• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Ratifikasi GATS (General Agreement on Trade in  Services) 

Pesatnya pembangunan kepariwisataan di Bali tidak lepas dari liberalisasi perdagangan jasa  melalui  GATS  (General  Agreement  on  Trade  in  Services).  Globalisasi  ekonomi  khususnya  di  bidang  industri  pariwisata  telah  memberikan  kesempatan  kepada  ekspansi  kekuatan  ekonomi  besar  ke  negara‐negara  berkembang  atau  dunia  ketiga.  Ratifikasi  GATS  (General  Agreement  on  Trade  in  Services)  melalui  UU  No.  7  Tahun  1999,  pada  dasarnya  memberikan  keleluasan  bagi  setiap  pelaku  usaha  dari  negara  manapun  untuk  berusaha  di  Indonesia  melalui  skema  TRIMS  (Trade  Related  on  Investment Meausures).  

Ratifikasi GATS atau WTO Agreement telah mempengaruhi pembangunan ekonomi Indonesia,  khususnya Bali. Ideologi liberal yang mendasari WTO Agreement bertumpu pada: (a) pembebasan dan  kebebasan masyarakat untuk langsung memegang dan mengusahakan faktor‐faktor produksi tanpa  kecuali; (b) mengusahakan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat, memajukan kesejahteraan  umum melalui persaingan bebas (free  competition); (c) persaingan bebas merupakan dasar inovasi  dan  pengembangan  diri  secara  alamiah  untuk  membuat  individu‐individu  dalam  masyarakat  berkembang secara alamiah; (d) kekuasaan negara direduksi untuk menciptakan kebebasan ekonomi  sebesar‐besarnya dalam wujud:  kebebasan individu, persaingan bebas, dan pasar bebas; persaingan  bebas merupakan dasar pengembangan sistem ekonomi yang cepat adil dan terbuka.19  

GATS  melarang  adanya  pembatasan  perdagangan  jasa  antar  negara  dengan  mengurangi  campur  tangan  negara.  Namun  GATS  tetap  memberikan  kesempatan  bagi  negara  host  untuk  menetapkan  pengecualian  terhadap  prinsip‐prinsip  WTO  (Worls  Trade  Oragnization)  seperti  Most‐

Favoured Nation (MFN), National Treatment dan Transparency.  

Ratifikasi  GATT  telah  lebih  banyak  menjiwai  kebijakan‐kebijakan  di  bidang  ekonomi  di  Indonesia termasuk bidang kepariwisataan. Namun dengan dikeluarkannya deklarasi TPB tidak ada  lagi kebijakan dunia yang dapat ditafsirkan hanya melindungi atau bermanfaat pada pengusaha atau  investor  saja,  tapi  haruslah  bermanfaat  pada  sosial  dan  lingkungan  juga.  Indonesia  sebagai  negara  Host  atau  tuan  rumah  haruslah  menggunakan  SDGs  sebagai  deklarasi  global  dalam  membatasi  kaptalisme  yang  menghambat  terwujudnya  TPB/SDGs.  Kebijakan  provinsi  maupun  kabupaten/kota  tidaklah menjadikan kapitalisme sebagai paham yang mendasarinya. Pancasila sebagai dasar negara  yang  berlaku  di  Indonesia  dan  diperkuat  dengan  deklarasi  SDGs  sebagai  deklarasi  global  dapat  dijadikan dasar norma. 

