (1) mengetahui model, arah, dan temuan yang telah dicapai dan (2) memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang ada, baik metode, model, konsep, maupun teori.
Pertama, Siregar (2004), dalam penelitiannya yang berjudul “Metafora Kekuasaan dan Metafora melalui Kekuasaan: Melacak Perubahan Kemasyarakatan melalui Perilaku Bahasa”, membicarakan relasi kekuasaan dan metafora secara terperinci. Boleh dikatakan bahwa penelitiannya merupakan penelitian awal tentang metafora politik dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan teori Metafora Konseptual. Data penelitiannya secara umum adalah data tulis, tetapi korpusnya sangat kaya, luas, dan variatif. Siregar mengungkapkan kategorisasi metafora kekuasaan dalam bahasa Indonesia;
misalnya, POLITIK sebagai CAIRAN, POLITIK sebagai API, POLITIK sebagai PERANG, dan sebagainya.
Tak dapat dibantah bahwa penelitian Siregar berhasil memperlihatkan cara kerja teori Metafora Konseptual dalam menelaah fenomena kebahasaan. Model penelitiannya diadopsi dan dikembangkan dalam penelitian ini. Di samping itu, analisisnya yang sangat mendalam dan tuntas telah mengilhami penelitian yang dilakukan, khususnya dalam penetapan kategorisasi MCBA dan pemetaannya pada ranah sumber dan ranah sasaran.
Kedua, Silalahi (2005), dalam artikelnya yang bertajuk “Metafora dalam Bahasa Batak Toba”, menyelidiki metafora KATA dalam bahasa Batak Toba.
Korpus datanya berasal dari bahasa lisan yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara dan di Kabupaten Toba Samosir. Sebagai acuan analisis, dia menerapkan teori semantik kognitif.
Dalam penelitian ini, Silalahi berpendapat bahwa metafora KATA dalam bahasa Batak Toba terdiri atas delapan tipe semantis, yaitu (1) KATA sebagai BENDA, (2) KATA sebagai CAIRAN, (3) KATA sebagai HEWAN, (4) KATA
sebagai MAKANAN, (5) KATA sebagai MANUSIA, (6) KATA sebagai PERJALANAN, (7) KATA sebagai SENJATA, dan (8) KATA sebagai TUMBUHAN.
Silalahi tidak menyinggung pemetaan metafora untuk menunjukkan korespondensi sistematis antara KATA dan berbagai acuannya dalam bahasa Batak Toba. Dia menggunakan teori semantik kognitif sehingga penelitiannya kurang relevan dengan penelitian MCBA mengingat perbedaan pada objek kajian.
Kontribusi penelitiannya terletak pada model analisis dan konsep metafora dalam kerangka semantik kognitif. Hasil penelitiannya memperkaya wawasan dalam mengkaji metafora cinta dalam bahasa Angkola.
Ketiga, Rajeg (2009), dalam artikelnya yang berjudul “Cintanya Bertepuk Sebelah Tangan: Metaphoric and Metonymic Conceptualisation of LOVE in Indonesian”, membicarakan konsep cinta dalam bahasa Indonesia. Untuk menganalisis konsep cinta, dia menggunakan teori Metafora Konseptual yang bersumber dari linguistik kognitif. Ada dua masalah yang menjadi fokus pembahasannya, yakni (1) tipe-tipe metafora dan metonimi konseptual yang membangun struktur konsep cinta dalam bahasa Indonesia dan (2) kaitan metafora dan metonimi pada konsep cinta. Pada bagian hasil penelitian dikemukakan bahwa tipe-tipe metafora konseptual yang menandai cinta adalah sebagai berikut:
CINTA ADALAH CAIRAN (PANAS) PADA SUATU WADAH;
CINTA ADALAH KESATUAN BAGIAN;
CINTA ADALAH IKATAN;
CINTA ADALAH API;
CINTA ADALAH KEGILAAN;
CINTA ADALAH MABUK;
CINTA ADALAH KEKUATAN (ALAM dan FISIK);
CINTA ADALAH ATASAN SOSIAL;
CINTA ADALAH LAWAN;
CINTA ADALAH PERJALANAN;
OBJEK CINTA ADALAH DEWA/DEWI;
OBJEK CINTA ADALAH KEPEMILIKAN,
RASIONAL ADALAH (KE) ATAS, EMOSIONAL ADALAH (KE) BAWAH;
SADAR ADALAH (KE) ATAS, TIDAK SADAR ADALAH (KE) BAWAH.
