BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. KONSEP KEMISKINAN
2. Kajian Penanganan Kemiskinan dan Kajian
a. Kajian penanganan kemiskinan
1) Hasil kajian John Friedman dalam kajiannya pada tahun 1992 mengemukakan beberapa kosakata standart kemiskinan yaitu :
a) Poverty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang dapat diterima secara sosial. Biasanya dihitung berdasarkan income, dimana dua pertiganya digunakan untuk “keranjang pangan”. Perhitungan ahli statistik kesejahteraan berdasarkan persediaan kalori dan protein utama yang paling murah.
b) Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif). Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang jatuh dibawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan (karias/amal). Sedangkan relative adalah kemiskian yang eksis di atas garis kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan kelompok non miskin berdasarkan income relatif.
29 Menurut World Bank, dalam de nisi kemiskinan adalah ”The denial of choice and opportunities
most basic for human development to lead a long healthy, creative life and enjoy a decent standard of living freedom, self esteem and the respect of other”.
c) Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-orang non-miskin, bersih, bertanggungjawab, mau menerima pekerjaan apa saja demi memperoleh upah yang ditawarkan. d) Target population populasi sasaran adalah kelompok
orang tertentu yang dijadikan sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah. Mereka dapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah, serta penghuni kampung kumuh perkotaan.30
2) Penelitian Anne Booth dan Firdaus tentang kemiskinan mengemukakan bahwa penyebab dari kemiskinan adalah keterbatasan penduduk di dalam: (1) mengakses pasar untuk produk, (2) fasilitas publik dan (3) fasilitas kredit. Faktor yang mempengaruhi keterbatasan penduduk
miskin disebabkan karena faktor geogra , faktor
ekonomi, faktor sosial budaya, lingkungan, dan faktor
personal serta sik.31
3) Studi Suyono Dikun, menyimpulkan bahwa dana IDT diperlukan oleh masyarakat miskin sebagai modal usaha tanaman pangan agar terlepas dari praktik ijon. Temuan penelitian menyebutkan bahwa penyebab masyarakat terjerat pada lingkungan utang dan kemiskinan karena adanya praktek ijon dalam pengelolaan tanaman pangan. Kebutuhan masyarakat miskin lainnya adalah penyediaan infrastruktur, kebutuhan sosial dasar, seperti listrik dan air bersih, sehingga mereka dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesehatannya. Peningkatan mobilitas
30 John Friedmann juga merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar, hasil kajian
terhadap kemiskinan tahun 2000
31 Anne Booth dan Firdaus, dalam papernya yang berjudul “Effect of Price and Market Reform on the
Poverty Situation of Rural communities and Firm Families”, 1996), sumber digilib.petra.ac.id/.../ jiunkpe-ns-s1-2009-25405021-12280-kemiskinan.
sosial ekonomi dengan pengadaan fasilitas transportasi dapat membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat. Disebutkan pula, meningkatkan motivasi sosial melalui pendekatan budaya sangat diperlukan untuk mendukung semua program pengentasan kemiskinan.32
4) Studi Rusnadi Ridwan (1998) menyimpulkan bahwa kemiskinan disebabkan oleh keterbatasan modal untuk memperbesar usaha, keterbatasan pendidikan mengakibatkan kurangnya informasi, komunikasi dan wawasan pengetahuan yang sempit. Rekomendasi yang diberikan adalah memberikan bantuan modal berupa ternak (anak sapi, kambing, itik), serta menambah keterampilan dan fasilitas perdagangan.
5) Studi Sarpan, (2003), penelitian ini membahas mengenai “studi kasus pemberdayaan pedagang kaki lima (PKL) di Tandes, Surabaya”. Hasilnya menyimpulkan bahwa:
• Mengkoordinir, menata paguyuban-paguyuban pedagang kaki lima dan membentuk forum untuk mempermudah pelaksanaan pembinaan oleh Pemerintah.
• Pembentukkan badan pengurusan paguyuban PKL yang lebih dinamis seperti pembentukan koperasi yang beranggotakan para PKL. Meningkatkan peran ketua paguyuban dalam menyelesaikan permasalahan diantara mereka.
• Pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta dalam melaksanakan keterampilan bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Tandes untuk mengembang kan potensi mereka. Apabila perlu, dibentuk Tim khusus untuk melatih dan membimbing masyarakat miskin
dengan pemberian honor atau upah oleh paguyuban PKL.33
6) Studi Djunaidi Rupelu, (2005), tentang “pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap kemiskinan masyarakat melalui aksesibilitas publik di Kabupaten Buru Provinsi Maluku” Kesimpulannya bahwa faktor keterbatasan modal, rendahnya pendidikan, kondisi sosial budaya masyarakat, rendahnya tingkat kesehatan berpengaruh positif terhadap keterbatasan mengakses fasilitas; Disisi lain kondisi sosial ekonomi masyarakat miskin berpengaruh tidak langsung terhadap akses pasar dan koperasi, kondisi sosial ekonomi masyarakat berpengaruh langsung terhadap ke miskinan masyarakat, aksesibilitas publik pada koperasi dan pasar berpengaruh terhadap kemiskinan, kondisi sosial ekonomi berpengaruh langsung terhadap aksesibilitas publik, kondisi sosial ekonomi tidak berpengaruh terhadap akses bank.34
b. Kajian tentang Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE) 1) Mujiadi dkk. Dalam penelitian “Pemberdayaan Masyarakat
Miskin, studi evaluasi Penanggulangan Kemiskinan di Lima Provinsi” mengemukakan beberapa gambaran kegiatan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi antara lain:
• Aspek konteks: Pedoman P2FM-KUBE kurang mudah dipahami oleh pelaksana Program dan pendamping, sehingga pencapaian tujuan KUBE belum optimal. • Aspek input: menemukan kenyataan bahwa sebagian
KUBE dalam kondisi tidak produktif dan prospektif. Pelatihan pendampingan belum mampu memberikan pengetahuan dalam pendampingan sosial sehingga dalam pelaksanaan pendampingan masih menghadapi kendala.
33 Konsep pengembangan pemberdayaan pedagang kaki lima (PKL) di Surabaya (studi kasus di
Jalan Manukan Taman Tandes).-/digilib.petra.ac.id/.../jiunkpe-ns-s1-2009-25405021-12280- kemiskinan.
• Aspek proses, seleksi anggota KUBE belum sesuai dengan pedoman, pengelolaan KUBE masih bervariasi, administrasi kegiatan yang terdiri dari 10 buku dirasakan memberatkan, beberapa tahapan dalam proses kegiatan KUBE belum dilaksanakan sesuai Pedoman.35
2) Suradi dkk. mengemukakan hasil penelitian Pelaksanaan dari sisi konteks, panduan pelaksanaan P2FM-KUBE tidak mudah (difahami) dilaksanakan. Sehingga penyelenggaraan program belum optimal. Faktor lainnya adalah masih adanya ego sektoral di lingkungan Kementerian Sosial Republik Indonesia. Masih kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan Program secara eksternal antara Kementerian Sosial Republik Indonesia dengan instansi sosial baik di provinsi maupun di kabupaten dan kota; Penentuan jenis bantuan, penyelenggaraan program, penentuan pendamping masih ada intervensi dari pemerintah daerah khususnya pemuka formal masyarakat, kecamatan, kepala desa atau kelurahan. Dari sisi input, sebagian besar KUBE tidak memenuhi
kuali kasi karena penerima bantuan pengembangan sudah
tidak memiliki aset dari usaha sebelumnya, atau sudah tidak produktif dan prospektif. Disamping itu, pelatihan pendamping belum memadai sehingga belum mampu memberikan pengetahuan dan keterampilan sosial dalam pendampingan. Dari sisi proses, seleksi KUBE dan pendamping belum tepat, proposal tidak sesuai potensi lokal, dan kurangnya sosialisasi program. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Program belum dilaksanakan dengan baik sehingga tidak ada kejelasan tentang tindak lanjut program. Dari sisi produk, aset maupun modal usaha anggota KUBE belum bertambah, demikian juga iuran kesetiakawanan
35 Mujiadi dkk. Pemberdayaan Masyarakat Miskin, Studi Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan di
Lima Provinsi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia, P3KS Press, 2007.
sosial belum dilaksanakan.36
3) Irmayani dkk. Dalam penelitian “Efektivitas Pelayanan KUBE, dalam perspektif Ketahanan Sosial Keluarga” menemukan fakta bahwa tahapan kegiatan dalam proses pemberdayaan keluarga melalui Kelompok Usaha Bersama Ekonomis (KUBE) belum semua dilaksanakan. Pengembangan KUBE dipengaruhi oleh kesesuaian tahapan kegiatan KUBE dengan panduan. Pemahaman usaha kelompok masih sebagai wacana, karena dalam temuan lapangan diketahui fakta bahwa kegiatan usaha dilakukan sendiri-sendiri. Dampak Program Pemberdayaan Keluarga melalui KUBE terhadap Ketahanan Sosial Keluarga dapat meningkatkan penghasilan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, meningkatkan kemampuan berorganisasi dan meningkatkan kesetiakawanan antara anggota kelompok, meningkatkan rasa kebersamaan memelihara dan meningkatkan usaha keluarga.37
4) Istiana Hermawati, dkk, Studi Evaluasi Efektivitas KUBE dalam Pengentasan Keluarga Miskin di Era Otonomi Daerah, menguraikan hasil temuannya bahwa Program KUBE sudah tepat sasaran karena anggota berasal dari petani, buruh tani, penghasilan terbatas, berusia produktif, berpendidikan rendah, memiliki beban tanggung jawab keluarga. Karakteristik anggota KUBE, terdapat dua jenis yaitu KUBE memiliki anggota (1 atau 2 orang) tidak masuk kriteria BPS namun dipilih dengan alasan memiliki keterampilan, pengetahuan, modal dan jiwa kewiraswastaan (Pedoman P2FM-KUBE 2004)dan KUBE yang seluruh anggotanya
36 Suradi, dkk. Pemberdayaan Masyarakat Miskin, Studi Evaluasi Penanggulangan kemiskinan di
lima Provinsi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia P3KS Press, 2007.