 

             19 Wyasa Putra, op.cit., hlm.42. 

2. Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang  Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal 

Ketentuan  hukum  ini  memberikan  akses  perdagangan  jasa  dalam  bidang  pariwisata  di  Indonesia  telah  terbuka  bagi  penanaman  modal  asing.  Berdasarkan  Perpres  36  tahun  2010  maka  berlakulah Pasal XVI GATS, dengan ketentuan bahwa apabila akses pasar suatu sektor jasa diberikan/ 

dibuka maka tidak boleh ada kebijakan yang berupa: 

a. Pembatasan jumlah penyedia jasa  

b. Pembatasan nilai total transaksi atau aset jasa  

c. Pembatasan jumlah orang‐orang yang dipekerjakan dalam sektor tersebut  

d. Kebijakan yang membatasi atau mengharuskan bentuk‐bentuk khusus bagi bentuk‐bentuk badan  usaha pemberi jasa  

e. Pembatasan partisipasi modal asing  

Perpres  36  tahun  2010  memberikan  keleluasan  bagi  investor  asing  untuk  menanamkan  modalnya maksimal 51% dari keseluruhan modal, usaha tersebut diantaranya, seperti: Hotel Melati  dan Hotel bintang 1 dan 2; Spa. Apabila usaha‐usaha tadi yang membutuhkan modal tidak terlalu besar  kemudian diberikan hak bagi investor asing maka sulit bagi pengusaha dalam negeri untuk bersaing,  karena mereka memilki keterikatan dengan pasar di negara mereka. Selain itu Perpres dimaksud juga  mengandung  kekosongan  hukum  tentang  syarat  pendirian  Hotel  berbintang  3,  4,  dan  5,  yang  juga  didirikan  oleh  Investor  Asing.  Hotel  berbintang  3,  4,  dan  5  mayoritas  didirikan  oleh  Perusahaan  Transnasional,  yang  berimbas  kepada  repatriasi  laba  dan  modal  kepada  kembali  ke  negara  asal  investor, dan bukan negara host (Indonesia). 

Keleluasaan  pada  investor  tidaklah  berarti  mereka  dapat  berbuat  seenaknya,  yang  dapat  merugikan kepentingan sosial, negara atau daerah. Investor sebagai tamu yang diundang juga harus  mengikuti  atauran  nasional  dan  daerah.  Kebijakkan  daerah  haruslah  mengikuti  atauran  hukum  diatasnya sehingga tidak terjadi ketidakpastian hukum. Kebijakan tidaklah menimbulkan kerugian bagi  pihak masyarakat, lingkungan maupun investor. 

 

3. Undang Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan

UU  nomor  10  tahun  2009  tentang  Kepariwisataan  (selanjutnya  UU  Kepariwisataan),  konsideran  “menimbang”  huruf  a  disebutkan  bahwa  pembangunan  kepariwisataan  untuk  peningkatan  kemakmuran  dan  kesejahteraan  rakyat.  Selanjutnya  pasal  7  disebutkan  bahwa 

“pembangunan kepariwisataan” meliputi: a. industri pariwisata; b. destinasi pariwisata; c. pemasaran; 

dan d. kelembagaan kepariwisataan. Penjelasan pasal 7 diuraikan : 

“Huruf a 

Dalam  ketentuan  ini  yang  dimaksud  dengan  pembangunan  industri  pariwisata,  antara  lain  pembangunan struktur (fungsi, hierarki, dan hubungan) industri pariwisata, daya saing produk  pariwisata,  kemitraan  usaha  pariwisata,  kredibilitas  bisnis,  serta  tanggung  jawab  terhadap  lingkungan alam dan sosial budaya. 

Huruf b 

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan destinasi pariwisata, antara lain  pemberdayaan  masyarakat,  pembangunan  daya  tarik  wisata,  pembangunan  prasarana,  penyediaan  fasilitas  umum,  serta  pembangunan  fasilitas  pariwisata  secara  terpadu  dan  berkesinambungan. 

Huruf c 

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan pemasaran, antara lain pemasaran  pariwisata bersama, terpadu, dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh pemangku  kepentingan  serta  pemasaran  yang  bertanggung  jawab  dalam  membangun  citra  Indonesia  sebagai destinasi pariwisata yang berdaya saing. 

