• Tidak ada hasil yang ditemukan

METAFORA CINTA DALAM BAHASA ANGKOLA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "METAFORA CINTA DALAM BAHASA ANGKOLA"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)METAFORA CINTA DALAM BAHASA ANGKOLA. TESIS. Oleh. RUMNASARI KHOIRIYAH SIREGAR NIM 107009020/LNG. SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013. Universitas Sumatera Utara.

(2) METAFORA CINTA DALAM BAHASA ANGKOLA. TESIS. Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Oleh RUMNASARI KHOIRIYAH SIREGAR NIM 107009020/LNG. SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013. Universitas Sumatera Utara.

(3) Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi. : METAFORA CINTA DALAM BAHASA ANGKOLA : Rumnasari K. Siregar : 107009020 : Linguistik. Menyetujui Komisi Pembimbing. (Dr. Eddy Setia, M. Ed TESP) Ketua. Ketua Program Studi,. (Dr. Mahriyuni, M.Hum.) Anggota. Direktur. (Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE). Tanggal lulus: Februari 2013. Universitas Sumatera Utara.

(4) Telah diuji pada Tanggal 8 Maret 2013 __________________________________________________________________. PANITIA PENGUJI TESIS Ketua. : Dr. Drs. Eddy Setia, M. Ed TESP. Anggota. : 1. Dr. Mahriyuni, M. Hum. 2. Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M. Ling. 3. Dr. Nurlela, M. Hum.. Universitas Sumatera Utara.

(5) PERNYATAAN Metafora CINTA dalam Bahasa Angkola. Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar magister dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar karya saya sendiri. Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian dari tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.. Medan, .... Februari 2013. Rumnasari K. Siregar. Universitas Sumatera Utara.

(6) RIWAYAT HIDUP. 1.. 2.. Data Pribadi Nama Lengkap Tempat/Tgl. Lahir Jenis Kelamin Agama Instansi Alamat Rumah. : Dra. Rumnasari Khoiriyah Siregar : Medan, 16 Februari 1968 : Perempuan : Islam : Politeknik Negeri Medan : Jalan Picauly No. 29, Kampus USU, Medan. Riwayat Pendidikan SD : SD Taman Harapan, Medan SMP : SMP Bhayangkari, Medan SMA : SMA Bhayangkari, Medan S1 : Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara.

(7) KATA PENGANTAR. Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya tesis yang berjudul “Metafora Cinta dalam Bahasa Angkola” ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan pernyataan terima kasih, penghargaan, dan penghormatan kepada:. 1. Bapak Dr. Eddy Setia, M. Ed. TESP (Pembimbing I), yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang berharga sehingga tesis ini dapat ditulis sesuai dengan harapan dan ketentuan akademik; 2. Ibu Dr. Mahriyuni, M. Hum. (Pembimbing II), yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memberi saran-saran kepada penulis dalam suasana akrab; 3. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M. Sc. (CTM), Sp. A(K), atas berbagai fasilitas pendidikan; 4. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Linguistik dengan beasiswa BPPS; 5. Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. T. Silvana Sinar, M. A., Ph. D., dan Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera. Universitas Sumatera Utara.

(8) Utara, Dr. Nurlela, M. Hum, yang selalu memberikan nasihat dan motivasi kepada penulis; 6. Tim penguji tesis, Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M. Ling. dan Dr. Nurlela, M. Hum., atas berbagai saran, koreksi, sanggahan, dan kritik yang konstruktif sejak dari seminar proposal hingga ujian tesis; 7. Pemerintah Republik Indonesia c.q. Menteri Pendidikan Nasional melalui Tim Manajemen Program Magister, atas bantuan beasiswa BPPS; 8. Staf pengajar pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. T. Silvana Sinar, M. A., Ph. D., Prof. Dr. Robert Sibarani, M. S., Prof. Dr. Amrin Saragih, M. A., Dr. Eddy Setia, M. Ed. TESP., Dr. Dwi Widayati, M. Hum., Dr. Thyrhaya Zein, M. A., Dr. Gustianingsih, M. Hum., dan Dr. Mahriyuni, M. Hum., atas sumbangsih ilmu yang diberikan kepada penulis; 9. Direktur Politeknik Negeri Medan, M. Syahruddin, S. T., M. T., atas izin yang diberikan kepada penulis; 10. Ketua Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Medan, Pirma Sibarani, S. E., M. S., Ak., dan Sekretaris Jurusan Akuntansi, M. Rikwan E. S. Manik, S. E., yang membebaskan penulis dari tugas-tugas akademik; 11. Camat Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara, Tunggul P., S.Sos, atas penerbitan surat izin penelitian; 12. Staf administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan staf administrasi Program Studi Linguistik Sekolah Pascarsarjana Universitas Sumatera Utara atas pelayanan akademik yang baik;. Universitas Sumatera Utara.

(9) 13. Narasumber bahasa Angkola, yaitu Bapak Drs. Kimom Siregar, Bapak Rahliman Siregar, Ibu Hotnur Isra Siregar, Bapak Isfan Nazib Harahap, dan Ibu Masniar Daulay atas kesediaan membantu penulis dalam penyediaan dan pengoreksian data penelitian; 14. Teman-teman kuliah pada Program Magister Linguistik USU atas kerja sama, bantuan, dan persahabatan yang terjalin selama ini; 15. Kedua orang tua penulis, (alm) Ir. H. Syofyan Siregar dan (almh) Hj. Tapi Alam Daulay, yang semasa hidupnya selalu mencurahkan kasih sayang yang tulus dan memberikan nasihat dan doa kepada penulis; 16. Kedua mertua penulis, (alm) H. Ali Usman dan Hj. Nurhayati Siregar, yang senantiasa mendukung karier penulis; 17. Suami tercinta, Dr. Mulyadi, M. Hum., dan anak-anak tersayang, Liliyana Sari S. (Psikologi USU), Nurmala Fitri S. (IPB), dan Andika Aulia S. (SMP Harapan 2 Medan), yang selalu menyemangati penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini; dan 18. Adik-adik penulis, yang selalu membantu kesulitan penulis.. Tesis ini belum sempurna. Kesalahan dalam tesis ini menjadi tanggung jawab penulis. Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi terhadap kajian semantik (kognitif), khususnya pada bahasa-bahasa daerah di Sumatera Utara.. Universitas Sumatera Utara.

(10) DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ......................................................................................... ABSTRACT ....................................................................................... KATA PENGANTAR ....................................................................... RIWAYAT HIDUP ………………………………………….......… DAFTAR ISI ...................................................................................... DAFTAR TABEL .............................................................................. DAFTAR GAMBAR ......................................................................... DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG .................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... i ii iii vi vii x xi xii xiv. BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1. 1.1 Latar Belakang ................................................................ 1. 1.2 Perumusan Masalah ......................................................... 8. 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 9. 1.3.1 Tujuan Umum ........................................................ 9. 1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................... 9. 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................... 9. 1.4.1 Manfaat Teoretis ................................................... 9. 1.4.2 Manfaat Praktis ...................................................... 10. 1.5 Definisi Istilah ……………………………………….... 10. BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................... 13.. 2.1 Teori-Teori yang Relevan ................................................ 13. 2.1.1 Teori Metafora Klasik ............................................. 13.. 2.1.2 Teori Metafora Konseptual ..................................... 15. 2.2 Kajian Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ......................... 20. BAB III METODE PENELITIAN ................................................ .. 25. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................... 25. 3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian ............................... 26. 3.3 Data dan Sumber Data .................................................. 28. Universitas Sumatera Utara.

(11) Halaman 3.4 Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data ............... 28 3.5 Analisis Data .................................................................. 31. 3.6 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data ............. 34. BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ........ 35. 4.1 Pengantar .......................................................................... 35. 4.1 Paparan Data .................................................................... 35. 4.1.1 Deskripsi Latar ........................................................ 35. 4.1.2 Deskripsi Data ......................................................... 46. 4.2 Temuan Penelitian ……………………………………... 51. BAB V PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN ....................... 55. 5.1 Pengantar ........................................................................... 55. 5.2. Kategorisasi MCBA ......................................................... 55. 5.2.1 Kategori CINTA sebagai CAIRAN DALAM WADAH.................................................................... 55. 5.2.1.1 Subkategori CINTA sebagai PANAS .................... 59. 5.2.1.2 Subkategori CINTA sebagai API .......................... 60. 5.2.2 Kategori CINTA sebagai DAYA .............................. 61. 5.2.2.1 Subkategori CINTA sebagai DAYA FISIK ........... 61. 5.2.2.2 Subkategori CINTA sebagai DAYA ALAMI .......... 63. 5.2.2.3 Subkategori CINTA sebagai DAYA PSIKOLOGIS ....................................................... 65. 5.2.3 Kategori CINTA sebagai BINATANG BUAS .......... 66. 5.2.4 Kategori CINTA sebagai PASIEN ........................... 68. 5.2.5 Kategori CINTA sebagai PERJALANAN ................. 71. 5.2.6 Kategori CINTA sebagai PERANG .......................... 73. 5.2.7 Kategori CINTA sebagai BENDA ............................ 75. 5.2.7.1 Subkategori CINTA sebagai OBJEK TERSEMBUNYI ..................................................... 76. Universitas Sumatera Utara.

(12) Halaman 5.2.7.2 Subkategori CINTA sebagai KOMODITAS BERHARGA .......................................................... 77. 5.2.7.3 Subkategori CINTA sebagai TANAMAN .............. 79. 5.2.7.4. Subkategori CINTA sebagai BANGUNAN .......... 81. 5.2.8 Kategori CINTA sebagai KESATUAN ..................... 82. 5.2.9. Kategori CINTA sebagai PERMAINAN .................. 84. 5.3 Pemetaan Konseptual pada MCBA .................................... 85. 5.3.1 Skema WADAH ........................................................ 86. 5.3.2 Skema DAYA ............................................................ 89. 5.3.3 Skema SUMBER-JALUR-TUJUAN ........................ 96. 5.3.4 Skema RUANG ......................................................... 98. 5.3.5 Skema HUBUNGAN ................................................ 104. BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................... 108. 5.1 Simpulan ............................................................................ 108. 5.2 Saran .................................................................................. 110. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 111. LAMPIRAN: 1. Kuesioner Penelitian ................................................................ 114. 2. Surat Izin Penelitian .................................................................. 122. 3. Data Informan ........................................................................... 124. Universitas Sumatera Utara.