Rajeg juga mengusulkan bahwa metonimi konseptual untuk konsep emosi umumnya terdiri atas tipe dasar, yaitu (1) PENYEBAB EMOSI BAGI EMOSI dan (2) DAMPAK EMOSI BAGI EMOSI. Dari kedua tipe dasar ini, yang paling umum ialah DAMPAK EMOSI BAGI EMOSI. Tipe metonimi ini kemudian dibedakannya atas dua jenis respon, yaitu (1) respon fisiologis (misalnya, MUKA MEMERAH BERARTI CINTA) dan (2) respon tindakan/tingkah laku (misalnya, KEDEKATAN SECARA FISIK BERARTI CINTA).
Penelitian Rajeg sangat menarik dan memberi inspirasi. Meskipun banyak datanya kurang alamiah sebab umumnya bersumber dari data tulis, Rajeg menganalisis tipe-tipe metafora cinta secara mendalam. Namun, dia tidak membicarakan pemetaan metafora cinta pada ranah sumber dan ranah sasaran.
Akibatnya, tipe-tipe metafora cinta yang diusulkannya kurang didukung oleh bukti-bukti teoretis yang memadai. Sebagai suatu kajian awal tentang metafora cinta dalam bahasa Indonesia, tipe-tipe metaforanya dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk menganalisis metafora cinta dalam bahasa Angkola.
Keempat, Mulyadi (2010a), dalam artikelnya yang berjudul “Metafora Emosi dalam Bahasa Indonesia”, membahas dua masalah pokok, yaitu (1) tipe-tipe metafora emosi dalam bahasa Indonesia yang dihasilkan dari operasi verba
gerakan dan (2) pemetaan elemen EMOSI dan elemen GERAKAN. Kedua masalah itu kemudian dianalisisnya dengan menggunakan teori Metafora Konseptual. Sebagian besar datanya diperoleh dari surat kabar dan majalah.
Dalam penelitiannya, Mulyadi menyimpulkan bahwa konseptualisasi emosi dalam bahasa Indonesia pada dasarnya bersumber dari sembilan citra metaforis, yaitu CAIRAN, BENDA, LAWAN, BINATANG BUAS, MUSUH TERSEMBUNYI, BEBAN, TEMPAT, DAYA ALAMI, dan DAYA FISIK.
Pemetaan ranah-ranah pengalaman gerakan dan emosi pada metafora emosi ditata atas dua skema dasar, yaitu skema WADAH dan skema RUANG. Dalam pemetaan itu, persesuaian yang sistematis antara ranah sumber dan ranah sasaran melibatkan gagasan daya dan gagasan kendali.
Penelitian Mulyadi menggunakan korpus data yang terbatas. Mungkin karena luasnya cakupan metafora emosi, ia membatasi kajiannya pada verba gerakan dan hanya mengacu pada lima jenis emosi dasar, yaitu gembira, sedih, marah, takut, dan malu. Implikasinya ialah bahwa generalisasi yang dihasilkannya tentang metafora emosi bahasa Indonesia masih bersifat tentatif. Meskipun demikian, tipe-tipe metafora emosi dan pemetaan metafora emosi yang menjadi objek penelitiannya sejalan dengan penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu, model dan metode analisisnya bermanfaat dalam penelitian ini.