Huruf d 

Dalam  ketentuan  ini  yang  dimaksud  dengan  pembangunan  kelembagaan  kepariwisataan,  antara  lain  pengembangan  organisasi  Pemerintah,  Pemerintah  Daerah,  swasta,  dan  masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, regulasi, serta mekanisme operasional di  bidang kepariwisataan.” 

 

Uraian  pasal  7  beserta  penjelasannya  belum  memberikan  landasan  yang  tegas  tentang  bagaimana  dan  siapa  yang  bertanggungjawab  dalam  pemenuhan  kebutuhan  terhadap  hak‐hak  ekonomi masyarakat. Uraian tentang pembangunan kepariwisataan telah melupakan pembangunan  Masyarakat Lokal/Daerah sebagai unsur penting dalam pembangunan kepariwisataan. Pembangunan  kepariwisataan  lebih  terfokus  pada  pengembangan  industri  pariwisata,  namun  belum  menyentuh  pengembangan  masyarakat  sekitar  aktivitas  pariwisata  atau  masyarakat  yang  terkena  dampak  pariwisata.  Ketidakjelasan  ini  dapat  menimbulkan  tafsir  ataupun  pengabaian  terhadap  hak‐hak  ekonomi  masyarakat.  Pengabaian  terhadap  hak‐hak  ekonomi  masyarakat  dapat  menghambat  terwujudnya tercapainya TPB/SDGs.  

UU  Kepariwisataan  juga  mengatur  tentang  Kewajiban  Pemerintah  (Pusat  dan  Daerah),  Masyarakat, Wisatawan, dan Pengusaha. Kewajiban Pemerintah dalam Pasal 23 adalah: 

(a) menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan  kepada wisatawan; 

(b) menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya  kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi, dan memberikan kepastian hukum; 

(c) memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan  aset potensial yang belum tergali; dan 

(d) mengawasi  dan  mengendalikan  kegiatan  kepariwisataan  dalam  rangka  mencegah  dan  menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas. 

Huruf  d  pasal  23  telah  mewajibkan  pemerintah  untuk  mengendalikan  dampak  negatif  dari  kegiatan  kepariwisataan.  Apabila  dilihat  dari  fakta  di  atas  maka  disimpulkan  pemerintah  belum 

melaksanakan kewajibannya secara maksimal. Pasal ini membutuhkan peraturan operasionalnya yang  dapat  memberikan  landasan  atau  bentuk  pengendalian  dampak  kepariwisataan.  Ketidakjelasan  kewenangan, kelembagaan, dan prosedur pengendalian menjadi penyebab ketidakefektifan pasal 23  huruf  d  ini.      Dampak  sosial  dan  lingkungan  dari  kegiatan  kepariwisataan  haruslah  secara  tegas  dilaksanakan oleh pemerintah. Kebijakan daerah haruslah secara tegas memuat turunan dari norma  ini apabila ingin daerah mencapai tujuan TPB/SDGs. 

Selain  pengaturan  tentang  kewajiban,  UU  Kepariwisataan  juga  mengatur  tentang  kewenangan  pemerintah  baik  pusat,  daerah  provinsi  dan  kabupaten/kota.  Pemerintah  pusat  diantaranya berwenang untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat, yang sebenarnya menjadi  kewenangan  pemerintah  daerah,  sehingga  anggaran  pun  menjadi  dialokasikan  kepada  pemerintah  daerah,  dengan  pertimbangan  daerahlah  yang  lebih  mengetahui  karakter  sosial  masyarakatnya,  sehingga pemberdayaan yang dilakukan menjadi tepat arah dan tepat guna. 

 

4. Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Berdasarkan  UU  nomor  32  tahun  2004  tentang  Pemerintahan  Daerah  (UU  Pemda),  kewenangan pemerintah pusat terbatas pada:  a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. 

yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.  

