1. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Ratifikasi GATS (General Agreement on Trade in Services)
Pesatnya pembangunan kepariwisataan di Bali tidak lepas dari liberalisasi perdagangan jasa melalui GATS (General Agreement on Trade in Services). Globalisasi ekonomi khususnya di bidang industri pariwisata telah memberikan kesempatan kepada ekspansi kekuatan ekonomi besar ke negara‐negara berkembang atau dunia ketiga. Ratifikasi GATS (General Agreement on Trade in Services) melalui UU No. 7 Tahun 1999, pada dasarnya memberikan keleluasan bagi setiap pelaku usaha dari negara manapun untuk berusaha di Indonesia melalui skema TRIMS (Trade Related on Investment Meausures).
Ratifikasi GATS atau WTO Agreement telah mempengaruhi pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya Bali. Ideologi liberal yang mendasari WTO Agreement bertumpu pada: (a) pembebasan dan kebebasan masyarakat untuk langsung memegang dan mengusahakan faktor‐faktor produksi tanpa kecuali; (b) mengusahakan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat, memajukan kesejahteraan umum melalui persaingan bebas (free competition); (c) persaingan bebas merupakan dasar inovasi dan pengembangan diri secara alamiah untuk membuat individu‐individu dalam masyarakat berkembang secara alamiah; (d) kekuasaan negara direduksi untuk menciptakan kebebasan ekonomi sebesar‐besarnya dalam wujud: kebebasan individu, persaingan bebas, dan pasar bebas; persaingan bebas merupakan dasar pengembangan sistem ekonomi yang cepat adil dan terbuka.19
GATS melarang adanya pembatasan perdagangan jasa antar negara dengan mengurangi campur tangan negara. Namun GATS tetap memberikan kesempatan bagi negara host untuk menetapkan pengecualian terhadap prinsip‐prinsip WTO (Worls Trade Oragnization) seperti Most‐
Favoured Nation (MFN), National Treatment dan Transparency.
Ratifikasi GATT telah lebih banyak menjiwai kebijakan‐kebijakan di bidang ekonomi di Indonesia termasuk bidang kepariwisataan. Namun dengan dikeluarkannya deklarasi TPB tidak ada lagi kebijakan dunia yang dapat ditafsirkan hanya melindungi atau bermanfaat pada pengusaha atau investor saja, tapi haruslah bermanfaat pada sosial dan lingkungan juga. Indonesia sebagai negara Host atau tuan rumah haruslah menggunakan SDGs sebagai deklarasi global dalam membatasi kaptalisme yang menghambat terwujudnya TPB/SDGs. Kebijakan provinsi maupun kabupaten/kota tidaklah menjadikan kapitalisme sebagai paham yang mendasarinya. Pancasila sebagai dasar negara yang berlaku di Indonesia dan diperkuat dengan deklarasi SDGs sebagai deklarasi global dapat dijadikan dasar norma.
19 Wyasa Putra, op.cit., hlm.42.
2. Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
Ketentuan hukum ini memberikan akses perdagangan jasa dalam bidang pariwisata di Indonesia telah terbuka bagi penanaman modal asing. Berdasarkan Perpres 36 tahun 2010 maka berlakulah Pasal XVI GATS, dengan ketentuan bahwa apabila akses pasar suatu sektor jasa diberikan/
dibuka maka tidak boleh ada kebijakan yang berupa:
a. Pembatasan jumlah penyedia jasa
b. Pembatasan nilai total transaksi atau aset jasa
c. Pembatasan jumlah orang‐orang yang dipekerjakan dalam sektor tersebut
d. Kebijakan yang membatasi atau mengharuskan bentuk‐bentuk khusus bagi bentuk‐bentuk badan usaha pemberi jasa
e. Pembatasan partisipasi modal asing
Perpres 36 tahun 2010 memberikan keleluasan bagi investor asing untuk menanamkan modalnya maksimal 51% dari keseluruhan modal, usaha tersebut diantaranya, seperti: Hotel Melati dan Hotel bintang 1 dan 2; Spa. Apabila usaha‐usaha tadi yang membutuhkan modal tidak terlalu besar kemudian diberikan hak bagi investor asing maka sulit bagi pengusaha dalam negeri untuk bersaing, karena mereka memilki keterikatan dengan pasar di negara mereka. Selain itu Perpres dimaksud juga mengandung kekosongan hukum tentang syarat pendirian Hotel berbintang 3, 4, dan 5, yang juga didirikan oleh Investor Asing. Hotel berbintang 3, 4, dan 5 mayoritas didirikan oleh Perusahaan Transnasional, yang berimbas kepada repatriasi laba dan modal kepada kembali ke negara asal investor, dan bukan negara host (Indonesia).