37 Irmayani dkk, Efektivitas Pelayanan KUBE dalam perspektif Ketahanan Sosial Keluarga, Studi
Evaluasi Pemberdayaan Keluarga Melalui KUBE di empat Provinsi, Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial Republik, Indonesia P3KS Press 2010.
dari keluarga miskin, Temuan fakta menyebutkan bahwa KUBE yang memiliki anggota tidak termasuk kriteria lebih berhasil dalam mengembangkan usaha dibandingkan dengan KUBE yang beranggotakan keluarga miskin semua.38
5) Didi Ariyanto dan Yulia Anas, menemukan fakta bahwa KUBE dibentuk karena adanya program bantuan yang akan diterima (Top-down) dan bukan berdasarkan keinginan masyarakat (bottom-up) untuk membentuk KUBE. Sebanyak 94,4 % anggota KUBE menyatakan bahwa KUBE belum ada sebelum adanya program bantuan datang Sebanyak 89,5% anggota KUBE menyatakan bahwa proses pembentukan KUBE hanya membutuhkan waktu 1 hari, tanpa adanya sosialisasi dari dinas tentang program dan bentuk bantuan apa yang akan diberikan oleh pemerintah. Hal ini berdampak pada cara pengambilan masyarakat miskin sebagai anggota KUBE dimana anggota KUBE banyak yang terdiri dari sanak famili atau kerabat dekat dengan Jorong dan bahkan sebesar 4,1 % ada anggota KUBE tidak saling kenal dan tidak mengetahui bahwa mereka termasuk sebagai anggota KUBE.39
Mencermati hasil kajian tentang kemiskinan dan program KUBE, terlihat bahwa konsep tentang kemiskinan masih beragam dan berbeda, namun pada prinsipnya didasarkan atas perkiraan kebutuhan dasar minimum. Sedangkan penentuan garis kemiskinan secara obyektif sulit dilaksanakan karena banyak faktor yang mempengaruhi. Penentuan garis kemiskinan hingga kini masih berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain, sehingga tidak ada satu garis kemiskinan yang berlaku. Kajian penanganan kemiskinan melalui KUBE masih fokus pada proses
38 Istiana Hermawati dkk, Studi Evaluasi Efektivitas KUBE dalam pengentasan Keluarga Miskin
di Era Otonomi Daerah. Balai Besar Penelitian Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia P3KS Press, 2005.
39 Edi Ariyanto dan Yulia Anas, Rekonstruksi Kelompok Usaha Ekonomi Dalam Program
Pengentasan Kemiskinan, studi kasus: Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial
pembentukan KUBE, dampak KUBE terhadap anggota, proses perkembangan KUBE. Adapun evaluasi program KUBE masih fokus pada input dan output program.
Sebagai dasar analisa dalam penanganan kemiskinan akan diuraikan tentang hasil kajian dari beberapa pakar ekonomi dalam menentukan ukuran atau kriteria kemiskinan. Kenyataannya di Indonesia belum ada acuan baku yang digunakan untuk standar kemiskinan. Dalam tabel 4 berikut akan digambarkan perkembangan indikator kemiskinan yang digunakan acuan di Indonesia berdasarkan kajian dari beberapa pakar.
Tabel 4: Perkembangan Indikator kemiskinan di Indonesia
Indikator Kemiskinan Garis Kemiskinan Kota Desa Kota+Desa Esmara
(1969/1970)
Konsumsi beras per kapita per tahun (Kg) - - 125 Sajogyo (1977) Konsumsi beras per kapita per tahun (Kg):
- melarat - sangat miskin - miskin 270 360 480 180 240 320 - - - Ginneken (1969)
Kebutuhan gizi minimum per orang per hari - kalori - protein - - 2.000 50 Anne Booth (1969/1970)
Kebutuhan gizi minimum per orang per hari - kalori - protein - - - - 2.000 40 Gupta (1973) Kebutuhan gizi minimum per orang per hari
kalori - - 24.000
Hasan (1975) Pendapatan minimum per orang per kapita
per tahun 125 95 -
BPS (1984) - konsumsi kalori per kapita
- pengeluaran per kapita per bulan (Rp)
- 13.731 - 7.746 2.100 - BPS (2007) 1. Konsumsi kalori per kapita per hari
2. Pendapatan per kapita per bulan (Rp)
- - - - 2.100 166.697 World Bank (2007)
Pengeluaran per kapita per hari ($) - - 2
Sumber: Widodo (1990) Indikator Ekonomi: Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia & BPS 2007.