Kewenangan  Pemerintahan  daerah  provinsi  merupakan  urusan  dalam  skala  provinsi  yang  diantaranya  meliputi:  a.  perencanaan  dan  pengendalian  pembangunan;  f.  penyelenggaraan  pendidikan  dan  alokasi  sumber  daya  manusia  potensial;  g.  penanggulangan  masalah  sosial  lintas  kabupaten/kota;  h.  pelayanan  bidang  ketenagakerjaan  lintas  kabupaten/kota;  i.  fasilitasi  pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota.  

Kewenangan  Pemerintah  kabupaten/kota  diantaranya  meliputi:  a.  perencanaan  dan  pengendalian pembangunan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah  sosial; h. 

pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 

Berdasarkan  UU  Pemda,  pemerintah  daerah  yang  berwenang  dalam  menanggulangi  dan  sekaligus memberdayakan masyarakat serta mengembangkan potensi. Hal ini berarti bertentangan  dengan  ketentuan  dalam  UU  Kepariwisataan  yang  memberikan  kewenangan  kepada  pemerintah  pusat untuk memberdayakan masyarakat. 

 

5. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat  Dan Pemerintahan Daerah 

Kemudian  dalam  UU  nomor  33  tahun  2004  tentang  Perimbangan  Keuangan  Antara  Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, Penerimaan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, 

Dana Perimbangan dan lain‐lain. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil yang diperoleh dari  Pajak dan pendapat dari Sumber Daya Alam. Bali sebagai daerah pariwisata, yang telah begitu besar  memberikan  devisa  kepada  pemerintah  pusat  kemudian  hanya  memperoleh  dana  bagi  hasil  dari  pajak, tidak dari hasil sumber daya alam karena pendapatan dari pariwisata. Hal ini dirasakan kurang  adil karena dari pendapatan Bali yang demikian besar masuk ke pusat hanya sedikit yang kemudian  dinikmati  oleh  masyarakat  Bali,  dan  ini  bisa  saja  berimbas  kepada  keterbatasan  kemampuan  pemerintah daerah untuk memperbaiki taraf hidup masyarakatnya. 

 

6. Peraturan  daerah  Bali  Nomor  6  tahun  2005  tentang  Rencana  Pembangunan  Jangka  Panjang  Daerah (RPJPD) Provinsi Bali Tahun 2005‐2025

Peraturan daerah Bali Nomor 6 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang  Daerah  (RPJPD)  Provinsi  Bali  Tahun  2005‐2025  (selanjutnya  “Perda  RPJPD  2005‐2025”)  dalam 

“Lampiran” Bab II tentang Kondisi Bali Saat Ini pada  angka 2.1.2. tentang Ekonomi huruf a, disebutkan:  

“…… pada sisi lain struktur perekonomian daerah Bali masih rentan terhadap berbagai gejolak  karena  bertumpu  pada  sektor  tersier  terutama  pariwisata  yang  memberikan  kontribusi  sebesar 64,48% terhadap pembentukan PDRB daerah Bali, namun sektor tersebut sangat peka  terhadap  berbagai  isu.  Keterpurukan  industri  kepariwisataan  Bali  akhir‐akhir  ini  juga  berdampak  langsung  pada  menurunnya  aktivitas  industri  kecil  dan  rumah  tangga,  karena  permintaan  akan  produk  ekspor  non  migas  dari  sektor  industri  kecil  dan  rumah  tangga  menurun,  demikian  pula  pada  sektor  pertanian  mengalami  kelesuan  dalam  pemasaran  produknya…...”20 

Uraian di atas menggambarkan bahwa penyusun Perda RPJPD 2005‐2025 mengkhawatirkan  struktur ekonomi Bali yang sangat bertumpu pada sektor tersier yaitu Pariwisata. Sedangkan sektor  ini  disebutkan  pula  sangat  rentan  terhadap/peka  terhadap  berbagai  isu,  diantaranya:  keamanan,  bencana alam, dan wabah penyakit. Keterpurukan sektor pariwisata telah berimbas pada turunnya  pertumbuhan di sektor lainnya, sehingga apabila sektor pariwisata terus menurun atau fluktuasinya  sangat tinggi maka sektor lainnyapun akan terpengaruh. 

