KAJIAN TERHADAP KEBIJAKAN KEPARIWISATAAN BUDAYA DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB)
ATAU SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGS) TAHUN 2030
OLEH:
IDA BAGUS ERWIN RANAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM UNUD DENPASAR
2018
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ... 1 KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN BALI DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB) ATAU SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGS) TAHUN 2030 ...
6 PENUTUP ... 28
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA BUKU
Ismail Nawawi, Public Policy, Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek, PMN, Surabaya, 2009.
Lars Aronsson, The Development of Sustainable Torism, Continuum, London and NewYork, tahun 2000.
N.K. Mardani, Daya Dukung Lingkungan Fisik Dalam Pengembangan Pariwisata Budaya Berkelanjutan Di Bali, 2006.
Oka A. Yati, Ekonomi Pariwiwsata Introduksi, Informasi, Dan Implementasi, Kompas, Penerbit Buku, Jakarta, Agustus 2008.
Pitana, I Gde. 2003 Dalam makalah Reinvention of Bali: Menata Bali Pasca Tragedi Menuju Pariwisata Berkualitas dan Berkelanjutan. Universitas Udayana. Denpasar
Rhona K.M. Smith ,Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008.
Rachel Dodds & Marion Joppe, CSR in the Tourism Industry? The Status of and Potential for Certification, Codes of Conduct and Guidelines, June, 2005.
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD 1945, Angkasa, Bandung, 1981.
JURNAL
Efith Brown Weiss, Our Rights and Obligations to Future Generation for the Environment, dalam American Journal of International Law (AJIL), Vol. 84, January 1990, No. 1, h. 198.
PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
Undang Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Ratifikasi GATS (General Agreement on Trade in Services)
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali
Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Bali Tahun 2005‐2025
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs) adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. TPB merupakan Komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan masyarakat mencakup 17 tujuan yaitu (1) Mengakhiri Kemiskinan; (2) Menghilangkan Kelaparan; (3) Hidup Sehat dan Sejahtera; (4) Pendidikan Berkualitas; (5) Kesetaraan Gender; (6) Air Bersih dan Sanitasi; (7) Energi Terjangkau dan Terbarukan; (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; (10) Mengurangi Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman Berkelanjutan); (12) Pola Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan; (13) Mengatasi Perubahan Iklim; (14) Sumber Daya Maritim Berkelanjutan; (15) Pengelolaan Ekosistem Terestrial Berkelanjutan; (16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Kukuh; (17) Kemitraan Pembangunan yang Berkelanjutan.
TPB merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari program Millenium Development Goals 2015 (MDGs) yang dirasakan masih terdapat kelemahan‐kelemahan sehingga tujuan belum tercapai.
Tujuan‐tujuan dalam TPB merupakan integrasi dari tiga (3) Dimensi Pembangunan Berkelanjutan yaitu: (1) Dimensi Ekonomi; (2) Dimensi Sosial; dan (3) Dimensi Lingkungan. Indonesia melalui pemerintahnya mendukung tujuan dan target TPB seperti yang disepakati oleh anggota Perserikatan Bangsa‐Bangsa (PBB) dalam Sidang Umum PBB pada tanggal 11 Agustus 2015 tentang Transforming Our World: The 2030 Agenda For Sustainable Development . Presiden berencana mengeluarkan Peraturan Presiden sebagai acuan dalam mensinergikan seluruh strategi dan pelaksanaan terwujudnya TPB bagi seluruh perangkat pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Bali sebagai salah satu propinsi di Indonesia wajib mempersiapkan dan menyesuaikan seluruh strategi pembangunannya demi terwujudnya TPB di Bali. Apalagi Bali sebagai daerah tujuan wisata yang selalu mendapat perhatian dari seluruh dunia, atau dapat pula dikatakan sebagai etalasenya Indonesia.
Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata internasional yang sangat terkenal di dunia.
Sektor kepariwisataan telah menjadi motor penggerak perekonomian dan pembangunan di Bali sejak tahun 1970‐an. Oleh karena itu kepariwisataan merupakan bagian yang sangat erat dan tidak dapat
dipisahkan lagi dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan di Bali. (Pitana, 2003)1. Pariwiwsata sebagai sumber devisa Bali telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sejak penguasaan oleh Belanda, Bali seolah dibuka lebar untuk kunjungan orang asing, Bali tidak saja kedatangan orang asing sebagai pelancong namun tak sedikit para pemerhati dan penekun budaya yang datang mencatat keunikan seni budaya Bali.
Para penekun budaya yang terdiri dari sastrawan, penulis dan pelukis, inilah keunikan Bali kian menyebar ke seluruh dunia internasional. Penyampain informasi melalui berbagai media oleh orang asing ternyata mampu menarik minat wisatawan untuk mengunjungi Bali, Kekaguman akan tanah Bali kemudian menggugah minat orang asing memberi gelar kepada Bali sebagai " The Island of Gods, The Island of Paradise, The Island of Thousand Temples, The Magic of The World, dan berbagai nama pujian lainnya yang bergema menyanjung Bali di dunia pariwisata.
Tahun 1930, di jantung kota Denpasar dibangun sebuah hotel untuk menampung kedatangan wisatawan ketika itu, Bali hotel yang sekarang bernama Inna Bali Hotel, sebuah bangunan bergaya arsitektur kolonial menjadi tonggak sejarah pariwisata Bali yang hingga kini bangunan tersebut masih berdiri kokoh. Tidak hanya menerima kunjungan wisatawan, kunjungan budaya duta kesenian bali dari desa Peliatan melakukan kunjungan budaya ke beberapa negara di kawasan Eropa dan Amerika.
Secara tidak langsung kunjungan tersebut sekaligus memperkenalkan keberadaan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang layak dikunjungi.
Kegiatan pariwisata yang mulai mekar ketika itu sempat terhenti akibat terjadinya perang Dunia II antara tahun 1942 ‐1945 yang kemudian disusul dengan makin sengitnya perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia termasuk perjuangan yang terjadi di Bali hingga tahun 1945. Pertengahan dasawarsa 50‐an pariwisata Bali mulai ditata kembali dan tahun 1963 dibangunlah Hotel Bali Beach yang sekarang bernama Inna Grand Bali Beach di pantai Sanur dengan bangunan berlantai 10.