(13) DAFTAR TABEL. Nomor. Judul. Halaman. 3.1. Model Pemetaan Konseptual CINTA sebagai. 33. PERJALANAN 4.1. Desa-Desa di Padang Bolak dan Luas Areanya. 4.2. Luas Area, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk. 40. 42. Universitas Sumatera Utara.

(14) DAFTAR GAMBAR. Nomor. Judul. Halaman. 4.1. Desa Padang Garugur. 36. 4.2. Peta Kabupaten Padang Lawas Utara. 39. 4.3. Wawancara Peneliti dengan Narasumber Utama. 44. Universitas Sumatera Utara.

(15) DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG. SINGKATAN AKT: aktif band: bandingkan DEM: demonstrativa dkk: dan kawan-kawan dll: dan lain-lain KONJ: konjungsi Lamp: Lampiran LOK: lokatif mis: misalnya NEG: negasi PART: partikel PAS: pasif PREP: preposisi 1Jm: orang pertama jamak 1Tg: orang pertama tunggal 2Tg: orang kedua tunggal 3Tg: orang ketiga tunggal 3Jm: orang ketiga jamak. Universitas Sumatera Utara.

(16) LAMBANG ?. sebuah kalimat atau ujaran diragukan keberterimaannya. ??. sebuah kalimat atau ujaran tidak berterima secara semantis. *. sebuah kalimat atau ujaran tidak berterima secara gramatikal. ..... lambang ini dapat diisi oleh konstituen. ‘’. makna atau terjemahan. “”. penegasan bentuk atau bermakna khusus. ( ). (1) pengapit nomor data/kalimat, (2) pengapit keterangan tambahan. /. konstituen yang diapit oleh lambang ini bersifat pilihan. →. berkorespondensi. Universitas Sumatera Utara.

(17) DAFTAR LAMPIRAN. Halaman Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian ................................................. 114. Lampiran 2: Surat Izin Penelitian...................................................... 122. Lampiran 3 : Data Informan ............................................................. 124. .. Universitas Sumatera Utara.

(18) ABSTRAK. Tulisan ini membahas kategorisasi dan pemetaan konseptual pada metafora CINTA dalam bahasa Angkola. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan metode simak dan metode cakap melalui studi lapangan. Seluruh data dianalisis dengan menerapkan metode padan dan keabsahannya diuji dengan teknik triangulasi. Penelitian ini menggunakan teori Metafora Konseptual dengan mengembangkan skema-citra sebagai alat analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseptualisasi cinta dalam bahasa Angkola bersumber dari sembilan citra metaforis utama, yaitu CAIRAN, DAYA, BINATANG BUAS, PASIEN, PERJALANAN, PERANG, BENDA, KESATUAN, dan PERMAINAN. Kategori CINTA sebagai CAIRAN DALAM WADAH memiliki subkategori CINTA sebagai PANAS dan CINTA sebagai API; kategori CINTA sebagai DAYA memiliki subkategori CINTA sebagai DAYA FISIK, CINTA sebagai DAYA ALAMI, dan CINTA sebagai DAYA PSIKOLOGIS; kategori CINTA sebagai PASIEN memiliki subkategori CINTA sebagai KEGILAAN; kategori CINTA sebagai BENDA memiliki subkategori CINTA sebagai OBJEK TERSEMBUNYI, CINTA sebagai KOMODITAS BERHARGA, CINTA sebagai TANAMAN, dan CINTA sebagai BANGUNAN; dan kategori CINTA sebagai KESATUAN memiliki subkategori CINTA sebagai TALI. Selanjutnya, pemetaan ranah-ranah pengalaman cinta ditata atas lima skema dasar, yaitu skema WADAH, skema DAYA, skema SUMBERJALUR-TUJUAN, skema RUANG, dan skema HUBUNGAN. Dalam pemetaan itu, persesuaian yang sistematis antara ranah sumber dan ranah sasaran melibatkan gagasan daya dan gagasan kendali.. Kata kunci: metafora cinta, kategorisasi, skema citra, dan pemetaan. Universitas Sumatera Utara.

(19) ABSTRACT. This research analyzed the categorization and conseptual mapping of LOVE metaphors in Angkola language. The data obtained by using the observation and interview methods which is conducted through the field research. The data is analyzed by using the identity method and the appropriateness method of the word with the tiangulation technique. This research uses the Conseptual Methapor Theory by using schema of image as analysis tool. The finding show that conseptualization of love in Angkola language derive nine main methapor such as FLUID, FORCE, WILD ANIMAL, PATIENT, JOURNEY, WAR, OBJECT, UNITY, and GAME. Category of LOVE IS A FLUID IN A CONTAINER have subcategory of LOVE IS HEAT and LOVE IS FIRE; category of LOVE IS FORCE have subcategory of LOVE IS PHYSICAL FORCE, LOVE IS NATURAL FORCE, and LOVE IS PSYCHOLOGICAL FORCE; category of LOVE IS PATIENT have subcategory of LOVE IS MAD; category of LOVE IS OBJECT have subcategory of LOVE IS HIDDEN OBJECT, LOVE IS VALUABLE COMMODITY, LOVE IS PLANT, and LOVE IS BUILDING; and category of LOVE IS UNITY have subcategory of LOVE IS ROPE. Futhermore, the mapping of love experience domain consist of five basic schema such as schema of CONTAINER, FORCE, SOURCE-PATH-GOAL, SPACE, and LINK. In this mapping the systematical relevancy between the source domain and goal domain involves force and control aspect.. Key words: love methaphors, categorization, image-schemas, and mapping. Universitas Sumatera Utara.

(20) BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Metafora berperan penting dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Untuk menarik perhatian pembaca, judul-judul berita pada surat kabar, tabloid, atau majalah sering dinyatakan secara metaforis. Ekspresi metaforis biasanya juga mengisi percakapan di antara partisipan, baik dalam situasi formal maupun dalam situasi nonformal. Misalnya, ekspresi metaforis seperti membuang waktu, menang berdebat, menyerang KPK, atau mendidih darah terdengar begitu akrab dan lazim dalam bahasa Indonesia sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Lakoff dan Johnson (1980: 3) yang mengatakan bahwa sistem konseptual manusia pada hakikatnya adalah metafora. Sejauh mana peran metafora dalam bahasa diterangkan dengan baik oleh Hai-Yun (2007: 34). Menurut Hai-Yun, ada tiga fungsi komunikatif dari metafora. Pertama, metafora memungkinkan penutur bahasa untuk mengungkapkan gagasan-gagasan yang abstrak dan rumit apabila dia (merasa) terbatas dalam penggunaan bahasa harfiah. Kedua, metafora merupakan suatu cara komunikasi yang rapi sebab banyak informasi dapat disampaikan secara ringkas. Ketiga, metafora mampu memberikan gambaran yang lebih kaya, lebih hidup, dan lebih terperinci tentang pengalaman subjektif penutur bahasa daripada pengalaman tersebut diekspresikan secara harfiah (lihat juga Verspoor, 1993: 5; Croft dan Cruse, 2004: 193).. Universitas Sumatera Utara.

(21) Metafora dalam kenyataannya merupakan suatu mekanisme yang lazim digunakan oleh penutur bahasa untuk mengungkapkan jenis-jenis peristiwa yang berbeda, khususnya peristiwa-peristiwa abstrak. Karena kelaziman itu, ekspresi metaforis dapat memengaruhi makna harfiah kata-kata (lihat Saeed, 1997: 16; Mercer, 2000: 79). Tidak terlalu mengherankan jika batas antara makna harfiah dan makna figuratif kadang-kadang sulit ditentukan dengan jelas. Lakoff dan Johnson (1980) mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan prinsip antara pemakaian bahasa harfiah dan pemakaian bahasa metaforis. Menurut kedua pelopor linguistik kognitif itu, hal itu terjadi karena “sebagian besar proses pikiran manusia adalah metaforis” dan “sistem konseptual manusia dibangun dan dibatasi secara metaforis” (Lakoff dan Johnson, 1980: 6). Keadaan internal, khususnya keadaan emosional, sering dideskripsikan secara metaforis (Verspoor, 1993: 42; Sandström, 2006: 1; dan Rajeg, 2009: 4). Ekspresi metaforis untuk keadaan emosional didasari asumsi bahwa kualitas keadaan emosional sulit diungkapkan dan dipahami dengan baik jika hanya menggunakan bahasa harfiah. Apabila suatu keadaan emosional (misalnya, sedih) dapat dinamai dengan mudah, penutur bahasa pada umumnya terkendala dalam menyediakan deskripsi harfiah tentang kualitas pengalaman emosi tertentu, kecuali yang bersangkutan menggunakan ekspresi metaforis (misalnya, hancur hatinya). Hal ini mencerminkan kegunaan metafora untuk konsep-konsep abstrak. Sehubungan dengan hal itu, Hai-Yun (2007: 35) menjelaskan bahwa ada dua cara penutur bahasa dalam menyampaikan kualitas keadaan emosionalnya. Pertama, penutur menggunakan bahasa harfiah dalam mendeskripsikan suatu peristiwa yang dipicu oleh keadaan emosional tertentu dan dia berharap bahwa. Universitas Sumatera Utara.

(22) petutur dapat menyimpulkan perasaannya dengan tepat. Pada kasus seperti ini, deskripsi harfiah tidak menggambarkan kualitas keadaan subjektif, tetapi menandai keadaan emosional yang diperolehnya. Kedua, penutur menggunakan metafora untuk mendeskripsikan kualitas keadaan emosionalnya. Pada cara yang kedua ini, deskripsi metaforis mengungkapkan upaya dalam menggolongkan kualitas keadaan subjektif. Lebih jauh, ada berbagai kategori metafora untuk menyatakan keadaan emosional. Penamaan metafora itu didasari tipe emosi dasar yang disandangnya. Salah satu di antara kategori metafora itu ialah metafora cinta; artinya, konsep cinta dinyatakan dengan bahasa metaforis atau bahasa figuratif. Rajeg (2009: 7) berpendapat bahwa cinta tergolong konsep emosi yang “bermetafora” tinggi sebab cinta selain dapat dianggap sebagai suatu hubungan, juga dianggap sebagai emosi. Apabila cinta dipahami sebagai sebuah konsep emosi universal dapat diartikan bahwa ekspresi metaforis untuk konsep cinta ditemukan pada bahasa-bahasa di dunia meskipun cara-cara yang digunakan penutur dalam mengonseptualisasikan emosi cinta itu berbeda-beda. Misalnya, dalam bahasa Inggris, konsep love memiliki lebih dari dua puluh ranah semantis yang berbeda yang dapat ditempatkan pada sumbernya, antara lain PERJALANAN, PERANG, API, dan PERMAINAN (Kövecses, 2006: 120—121). Akibat perbedaan pada konseptualisasi tentang cinta, jumlah ranah ‘cinta’ dalam bahasa Inggris tentunya berlainan dengan ranah ‘cinta’dalam bahasa-bahasa yang lain, termasuk dalam bahasa Angkola, yaitu bahasa yang umumnya dituturkan oleh masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.. Universitas Sumatera Utara.