Perda  RPJPD  2005‐2025  selanjutnya  dalam  sub  bab  2.1.4  huruf  b  tentang  Hukum  menyebutkan: 

“Dalam bidang hukum, penegakan supremasi hukum dan HAK Azasi Manusia (HAM) ternyata  sampai saat ini belum dapat diwujudkan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat Bali dan  bangsa  Indonesia.  Gagalnya  penegakan  supremasi  hukum  disebabkan  oleh  berbagai  faktor  meliputi substansi hukumnya, kualitas SDM penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat  serta sarana dan prasarana.”21 

      

20 Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)  Provinsi Bali Tahun 2005‐2025 

21 Ibid. 

Kondisi hukum dalam uraian penjelasan di atas hanya menyebutkan lemahnya  penegakan supremasi  hukum  dan  Hak  Azasi  Manusia  (HAM)  yang  diakibatkan  oleh  berbagai  faktor  meliputi  substansi  hukumnya, kualitas SDM penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat serta sarana dan prasarana. 

Tapi  tidak  menjelaskan  keterkaitan  antara  kondisi‐kondisi  sektor  lain  dengan  hukum  sebagaimana  fungsinya  sebagai  pengatur  dan  penjaga  ketertiban  di  masyarakat.  Contohnya  pada  pertumbuhan  ekonomi yang terfokus pada sektor pariwisata yang menyebabkan tidak stabilnya ekonomi Bali, tidak  dijelaskan  keterkaitannya  dengan  hukum  yang  ada  baik  hukum  nasional  maupun  daerah.  Hal  ini  menjelaskan belum adanya konsep hukum yang dapat mencegah ketidakstabilan ekonomi Bali atau  konsep  hukum  yang  dapat  mengarahkan  pembangunan  ekonomi  Bali  menjadi  berkelanjutan  atau  lebih stabil. 

Sasaran  pembangunan  Bali  menurut  Perda  RPJPD  2005‐2025  angka  4.1.4  tentang  Terwujudnya Masyarakat Bali yang Sejahtera22, disebutkan:  

“ 1. Pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa mencapai 8,2‐9,4% dan PDRB perkapita sebesar  US$  4.500,  dengan  asumsi  situasi  sosial‐politik  dan  ekonomi  internal  dan  eksternal  cukup  stabil,  penduduk  tahun  2025  sebanyak  4,03  juta,  kontribusi  pariwisata  mencapai  50%  dari  total PDRB, kontribusi pertanian mencapai 15%‐20%, total ekspor barang dan jasa mencapai  40‐50%, investasi mencapai 20‐25%.  

2. Terbangunnya struktur perekonomian yang lebih kokoh dengan bertumpu pada kontribusi  sektor primer sebesar 20%, sektor skunder sebesar 25% dan sektor tersier sebesar 55%.” 

Uraian bab di atas memunculkan adanya inkonsistensi pernyataan dengan bab sebelumnya. Bab‐bab  sebelumnya  mengkhawatirkan  rentannya  ekonomi  Bali  yang  disebabkan  oleh  bertumpunya  pada  sektor  tersier  (pariwisata)  yang  kemudian  haruslah  diperbaiki,  namun  kemudian  sasaran  pembangunan pada angka 4.1.4 kembali menyebutkan besarnya perhatian pada sektor tersier atau  pariwisata itu. Isu hukum yang muncul selain inkonsistensi pernyataan, juga bagaimana hukum dapat  memberikan  jalan  keluar  bagi  kerentanan  ekonomi  Bali  yang  terfokus  pada  pariwisata  tersebut. 

Apakah keterfokusan itu murni masalah ekonomi ataukah ada masalah hukum yang terjadi baik pada  saat pembentukan, pelaksanaan ataupun penegakan hukum.  