Hotel ini merupakan satu‐satunya hunian wisata yang bertingkat di Bali saat itu. Sementara sarana akomodasi wisata lainnya yang berkembang kemudian hanyalah bangunan berlantai satu. Pada pertengahan tahun 1970 pemerintah daerah Bali mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengatur ketinggian bangunan maksimal 15 meter. Ketetapan ini ditentukan dengan mempertimbangkan faktor budaya dan tata ruang tradisional Bali sehingga tetap memiliki nilai ‐ nilai budaya yang mampu menjadi tumpuan sektor pariwisata.
1 Pitana, I Gde. 2003 Dalam makalah Reinvention of Bali: Menata Bali Pasca Tragedi Menuju Pariwisata Berkualitas dan Berkelanjutan. Universitas Udayana. Denpasar
Secara pasti sejak dioperasikannya Inna Grand Bali Beach pada November 1966, pembangunan sarana hunian wisata berkembang dengan pesat. Dari sisi kualitas, Sanur berkembang relatif lebih terencana karena berdampingan dengan Inna Grand Bali Beach Hotel sedangkan kawasan pantai Kuta berkembang secara alamiah bergerak mengikuti model akomodasi setempat. Model homestay dan mansion berkembang lebih dominan dibandingkan dengan model standar hotel. Sama halnya dengan kawasan Ubud di daerah Gianyar berkembang secara alamiah, tumbuh di rumah ‐ rumah penduduk yang tetap bertahan dengan nuansa pedesaannya.
Pembangunan sarana akomodasi wisata yang berkelas internasional akhirnya dimulai dengan pengembangan kawasan Nusa Dua menjadi resort wisata internasional. Dikelola oleh Bali Tourism Development Corporation, suata badan bentukan pemerintah, kawasan Nusa Dua dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata bertaraf internasional. Beberapa operator hotel masuk ke kawasan Nusa Dua sebagai investor. Pada akhirnya kawasan ini mampu mendongkrak perkembangan pariwisata Bali.
Masa‐masa berikutnya, sarana hunian wisata lalu tumbuh dengan sangat pesat di pusat akomodasi dan hunian wisata terutama di daerah Badung, Denpasar dan Gianyar. Kawasan pantai Kuta, Jimbaran dan Ungasan menjadi kawasan hunian wisata di Kabupaten Badung. Sanur dan pusat kota untuk kawasan Denpasar, Ubud, Kedewatan, Payangan dan Tegalalang menjadi pengembang akomodasi wisata di daerah Gianyar.
Untuk mengendalikan perkembangan yang amat pesat tersebut, pemerintah daerah Bali kemudian menetapkan 15 kawasan di Bali sebagai daerah akomodasi wisata berikut sarana penunjangnya seperti restoran dan pusat perbelanjaan. Hingga kini, Bali telah memiliki lebih dari 35.000 kamar hotel terdiri dari kelas Pondok Wisata, Melati hotel hingga berbintang lima. Sarana hotel
‐ hotel tersebut tampil dalam berbagai variasi bentuk mulai dari model rumah, standar hotel, villa, bungalow dan boutique hotel dengan harga yang bervariasi. Keanekaragam ini memberi nilai lebih bagi Bali karena menawarkan banyak pilihan kepada para pelancong.
Pariwisata sebagai sebuah industri dari kacamata ekonomi memberikan berbagai dampak posistif2, seperti:
1. Dapat menciptakan kesempatan berusaha. Wisatawan yang berdatangan ke Bali memerlukan pelayanan dalam memenuhi kebutuhan (need), keinginan (want), dan harapan (expectation) wisatawan yang terdiri berbagai kebangsaan dan tingkah laku.
2 Oka A. Yati, Ekonomi Pariwiwsata Introduksi, Informasi, Dan Implementasi, Kompas, Penerbit Buku, Jakarta, Agustus 2008, hal 20‐21.
2. Dapat meningkatkan kesempatan kerja (employment). Hotel yang berdiri di Bali baik dimiliki oleh warga asli Indonesia khususnya warga bali maupun milik warga asing pastinya membutuhkan tenaga kerja dengan berbagai bidang keahlian. Sebuah hotel dibangun dengan kamar sebanyak 400 kamar, paling sedikit diperlukan karyawan sebanyak 600 orang dengan ratio 1:15. Hal ini memberikan peluang terciptanya lapangan kerja di bidang pariwisata khususnya hotel.
3. Dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat, sebagai akibat multiplier effect yang terjadi dari pengeluaran wisatawan yang relatif cukup besar itu. Pernyataan ini masih dapat diperdebatkan, dengan dalih pemerataan tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat tumbuhnya investasi di suatu daerah. Namun pariwisata dalam hal ini dapat menjadi salah salah satu peningkatan pendapatan masyarakat, daerah dan negara.
4. Dapat meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah. Setiap wisatawan berbelanja selalu dikenakan pajak sebesar 10% sesuai peraturan pemerintah yang berlaku, dan atas penghasilannya penjual dikenakan pajak 15%. Pendapatan pemerintah melalui pajak ini juga memberikan konsekuensi tuntutan perbaikan terhadap fasilitas penunjang pariwisata yang menjadi kewajiban pemerintah. Fasilitas itu diantaranya jalan, listrik, air, keamanan dan sebagainya.
5. Dapat meningkatkan pendapatan nasional atau Gross Domestic Bruto (GDB).
6. Dapat mendorong peningkatan investasi dari sector industry pariwisata dan sektor lainnya.
7. Dapat memperkuat neraca pembayaran. Bila Neraca Pariwisata mengalami surplus, dengan sendirinya akan memperkuat neraca pembayaran Indonesia atau Daerah.
Industri pariwisata disamping memiliki potensi dan manfaat yang sangat tinggi bagi pembangunan kemakmuran rakyat dan pengembangan perekonomian bangsa, pariwisata juga mengandung potensi dampak yang mengancam dan membahayakan kelangsungan kehidupan suatu masyarakat. Dampak negatif ini dapat terjadi pada aspek ekonomi masyarakat itu sendiri, lingkungan hidup dan lingkungan sosial budaya.