(23) Penelitian tentang metafora cinta dalam bahasa Angkola sangat penting untuk dilakukan. Sekurang-kurangnya, ada tiga alasan utamanya. Pertama, bahasa Angkola kaya akan ekspresi metaforis untuk menyatakan cinta. Perasaan cinta yang muncul di dalam diri seseorang didorong oleh suatu keinginan untuk selalu bersama atau keinginan untuk berada di dekat orang yang dicintai dan orang itu biasanya akan merasakan kerinduan yang mendalam apabila ditinggal pergi oleh pasangannya dalam jangka waktu yang lama. Bukti tentang kekayaan metafora cinta dalam bahasa Angkola (selanjutnya disingkat MCBA) tercermin dari faktor budayanya. Dalam masyarakat Angkola, konsep holong, yang dapat diterjemahkan sebagai ‘cinta dan kasih sayang’, merupakan sumber dari segala sumber masyarakat hukum adat (Lubis, 2006: 25). Konsep holong bertalian erat dengan konsep domu ‘persatuan dan kesatuan’. Lubis (2006: 25) mengemukakan bahwa konsep holong dan domu merupakan falsafah hidup yang bulat dan utuh dalam masyarakat Angkola, seperti terdapat pada ungkapan holong manjalahi domu (‘kasih sayang akan menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan’) dan domu manjalahi holong (‘rasa persatuan dan kesatuan akan menumbuhkan kasih sayang’). Bertolak dari kenyataan itu tidak berlebihan jika ditafsirkan bahwa konsep cinta merupakan ekspresi pengalaman dasar pada masyarakat Angkola. Karena metafora merupakan konseptualisasi pengalaman manusia yang bersumber dari bahasa alami, jenis penelitian ini tentu dapat menyingkap konsepsi dan persepsi penutur bahasa Angkola tentang realitas sosialnya, terutama dalam penggolongan emosi cinta. Contohnya, perhatikan konsep cinta pada ekspresi metaforis dalam bahasa Angkola. Dengan metafora, peristiwa cinta pada kalimat (1) dan (2) terlihat lebih. Universitas Sumatera Utara.

(24) jelas. Pada kalimat (1), ekspresi cinta diungkapkan secara langsung dengan kata holong ‘kasih sayang’. Sebaliknya, pada kalimat (2) makna cinta dibentuk secara tidak langsung melalui kombinasi antara kata parrasuan ‘hubungan’ dan kata bondul makkalang ‘aral melintang’. Interpretasi yang diperoleh dari penjelasan ini ialah bahwa kalimat (1) pada dasarnya bersumber dari ekspresi CINTA sebagai KESATUAN (yang ditandai oleh penggunaan kata padomu ‘merajut’), sedangkan kalimat (2) mengekspresikan CINTA sebagai PERJALANAN (yang ditandai oleh penggunaan kata bondul makkalang).. (1) Hami sannari giot padomu holong. 1Jm sekarang mau AKT.rajut sayang ‘Kami sedang merajut cinta.’ (2) Parrosuan on adong bondul makkalang. hubungan PART ada aral melintang ‘Hubungan ini mendapat rintangan.’. Pemahaman terhadap kategori cinta pada kedua contoh di atas didasari pertimbangan bahwa relasi metaforis sejatinya dibentuk oleh pemetaan pada ranah sumber dan ranah sasaran. Esensi metafora adalah pemahaman terhadap satu ranah pengalaman, yaitu ranah sasaran, berdasarkan ranah pengalaman lain, yaitu ranah sumber (lihat Lakoff dan Johnson, 1980: 117; Verspoor, 1993: 10—11; dan Palmer, 1996: 224). Pemahaman itu didasarkan pada seluruh ranah pengalaman, dan tidak didasarkan pada konsep-konsep yang terpisah. Dalam pengertian lain, sebuah makna baru tercipta pada ranah sumber dan makna itu kemudian dipetakan ke dalam ranah sasaran. Pemahaman terhadap makna (baru) itu dapat dicapai melalui satu penafsiran dengan memahami seluruh kalimat atau, dalam kerangka. Universitas Sumatera Utara.

(25) linguistik kognitif, dengan menemukan persamaan makna umum yang terdapat di antara ranah sumber dan ranah sasaran. Alasan yang kedua ialah bahwa penelitian tentang MCBA mempunyai nilai signifikansi yang tinggi. Alasan ini mengacu pada fakta bahwa makna cinta pada ekspresi metaforis tidak selalu mudah untuk ditafsirkan. Sebagai sebuah konsep emosi, ciri-ciri semantis yang termuat pada konsep cinta kadang-kadang bertumpang-tindih dengan ciri-ciri semantis pada konsep emosi lain (misalnya, gembira). Hal ini tampak dengan jelas pada contoh-contoh berikut.. (3) Matania bolnang. 3Tg. terbelalak ‘Matanya berbinar.’ (4) Mukonia jeges. muka 3.Tg. cantik ‘Wajahnya berseri-seri.’ (5) Parmikimnia manarik. senyum 3Tg. AKT.tarik ‘Senyumnya sumringah.’. Metafora pada kalimat (3)—(5) di atas mencerminkan salah satu dari dua keadaan emosional, yakni cinta atau gembira. Tanpa pelibatan konteks, contohcontoh itu cenderung ditafsirkan sebagai metafora gembira. Hal ini menunjukkan bahwa MCBA mengandung potensi ketaksaan yang tinggi dengan kategori metafora emosi yang lain sehingga tingkat analisisnya dianggap lebih rumit. Agar diperoleh interpretasi yang tepat perlu disediakan bukti-bukti pendukung tentang fenomena seperti itu.. Universitas Sumatera Utara.

(26) Perlu dikemukakan bahwa metafora cinta juga memiliki batas yang kabur dengan metafora nafsu, seperti terlihat pada ekspresi Nafsunia kuat ‘Nafsunya meluap-luap’ atau dengan metafora takut, seperti pada ekspresi Tarottoknia dotukdotuk ‘Jantungnya berdebar-debar’. Kesulitan lain ditemukan pada metafora sedih, khususnya dalam pemuatan citra hati, seperti tampak pada kalimat Dohotnia mangaciti ate-atekku ‘Dia menghancurkan hatiku’. Interpretasi terhadap kategori emosi yang kabur seperti ini mensyaratkan penggunaan berbagai konteks yang tepat. Apabila tidak, interpretasi atas ekspresi metaforis itu menjadi kurang tepat dan kurang berterima dalam bahasa Angkola. Alasan yang ketiga ialah bahwa penelitian ini, sejauh yang diketahui, belum pernah dikerjakan, lebih-lebih penelitian yang berbasis pada ancangan linguistik kognitif. Perhatian dan minat dari para ahli semantik untuk meneliti metafora emosi baru muncul akhir-akhir ini (lihat Rajeg, 2009; Mulyadi, 2010a, b). Penelitian yang ada umumnya mengandalkan korpus yang terbatas sehingga belum dapat merumuskan generalisasi yang valid tentang metafora emosi. Terkait dengan hal ini, benar bahwa Siregar (2004) telah mengkaji metafora politik dalam bahasa Indonesia secara mendalam, tetapi hasil penelitiannya berbeda dengan masalah yang dibicarakan dalam penelitian ini. Penelitian semantik pada bahasa-bahasa daerah mencakup aspek-aspek semantis yang umum, seperti tipe-tipe makna, sinonim, antonim, ketaksaan makna, dan lain-lain (Silalahi, 2005: 96). Analisis metafora pada bahasa-bahasa daerah, antara lain, dikerjakan oleh Silalahi (2005) dan Nurismilida (2010). Akan tetapi, kedua jenis penelitian itu berbeda dengan penelitian MCBA walaupun ada kontribusinya pada tingkatan tertentu (lihat Bab II). Dengan korpus data yang luas,. Universitas Sumatera Utara.

(27) jelaslah bahwa penelitian ini dimungkinkan untuk menghasilkan suatu generalisasi yang valid tentang kategori semantis MCBA dan pemetaan konseptual pada kedua ranahnya.. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian ini pada dasarnya membahas relasi cinta (sebuah konsep abstrak) dengan berbagai peristiwa konkret seperti perjalanan, benda, cairan, api, perang, atau binatang buas yang ditemukan dalam bahasa Angkola. Relasi semantis antara konsep konkret dan konsep abstrak itu meliputi dua subjek penelitian yang menarik untuk diuji. Masalah penelitian ini dirumuskan secara ringkas sebagai berikut:. (1) Bagaimanakah kategorisasi semantis dari metafora cinta yang terdapat dalam bahasa Angkola? (2) Bagaimanakah pemetaan konseptual metafora cinta pada ranah sumber dan ranah sasaran dalam bahasa Angkola?. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) mendeskripsikan pola-pola berbahasa penutur bahasa Angkola, khususnya ekspresi yang terkait dengan metafora cinta; (2) menjelaskan konsepsi dan persepsi penutur bahasa Angkola tentang ekspresi cinta secara metaforis.. Universitas Sumatera Utara.

(28) 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini tentu bertalian dengan masalah penelitian. Sejalan dengan masalah penelitian, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:. (1) mendeskripsikan kategorisasi metafora cinta dalam bahasa Angkola; (2) menerangkan pemetaan ranah sumber dan ranah sasaran pada metafora cinta dalam bahasa Angkola.. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini ialah:. (1) menjadi salah satu model acuan yang dapat diadopsi untuk melakukan penelitian metafora emosi (khususnya metafora cinta) yang berbasis pada ancangan linguistik kognitif, (2) memperkaya dan memperluas wawasan para mahasiswa yang menekuni bidang semantik tentang kajian metafora cinta dalam perspektif linguistik kognitif.. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari hasil penelitian ini ialah:. (1) menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi para pejabat daerah dalam merancang program pembangunan, terutama di Kecamatan Padang Bolak;. Universitas Sumatera Utara.