Keleluasaan pada investor tidaklah berarti mereka dapat berbuat seenaknya, yang dapat merugikan kepentingan sosial, negara atau daerah. Investor sebagai tamu yang diundang juga harus mengikuti atauran nasional dan daerah. Kebijakkan daerah haruslah mengikuti atauran hukum diatasnya sehingga tidak terjadi ketidakpastian hukum. Kebijakan tidaklah menimbulkan kerugian bagi pihak masyarakat, lingkungan maupun investor.
3. Undang Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan
UU nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan (selanjutnya UU Kepariwisataan), konsideran “menimbang” huruf a disebutkan bahwa pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya pasal 7 disebutkan bahwa
“pembangunan kepariwisataan” meliputi: a. industri pariwisata; b. destinasi pariwisata; c. pemasaran;
dan d. kelembagaan kepariwisataan. Penjelasan pasal 7 diuraikan :
“Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan industri pariwisata, antara lain pembangunan struktur (fungsi, hierarki, dan hubungan) industri pariwisata, daya saing produk pariwisata, kemitraan usaha pariwisata, kredibilitas bisnis, serta tanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial budaya.
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan destinasi pariwisata, antara lain pemberdayaan masyarakat, pembangunan daya tarik wisata, pembangunan prasarana, penyediaan fasilitas umum, serta pembangunan fasilitas pariwisata secara terpadu dan berkesinambungan.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan pemasaran, antara lain pemasaran pariwisata bersama, terpadu, dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta pemasaran yang bertanggung jawab dalam membangun citra Indonesia sebagai destinasi pariwisata yang berdaya saing.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan kelembagaan kepariwisataan, antara lain pengembangan organisasi Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, regulasi, serta mekanisme operasional di bidang kepariwisataan.”
Uraian pasal 7 beserta penjelasannya belum memberikan landasan yang tegas tentang bagaimana dan siapa yang bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan terhadap hak‐hak ekonomi masyarakat. Uraian tentang pembangunan kepariwisataan telah melupakan pembangunan Masyarakat Lokal/Daerah sebagai unsur penting dalam pembangunan kepariwisataan. Pembangunan kepariwisataan lebih terfokus pada pengembangan industri pariwisata, namun belum menyentuh pengembangan masyarakat sekitar aktivitas pariwisata atau masyarakat yang terkena dampak pariwisata. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tafsir ataupun pengabaian terhadap hak‐hak ekonomi masyarakat. Pengabaian terhadap hak‐hak ekonomi masyarakat dapat menghambat terwujudnya tercapainya TPB/SDGs.
UU Kepariwisataan juga mengatur tentang Kewajiban Pemerintah (Pusat dan Daerah), Masyarakat, Wisatawan, dan Pengusaha. Kewajiban Pemerintah dalam Pasal 23 adalah:
(a) menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan;
(b) menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi, dan memberikan kepastian hukum;
(c) memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan
(d) mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
Huruf d pasal 23 telah mewajibkan pemerintah untuk mengendalikan dampak negatif dari kegiatan kepariwisataan. Apabila dilihat dari fakta di atas maka disimpulkan pemerintah belum
melaksanakan kewajibannya secara maksimal. Pasal ini membutuhkan peraturan operasionalnya yang dapat memberikan landasan atau bentuk pengendalian dampak kepariwisataan. Ketidakjelasan kewenangan, kelembagaan, dan prosedur pengendalian menjadi penyebab ketidakefektifan pasal 23 huruf d ini. Dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan kepariwisataan haruslah secara tegas dilaksanakan oleh pemerintah. Kebijakan daerah haruslah secara tegas memuat turunan dari norma ini apabila ingin daerah mencapai tujuan TPB/SDGs.
Selain pengaturan tentang kewajiban, UU Kepariwisataan juga mengatur tentang kewenangan pemerintah baik pusat, daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah pusat diantaranya berwenang untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat, yang sebenarnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, sehingga anggaran pun menjadi dialokasikan kepada pemerintah daerah, dengan pertimbangan daerahlah yang lebih mengetahui karakter sosial masyarakatnya, sehingga pemberdayaan yang dilakukan menjadi tepat arah dan tepat guna.
4. Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Berdasarkan UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), kewenangan pemerintah pusat terbatas pada: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d.
yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.
Kewenangan Pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang diantaranya meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota.