Kelima, penelitian Nurismilida (2010) yang berjudul Metafora Bahasa Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan pada pokoknya menelaah bentuk, fungsi, dan makna metafora dalam bahasa Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan Banjai, Kecamatan Medan Denai. Dalam penelitian ini, beberapa konsep semantik struktural digunakannya
secara eklektik untuk menganalisis masalah penelitian. Data penelitiannya bersumber dari bahasa lisan.
Kajian Nurismilida memiliki perbedaan yang mendasar dengan penelitian yang dilakukan. Konsep metafora dalam penelitian Nurismilida tidak bertalian sama sekali dengan konsep metafora dalam penelitian ini. Penelitian Nurismilida bertolak dari metafora struktural atau metafora klasik, dan bukan dari metafora konseptual sebagaimana yang dianut dalam linguistik kognitif. Sekalipun demikian, uraiannya tentang metafora struktural bermanfaat untuk menjelaskan perkembangan metafora, khususnya pada fase klasik.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Masalah pemaknaan, sesuai dengan topik penelitian ini, memerlukan pendekatan sosial secara langsung di lapangan. Dalam hal ini, peneliti bekerja sama dengan beberapa narasumber selama proses penelitian, baik dalam pengumpulan data maupun dalam pengelompokan data. Data MCBA diperoleh dari warga yang bermukim di Desa Padang Garugur, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara.
Data yang dikumpulkan dibatasi pada pola-pola ujaran dan tulisan, utamanya data yang mengekspresikan metafora cinta.
Pemilihan Desa Padang Garugur sebagai lokasi penelitian berdasarkan tiga alasan. Pertama, masyarakat Angkola di Desa Padang Garugur tergolong masyarakat yang homogen. Maksudnya, warga di Padang Garugur adalah etnis (Batak) Angkola dan mereka berbahasa Angkola sebagai sarana berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, masyarakat Angkola di Desa Padang Garugur merupakan penutur asli. Kenyataan ini memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data empiris dari masyarakat, termasuk data yang diperoleh dari narasumber. Ketiga, masyarakat Angkola di Desa Padang Garugur hingga kini masih memegang teguh dan melaksanakan adat budayanya secara konsisten. Hal ini terlihat dari setiap praktik upacara adat seperti upacara pernikahan, upacara kematian, upacara peminangan, dan sebagainya.
Selanjutnya, mengingat beberapa kendala yang dialami oleh peneliti seperti penyiapan instrumen penelitian dan pengumpulan data di lapangan serta faktor eksternal yang lain, durasi penelitian ini lebih lama dari perkiraan awal.
Penelitian ini memerlukan waktu 6 bulan, yang meliputi pengurusan izin penelitian, penyiapan bahan dan instrumen penelitian, pengumpulan data di lapangan, pengategorian dan pengkajian data, serta penulisan laporan. Lamanya waktu penelitian memang tidak dengan sendirinya menjamin mutu penelitian sebab, seperti yang dikatakan oleh Bungin (2007: 130), semuanya tergantung dari kemampuan peneliti dalam menghimpun data di lapangan. Namun, alokasi waktu yang tersedia memungkinkan peneliti untuk mencermati klasifikasi dan analisis data secara lebih baik. Hal ini tentu dapat meningkatkan mutu hasil penelitian.
3.2 Pendekatan dan Metode yang Digunakan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati” (Moleong, 1995: 3). Alasan untuk menggunakan pendekatan kualitatif adalah sifat masalah yang diteliti.
Pendekatan kualitatif berguna untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu di balik fenomena MCBA yang sulit diungkapkan oleh pendekatan kuantitatif.
Dalam pendekatan kualitatif, makna bahasa dipahami bukan sesuatu yang lahir di luar dari pengalaman peneliti, melainkan menjadi bagian terbesar dari kehidupan peneliti (Bungin, 2007: 5). Jenis pendekatan ini sering mencakup pengamatan jangka panjang, pembacaan data yang sangat terperinci dan teliti, dan jumlah subjek penelitian yang terbatas. Selain itu, keluasan dan kedalaman data
menjadi prioritas utama dalam penelitian kualitatif. Ini berarti bahwa data deskriptif tentang MCBA berusaha dipahami secara holistik.