(29) (2) menumbuhkan pemahaman penutur bahasa-bahasa daerah lain tentang karakteristik budaya Angkola.. 1.5 Definisi Istilah Dalam penelitian ini terdapat sejumlah istilah yang perlu dibatasi dengan ketat untuk menghindari terjadinya salah tafsir. Istilah-istilah yang dimaksud meliputi cinta, metafora, metonimi, kategori, dan skema-citra. Berikut ini dijelaskan pengertian dari istilah-istilah tersebut. Istilah cinta mengacu pada jenis emosi yang dipicu oleh pikiran tentang keinginan melakukan hal-hal yang baik kepada orang lain (Wierzbicka, 1999: 53). Emosi cinta melibatkan dua jenis partisipan, yaitu orang yang merasakan cinta (pecinta) dan orang yang menjadi sasaran, penyebab, atau objek cinta (Tissari, 2006: 136). Di sini cinta yang diekspresikan menyangkut dua jenis hubungan, yaitu hubungan romantis dan hubungan keluarga. Selanjutnya, metafora ialah mekanisme kognitif dalam memahami satu ranah pengalaman berdasarkan struktur konseptual dari ranah pengalaman lain yang bertalian secara sistematis (Lakoff dan Johnson, 1980: 117; Verspoor, 1993: 10; dan Kövecses, 2006: 130). Kedua ranah ini disebut ranah sumber dan ranah sasaran. Ranah sumber ialah jenis ranah yang lebih konkret, sedangkan ranah sasaran adalah jenis ranah yang lebih abstrak (Kövecses, 2006: 117). Istilah metafora bertalian dengan istilah metonimi, yaitu sebuah proses kognitif tempat elemen konseptual atau entitas (benda, peristiwa, sifat), sumber, menyediakan akses mental kepada entitas konseptual yang lain (benda, peristiwa, sifat), sasaran, dalam kerangka, ranah, atau model kognitif ideal yang sama. Universitas Sumatera Utara.

(30) (Kövecses, 2006: 99; Lakoff dan Johnson, 1980: 36; dan Palmer, 1996: 232— 233). Berbeda dengan metafora yang fungsi utamanya adalah pemahaman, metonimi berfungsi referensial; artinya, metonimi memungkinkan penggunaan satu entitas untuk mengacu pada entitas lain. Perbedaan yang lain ialah bahwa jika metafora dipetakan melintasi ranah konseptual, pemetaan pada metonimi terjadi pada satu ranah tunggal (Saeed, 2003: 352). Istilah berikutnya ialah kategori yang dibatasi oleh Lakoff (1987: 17) sebagai kumpulan ciri umum dari anggota kategori sehingga tidak ada anggota yang lebih utama dari anggota lainnya. Pada bagian yang lain, Lakoff (1987: 6) berpendapat bahwa kategori adalah suatu wadah abstrak, dan benda-benda terletak di dalam atau di luar kategori. Benda-benda dianggap sebagai kategori yang sama jika dan hanya jika memiliki ciri-ciri tertentu secara umum. Ciri-ciri yang umum itu digunakan untuk membatasi kategori. Istilah terakhir yang digunakan dalam penelitian ini ialah skema-citra, yaitu “pola-pola dinamis yang berulang dari interaksi perseptual kita dan program mekanis yang menyatu dengan pengalaman kita” (Johnson, 1987: xix dalam Kövecses, 2006:. 207). Dalam kaitan dengan definisi skema-citra, Kövecses. (2006: 207—208) menegaskan bahwa skema citra mempunyai dua ciri semantis yang penting: pertama, skema-citra pada dasarnya adalah imajistik dan tidak proposisional dan kedua, skema-citra sangat skematik, atau abstrak.. Universitas Sumatera Utara.

(31) BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Teori-Teori yang Relevan 2.1.1 Teori Metafora Klasik Istilah metafora sudah muncul dari hasil interpretasi terhadap Kejadian di Injil ketika Adam dan Eva memakan buah terlarang (Kövecses, Palmer, dan Dirven, 2003: 134). Peristiwa ini disebut metafora untuk memperoleh kesadaran. Secara teoretis konsep metafora diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles dalam bukunya Poetika (Verspoor, 1993: 8). Pandangan Aristoteles merupakan pandangan klasik tentang metafora. Pandangan klasik adalah pandangan pertama mengenai metafora. Dalam pandangan klasik, metafora dipahami sebagai sejenis tambahan dekoratif pada bahasa sederhana, yaitu alat retorika untuk memperoleh pengaruh tertentu (Saeed, 1997: 303). Metafora bukan bagian dari bahasa sehari-hari, melainkan bagian dari bahasa puitis atau kesusastraan. Pendengar atau pembaca harus menafsirkan maksud pembicara. Versi ancangan ini diadopsi pada teori bahasa harfiah. Metafora menjadi titik tolak bahasa harfiah, yang dideteksi oleh pendengar sebagai suatu anomali, yang kemudian menggunakan beberapa strategi berbahasa untuk membangun makna yang dimaksudkan oleh pembicara. Menurut Verspoor (1993: 8—9), metafora dalam pandangan Aristoteles memiliki kekuatan dalam menekankan persamaan yang halus tetapi eksplisit di antara dua hal yang umumnya tidak berkaitan. Seperti pada puisi, metafora yang baik mengimplikasikan ciri-ciri persamaan intuitif dalam perbedaan. Aristoteles. Universitas Sumatera Utara.

(32) menganggap bahwa metafora adalah simile eliptis; artinya, metafora dari bentuk “X adalah Y” dapat dialihkan secara langsung dengan simile dari bentuk “X adalah seperti Y”. Pandangan Aristoteles tentang metafora ini berbasis pada ciri objektif. Jadi, pengalihan metafora kepada simile mensyaratkan bahwa metafora dapat mengurangi daftar persamaan di antara objek-objek. Pandangan kedua tentang metafora dinamai pandangan romantis sebab berhubungan dengan pandangan romantis tentang imajinasi pada Abad ke-18 dan pada Abad ke-19 (Saeed, 1997: 303). Dalam pandangan romantis, metafora berintegrasi dengan bahasa dan pikiran sebagai suatu cara untuk memahami dunia. Dalam pandangan ini, metafora menjadi bukti tentang peran imajinasi dalam membangun konseptualisasi dan pernalaran. Tegasnya, dalam metafora ini tidak ditemukan perbedaan yang jelas antara bahasa harfiah dan bahasa figuratif. Berdasarkan pendapat di atas, sekarang telah diterima secara luas bahwa metafora tidak ditafsirkan sebagai simile (lihat Lakoff dan Johnson, 1980; Croft dan Cruse, 2004; Kövecses, 2006; dan Sandström, 2006). Metafora mencakup suatu pemetaan yang lebih kompleks antara ranah sumber dan ranah sasaran. Ahli psikologi dan ahli bahasa berasumsi bahwa metafora merupakan alat yang penting pada kognisi dan komunikasi sebab menawarkan cara-cara yang kurang akrab dalam mengonseptualisasikan sesuatu yang akrab dan, sebaliknya, cara-cara yang akrab dalam mengonseptualisasikan sesuatu yang kurang akrab. Dalam linguistik kognitif, metafora ialah keadaan dua-arah (two-way affair): dari metafora bahasa ke metafora konseptual, atau dari metafora konseptual ke metafora bahasa. Contohnya, ahli bahasa kognitif menggunakan kehadiran metafora yang berlimpah dan sistematis dalam bahasa sebagai dasar. Universitas Sumatera Utara.

(33) untuk mendalilkan keberadaan metafora konseptual yang menerangkan peralihan dari bahasa ke pikiran.. 2.1.2 Teori Metafora Konseptual Konsep metafora mulai berkembang sejak terbitnya buku Metaphor We Live By (1980) yang ditulis oleh George Lakoff bersama dengan koleganya, Mark Johnson. Buku ini berperan dalam menginspirasi pengembangan paradigma linguistik kognitif. Dalam buku ini diterangkan bahwa pemakaian bahasa metaforis dapat menjadi sama dengan pemakaian bahasa dalam pernalaran praktis. Ide keduanya diadopsi dan dielaborasi, antara lain, oleh Ronald W. Langacker, Charles J. Fillmore, Len Talmy, Gilles Fauconnier, dan Zlotan Kövecses. Lakoff dan Johnson (1980) dan para pengikutnya itu menunjukkan pentingnya metafora bahasa dalam menggambarkan aspek mentalitas manusia, cara manusia dalam memahami dan mengonseptualisasikan sesuatu (termasuk emosi). Salah satu prinsip dasar dalam linguistik kognitif ialah bahwa pemakaian bahasa dikuasai oleh suatu citra kompleks, gestalts, atau konfigurasi dan kognisi yang mendasari pemakaian bahasa metaforis dapat menjadi sama seperti pemakaian bahasa yang digunakan dalam pernalaran praktis (Palmer, 1996: 223). Dalam linguistik kognitif, pikiran dipahami bukan sebagai fenomena satuan (unitary phenomenon) (Kövecses, 2006: 5). Selain itu, kategori pikiran bukanlah gambaran dari kategori dunia, atau realitas objektif. Justru dunia “diciptakan” atau dibentuk oleh pikiran dengan cara-cara imajinatif. Hal ini meliputi proses kognitif sebagai kategorisasi yang berbasis pada prototipe, menata pengetahuan berbasis pada kerangka, dan memahami pengalaman melalui metafora (Kövecses, 2006:. Universitas Sumatera Utara.