Kewenangan Pemerintah kabupaten/kota diantaranya meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h.
pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
Berdasarkan UU Pemda, pemerintah daerah yang berwenang dalam menanggulangi dan sekaligus memberdayakan masyarakat serta mengembangkan potensi. Hal ini berarti bertentangan dengan ketentuan dalam UU Kepariwisataan yang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk memberdayakan masyarakat.
5. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
Kemudian dalam UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, Penerimaan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan dan lain‐lain. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil yang diperoleh dari Pajak dan pendapat dari Sumber Daya Alam. Bali sebagai daerah pariwisata, yang telah begitu besar memberikan devisa kepada pemerintah pusat kemudian hanya memperoleh dana bagi hasil dari pajak, tidak dari hasil sumber daya alam karena pendapatan dari pariwisata. Hal ini dirasakan kurang adil karena dari pendapatan Bali yang demikian besar masuk ke pusat hanya sedikit yang kemudian dinikmati oleh masyarakat Bali, dan ini bisa saja berimbas kepada keterbatasan kemampuan pemerintah daerah untuk memperbaiki taraf hidup masyarakatnya.
6. Peraturan daerah Bali Nomor 6 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Bali Tahun 2005‐2025
Peraturan daerah Bali Nomor 6 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Bali Tahun 2005‐2025 (selanjutnya “Perda RPJPD 2005‐2025”) dalam
“Lampiran” Bab II tentang Kondisi Bali Saat Ini pada angka 2.1.2. tentang Ekonomi huruf a, disebutkan:
“…… pada sisi lain struktur perekonomian daerah Bali masih rentan terhadap berbagai gejolak karena bertumpu pada sektor tersier terutama pariwisata yang memberikan kontribusi sebesar 64,48% terhadap pembentukan PDRB daerah Bali, namun sektor tersebut sangat peka terhadap berbagai isu. Keterpurukan industri kepariwisataan Bali akhir‐akhir ini juga berdampak langsung pada menurunnya aktivitas industri kecil dan rumah tangga, karena permintaan akan produk ekspor non migas dari sektor industri kecil dan rumah tangga menurun, demikian pula pada sektor pertanian mengalami kelesuan dalam pemasaran produknya…...”20
Uraian di atas menggambarkan bahwa penyusun Perda RPJPD 2005‐2025 mengkhawatirkan struktur ekonomi Bali yang sangat bertumpu pada sektor tersier yaitu Pariwisata. Sedangkan sektor ini disebutkan pula sangat rentan terhadap/peka terhadap berbagai isu, diantaranya: keamanan, bencana alam, dan wabah penyakit. Keterpurukan sektor pariwisata telah berimbas pada turunnya pertumbuhan di sektor lainnya, sehingga apabila sektor pariwisata terus menurun atau fluktuasinya sangat tinggi maka sektor lainnyapun akan terpengaruh.
Perda RPJPD 2005‐2025 selanjutnya dalam sub bab 2.1.4 huruf b tentang Hukum menyebutkan:
“Dalam bidang hukum, penegakan supremasi hukum dan HAK Azasi Manusia (HAM) ternyata sampai saat ini belum dapat diwujudkan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat Bali dan bangsa Indonesia. Gagalnya penegakan supremasi hukum disebabkan oleh berbagai faktor meliputi substansi hukumnya, kualitas SDM penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat serta sarana dan prasarana.”21
20 Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Bali Tahun 2005‐2025
21 Ibid.
Kondisi hukum dalam uraian penjelasan di atas hanya menyebutkan lemahnya penegakan supremasi hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) yang diakibatkan oleh berbagai faktor meliputi substansi hukumnya, kualitas SDM penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat serta sarana dan prasarana.
Tapi tidak menjelaskan keterkaitan antara kondisi‐kondisi sektor lain dengan hukum sebagaimana fungsinya sebagai pengatur dan penjaga ketertiban di masyarakat. Contohnya pada pertumbuhan ekonomi yang terfokus pada sektor pariwisata yang menyebabkan tidak stabilnya ekonomi Bali, tidak dijelaskan keterkaitannya dengan hukum yang ada baik hukum nasional maupun daerah. Hal ini menjelaskan belum adanya konsep hukum yang dapat mencegah ketidakstabilan ekonomi Bali atau konsep hukum yang dapat mengarahkan pembangunan ekonomi Bali menjadi berkelanjutan atau lebih stabil.