Dampak negatif pariwisata terhadap ekonomi daerah dan nasional adalah sebagai berikut:
• Kebocoran pendapatan daerah atau negara yang berasal dari:
(a) impor peralatan dan material untuk konstruksi. Situasi ini terjadi pada pembangunan hotel‐
hotel di atas hotel berbintang tiga dan resort‐resort mewah.
(b) impor barang konsumsi, terutama sekali makanan dan minuman. Dengan alasan standar kesehatan dan selera wisatwan maka pihak penyedia akomodasi akan menyediakan barang konsumsi impor.
(c) repatriasi laba yang didapat oleh investor asing. Repatriasi laba merupakan insentif yang diberikan oleh pemerintah untuk menarik investasi asing.
(d) biaya promosi ke luar negeri. Promosi‐promosi pariwisata yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun pihak swasta sendiri dengan rombongan besar dengan tujuan negara‐
negara calon wisatawan, satu sisi menjadi kebutuhan namun disisi lain bentuk kebocoran devisa ke luar negeri.
• Pembiayaan lebih infrastruktur penunjang pariwisata, mengurangi pembiayan untuk pendidikan dan kesehatan
Pemerintah daerah terutama daeran kabupaten dan kota berlomba untuk merebut kue indah pariwisata dengan membangun infrastruktur penunjang pariwisata, agar investasi yang masuk semakin banyak secara kuantitas.
Infrastruktur di bangun hanya di wilayah‐wilayah yang nantinya menjadi destinasi wisata, namun daerah lain yang tidak menjadi destinasi wisata menjadi kurang diperhatikan. Anggaran yang dikeluarkan untuk infrastruktur inipun mengurangi anggaran yang dapat disalurkan kepada pendidikan dan kesehatan.
• Peningkatan harga pada kebutuhan hidup
Peningkatan harga kebutuhan hidup ini akan sangat terasa pada kawasan Kuta, Nusa Dua, dan Sanur. Bagi masyarakat yang memang bergerak di sektor pariwisata peningkatan harga ini tidak akan menimbulkan permasalahan yang berarti, karena merekapun berpenghasilan dengan standar mata uang asing yang nilainya lebih tinggi. Namun untuk mereka yang tidak bekerja atau tidak mendapatkan penghasilan bukan dari sektor pariwisata baik langsung maupun tidak langsung akan merasakan beratnya standar harga kebutuhan hidup yang begitu tinggi.
Disilah terjadi ketimpangan pendapatan yang semakin lama semakin tinggi, sehingga suatu saat akan menimbulkan kemiskinan‐kemiskinan baru yang muncul dari kesulitan sebagian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan standar harga yang tinggi sedangkan pendapatannya tidak ikut meningkat.
• Peminggiran sumber daya ekonomi lain di luar pariwisata
Berbagai sumber daya ekonomi asli masyarakat secara berangsur‐angsur terpinggirkan baik hal itu dilakukan secara sadar maupun tidak. Untuk pertanian sebagai penopang budaya agraris yang awalnya menjadi cirri masyarakat Bali, secara sadar maupun tidak telah kehilangan pendukungnya baik masyarakatnya maupun alamnya. Masyarakat berpindah dan mencari sumber daya ekonomi yang lebih cepat mendatangkan hasil dan dengan nilai yang lebih tinggi, serta dengan prestise
yang tinggi pula. Bertani bukanlah pilihan popular dibandingkan bekerja di sector pariwisata, walaupun kenyataannya cukup menjadi pelayan di sebuah hotel. Nelayan yang dulu menangkap ikan sekarang berubah menjadi nelayan yang menangkap wisatawan, untuk menyelam ataupun hanya sekedar menikmati indahnya laut.
Bagi masyarakat petani begitu sulit untuk menjalankan profesi aslinya karena beberapa masalah seperti: irigasi yang tidak lancer karena air air yang mengalir debitnya semakin sedikit akibat pembangunan akomodasi wisata di hulu. Selain itu harga pupuk yang begitu mahal dan ditambah dengan kelangkaannya. Pajak tanah pertanian yang meningkat seiring dengan meningkatnya nilai jual objek pajak yang meningkat begitu cepat akibat nilai ekonomisnya meningkat tajam yang disebabkan oleh pariwisata. Kemudian kondisi tadi ditambah dengan rendahnya harga hasil jual pertanian, yang tidak cukup untuk membuat petani sejahtera, hanya cukup untuk ongkos operasional saja. Kondisi‐kondisi tadi menyebabkan petani menjadi patah arang untuk melanjutkan profesinya, sehingga mereka memilih untuk menjual lahan pertaniannya kepada orang lain. Dan akhirnya merekapun menambah daftar pengangguran yang ada.
• Pembatasan terhadap hak ekonomi masyarakat pada kawasan pariwisata
Masyarakat, sebagian memperoleh dampak positif dalam batasan peningkatan kesejahteraan, namun di bagian lainnya menerima dampak negatif, terutama akibat masuknya investasi berskala besar di daerah mereka. Dalam kawasan‐kawasan tertentu, masyarakat memiliki keterbatasan dalam memperoleh atau menikmati hak‐hak ekonomi mereka.
Kawasan resort terpadu yang dikembangkan oleh PT Bali Pecatu Graha (BPG), seluas 400 ha berlokasi di pesisir barat Semenanjung Bukit Badung, Pecatu Indah Resort adalah resort terpadu yang terluas yang pernah ada di Indonesia. Dikawasan tersebut akan dibangun berbagai fasilitas seperti Main gate, Residential/Condominium area, New Kuta Commercial area (office, business, convention center), New Kuta Championship Golf Course, International Hospital Area, International school area, Entertainment area, Sports area. Tanah yang dipergunakan adalah tanah Negara yang telah dimanafaatkan oleh petani penggarap sejak lama. Berdasarkan perjanjian tukar guling yang dilaksanakan antara Pemerintah Propinsi Bali dan PT. Bali Pecatu Graha (BPG) dengan perbandingan 1 berbanding 1,5 (1:1,5), tanah tersebut kemudian sepenuhnya menjadi hak pengelolaan dari PT. BPG.