(34) 9—11). Dengan kata lain, pikiran—dalam linguistik kognitif—pada pokoknya adalah harfiah dan figuratif. Perlu dicatat bahwa dalam linguistik kognitif terdapat tiga hipotesis dasar yang pada hakikatnya merupakan bentuk penolakan tokoh-tokoh linguistik kognitif terhadap ancangan sintaksis dan semantik yang berpengaruh kuat pada pada masa itu, yaitu tata bahasa generatif dan semantik keadaan-kebenaran. Ketiga hipotesis itu ialah (1) bahasa bukanlah piranti kognitif yang mandiri, (2) tata bahasa adalah konseptualisasi, dan (3) pengetahuan bahasa bersumber dari pemakaian bahasa (Croft dan Cruse, 2004: 1—4). Hipotesis pertama menerangkan bahwa representasi pengetahuan bahasa sejatinya adalah sama dengan representasi struktur konseptual lain, dan proses penggunaan pengetahuan itu tidak berbeda dengan kemampuan kognitif yang digunakan manusia di luar ranah bahasa. Pada hipotesis kedua, proses kognitif yang menguasai pemakaian bahasa, khususnya konstruksi dan komunikasi pada makna bahasa, pada prinsipnya adalah sama dengan kemampuan kognitif lainnya. Hipotesis yang ketiga menjelaskan bahwa kategori dan struktur dalam semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi dibentuk oleh kognisi manusia tentang ujaran khusus dalam kesempatan pemakaian yang khusus. Penelitian ini menggunakan teori Metafora Konseptual yang bersumber dari ancangan linguistik kognitif. Ciri penting dari teori ini ialah pemanfaatan aspek tertentu dari ranah sumber atau ranah sasaran yang berperan pada metafora. Artinya, jika disarankan bahwa metafora konseptual dapat dinyatakan dengan A ADALAH B, ini tidak berarti bahwa seluruh konsep A atau B tercakup—yang dipilih hanyalah aspek tertentu. Lakoff dan Johnson (1980: 117) memberi ilustrasi. Universitas Sumatera Utara.

(35) pada metafora hipotesis seperti CINTA sebagai PERJALANAN, WAKTU sebagai UANG, dan ALASAN sebagai PERANG. Pada metafora itu, fokus definisi ialah tingkat ranah pengalaman dasar seperti cinta, waktu, dan alasan. Pengalaman ini kemudian dikonseptualisasikan dan dibatasi dengan bertumpu pada ranah pengalaman dasar seperti perjalanan, uang, dan perang. Untuk memahami sebuah metafora, metafora itu hendaknya tidak dibaca secara harfiah, tetapi dibaca secara figuratif. Kalau dipahami secara harfiah, metafora dinilai melanggar norma interpretasi dan menghasilkan anomali semantis sebab sebuah kalimat harus relevan dengan konteks. Begitu metafora sudah dikenali akan tampak persamaan makna umum di antara kedua tipe makna ini, yaitu makna harfiah dan makna figuratif. Relasi metaforis dibentuk oleh pemetaan pada ranah sumber dan pada ranah sasaran. Makna yang baru, atau makna figuratif, pada ranah sumber dapat dipahami dengan baik karena makna ini dipetakan ke dalam ranah sasaran (makna harfiah). Singkatnya, peralihan sifat sasaran kepada sumber telah menciptakan perspektif baru pada sumber. Lebih jauh, metafora memiliki ciri kekovensionalan, kesistematisan, asimetri, dan abstraksi (Saeed, 1997: 305—307; Sandström, 2006: 6—9). Ciri kekonvensionalan memunculkan isu kebaruan pada metafora. Ciri kesistematisan mengacu pada cara bahwa metafora tidak hanya menata butir perbandingan tunggal; ciri ranah sumber dan ranah sasaran bergabung sehingga sebuah metafora dapat diperluas, atau mempunyai logika internalnya sendiri. Ciri asimetri mengacu pada cara bahwa metafora bersifat langsung. Metafora tidak membuat perbandingan simetris antara dua konsep dalam menetapkan butir persamaan. Metafora memancing pendengar untuk mengalihkan ciri sumber kepada ciri. Universitas Sumatera Utara.

(36) sasaran. Ciri abstraksi dikaitkan dengan asimetri. Metafora menggunakan sumber yang lebih konkret. Dalam penelitian ini, metafora cinta dianalisis dengan menggunakan skema-citra. Tanpa penggunaan skema-citra sukar bagi siapa pun untuk memahami pengalaman. Alasannya, karena pengalaman fisik manusia hadir dan bertindak pada dunia—karena mencerap pengalaman, memindahkan tubuh, mengerahkan dan mengalami daya, dan lain-lain—manusia membentuk struktur konseptual dasar yang digunakan untuk menata pikiran melintasi rentang ranah yang lebih abstrak. Johnson (1987), seperti dikutip oleh Saeed (1997: 308), mengusulkan skema-citra sebagai suatu level struktur kognitif yang lebih primitif yang mendasari metafora dan menyajikan hubungan sistematis antara pengalaman badani dan ranah kognitif yang lebih tinggi seperti bahasa. Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa skema-citra perseptual yang diterapkan pada metafora cinta, yaitu skema WADAH, skema HUBUNGAN, skema DAYA, dan skema SUMBER-JALUR-TUJUAN (Kövecses, 2006: 209— 211). Sebagai contoh, skema WADAH memiliki elemen struktural “interior”, “batas”, dan “eksterior”. Logika dasar pada skema ini ialah bahwa segala sesuatunya berada di dalam atau berada di luar wadah. Lebih jauh, jika B ada pada A dan C ada pada B dapat disimpulkan bahwa C ada pada A. Misalnya, metafora KEADAAN sebagai WADAH, HUBUNGAN PERSONAL sebagai WADAH, dan BIDANG VISUAL sebagai WADAH. Elemen struktural pada skema HUBUNGAN mencakup dua “entitas” dan “hubungan” yang menyambungnya. Logika dasar skema ini meliputi keselarasan. Maksudnya, jika A dihubungkan dengan B, B dihubungkan dengan A atau jika A. Universitas Sumatera Utara.

(37) dihubungkan dengan B, A dibatasi oleh B. Skema HUBUNGAN berguna sebagai ranah sumber pada beberapa metafora. Misalnya, pada HUBUNGAN sebagai SAMBUNGAN, kedua entitasnya dihubungkan dengan sambungan. Skema SUMBER-JALUR-TUJUAN memiliki elemen struktural “sumber”, “jalur”, “tujuan”, dan “arah”. Logika dasarnya ialah apabila seseorang pergi dari A ke B, dia harus melewati setiap titik persimpangan yang menghubungkan A dengan B. Metafora HIDUP sebagai PERJALANAN mengasumsikan skema SUMBER-JALUR-TUJUAN.. Pemetaan. dan. submetafora. pada. metafora. kompleks ini ialah MAKSUD sebagai TUJUAN. Peristiwa kompleks juga umumnya dipandang melibatkan keadaan awal (SUMBER), tahap tengahan (JALUR), dan tahap akhir (TUJUAN). Jelaslah bahwa skema-citra menyediakan pemahaman tentang dunia, baik secara harfiah maupun secara figuratif. Dasar untuk konstruksi metaforis ini terletak pada pengalaman dasar manusia yang membentuk skema citra dan “menyajikan hubungan pengalaman badani dengan ranah kognitif yang lebih tinggi seperti bahasa” (Saeed 2003: 353). Namun, dalam penggolongan makna kata adakalanya diperlukan lebih dari satu skema (Kövecses, 2006: 211).. 2.2 Kajian Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan Pada bagian ini ditinjau secara ringkas hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Tinjauan ini bertujuan untuk (1) mengetahui model, arah, dan temuan yang telah dicapai dan (2) memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang ada, baik metode, model, konsep, maupun teori.. Universitas Sumatera Utara.

(38) Pertama, Siregar (2004), dalam penelitiannya yang berjudul “Metafora Kekuasaan. dan. Metafora. melalui. Kekuasaan:. Melacak. Perubahan. Kemasyarakatan melalui Perilaku Bahasa”, membicarakan relasi kekuasaan dan metafora secara terperinci. Boleh dikatakan bahwa penelitiannya merupakan penelitian awal tentang metafora politik dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan teori Metafora Konseptual. Data penelitiannya secara umum adalah data tulis,. tetapi. korpusnya. sangat. kaya,. luas,. dan. variatif.. Siregar. mengungkapkan kategorisasi metafora kekuasaan dalam bahasa Indonesia; misalnya, POLITIK sebagai CAIRAN, POLITIK sebagai API, POLITIK sebagai PERANG, dan sebagainya. Tak dapat dibantah bahwa penelitian Siregar berhasil memperlihatkan cara kerja teori Metafora Konseptual dalam menelaah fenomena kebahasaan. Model penelitiannya diadopsi dan dikembangkan dalam penelitian ini. Di samping itu, analisisnya yang sangat mendalam dan tuntas telah mengilhami penelitian yang dilakukan, khususnya dalam penetapan kategorisasi MCBA dan pemetaannya pada ranah sumber dan ranah sasaran. Kedua, Silalahi (2005), dalam artikelnya yang bertajuk “Metafora dalam Bahasa Batak Toba”, menyelidiki metafora KATA dalam bahasa Batak Toba. Korpus datanya berasal dari bahasa lisan yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara dan di Kabupaten Toba Samosir. Sebagai acuan analisis, dia menerapkan teori semantik kognitif. Dalam penelitian ini, Silalahi berpendapat bahwa metafora KATA dalam bahasa Batak Toba terdiri atas delapan tipe semantis, yaitu (1) KATA sebagai BENDA, (2) KATA sebagai CAIRAN, (3) KATA sebagai HEWAN, (4) KATA. Universitas Sumatera Utara.

(39) sebagai MAKANAN, (5) KATA sebagai MANUSIA, (6) KATA sebagai PERJALANAN, (7) KATA sebagai SENJATA, dan (8) KATA sebagai TUMBUHAN. Silalahi tidak menyinggung pemetaan metafora untuk menunjukkan korespondensi sistematis antara KATA dan berbagai acuannya dalam bahasa Batak Toba. Dia menggunakan teori semantik kognitif sehingga penelitiannya kurang relevan dengan penelitian MCBA mengingat perbedaan pada objek kajian. Kontribusi penelitiannya terletak pada model analisis dan konsep metafora dalam kerangka semantik kognitif. Hasil penelitiannya memperkaya wawasan dalam mengkaji metafora cinta dalam bahasa Angkola. Ketiga, Rajeg (2009), dalam artikelnya yang berjudul “Cintanya Bertepuk Sebelah Tangan: Metaphoric and Metonymic Conceptualisation of LOVE in Indonesian”, membicarakan konsep cinta dalam bahasa Indonesia. Untuk menganalisis konsep cinta, dia menggunakan teori Metafora Konseptual yang bersumber dari linguistik kognitif. Ada dua masalah yang menjadi fokus pembahasannya, yakni (1) tipe-tipe metafora dan metonimi konseptual yang membangun struktur konsep cinta dalam bahasa Indonesia dan (2) kaitan metafora dan metonimi pada konsep cinta. Pada bagian hasil penelitian dikemukakan bahwa tipe-tipe metafora konseptual yang menandai cinta adalah sebagai berikut:. CINTA ADALAH CAIRAN (PANAS) PADA SUATU WADAH; CINTA ADALAH KESATUAN BAGIAN; CINTA ADALAH IKATAN; CINTA ADALAH API; CINTA ADALAH KEGILAAN; CINTA ADALAH MABUK; CINTA ADALAH KEKUATAN (ALAM dan FISIK);. Universitas Sumatera Utara.