Dalam pengumpulan data penelitian diterapkan metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1993). Metode simak berguna untuk menyimak, atau mengamati, pemakaian bahasa oleh penutur bahasa Angkola. Pada metode simak, teknik sadap menjadi teknik dasar. Data MCBA sulit diperoleh tanpa menyadap pemakaian bahasa dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Teknik sadap ini disertai dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap, teknik simak bebas libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat.
Selain metode simak, metode cakap digunakan untuk menggali informasi tentang pengalaman cinta narasumber. Dalam pelaksanaan metode ini disiapkan sebuah daftar pertanyaan sebagai panduan bagi peneliti dalam pengembangan strategi percakapan. Teknik dasar dari metode ini ialah teknik pancing, dan teknik ini diikuti dengan teknik cakap semuka, teknik cakap tansemuka, teknik rekam, dan teknik catat.
Penting untuk dikemukakan bahwa dalam pengumpulan data, penelitian ini lebih sering menggunakan metode cakap daripada metode simak. Hal ini mengacu pada fakta bahwa karakteristik data yang disasar sulit diperoleh apabila strategi yang dilakukan hanya mengamati pemakaian bahasa oleh penutur bahasa Angkola. Ekspresi MCBA lebih mungkin dicatat pada saat penerapan metode cakap, khususnya dengan mengembangkan teknik cakap semuka, yaitu antara peneliti dan (beberapa) narasumber penelitian.
3.3 Data dan Sumber Data
Data penelitian ini umumnya adalah data lisan yang dieksplorasi secara intensif dari pengalaman emosi narasumber. Data lisan ditetapkan sebagai data dasar, yaitu data yang dianalisis. Data lisan yang dimaksud ialah pola-pola tuturan dan kalimat yang memuat ekspresi metaforis.
Data tulis dimanfaatkan secara minimal. Alasannya ialah bahwa bahasa Angkola, sejauh yang diketahui, belum memiliki dokumentasi mengenai bahasa figuratif. Satu-satunya sumber data dalam pengumpulan data tulis adalah kamus bahasa Angkola. Dalam penelitian ini, data tulis menjadi data penunjang, yakni data yang digunakan untuk mempermudah analisis data dasar.
Seperti disinggung di awal, data lisan dikumpulkan dari narasumber.
Narasumber ini dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Lagi pula, tidak setiap penutur bahasa Angkola memenuhi syarat sebagai seorang narasumber. Kriteria yang digunakan untuk narasumber penelitian ialah sebagai berikut: (1) bersedia secara sukarela membantu peneliti selama penelitian berlangsung; (2) tergolong penutur jati; (3) bersifat sabar, jujur, ramah, dan terbuka; (4) menguasai bahasa Angkola dengan baik; (5) berusia 20—60 tahun; dan (6) jarang atau lama tidak meninggalkan desanya (lihat Samarin, 1988: 55—62; Moleong, 1995: 90).
3.4 Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data
Pada dasarnya banyak prosedur penelitian yang dapat dilakukan dalam pengumpulan dan perekaman data. Nilai dari prosedur tersebut bergantung pada berapa baik prosedur itu dalam menyediakan jawaban untuk pertanyaan penelitian.
Dalam penelitian ini, prosedur yang digunakan dalam pengumpulan dan perekaman data dapat dijelaskan secara berurutan sebagai berikut.
1) Data awal MCBA dijaring melalui kuesioner. Dalam kuesioner itu, sebuah daftar kalimat bahasa Indonesia yang mengandung metafora cinta disusun sedemikian rupa dan daftar itu berguna sebagai acuan atau pedoman bagi responden untuk mengisinya. Pada tahap ini, beberapa responden yang merupakan penutur bahasa Angkola dipilih dan ditentukan secara acak.