Pembangun lapangan golf dan vila di Pecatu terus dilakukan, baik pembuatan lapangan golf 17 hole, maupun penataan lokasi maupun pembangunan vila. Pemandangan di Pecatu sangat indah terutama bila kita berdiri di Puncak Nuri, pemandangan lepas pantainya sangat menakjubkan.
Kota Denpasar tampak di kejauhan dengan hamparan bangunannya yang padat. Apabila terus
menyusur ke bawah, kita akan berpapasan dengan pantai Dreamland, surga bagi para peselancar.
Dengan berbagai kelebihan itu, kawasan ini memang menjanjikan sebagai tujuan wisata. Namun di balik semua itu, terekam kegelisahan masyarakat yang selama ini mengelola warung dan penginapan sederhana di pantai Dreamland, dengan alasan para pengelola warung dan penginapan sederhana di sana akan direlokasi (digusur).
Saat ini terdapat sekitar 40 warung dan dua penginapan yang dikelola warga lokal di Dreamland.
Letaknya di suatu cekungan yang lebarnya kira‐kira 400 meter. Penginapannya begitu sederhana, sepadan dengan tarifnya antara Rp 50.000 ‐ Rp 200.000. Kendati demikian, kesederhanaan itu justru menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis asing, khususnya pencinta selancar.
Pembatasan hak‐hak ekonomi masyarakat dapat terjadi secara langsung dan seketika ataupun dapat secara tidak langsung dan bertahap. Pembatasan hak ekonomi secara langsung dan seketika dapat berupa penggusuran atau pemindahan lokasi tempat mencari nafkah masyarakat, ataupun penentuan jenis pekerjaan yang sebelumnya tidak mereka jalani. Pembatasan hak ekonomi secara tidak langsung dan bertahap dapat berupa peningkatan nilai jual objek pajak di kawasan pariwisata yang menyebabkan penghasilan masyarakat tidak dapat memenuhi atau membayar pajak, hal ini berimbas terhadap keharusan bagi masyarakat untuk mengalihkan tanahnya kepada pihak lain, dan atau mengalihkan pekerjaan yang sebelumnya telah di jalani kepada pekerjaan lain.
• Ketergantungan ekonomi penduduk lokal terhadap pariwisata
Dengan beralihnya pusat perhatian sebagian masyarakat ke arah pariwisata, paradigma
”Pariwisata untuk Bali berubah menjadi Bali untuk Pariwisata”. Hal ini membuat Bali sebagai daerah tujuan wisata menjadi sangat tergantung kepada pariwisata. Seluruh hasil budaya dan ekonomi ditujukan untuk pariwisata. Keterfokusan pemerintah dan masyarakat terhadap pariwisata menyebabkan ketergantungan terhadap ”kue manis dan lezat namun banyak mengandung kolesterol” ini membuat banyak orang menjadi ”pecandunya”.
Dampak negatif pariwiwsata terhadap lingkungan pada dasarnya adalah beralihnya fungsi pelestarian menjadi fungsi industri pariwisata seperti: kerusakan dan menurunnya fungsi‐fungsi ekologis lingkungan sebagai akibat pemanfaatan lingkungan, seperti: (a) transformasi lahan pertanian menjadi lokasi usaha dan perumahan; (b) transformasi kawasan hutan bakau menjadi sentra kegiatan ekonomi; (c) kemerosotan daya dukung dan ketersediaan air, baik air minum, konsumsi, maupun irigasi; (d) kemerosotan daya dukung dan daya fungsi hutan dan sungai sungai; (e) kerusakan ekologi
pantai (coastal zone), termasuk kerusakan sempadan pantai dan hutan bakau; (f) kerusakan struktur fisik tanah pada wilayah‐wilayah tertentu sebagai akibat penambangan bahan galian C.3
Sedangkan dampak terhadap sosial budaya adalah kecenderungan bagi suatu daerah tujuan wisata untuk mengekploitasi segala potensi yang ada untuk menarik keuntungan dari wisatawan.
Dalam praktiknya sering dijumpai kejadian‐kejadian sebagai berikut:
a) Komersialisasi seni‐budaya. Contoh tari Ramayana yang biasa dipertunjukan dua atau tiga malam, demi dollar wisatawan dapat dilihat dalam waktu hanya satu jam. Lahirlah Tari Ramayana yang terpenggal‐penggal (Tari Kecak).
b) Terjadi pemalsuan benda‐benda budaya, seperti lukisan dan keramik.
c) Terjadi demonstration effect, kepribadian generasi muda yang meninggalkan budaya luhurnya dan berpindah kepada budaya yang terlihat bagus namun merusak. Cara‐cara berpakaian dan gaya hidup yang menyukai “dugem” telah menjadi sebuah kebutuhan ritual yang menyaingi ritual agamanya.
d) Komersialisasi upacara adat agama. Perkawinan warga Negara asing dengan agama berbeda namun menggunakan tradisi perkawinan adat agama setempat.
Fakta di atas merupakan contoh kecil dari dampak negatif perkembangan industri pariwisata di Bali. Kawasan pariwisata dengan luasan dan hak pengelolaan yang luas, akan terasa sangat membatasi hak‐hak ekonomi masyarakat yang pernah tinggal atau bekerja/ mencari nafkah di daerah tersebut. Keterbatasan hak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat disamping merugikan masyarakat secara langsung, juga dapat membawa dampak negatif pada keamanan, kenyamanan dan keberlangsungan kawasan‐kawasan pariwisata bersangkutan. Masyarakat yang tidak puas dapat melakukan hal‐hal yang kontra produktif terhadap wisatawan dan kawasan pariwisata di lingkungannya.
Bali dari tampilan wajah pariwisatanya, seakan meyakinkan pengunjung bahwa provinsi ini tidak lagi tersentuh kemiskinan. Namun pembangunan kepariwisataan telah menyembunyikan kenyataan bahwa sebagian masyarakat Bali masih dalam kategori miskin. Kasus kemiskinan ini terjadi diakibatkan oleh dampak pembangunan kepariwisataan itu sendiri.