(40) CINTA ADALAH ATASAN SOSIAL; CINTA ADALAH LAWAN; CINTA ADALAH PERJALANAN; OBJEK CINTA ADALAH DEWA/DEWI; OBJEK CINTA ADALAH KEPEMILIKAN, RASIONAL ADALAH (KE) ATAS, EMOSIONAL ADALAH (KE) BAWAH; SADAR ADALAH (KE) ATAS, TIDAK SADAR ADALAH (KE) BAWAH.. Rajeg juga mengusulkan bahwa metonimi konseptual untuk konsep emosi umumnya terdiri atas tipe dasar, yaitu (1) PENYEBAB EMOSI BAGI EMOSI dan (2) DAMPAK EMOSI BAGI EMOSI. Dari kedua tipe dasar ini, yang paling umum ialah DAMPAK EMOSI BAGI EMOSI. Tipe metonimi ini kemudian dibedakannya atas dua jenis respon, yaitu (1) respon fisiologis (misalnya, MUKA MEMERAH BERARTI CINTA) dan (2) respon tindakan/tingkah laku (misalnya, KEDEKATAN SECARA FISIK BERARTI CINTA). Penelitian Rajeg sangat menarik dan memberi inspirasi. Meskipun banyak datanya kurang alamiah sebab umumnya bersumber dari data tulis, Rajeg menganalisis tipe-tipe metafora cinta secara mendalam. Namun, dia tidak membicarakan pemetaan metafora cinta pada ranah sumber dan ranah sasaran. Akibatnya, tipe-tipe metafora cinta yang diusulkannya kurang didukung oleh bukti-bukti teoretis yang memadai. Sebagai suatu kajian awal tentang metafora cinta dalam bahasa Indonesia, tipe-tipe metaforanya dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk menganalisis metafora cinta dalam bahasa Angkola. Keempat, Mulyadi (2010a), dalam artikelnya yang berjudul “Metafora Emosi dalam Bahasa Indonesia”, membahas dua masalah pokok, yaitu (1) tipetipe metafora emosi dalam bahasa Indonesia yang dihasilkan dari operasi verba. Universitas Sumatera Utara.

(41) gerakan dan (2) pemetaan elemen EMOSI dan elemen GERAKAN. Kedua masalah itu kemudian dianalisisnya dengan menggunakan teori Metafora Konseptual. Sebagian besar datanya diperoleh dari surat kabar dan majalah. Dalam penelitiannya, Mulyadi menyimpulkan bahwa konseptualisasi emosi dalam bahasa Indonesia pada dasarnya bersumber dari sembilan citra metaforis, yaitu CAIRAN, BENDA, LAWAN, BINATANG BUAS, MUSUH TERSEMBUNYI, BEBAN, TEMPAT, DAYA ALAMI, dan DAYA FISIK. Pemetaan ranah-ranah pengalaman gerakan dan emosi pada metafora emosi ditata atas dua skema dasar, yaitu skema WADAH dan skema RUANG. Dalam pemetaan itu, persesuaian yang sistematis antara ranah sumber dan ranah sasaran melibatkan gagasan daya dan gagasan kendali. Penelitian Mulyadi menggunakan korpus data yang terbatas. Mungkin karena luasnya cakupan metafora emosi, ia membatasi kajiannya pada verba gerakan dan hanya mengacu pada lima jenis emosi dasar, yaitu gembira, sedih, marah, takut, dan malu. Implikasinya ialah bahwa generalisasi yang dihasilkannya tentang metafora emosi bahasa Indonesia masih bersifat tentatif. Meskipun demikian, tipe-tipe metafora emosi dan pemetaan metafora emosi yang menjadi objek penelitiannya sejalan dengan penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu, model dan metode analisisnya bermanfaat dalam penelitian ini. Kelima, penelitian Nurismilida (2010) yang berjudul Metafora Bahasa Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan Banjai Kecamatan Medan Denai Kota Medan pada pokoknya menelaah bentuk, fungsi, dan makna metafora dalam bahasa Minangkabau Dialek Pariaman di Kelurahan Banjai, Kecamatan Medan Denai. Dalam penelitian ini, beberapa konsep semantik struktural digunakannya. Universitas Sumatera Utara.

(42) secara eklektik untuk menganalisis masalah penelitian. Data penelitiannya bersumber dari bahasa lisan. Kajian Nurismilida memiliki perbedaan yang mendasar dengan penelitian yang dilakukan. Konsep metafora dalam penelitian Nurismilida tidak bertalian sama sekali dengan konsep metafora dalam penelitian ini. Penelitian Nurismilida bertolak dari metafora struktural atau metafora klasik, dan bukan dari metafora konseptual sebagaimana yang dianut dalam linguistik kognitif. Sekalipun demikian, uraiannya tentang metafora struktural bermanfaat untuk menjelaskan perkembangan metafora, khususnya pada fase klasik.. Universitas Sumatera Utara.

(43) BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Masalah pemaknaan, sesuai dengan topik penelitian ini, memerlukan pendekatan sosial secara langsung di lapangan. Dalam hal ini, peneliti bekerja sama dengan beberapa narasumber selama proses penelitian, baik dalam pengumpulan data maupun dalam pengelompokan data. Data MCBA diperoleh dari warga yang bermukim di Desa Padang Garugur, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara. Data yang dikumpulkan dibatasi pada pola-pola ujaran dan tulisan, utamanya data yang mengekspresikan metafora cinta. Pemilihan Desa Padang Garugur sebagai lokasi penelitian berdasarkan tiga alasan. Pertama, masyarakat Angkola di Desa Padang Garugur tergolong masyarakat yang homogen. Maksudnya, warga di Padang Garugur adalah etnis (Batak) Angkola dan mereka berbahasa Angkola sebagai sarana berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, masyarakat Angkola di Desa Padang Garugur merupakan penutur asli. Kenyataan ini memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data empiris dari masyarakat, termasuk data yang diperoleh dari narasumber. Ketiga, masyarakat Angkola di Desa Padang Garugur hingga kini masih memegang teguh dan melaksanakan adat budayanya secara konsisten. Hal ini terlihat dari setiap praktik upacara adat seperti upacara pernikahan, upacara kematian, upacara peminangan, dan sebagainya.. Universitas Sumatera Utara.

(44) Selanjutnya, mengingat beberapa kendala yang dialami oleh peneliti seperti penyiapan instrumen penelitian dan pengumpulan data di lapangan serta faktor eksternal yang lain, durasi penelitian ini lebih lama dari perkiraan awal. Penelitian ini memerlukan waktu 6 bulan, yang meliputi pengurusan izin penelitian, penyiapan bahan dan instrumen penelitian, pengumpulan data di lapangan, pengategorian dan pengkajian data, serta penulisan laporan. Lamanya waktu penelitian memang tidak dengan sendirinya menjamin mutu penelitian sebab, seperti yang dikatakan oleh Bungin (2007: 130), semuanya tergantung dari kemampuan peneliti dalam menghimpun data di lapangan. Namun, alokasi waktu yang tersedia memungkinkan peneliti untuk mencermati klasifikasi dan analisis data secara lebih baik. Hal ini tentu dapat meningkatkan mutu hasil penelitian.. 3.2 Pendekatan dan Metode yang Digunakan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati” (Moleong, 1995: 3). Alasan untuk menggunakan pendekatan kualitatif adalah sifat masalah yang diteliti. Pendekatan kualitatif berguna untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu di balik fenomena MCBA yang sulit diungkapkan oleh pendekatan kuantitatif. Dalam pendekatan kualitatif, makna bahasa dipahami bukan sesuatu yang lahir di luar dari pengalaman peneliti, melainkan menjadi bagian terbesar dari kehidupan peneliti (Bungin, 2007: 5). Jenis pendekatan ini sering mencakup pengamatan jangka panjang, pembacaan data yang sangat terperinci dan teliti, dan jumlah subjek penelitian yang terbatas. Selain itu, keluasan dan kedalaman data. Universitas Sumatera Utara.

(45) menjadi prioritas utama dalam penelitian kualitatif. Ini berarti bahwa data deskriptif tentang MCBA berusaha dipahami secara holistik. Dalam pengumpulan data penelitian diterapkan metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1993). Metode simak berguna untuk menyimak, atau mengamati, pemakaian bahasa oleh penutur bahasa Angkola. Pada metode simak, teknik sadap menjadi teknik dasar. Data MCBA sulit diperoleh tanpa menyadap pemakaian bahasa dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Teknik sadap ini disertai dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap, teknik simak bebas libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Selain metode simak, metode cakap digunakan untuk menggali informasi tentang pengalaman cinta narasumber. Dalam pelaksanaan metode ini disiapkan sebuah daftar pertanyaan sebagai panduan bagi peneliti dalam pengembangan strategi percakapan. Teknik dasar dari metode ini ialah teknik pancing, dan teknik ini diikuti dengan teknik cakap semuka, teknik cakap tansemuka, teknik rekam, dan teknik catat. Penting untuk dikemukakan bahwa dalam pengumpulan data, penelitian ini lebih sering menggunakan metode cakap daripada metode simak. Hal ini mengacu pada fakta bahwa karakteristik data yang disasar sulit diperoleh apabila strategi yang dilakukan hanya mengamati pemakaian bahasa oleh penutur bahasa Angkola. Ekspresi MCBA lebih mungkin dicatat pada saat penerapan metode cakap, khususnya dengan mengembangkan teknik cakap semuka, yaitu antara peneliti dan (beberapa) narasumber penelitian.. Universitas Sumatera Utara.