Mereka diminta menuliskan padanan kalimat bahasa Indonesia itu ke dalam bahasa Angkola pada kolom kosong yang disediakan.
2) Data yang diperoleh dari beberapa kuesioner dibandingkan satu dengan yang lain untuk menemukan kalimat bahasa Angkola yang tepat. Apabila terdapat perbedaan jawaban di antara responden dalam mengisi kuesioner, intuisi peneliti digunakan sebagai penentu akhir. Hasilnya kemudian dijadikan sebagai draf akhir.
3) Data MCBA diselidiki lebih jauh dengan mewawancarai narasumber.
Wawancara yang dilakukan bersifat tak berstruktur. Tujuan utamanya ialah untuk menemukan data MCBA yang alami, yaitu data yang bersumber dari pengalaman emosi penutur bahasa Angkola sehari-hari.
Pada tahap ini, data kuesioner yang mengandung ketaksaan atau kekeliruan direvisi dan disempurnakan. Di samping itu, sejumlah data baru dihasilkan dengan mengembangkan pertanyaan yang bersumber dari data
kuesioner. Wawancara ini juga bertujuan untuk menguji kegramatikalan dan keberterimaan data MCBA yang diperoleh dari kuesioner.
4) Untuk melengkapi data penelitian dilakukan pengamatan terhadap pemakaian bahasa Angkola sehari-hari. Pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat dan mengamati, serta mencatat perilaku dan kejadian sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Tempat-tempat umum, seperti pasar, warung, atau sekolah, dijadikan sebagai objek pengamatan.
Namun, harus diakui bahwa tidak banyak data yang diperoleh dalam penerapan metode pengamatan.
5) Semua ekspresi metaforis yang bermakna ‘cinta’ pada sumber data dicatat.
Selain ditandai oleh penggunaan kata holong ‘cinta/kasih sayang’, makna
‘cinta’ juga ditafsirkan dari pemakaian kata-kata lain secara metaforis.
Makna ‘cinta’ yang dibentuk oleh kombinasi kata holong dengan kata-kata lain, misalnya, terdapat pada ungkapan seperti holongnia mago ‘cintanya hilang/sirna’, mandapotkon holong ‘mendapatkan cinta’, dan api ni holong
‘api cinta’. Relasi antarkonsep yang bersifat implisit terdapat pada ungkapan seperti mangisi ngolukku ‘mengisi hidupku’, mambolat-bolat ate-atenia ‘menahan hatinya’, dan parrosuan dilaho-laho na patut
‘hubungan di jalur yang tepat’. Pada contoh-contoh yang terakhir itu, kata mangisi, mambolat-bolat, dan dilaho-laho merupakan ekspresi metaforis yang menyiratkan makna ‘cinta’ dalam bahasa Angkola.
6) Data MCBA dipilah-pilah sesuai dengan kesamaan kategori semantisnya.
Pada tahap ini, penetapan kategori MCBA bertumpu pada kesamaan atau kedekatan makna yang terbentuk dari kombinasi kata holong dengan kata-kata lain atau melalui pemakaian kata-kata-kata-kata seperti ate-ate ‘hati’, ale-ale
‘kekasih’, parrosuan ‘hubungan’, dan lain-lain. Dari hasil klasifikasi data, kategori semantis MCBA, di antaranya, ialah CINTA sebagai PERANG, CINTA sebagai CAIRAN (PANAS) DALAM WADAH, CINTA sebagai DAYA ALAMI, CINTA sebagai API, CINTA sebagai PERJALANAN, dan sebagainya.
3.5 Analisis Data
Analisis data disesuaikan dengan upaya pemecahan masalah penelitian.