Dampak negatif kepariwisataan terhadap Bali apabila tidak diatur secara benar akan menjadi penghambat pembangunan kepariwisataan yang diharapkan memberikan peningkatan kesejahteraan
3 N.K. Mardani, Daya Dukung Lingkungan Fisik Dalam Pengembangan Pariwisata Budaya Berkelanjutan Di Bali, 2006, h. 65‐80.
bagi masyarakat, dengan kata lain Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tahun 2030 menjadi tidak tercapai.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas diperoleh masalah penting untuk dibahas yaitu: Bagaimana Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan Bali Dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) Atau Sustainable Development Goals (SDGs) Tahun 2030 ?
KERANGKA TEORI
1. Teori Perlindungan Hukum (Salmond dan J.P.Fitzgerald)
Penelitian hukum ini menggunakan Teori Perlindungan Hukum (TPH) yang dibangun oleh Salmond dan J.P. Fitzgerald.
Fitzgerald saat menjelaskan TPH Salmond, menguraikan bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat, dengan cara membatasi berbagai kepentingan tersebut, karena dalam suatu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak.4
Lebih lanjut, Fitzgerald menjelaskan bahwa hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya, untuk bertindak dalam rangka kepentingannya, yang disebut sebagai hak.
Jadi, tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.5
Kepentingan masyarakat, menurut Salmond seperti dijelaskan Fitzgerald, merupakan sasaran dari hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, tetapi juga karena adanya vinculum juris, yaitu pengakuan terhadap hak pihak‐pihak yang terikat dalam hubungan kewajiban.6 Ciri‐ciri yang melekat pada hak menurut hukum, menurut TPH Salmond seperti ditegaskan Fitzgerald, yaitu:
4 J.P. Fitzgerald. 1966. Salmond on Jurisprudence, Sweet & Mazwell, London, dikutip dari Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53
5Ibid.
6Ibid., hal. 54.
a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari hak;
b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif;
c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari hak;
d. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut sebagai objek dari hak;
e. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu kepada pemiliknya.7
Keperluan hukum, menurut Salmond sebagaimana dijelaskan Fitzgerald, adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu dilindungi dan diatur.8 Hukum, menurut Paton, tidak hanya melindungi hak dan kepentingan, melainkan juga kehendak. Jadi, bukan hanya kepentingan orang itu yang dilindungi oleh hukum, melainkan juga kehendak orang tersebut.9
2. Teori Hak‐hak Kodrati (Hak Asasi Manusia) (John Locke)
Locke mengajukan sebuah postulat bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemlikian, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.10 Melalui suatu ’kontrak sosial’, perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak‐hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak‐hak tersebut.11
3. Teori Keadilan (John Rawls)
Teori Keadilan (TK) yang dikembangkan oleh John Rawls memahami bahwa harus memberikan keuntungan kepada kelompok masyarakat yang ”paling kurang beruntung”, sesuai dengan prinsip
7Ibid., hal. 55.
8Ibid., hal. 69.
9G.W. Paton. 1969. A Text Book of Jurisprudence, Oxford University Press, Oxford, dikutip dari Satjipto Rahardjo.
Ibid., hal. 54‐55.
10 John Locke berjudul “The Second Treaties of Civil Government and a Letter Concerning Toleration”, seperti dikutip oleh Rhona K.M. Smith dan kawan‐kawan dalam bukunya “Hukum Hak Asasi Manusia”, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008, hal 12.
11 Ibid.
keadilan, yaitu: pertama, setiap individu (pribadi) mempunyai hak atas kebebasan dasar yang sama besarnya dengan kebebasan orang lain, sehingga keuntungan masyarakat dibagi rata di antara anggota masyarakat yang sama; kedua, jika terdapat situasi ketidaksamaan, maka hukum harus memberikan keuntungan kepada golongan masyarakat yang paling kurang beruntung, sehingga terwujud keseimbangan sosial ekonomi dalam masyarakat.
4. Teori Negara Kesejahteraan
Kewajiban negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Tujuan pokok negara kesejahteraan adalah: (1) mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik; (2) menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata; (3) mengurangi kemiskinan; (4) menyediakan asuransi sosial bagi masyarakat miskin; (5) menyediakan subsidi untuk layanan sosial bagi ”masyarakat kurang beruntung”; (6) memberikan proteksi sosial bagi tiap warga negara.
Negara kesejahteraan pada dasarnya, mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi dan mengelola perekonomian yang didalamnya mencakup tanggungjawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkatan tertentu bagi warga negaranya.
5. Teori hubungan antar generasi
Teori ini kemudian berkembang kedalam bentuk teori tanggungjawab antar generasi (intergeneration responsibility theory) atau keadilan antar generasi (intergenerational equity) mendapatkan akarnya yang paling dalam di dalam hukum internasional. Pembukaan Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia dimulai dengan kalimat:
“Whreas recognition of the inhernt dignity and of the equal and inalienable rights of all members of human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world.”
Kalimat tersebut mengandung pesan bahwa setiap generasi manusia pada setiap penggalan zaman merupakan bagian dari satu kesatuan generasi umat manusia sebagai keseluruhan. Mereka secara perseorangan maupun kelompok memilik hak yang sama, permanen, dan tak terhapuskan (inalienable rights) sebagai dasar dari kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia.12
Teori tersebut didasarkan pada asumsi bahwa generasi masa kini mengemban kewajiban terhadap generasi yang belum lahir untuk melindungi keragaman hayati dan kualitas sumber‐
12 Efith Brown Weiss, Our Rights and Obligations to Future Generation for the Environment, dalam American Journal of International Law (AJIL), Vol. 84, January 1990, No. 1, h. 198.