(46) 3.3 Data dan Sumber Data Data penelitian ini umumnya adalah data lisan yang dieksplorasi secara intensif dari pengalaman emosi narasumber. Data lisan ditetapkan sebagai data dasar, yaitu data yang dianalisis. Data lisan yang dimaksud ialah pola-pola tuturan dan kalimat yang memuat ekspresi metaforis. Data tulis dimanfaatkan secara minimal. Alasannya ialah bahwa bahasa Angkola, sejauh yang diketahui, belum memiliki dokumentasi mengenai bahasa figuratif. Satu-satunya sumber data dalam pengumpulan data tulis adalah kamus bahasa Angkola. Dalam penelitian ini, data tulis menjadi data penunjang, yakni data yang digunakan untuk mempermudah analisis data dasar. Seperti disinggung di awal, data lisan dikumpulkan dari narasumber. Narasumber ini dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Lagi pula, tidak setiap penutur bahasa Angkola memenuhi syarat sebagai seorang narasumber. Kriteria yang digunakan untuk narasumber penelitian ialah sebagai berikut: (1) bersedia secara sukarela membantu peneliti selama penelitian berlangsung; (2) tergolong penutur jati; (3) bersifat sabar, jujur, ramah, dan terbuka; (4) menguasai bahasa Angkola dengan baik; (5) berusia 20—60 tahun; dan (6) jarang atau lama tidak meninggalkan desanya (lihat Samarin, 1988: 55—62; Moleong, 1995: 90).. 3.4 Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data Pada dasarnya banyak prosedur penelitian yang dapat dilakukan dalam pengumpulan dan perekaman data. Nilai dari prosedur tersebut bergantung pada berapa baik prosedur itu dalam menyediakan jawaban untuk pertanyaan penelitian.. Universitas Sumatera Utara.

(47) Dalam penelitian ini, prosedur yang digunakan dalam pengumpulan dan perekaman data dapat dijelaskan secara berurutan sebagai berikut.. 1) Data awal MCBA dijaring melalui kuesioner. Dalam kuesioner itu, sebuah daftar kalimat bahasa Indonesia yang mengandung metafora cinta disusun sedemikian rupa dan daftar itu berguna sebagai acuan atau pedoman bagi responden untuk mengisinya. Pada tahap ini, beberapa responden yang merupakan penutur bahasa Angkola dipilih dan ditentukan secara acak. Mereka diminta menuliskan padanan kalimat bahasa Indonesia itu ke dalam bahasa Angkola pada kolom kosong yang disediakan.. 2) Data yang diperoleh dari beberapa kuesioner dibandingkan satu dengan yang lain untuk menemukan kalimat bahasa Angkola yang tepat. Apabila terdapat perbedaan jawaban di antara responden dalam mengisi kuesioner, intuisi peneliti digunakan sebagai penentu akhir. Hasilnya kemudian dijadikan sebagai draf akhir.. 3) Data MCBA diselidiki lebih jauh dengan mewawancarai narasumber. Wawancara yang dilakukan bersifat tak berstruktur. Tujuan utamanya ialah untuk menemukan data MCBA yang alami, yaitu data yang bersumber dari pengalaman emosi penutur bahasa Angkola sehari-hari. Pada tahap ini, data kuesioner yang mengandung ketaksaan atau kekeliruan direvisi dan disempurnakan. Di samping itu, sejumlah data baru dihasilkan dengan mengembangkan pertanyaan yang bersumber dari data. Universitas Sumatera Utara.

(48) kuesioner. Wawancara ini juga bertujuan untuk menguji kegramatikalan dan keberterimaan data MCBA yang diperoleh dari kuesioner.. 4) Untuk melengkapi data penelitian dilakukan pengamatan terhadap pemakaian bahasa Angkola sehari-hari. Pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat dan mengamati, serta mencatat perilaku dan kejadian sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Tempat-tempat umum, seperti pasar, warung, atau sekolah, dijadikan sebagai objek pengamatan. Namun, harus diakui bahwa tidak banyak data yang diperoleh dalam penerapan metode pengamatan.. 5) Semua ekspresi metaforis yang bermakna ‘cinta’ pada sumber data dicatat. Selain ditandai oleh penggunaan kata holong ‘cinta/kasih sayang’, makna ‘cinta’ juga ditafsirkan dari pemakaian kata-kata lain secara metaforis. Makna ‘cinta’ yang dibentuk oleh kombinasi kata holong dengan kata-kata lain, misalnya, terdapat pada ungkapan seperti holongnia mago ‘cintanya hilang/sirna’, mandapotkon holong ‘mendapatkan cinta’, dan api ni holong ‘api cinta’. Relasi antarkonsep yang bersifat implisit terdapat pada ungkapan seperti mangisi ngolukku ‘mengisi hidupku’, mambolat-bolat ate-atenia ‘menahan hatinya’, dan parrosuan dilaho-laho na patut ‘hubungan di jalur yang tepat’. Pada contoh-contoh yang terakhir itu, kata mangisi, mambolat-bolat, dan dilaho-laho merupakan ekspresi metaforis yang menyiratkan makna ‘cinta’ dalam bahasa Angkola.. Universitas Sumatera Utara.

(49) 6) Data MCBA dipilah-pilah sesuai dengan kesamaan kategori semantisnya. Pada tahap ini, penetapan kategori MCBA bertumpu pada kesamaan atau kedekatan makna yang terbentuk dari kombinasi kata holong dengan katakata lain atau melalui pemakaian kata-kata seperti ate-ate ‘hati’, ale-ale ‘kekasih’, parrosuan ‘hubungan’, dan lain-lain. Dari hasil klasifikasi data, kategori semantis MCBA, di antaranya, ialah CINTA sebagai PERANG, CINTA sebagai CAIRAN (PANAS) DALAM WADAH, CINTA sebagai DAYA ALAMI, CINTA sebagai API, CINTA sebagai PERJALANAN, dan sebagainya.. 3.5 Analisis Data Analisis data disesuaikan dengan upaya pemecahan masalah penelitian. Untuk masalah pertama, yaitu penetapan kategori MCBA, diterapkan metode padan. Metode ini bekerja untuk membandingkan suatu peristiwa konkret pada ranah sumber dan peristiwa emosi pada ranah sasaran sesuai dengan kesamaan sifat referensialnya. Misalnya, pada kalimat (6a) verba mogap ‘tenggelam’ dimasukkan pada ranah sumber dan emosi cinta dimasukkan pada ranah sasaran. Untuk menetapkan kategori metafora pada (6a) diidentifikasi ranah pengalaman dasar pada ranah sumber.. (6) a. Mogap do au dibaen hata-hatania. megap PART 1Tg PAS.buat kata.3.Tg ‘Saya tenggelam oleh rayuannya.’. Untuk itu, verba mogap ‘megap’ ditempatkan pada sebuah kalimat lain dalam konteks nonmetaforis, seperti pada (6b). Pada contoh tersebut tampak. Universitas Sumatera Utara.

(50) bahwa mogap mempunyai relasi semantis dengan ‘hampir tenggelam di dalam air pada (6b) yang dikonseptualisasikan sebagai DAYA ALAMI. Artinya, konsep “cinta” dipahami dari konsep “daya alami”. Dengan demikian, kategori metafora pada (6a) ialah CINTA sebagai DAYA ALAMI.. (6) b. Mogap daganak i di sunge. megap anak DEM PREP sungai ‘Anak itu megap di sungai.’. Secara skematis, kategori semantis MCBA pada kalimat (6a) dideskripsikan sebagai berikut.. Sumber: tenggelam. DAYA ALAMI. Sasaran: cinta. CINTA. Pemetaan ranah-ranah pengalaman dasar dan cinta pada MCBA dijelaskan dengan metode padan dan teknik analisisnya berupa teknik hubung banding sama. Dalam pemetaan ini, dua entitas yang dipetakan pada dua ranah kognitif yang berbeda ditandai oleh perangkat persamaan atau persesuaiannya. Contohnya, metafora konseptual CINTA sebagai PERJALANAN merupakan representasi dari dua kalimat di bawah ini. (7) Holongnia tarpatudu tu daboru na posonai. sayang.3Tg PAS.tuju PREP istri PART muda.3Tg ‘Kasih sayangnya tertuju pada istri mudanya.’. Universitas Sumatera Utara.

(51) (8) Muda giot mandapotkon holongnia diporluhon lakka KONJ ingin AKT.dapat.kan sayang.3Tg PAS.perlu.kan langkah na marpatudu. PART AKT.tuju ‘Untuk mendapatkan cintanya diperlukan strategi khusus.’. Bertolak dari kedua contoh di atas, penutur bahasa Angkola umumnya mempersepsi konsep “cinta” melalui konsep “perjalanan”. Konsep “perjalanan” itu dinyatakan dengan jelas pada kata tarpatudu ‘tertuju’ pada kalimat (7) dan kata lakka ‘langkah’ pada kalimat (8), yang keduanya memiliki medan makna yang sama. Pemetaan dasar untuk membatasi metafora konseptual di atas diilustrasikan pada tabel berikut. Tabel 3.1 Model Pemetaan Konseptual CINTA sebagai PERJALANAN RANAH SUMBER pejalan tempat perjalanan tujuan perjalanan jarak yang ditempuh rintangan dalam perjalanan. RANAH SASARAN pecinta hubungan cinta tujuan hubungan kemajuan dalam hubungan kendala dalam hubungan. Sebagaimana terlihat pada Tabel 3.1 di atas, elemen semantis tertentu dari ranah PERJALANAN berhubungan secara simetris dengan elemen semantis tertentu dari ranah CINTA. Dalam pemetaan konseptual ini, tidak semua elemen semantis yang menggambarkan korelasi di antara kedua konsep itu harus dibandingkan. Penetapan atau pemilihan elemen-elemen semantisnya dibatasi pada aspek-aspek tertentu yang dianggap berperan pada metafora, baik pada ranah sumber maupun pada ranah sasaran.. Universitas Sumatera Utara.

(52) 3.6 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data Data penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik triangulasi. Yang dimaksud dengan triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data (Moleong, 1995: 178). Prosedur triangulasi meliputi penggunaan data dari berbagai sumber untuk menemukan pola dan tema. Untuk menambah bobot argumen, makin banyak bukti yang diperoleh dari sumbersumber yang mandiri, tentu makin baik. Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan untuk menguji pemahaman peneliti dan pemahaman narasumber tentang hal-hal yang diinformasikan oleh narasumber kepada peneliti (Bungin, 2007: 252—253). Triangulasi diperlukan sebab terdapat perbedaan pada pemahaman makna cinta antara seorang narasumber dan narasumber yang lain meskipun data yang digunakan sama. Juga perbedaan dalam pemahaman pemaknaan antara narsumber dan peneliti. Triangulasi dilakukan dengan dua cara. Pertama, setelah wawancara atau pengamatan selesai dilakukan, peneliti menguji pemahaman secara langsung kepada narasumber. Kedua, uji pemahaman dilakukan pada akhir penelitian ketika semua data dari narasumber sudah berhasil dikumpulkan. Cara yang kedua lebih bermanfaat untuk memeriksa berbagai informasi yang diperoleh, termasuk informasi dari sumber-sumber lain.. Universitas Sumatera Utara.