  Kebutuhan  sebuah  kebijakan  yang  konsisten  dan  tegas  dapat  menghindarkan  Bali  dari  kemandegan  ekonomi,  hal  ini  terjadi  karena  keterfokusan  pada  satu  bidang  ekonomi.  Penting  kebijakan Bali memberikan ruang yang seluas‐luasnya bagi berkembangnya seluruh bidang ekonomi  yang sesuai dengan karakteristik masyarakat, seperti pertanian dan nelayan dalam arti luas. Hal ini  sesuai dengan prinsip no one left behind dari SDGs. 

 

7. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor  2  Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali 

      

22 Ibid 

Konsideran Menimbang pada perda ini mencantumkan: 

“a.  bahwa kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia adalah landasan  utama  pembangunan  kepariwisataan  Bali,  yang  mampu  menggerakkan  potensi  kepariwisataan dalam  dinamika kehidupan lokal, nasional, dan global; 

b.  bahwa pembangunan kepariwisataan Bali bertujuan untuk mendorong pemerataan  kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat yang sebesar‐besarnya bagi kesejahteraan  masyarakat  sehingga  terwujud  cita‐cita  kepariwisataan  untuk  Bali  dan  bukan  Bali  untuk  kepariwisataan;” 

Uraian konsideran menimbang di atas memberikan dasar bahwa kepariwisataan Bali bersumber pada  kebudayaan  Bali  yang  sangat  akrab  dengan  alam  dan  spiritualitas/agama  Hindu.  Kemudian  kepariwisataan dimaksud hruslah dapat memberikan kontribusi yang maksimal kepada masyarakat  dan lingkungan Bali.  

  Pasal 1 Angka 14 perda ini memberikan pengertian:   

“Kepariwisataan  Budaya  Bali  adalah  kepariwisataan  Bali  yang  berlandaskan  kepada  Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai  potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya, sehingga  terwujud hubungan timbal‐balik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang  membuat  keduanya  berkembang  secara  sinergis,  harmonis  dan  berkelanjutan  untuk  dapat  memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan.” 

Kepariwisataan Bali haruslah dijiwai ajaran Agama Hindu yang sangat memperhatikan kebahagiaan  umat atau masyarakatnya baik di dunia maupun di akhirat. Falsafah Tri Hita Karana yang dimilki oleh  masyarakat  Bali  juga  mengatur  hubungan  antara  Manusia  dengan  Tuhannya,  manusia  dengan  manusia, dan manusia dengan lingkungan. Falsafah Tri Hita Karana sangatlah sesuai dengan Konsep  SDGs yang juga memperhatikan hubungan sosial dan lingkungan.  

Perda ini juga mengatur tentang asas‐asas penyelenggaraan kepariwisataan yaitu pada Pasal  2,  yang  diantaranya  adalah  Asas  keseimbangan,  kelestarian,  partisipatif,  berkelanjutan,  adil  dan  merata, yang juga sesuai dengan prinsip dan tujuan SDGs/TPB. 

Kepariwisataan Bali dalam pasal 3 diantaranya bertujuan untuk : meningkatkan pertumbuhan  ekonomi;  meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat;  menciptakan  kesempatan  berusaha; 

menciptakan  lapangan  kerja;  melestarikan  alam,  lingkungan,  dan  sumber  daya;  mempererat  persahabatan antarbangsa. Tujuan perda dalam pasal ini juga sesuai dengan tujuan dalam SDGs/TPB  yakni    Penghapusan  Kemiskinan;  Kesejahteraan;  Pertumbuhan  Ekonomi  &  Pekerjaan  Layak; 

Pelestarian & Pemanfaatan Berkelanjutan Ekosistem Laut; Pelestarian & Pemanfaatan Berkelanjutan 

PENUTUP 

Dokumen terkait