Sasaran pembangunan Bali menurut Perda RPJPD 2005‐2025 angka 4.1.4 tentang Terwujudnya Masyarakat Bali yang Sejahtera22, disebutkan:
“ 1. Pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa mencapai 8,2‐9,4% dan PDRB perkapita sebesar US$ 4.500, dengan asumsi situasi sosial‐politik dan ekonomi internal dan eksternal cukup stabil, penduduk tahun 2025 sebanyak 4,03 juta, kontribusi pariwisata mencapai 50% dari total PDRB, kontribusi pertanian mencapai 15%‐20%, total ekspor barang dan jasa mencapai 40‐50%, investasi mencapai 20‐25%.
2. Terbangunnya struktur perekonomian yang lebih kokoh dengan bertumpu pada kontribusi sektor primer sebesar 20%, sektor skunder sebesar 25% dan sektor tersier sebesar 55%.”
Uraian bab di atas memunculkan adanya inkonsistensi pernyataan dengan bab sebelumnya. Bab‐bab sebelumnya mengkhawatirkan rentannya ekonomi Bali yang disebabkan oleh bertumpunya pada sektor tersier (pariwisata) yang kemudian haruslah diperbaiki, namun kemudian sasaran pembangunan pada angka 4.1.4 kembali menyebutkan besarnya perhatian pada sektor tersier atau pariwisata itu. Isu hukum yang muncul selain inkonsistensi pernyataan, juga bagaimana hukum dapat memberikan jalan keluar bagi kerentanan ekonomi Bali yang terfokus pada pariwisata tersebut.
Apakah keterfokusan itu murni masalah ekonomi ataukah ada masalah hukum yang terjadi baik pada saat pembentukan, pelaksanaan ataupun penegakan hukum.
Kebutuhan sebuah kebijakan yang konsisten dan tegas dapat menghindarkan Bali dari kemandegan ekonomi, hal ini terjadi karena keterfokusan pada satu bidang ekonomi. Penting kebijakan Bali memberikan ruang yang seluas‐luasnya bagi berkembangnya seluruh bidang ekonomi yang sesuai dengan karakteristik masyarakat, seperti pertanian dan nelayan dalam arti luas. Hal ini sesuai dengan prinsip no one left behind dari SDGs.
7. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali
22 Ibid
Konsideran Menimbang pada perda ini mencantumkan:
“a. bahwa kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia adalah landasan utama pembangunan kepariwisataan Bali, yang mampu menggerakkan potensi kepariwisataan dalam dinamika kehidupan lokal, nasional, dan global;
b. bahwa pembangunan kepariwisataan Bali bertujuan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat yang sebesar‐besarnya bagi kesejahteraan masyarakat sehingga terwujud cita‐cita kepariwisataan untuk Bali dan bukan Bali untuk kepariwisataan;”
Uraian konsideran menimbang di atas memberikan dasar bahwa kepariwisataan Bali bersumber pada kebudayaan Bali yang sangat akrab dengan alam dan spiritualitas/agama Hindu. Kemudian kepariwisataan dimaksud hruslah dapat memberikan kontribusi yang maksimal kepada masyarakat dan lingkungan Bali.
Pasal 1 Angka 14 perda ini memberikan pengertian:
“Kepariwisataan Budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya, sehingga terwujud hubungan timbal‐balik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan.”
Kepariwisataan Bali haruslah dijiwai ajaran Agama Hindu yang sangat memperhatikan kebahagiaan umat atau masyarakatnya baik di dunia maupun di akhirat. Falsafah Tri Hita Karana yang dimilki oleh masyarakat Bali juga mengatur hubungan antara Manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan. Falsafah Tri Hita Karana sangatlah sesuai dengan Konsep SDGs yang juga memperhatikan hubungan sosial dan lingkungan.
Perda ini juga mengatur tentang asas‐asas penyelenggaraan kepariwisataan yaitu pada Pasal 2, yang diantaranya adalah Asas keseimbangan, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata, yang juga sesuai dengan prinsip dan tujuan SDGs/TPB.
Kepariwisataan Bali dalam pasal 3 diantaranya bertujuan untuk : meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan masyarakat; menciptakan kesempatan berusaha;
menciptakan lapangan kerja; melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; mempererat persahabatan antarbangsa. Tujuan perda dalam pasal ini juga sesuai dengan tujuan dalam SDGs/TPB yakni Penghapusan Kemiskinan; Kesejahteraan; Pertumbuhan Ekonomi & Pekerjaan Layak;
Pelestarian & Pemanfaatan Berkelanjutan Ekosistem Laut; Pelestarian & Pemanfaatan Berkelanjutan
PENUTUP