(53) BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN. 4.1 Pengantar Bab ini membicarakan paparan data dan temuan penelitian. Paparan data meliputi dua jenis deskripsi, yaitu deskripsi latar dan deskripsi data. Pada deskripsi latar diuraikan keadaan astronomis, geografis, dan demografis dari Desa Padang Garugur yang menjadi lokasi penelitian, termasuk penjelasan mengenai latar penelitian dalam konteks pemerolehan data empiris. Deskripsi data membahas presentasi data verbal dengan berfokus pada kesamaan pola dan tema dari data yang berhasil dikumpulkan dalam suatu korpus. Sementara itu, bagian temuan penelitian menerangkan hasil analisis data dan fakta kebahasaan secara ringkas. Temuan ini menyangkut dua masalah penelitian, yakni kategorisasi semantis dan pemetaan konseptual dari MCBA.. 4.2 Paparan Data 4.2.1 Deskripsi Latar Desa Padang Garugur secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Letak desa ini sekitar 6 km dari Kantor Bupati Padang Lawas Utara atau sekitar 7 km dari Kantor Camat Padang Bolak dan Pasar Gunung Tua yang masing-masing menjadi pusat administrasi dan pusat aktivitas ekonomi warganya di tingkat kecamatan. Infrastruktur jalan ke desa ini kurang baik karena berupa tanah bebatuan dan pada beberapa bagian bentuk jalannya berlubang dan curam.. Universitas Sumatera Utara.

(54) Selain itu, ada dua jembatan kecil yang mesti dilalui apabila hendak ke desa ini. Walaupun demikian, Desa Padang Garugur dapat dilewati dengan mobil atau kendaraan bermotor lain. Dari kota Medan, perjalanan ke desa ini dapat ditempuh lebih kurang 10 jam dalam kondisi normal. Secara astronomis Desa Padang Garugur terletak di antara 99,58308 Bujur Timur dan 1,48097 Lintang Utara. Luas areanya adalah 6,05 Ha (km²) dengan kondisi wilayah yang berupa perbukitan. Seperti desa-desa lain di wilayah Padang Bolak, Desa Padang Garugur tergolong desa swasembada (Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Lawas Utara 2011). Deskripsi tentang Desa Padang Garugur dapat dilihat pada gambar di bawah ini.. Gambar 4.1 Desa Padang Garugur. Universitas Sumatera Utara.

(55) Berdasarkan hasil sensus tahun 2010, penduduk Desa Padang Garugur berjumlah 837 jiwa, terdiri atas 423 laki-laki dan 414 perempuan. Penduduk yang berusia produktif pada umumnya bekerja sebagai petani (206 orang). Sebagian kecil penduduknya ialah pegawai negeri (8 orang), pedagang (5 orang), dan pensiunan (4 orang). Penduduk yang lain adalah para ibu rumah tangga dan anakanak (Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Lawas Utara 2011). Lebih jauh, penduduk Desa Padang Garugur dikenal sebagai komunitas muslim. Seluruh penduduknya beragama Islam. Di desa itu terdapat sebuah mesjid sebagai tempat ibadah warganya. Sudah lama pula berdiri sebuah pesantren sebagai pusat pembelajaran agama Islam. Murid-murid yang belajar di pesantren itu, baik laki-laki maupun perempuan, tinggal di pondok-pondok yang disediakan oleh pengelola pesantren. Mereka tidak hanya berasal dari desa-desa di wilayah Padang Bolak, tetapi juga berasal dari kecamatan atau kabupaten lain. Penduduk Padang Garugur sangat homogen. Tidak ada etnis lain yang berdomisili di desa itu, kecuali etnis Angkola. Kebanyakan mereka berkerabat satu sama lain sehingga relasi sosial antarwarga sangat harmonis. Karena faktor kehomogenan itu, bahasa Angkola merupakan bahasa sehari-hari dalam aktivitas sosial-budaya warganya. Mereka biasanya berbahasa Indonesia jika berinteraksi dengan petugas kecamatan atau dengan kaum pendatang. Keadaan kebahasaan ini tentu menguntungkan peneliti dalam pengumpulan data penelitian. Perlu dicatat bahwa Kecamatan Padang Bolak mempunyai luas wilayah 792,14 km2 atau setara dengan 81.040 Ha. Selain berbatas dengan kecamatankecamatan lain yang berada dalam wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara, Kecamatan Padang Bolak juga berbatas dengan sejumlah kecamatan yang. Universitas Sumatera Utara.

(56) termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Wilayah-wilayah yang berbatas langsung dengan Kecamatan Padang Bolak dapat diperinci sebagai berikut: (1) Kecamatan Saipar Dolok Hole (Kabupaten Tapanuli Selatan) dan Kecamatan Dolok (Kabupaten Padang Lawas Utara) di sebelah Utara, (2) Kecamatan Batang Onang dan Kecamatan Portibi (Kabupaten Padang Lawas Utara). di sebelah Selatan, (3) Kecamatan Arse dan Kecamatan Sipirok. (Kabupaten Tapanuli Selatan) serta Kecamatan Padang Bolak Julu (Kabupaten Padang Lawas Utara) di sebelah Barat, dan (4) Kecamatan Halongonan (Kabupaten Padang Lawas Utara) di sebelah Timur. Dalam wilayah yang lebih luas, Kabupaten Padang Lawas Utara terletak pada garis 1 derajat 13 menit 50 detik sampai dengan 2 derajat 2 menit 32 detik Lintang Utara dan 99 derajat 20 menit 44 detik sampai dengan 100 derajat 19 menit 10 detik Bujur Timur. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Lawas Utara 2011, luas wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara adalah 3.918,05 km2. Dari luas wilayah itu, sebanyak 44,59% merupakan daerah curam, 35,13% adalah daerah bergunung, dan sisanya berupa daerah berbukit-bukit dan landai. Kemudian, suhu rata-rata di Kabupaten Padang Lawas Utara selama tahun 2010 sebesar 26,080C dengan suhu maksimum sebesar 34,40C dan suhu minimum sebesar 15,30C. Pada tahun yang sama pula, rata-rata curah hujan dan kecepatan angin di Kabupaten Padang Lawas Utara sebesar 2.364,2 mm dan 4,58 knot. Kabupaten Padang Lawas Utara berbatas dengan Kabupaten Labuhan Batu di sebelah Utara, dengan Kabupaten Tapanuli Selatan di sebelah Barat, dengan Provinsi Riau di sebelah Timur, dan dengan Kabupaten Padang Lawas di sebelah Selatan. Peta Kecamatan Padang Bolak disajikan pada gambar berikut.. Universitas Sumatera Utara.

(57) Gambar 4.2 Peta Kabupaten Padang Lawas Utara (Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Lawas Utara 2011, hlm. 1). Selanjutnya, Kecamatan Padang Bolak merupakan satu dari sembilan kecamatan di Kabupaten Padang Lawas Utara. Kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara ialah (1) Batang Onang (32 desa), (2) Padang Bolak Julu (23 desa), (3) Portibi (38 desa), (4) Padang Bolak (77 desa), (5) Simangambat (34 desa), (6) Halongonan (44 desa), (7) Dolok (86 desa), (8) Dolok Sigompulon (44 desa), dan (9) Hulu Sihapas (10 desa) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Lawas Utara 2011, hlm. 2). Seperti yang telah disebutkan di atas, Kecamatan Padang Bolak meliputi 77 desa. Adapun desa-desa yang menjadi daerah administratif Kecamatan Padang Bolak didaftarkan pada tabel berikut.. Universitas Sumatera Utara.

(58) Tabel 4.1 Desa-Desa di Padang Bolak dan Luas Areanya No. 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. No. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.. Nama Desa Mompang II Gulangan Simaninggir Siunggam Jae Siunggam Julu Siunggam Tonga Sibatang Kayu Naga Saribu Sihoda-Hoda Bukit Raya Serdang Bangun Purba Sigama Ujung Gading Aek Suhat Tangga Hambeng Aek Bayur Aek Tolang Padang Garugur Sigama Simanosor Parlimbatan Gunung Manaon II Saba Sutahul Tahul Saba Bangunan Gunung Tua Jae Gunung Tua Tonga Pasar Gunung Tua Sosopan Hambiri Sidingkat Batu Tambun Batu Sundung Garonggang Nabonggal Sampuran Hajoran Nama Desa Tanjung Toram Garoga Pagaran Singkam Pagaran Tonga Gunung Tua Julu Gunung Tua Baru Batang Baruhar Julu. Luas Area (Km2) 7,65 2,00 4,25 10,50 4,18 2,50 9,58 6,36 8,80 6,29 6,27 9,27 9,15 8,63 8,26 10,06 6,05 7,80 4,00 4,09 9,43 6,07 6,16 13,35 6,16 12,40 10,07 11,90 17,16 8,10 10,80 10,56 13,00 12,87 11,95 Luas Area (Km2) 11,45 11,85 9,68 4,62 4,06 9,29 15,81. Universitas Sumatera Utara.

Gambar

Tabel 3.1 Model Pemetaan Konseptual   CINTA sebagai PERJALANAN
Gambar 4.1 Desa Padang Garugur
Gambar 4.2 Peta Kabupaten Padang Lawas Utara
Gambar 4.3 Wawancara Peneliti dengan Narasumber Utama

Referensi

Dokumen terkait

Memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Peppres 54 Tahun 2010 beserta perubahannya dan Dokumen Pengadaan Nomor : 01/Pokja- 11/Dis.Dikbud/PL/KONTES/VIII/2016, tanggal 22 Agustus

Pada pembuatan Peta Aliran Proses diperoleh jumlah operasi sebanyak 18 dengan waktu total operasi sebesar 64,2 menit, pemeriksaan sebanyak 6 dengan waktu total pemeriksaan sebesar

Aplikasi yang di buat oleh penulis ini menggunakan bahasa pemrograman yang dapat berinteraksi dengan software animasi, sehingga dapat membuat irang menjadi tertarik

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA.. FAKULTAS ILMU

[r]

Surat Dispensasi Skor TOEFL dan TI (Bagi yang tidak luluse. saja)

[r]

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA.. FAKULTAS