Untuk masalah pertama, yaitu penetapan kategori MCBA, diterapkan metode padan. Metode ini bekerja untuk membandingkan suatu peristiwa konkret pada ranah sumber dan peristiwa emosi pada ranah sasaran sesuai dengan kesamaan sifat referensialnya. Misalnya, pada kalimat (6a) verba mogap ‘tenggelam’
dimasukkan pada ranah sumber dan emosi cinta dimasukkan pada ranah sasaran.
Untuk menetapkan kategori metafora pada (6a) diidentifikasi ranah pengalaman dasar pada ranah sumber.
(6) a. Mogap do au dibaen hata-hatania.
megap PART 1Tg PAS.buat kata.3.Tg ‘Saya tenggelam oleh rayuannya.’
Untuk itu, verba mogap ‘megap’ ditempatkan pada sebuah kalimat lain dalam konteks nonmetaforis, seperti pada (6b). Pada contoh tersebut tampak
bahwa mogap mempunyai relasi semantis dengan ‘hampir tenggelam di dalam air pada (6b) yang dikonseptualisasikan sebagai DAYA ALAMI. Artinya, konsep
“cinta” dipahami dari konsep “daya alami”. Dengan demikian, kategori metafora pada (6a) ialah CINTA sebagai DAYA ALAMI.
(6) b. Mogap daganak i di sunge.
megap anak DEM PREP sungai ‘Anak itu megap di sungai.’
Secara skematis, kategori semantis MCBA pada kalimat (6a) dideskripsikan sebagai berikut.
Sumber: tenggelam DAYA ALAMI Sasaran: cinta CINTA
Pemetaan ranah-ranah pengalaman dasar dan cinta pada MCBA dijelaskan dengan metode padan dan teknik analisisnya berupa teknik hubung banding sama.
Dalam pemetaan ini, dua entitas yang dipetakan pada dua ranah kognitif yang berbeda ditandai oleh perangkat persamaan atau persesuaiannya. Contohnya, metafora konseptual CINTA sebagai PERJALANAN merupakan representasi dari dua kalimat di bawah ini.
(7) Holongnia tarpatudu tu daboru na posonai.
sayang.3Tg PAS.tuju PREP istri PART muda.3Tg ‘Kasih sayangnya tertuju pada istri mudanya.’
(8) Muda giot mandapotkon holongnia diporluhon lakka KONJ ingin AKT.dapat.kan sayang.3Tg PAS.perlu.kan langkah na marpatudu.
PART AKT.tuju
‘Untuk mendapatkan cintanya diperlukan strategi khusus.’
Bertolak dari kedua contoh di atas, penutur bahasa Angkola umumnya mempersepsi konsep “cinta” melalui konsep “perjalanan”. Konsep “perjalanan”
itu dinyatakan dengan jelas pada kata tarpatudu ‘tertuju’ pada kalimat (7) dan kata lakka ‘langkah’ pada kalimat (8), yang keduanya memiliki medan makna yang sama. Pemetaan dasar untuk membatasi metafora konseptual di atas diilustrasikan pada tabel berikut.
Tabel 3.1 Model Pemetaan Konseptual CINTA sebagai PERJALANAN
RANAH SUMBER RANAH SASARAN
pejalan pecinta
tempat perjalanan hubungan cinta
tujuan perjalanan tujuan hubungan
jarak yang ditempuh kemajuan dalam hubungan rintangan dalam perjalanan kendala dalam hubungan
Sebagaimana terlihat pada Tabel 3.1 di atas, elemen semantis tertentu dari ranah PERJALANAN berhubungan secara simetris dengan elemen semantis tertentu dari ranah CINTA. Dalam pemetaan konseptual ini, tidak semua elemen semantis yang menggambarkan korelasi di antara kedua konsep itu harus dibandingkan. Penetapan atau pemilihan elemen-elemen semantisnya dibatasi pada aspek-aspek tertentu yang dianggap berperan pada metafora, baik pada ranah sumber maupun pada ranah sasaran.