sumber daya alam planet bumi. Profesor Weiss menyusun teorinya dalam rumusan sebagai berikut:
a. kewajiban setiap generasi untuk melindungi keragaman sumber daya alam, ekonomi, lingkungan dan budaya, agar tidak mengurangi hak dan akses generasi berikutnya terhadap keragaman tersebut, mencakup: hak atas pilihan terhadap keragaman tersebut untuk mengatasi masalah yang dihadapinya, setara dengan kemudahan yang dinikmati oleh generasi sebelumnya (conservation of option);
b. setiap generasi wajib memelihara kualitas sumberdaya alam, ekonomi, lingkungan dan budaya agar tidak memburuk dan dapat diwariskan dalam kondisi sebaik ketika sumber daya tersebut diwarisi dari generasi sebelumnya (conservation of quality);
c. setiap generasi wajib menjamin hak atas kesempatan untuk menikmati dan turut mengembangkan sumber daya alam, ekonomi, lingkungan dan budayana, dan kualitas hak demikian itu harus dijaga dan dijamin bagi kepentingan generasi berikutnya (conservation of access).13
Teori tersebut memberi landasan teoritis bagi konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk perdagangan jasa pariwisata. Bahwa perdagangan jasa pariwisata sebagai media kehidupan ekonomi masyarakat dan aset‐aset ekonomi pariwisata sebagai sumber kehidupan masyarakat harus dipelihara demi kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan, diwarikan kepada generasi masa depan sebaik kualitas ketika sumber daya tersebut diwarisi oleh generasi masa kini dari generasi sebelumnya, dengan menyediakan akses yang sama bagi generasi masa depan.
KERANGKA KONSEP
1. Nilai‐nilai dalam Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Perumusan Pancasila dengan kelima silanya terdapat dalam pembukaan UUD NRI 1945. Cita‐cita sosial yang terkandung dalam Falsafah Pancasila, kemana perkembangan ekonomi Indonesia diarahkan, dan di atas mana sistemnya diletakkan, tentunya dapat dikaji dari rumusan yang diturunkan dari dalam batang tubuh UUD NRI 1945 sebagai suatu keseluruhan yang utuh.
Ciri‐ciri dasar Perekonomian menurut Pancasila dan UUD NRI 1945 adalah:14 (a) Demokrasi Ekonomi
13 Op.cit. Ida Bagus Wyasa Putra.
14 Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD 1945, Angkasa, Bandung, 1981, hal.43‐59.
Ciri‐ciri positif demokrasi ekonomi:
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan
- Cabang‐cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat
- Warganegara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan dan penghidupan yang layak - Hak milik perserorangan diakui dan pemanfaataannya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan masyarakat
- Potensi, insiatif dan daya kreasi setiap warganegara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas‐batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
(b) Kesejahteraan Sosial
Cita‐cita akan kesejahteraan sosial hidup kuat dalam dasar pikiran‐pikiran yang terkandung dalam UUDNRI 1945 yang nampak dalam Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan, yang pada pasal 33 dan 34 memuat tentang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan Sosial dibangun melalui asasnya yaitu Kekeluargaan. Kekeluargaan menekankan kenyataan bahwa nilai‐nilai kegotongroyongan, tolong menolong, kewajiban timbal balik, tanggungan bersama yang mempunyai arti penting yang asasi dan makna kesetiakawanan bagi manusia. Arti orang lain adalah sesama, anggota sekawan, dan anggota sekeluarga keluarga besar, yaitu masyarakat yang tersusun berdasarkan kepentingan dan tanggungjawab.
Peranan pemerintah dalam sistem perkonomian Pancasila dan UUD NRI 1945 tetap diperlukan. Asas kekeluargaan menolak konsep liberal atas perekonomian dan kehidupan ekonomi di mana negara dianggap sebagai polisi yang pasif, yang tugasnya menjaga garis batas bagi daerah di mana setiap individu boleh mengejar kepentingannya sendiri dengan kebebasan yang sebesar‐besarnya. Asas kekeluargaan juga menolak kekuasaan mutlak, di bawah mana personal individu dihimpit dan dilayukan.
(c) Kepribadian Nasional
Salah satu segi dari pembangunan masyarakat adalah pengembangan unsur‐unsur asli, khususnya yang telah diakui sebagai kebenaran etis dan politis dalam Pancasila dan UUD NRI 1945. Beberapa unsur asli yang dimaksudkan adalah kekeluargaan, kegotongroyongan, musyawarah mufakat, toleransi, pengutamaan kepentingan umum. Unsur‐unsur asli inilah yang dinamakan kepribadian nasional.
2. Konsep Perlindungan Hukum
Mengacu pada pendapat Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Sunaryati Hartono, berpendapat bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik, untuk memperoleh keadilan sosial.
Sedangkan Teori Perlindungan Hukum Hadjon memahami perlindungan hukum sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.
3. Konsep Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata berkelanjutan diberikan pengertian:
“as development that meets the needs of present and host regions while protecting and enhancing opportunities for the future. Sustainable tourism, in addition to the criteria of sustainable development requires a holistic, integrated perspective that takes into account all the industries and resources upon which tourism relies.” 15
Pariwisata berkelanjutan (Sustainable tourism) seperti yang tercantum dalam ”Charter for Sustainable Tourism” dan “The Sustanable Tourism Plan of Action”: ”Tourism develoment shall be based on criteria of sustainability, which means that it must be ecologically bearable in the long term, economically viable, as well as ethicaly and socially equitable for the local communities”. 16
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian hukum normatif atau dogmatika hukum.
Penelitian Hukum Normatif
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) pendekatan Konseptual (Conceptual Approach); (2) Pendekatan Perundang‐undangan (Statute Approach);
Jenis dan Sumber Hukum Penelitian Hukum Normatif
15 Finnish Tourism Board, seperti dikutip oleh Lars Aronsson dalam bukunya The Development of Sustainable Torism, Continuum, London and NewYork, tahun 2000, hal 42.
16 Rachel Dodds & Marion Joppe, CSR in the Tourism Industry? The Status of and Potential for Certification, Codes of Conduct and Guidelines, June, 2005
Penelitian hukum normatif menggunakan menggunakan dua jenis bahan hukum, baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Bahan hukum primer (nasional) yang akan digunakan mencakup: undang‐undang; peraturan atau keputusan‐keputusan pemerintah; kebijakan atau keputusan administrative yang dibuat oleh lembaga‐lembaga administrative. Bahan hukum primer internasional: Piagam (Charter) dan Konvensi (Convention).
Bahan hukum sekunder nasional yang akan digunakan mencakup: Literature wajib; risalah‐risalah hukum; terbitan‐terbitan hukum periodik yang digunakan sebagai acuan bagi praktisi, pengajar, dan mahasiswa.
KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN BALI DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB)
ATAU SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGS) TAHUN 2030
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang berjumlah 17 yang terdiri dari: (1) Mengakhiri Kemiskinan; (2) Menghilangkan Kelaparan; (3) Hidup Sehat dan Sejahtera; (4) Pendidikan Berkualitas;
(5) Kesetaraan Gender; (6) Air Bersih dan Sanitasi; (7) Energi Terjangkau dan Terbarukan; (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; (10) Mengurangi Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman Berkelanjutan); (12) Pola Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan; (13) Mengatasi Perubahan Iklim; (14) Sumber Daya Maritim Berkelanjutan; (15) Pengelolaan Ekosistem Terestrial Berkelanjutan; (16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Kukuh; (17) Kemitraan Pembangunan yang Berkelanjutan, dalam pembahasan berikut tidaklah diuraikan satu demi satu namun secara umum. Hal ini karena ke 17 tujuan tersebut sesuai deklarasi PBB ini saling terintegrasi satu dengan yang lainnya. Tujuan‐tujuan dalam TPB 2030 pada dasarnya memperhatikan kebutuhan Masyarakat (People) dan Bumi/Lingkungan (Planet) dan diuraikan menjadi lima dasar 5 P, yaitu: People, Planet, Prosperity, Peace dan Partnership. Pembahasan berikut tentang kebijakan kepariwisataan dalam mewujudkan TPB/SDGs 2030 dalam tiga model Kajian yakni Kajian Teoritik, Kajian Konseptual dan Kajian Peraturan Perundang‐undangan, tidak diuraikan secara satu per satu Tujuan namun secara diuraiakan secara Umum, karena saling berhubungan atau terintegrasi.
KAJIAN TEORITIK
1. Teori Perlindungan Hukum (Salmond dan J.P.Fitzgerald)
Berdasarkan teori ini kebijakan pembangunan haruslah mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat Bali yaitu masyarakat yang secara langsung bergerak di sektor pariwisata dan masyarakat yang secara tidak langsung memperoleh dampak dari pariwisata. Kebijakan tersebut haruslah dapat membatasi berbagai kepentingan yang dapat saling bersinergi atau saling bertentangan. Kepentingan seorang pengusaha hotel yang berada disekitar tanah persawahan ataupun ladang milik penduduk haruslah disinergikan atau dikoordinasikan dengan petani atau pemilik sawah agar mereka tidak saling merugikan.
2. Teori Hak‐hak Kodrati (Hak Asasi Manusia) (John Locke)
Teori hak asasi manusia memberikan hak bagi seluruh individu dalam hal ini anggota masyarakat Bali untuk menjalankan hak‐haknya dalam mendapatkan kehidupan yang layak, mendapatkan pekerjaan yang layak dan kesejahteraan. Demikian pula pengusaha yang telah memenuhi seluruh persyaratan dalam pendirian perusahaannya, haruslah mendapatkan hak untuk menjalankan
bisnisnya sesuai aturan, tanpa boleh ada yang menghalang‐halangi. Namun setiap kebebasan yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat dan pengusaha haruslah tetap dibatasi sesuai persyaratan sebagai bagian dari kontrak sosialnya kepada pemerintah.
3. Teori Keadilan (John Rawls)
Teori Keadilan (TK) yang dikembangkan oleh John Rawls memahami bahwa harus memberikan keuntungan kepada kelompok masyarakat yang ”paling kurang beruntung”, sesuai dengan prinsip keadilan, yaitu:
pertama, setiap individu (pribadi) mempunyai hak atas kebebasan dasar yang sama besarnya dengan kebebasan orang lain, sehingga keuntungan masyarakat dibagi rata di antara anggota masyarakat yang sama; Pajak yang dibayarkan oleh pengusaha bidang pariwisata haruslah didistribusikan secara adil kepada masyarakat dilingkungan tempat pariwisata itu berdiri sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun disisi lain pengusaha juga haruslah mendapatkan faedah dari pajak ataupun retribusi yang telah mereka bayarkan dengan wujud infrastruktur ataupu lingkungan yang aman dan nyaman.
kedua, jika terdapat situasi ketidaksamaan, maka hukum harus memberikan keuntungan kepada golongan masyarakat yang paling kurang beruntung, sehingga terwujud keseimbangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Masyarakat yang dinyatakan kurang beruntungpun dapat memperoleh manfaat dari pariwisata baik melalui pendistribusian pajak maupun program porgram sukarela dari para pengusaha pariwisata.
4. Teori Negara Kesejahteraan
Kewajiban negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Tujuan pokok negara kesejahteraan adalah:
(1) mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik;
seluruh potensi ekonomi yang dimiliki setiap destinasi wisata tidak boleh hanya dimanfaatkan oleh pengusaha saja, namun juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai kontribusi dan fungsinya. Pantai di bali berfungsi selain untuk tempat rekreasi, mencari nafkah tetapi memiliki fungsi penting dalam upacara keagamaan. Dengan semikian pemerintah harus membuat kebijakan atau aturan hukum yang tetap memberikan hak kepada masyarakat dalam memanfaatkan pantai sebagai fungsi sosial dan ekonomi selain pengusaha.
(2) menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata; distribusi kekayaan haruslah sesuai proporisinya masing‐masing.
(3) mengurangi kemiskinan; pariwisata haruslah dimanfaatkan dan diatur demi pengentasan kemiskinan, namun tidak melupakan kelestarian lingkungan.
(4) menyediakan asuransi sosial bagi masyarakat miskin; kebijakan asuransi bagi warga negara tidak hanya menjadi kewajiban daerah namun juga pusat. Asuransi sebagai bentuk tanggungjawab pemerintah haruslah dilaksanakan agar masyarakat miskin tidak semakin miskin dan menderita, sehingga nantinya juga akan menjadi beban masyarakat kembali.
(5) menyediakan subsidi untuk layanan sosial bagi ”masyarakat kurang beruntung”; subsidi silang bagi golongan masyarakat ini dapat melalui layanan kesehatan dan pendidikan.
(6) memberikan proteksi sosial bagi tiap warga negara.
Negara kesejahteraan pada dasarnya, mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi dan mengelola perekonomian yang didalamnya mencakup tanggungjawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkatan tertentu bagi warga negaranya.