3.6 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data
Data penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik triangulasi. Yang dimaksud dengan triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data (Moleong, 1995: 178). Prosedur triangulasi meliputi penggunaan data dari berbagai sumber untuk menemukan pola dan tema. Untuk menambah bobot argumen, makin banyak bukti yang diperoleh dari sumber-sumber yang mandiri, tentu makin baik.
Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan untuk menguji pemahaman peneliti dan pemahaman narasumber tentang hal-hal yang diinformasikan oleh narasumber kepada peneliti (Bungin, 2007: 252—253). Triangulasi diperlukan sebab terdapat perbedaan pada pemahaman makna cinta antara seorang narasumber dan narasumber yang lain meskipun data yang digunakan sama. Juga perbedaan dalam pemahaman pemaknaan antara narsumber dan peneliti.
Triangulasi dilakukan dengan dua cara. Pertama, setelah wawancara atau pengamatan selesai dilakukan, peneliti menguji pemahaman secara langsung kepada narasumber. Kedua, uji pemahaman dilakukan pada akhir penelitian ketika semua data dari narasumber sudah berhasil dikumpulkan. Cara yang kedua lebih bermanfaat untuk memeriksa berbagai informasi yang diperoleh, termasuk informasi dari sumber-sumber lain.
BAB IV
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
4.1 Pengantar
Bab ini membicarakan paparan data dan temuan penelitian. Paparan data meliputi dua jenis deskripsi, yaitu deskripsi latar dan deskripsi data. Pada deskripsi latar diuraikan keadaan astronomis, geografis, dan demografis dari Desa Padang Garugur yang menjadi lokasi penelitian, termasuk penjelasan mengenai latar penelitian dalam konteks pemerolehan data empiris. Deskripsi data membahas presentasi data verbal dengan berfokus pada kesamaan pola dan tema dari data yang berhasil dikumpulkan dalam suatu korpus. Sementara itu, bagian temuan penelitian menerangkan hasil analisis data dan fakta kebahasaan secara ringkas. Temuan ini menyangkut dua masalah penelitian, yakni kategorisasi semantis dan pemetaan konseptual dari MCBA.
4.2 Paparan Data 4.2.1 Deskripsi Latar
Desa Padang Garugur secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Letak desa ini sekitar 6 km dari Kantor Bupati Padang Lawas Utara atau sekitar 7 km dari Kantor Camat Padang Bolak dan Pasar Gunung Tua yang masing-masing menjadi pusat administrasi dan pusat aktivitas ekonomi warganya di tingkat kecamatan. Infrastruktur jalan ke desa ini kurang baik karena berupa tanah bebatuan dan pada beberapa bagian bentuk jalannya berlubang dan curam.
Selain itu, ada dua jembatan kecil yang mesti dilalui apabila hendak ke desa ini.
Walaupun demikian, Desa Padang Garugur dapat dilewati dengan mobil atau kendaraan bermotor lain. Dari kota Medan, perjalanan ke desa ini dapat ditempuh lebih kurang 10 jam dalam kondisi normal.
Secara astronomis Desa Padang Garugur terletak di antara 99,58308 Bujur Timur dan 1,48097 Lintang Utara. Luas areanya adalah 6,05 Ha (km²) dengan kondisi wilayah yang berupa perbukitan. Seperti desa-desa lain di wilayah Padang Bolak, Desa Padang Garugur tergolong desa swasembada (Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Lawas Utara 2011). Deskripsi tentang Desa Padang Garugur
Secara astronomis Desa Padang Garugur terletak di antara 99,58308 Bujur Timur dan 1,48097 Lintang Utara. Luas areanya adalah 6,05 Ha (km²) dengan kondisi wilayah yang berupa perbukitan. Seperti desa-desa lain di wilayah Padang Bolak, Desa Padang Garugur tergolong desa swasembada (Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Lawas Utara 2011). Deskripsi tentang Desa Padang Garugur