5. Teori Hubungan Antar Generasi
Berdasarkan rumus Profesor Weiss dalam teori ini, sebagai berikut:
a. Pemerintah berkewajiban membuat kebijakan yang melindungi hak dan akses generasi berikutnya terhadap keragaman tersebut, mencakup: hak atas pilihan terhadap keragaman tersebut untuk mengatasi masalah yang dihadapinya, setara dengan kemudahan yang dinikmati oleh generasi sebelumnya (conservation of option) setiap generasi dengan melindungi keragaman sumber daya alam, ekonomi, lingkungan dan budaya;
b. Pemerintah melalui kebijakan di bidang kepariwisataan wajib memelihara kualitas sumberdaya alam, ekonomi, lingkungan dan budaya agar tidak memburuk dan dapat diwariskan dalam kondisi sebaik ketika sumber daya tersebut diwarisi dari generasi sebelumnya (conservation of quality);
c. Pemerintah melalui kebijakan di bidang kepariwisataan wajib menjamin hak atas kesempatan untuk menikmati dan turut mengembangkan sumber daya alam, ekonomi, lingkungan dan budayana, dan kualitas hak demikian itu harus dijaga dan dijamin bagi kepentingan generasi berikutnya (conservation of access).
KAJIAN KONSEPTUAL 1. Konsep Kebijakan
Jones mendefinisikan Kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. 17
Jadi kebijakan kepariwisataan memiliki karakteristik konsistensi dan pengulangan tingkah laku dan dipatuhi.
2. Nilai‐nilai dalam Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Kebijakan kepariwisataan sebagai bagian dari kebijakan ekonomi haruslah berlandaskan pada Pancasila sebagai Dasar Negara dan Sumber dari segala sumber hukum yang dianut di Indonesia.
Ciri‐ciri dasar Perekonomian menurut Pancasila dan UUD NRI 1945 adalah:18 1. Demokrasi Ekonomi
Pengembangan sektor pariwisata haruslah berpedoman pada fungsi sosial, bukan seperti negara‐negara yang berpaham liberalisme atau kapitalisme, namun tidak juga seperti negara‐
negara sosialis. Pancasila memberikan manfaat yang sesuai dengan fungsi, potensi dan kontribusinya.
2. Kesejahteraan Sosial
Peranan pemerintah dalam sistem perkonomian Pancasila dan UUD NRI 1945 tetap diperlukan. Asas kekeluargaan menolak konsep liberal atas perekonomian dan kehidupan ekonomi di mana negara dianggap sebagai polisi yang pasif, yang tugasnya menjaga garis batas bagi daerah di mana setiap individu boleh mengejar kepentingannya sendiri dengan kebebasan yang sebesar‐besarnya. Asas kekeluargaan juga menolak kekuasaan mutlak, di bawah mana personal individu dihimpit dan dilayukan.
3. Kepribadian Nasional
Salah satu segi dari pembangunan masyarakat adalah pengembangan unsur‐unsur asli, khususnya yang telah diakui sebagai kebenaran etis dan politis dalam Pancasila dan UUD NRI 1945. Beberapa unsur asli yang dimaksudkan adalah kekeluargaan, kegotongroyongan,
17 Ismail Nawawi, Public Policy, Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek, PMN, Surabaya, 2009, hal. 6.
18 Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD 1945, Angkasa, Bandung, 1981, hal.43‐59.
musyawarah mufakat, toleransi, pengutamaan kepentingan umum. Unsur‐unsur asli inilah yang dinamakan kepribadian nasional.
3. Konsep Perlindungan Hukum
Mengacu pada pendapat Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Kebijakan kepariwisataan tidak hanya harus adapatif dan fleksibel pada perkembangan bidang ini di masa sekarang namun juga perkembangan kepariwisataan di masa yang akan datang.
Sunaryati Hartono, berpendapat bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik, untuk memperoleh keadilan sosial. Kebijakan haruslah melindungi bagian dari masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam melindungi dirinya sendiri.
Masyarakat seperti ini haruslah diberikan perhatian dalam kebijakan pemerintah di bidang kepariwisataan.
Sedangkan Teori Perlindungan Hukum Hadjon memahami perlindungan hukum sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Kebijakan kepariwisataan selain haruslah dapat melindungi kepentingan secara prefentif namun juga harus dapat ditegakkan sesuai aturan, sehingga terjadi ketertiban di dalam masyarakat.
4. Konsep Pariwisata Berkelanjutan
Konsep Pariwisata Berkelanjutan haruslah merupakan bagian dari Pembangunan Berkelanjutan.
Hubungan antara Ekonomi, Sosial dan Lingkungan menjadi dasar pijakan dalam membuat seluruh kebijakan, termasuk kebijakan di bidang kepariwisataan. Pariwisata tidaklah boleh diartikan sempit, yakni ekonomi hanya memperhatikan kelangsungan bisnis pariwisatanya saja, namun kepentingan yang lebih besar dari bisnis bidang ini harus juga berkelanjutan. Pengertian sempit inilah yag seringkali berimbas pada kebijakan yang salah dan menimbulkan terganggunya atau tidak tercapainya pariwisata berkelanjutan dan secara otomatis pembangunan berkelanjutan pun akan tidak tercapai. Ekonomi, Sosial dan Lingkungan yang kemudian diuraikan menjadi 5 P, dan kemudian diuraikan lebih lanjut menjadi 17 tujuan dalam TPB haruslah berjalan secara universal, terintegrasi dan tanpa harus ada yang tertinggal atau harus mencapai tujuan secara bersama‐
sama.
KAJIAN PERATURAN PERUNDANG‐UNDANGAN
1. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Ratifikasi GATS (General Agreement on Trade in Services)
Pesatnya pembangunan kepariwisataan di Bali tidak lepas dari liberalisasi perdagangan jasa melalui GATS (General Agreement on Trade in Services). Globalisasi ekonomi khususnya di bidang industri pariwisata telah memberikan kesempatan kepada ekspansi kekuatan ekonomi besar ke negara‐negara berkembang atau dunia ketiga. Ratifikasi GATS (General Agreement on Trade in Services) melalui UU No. 7 Tahun 1999, pada dasarnya memberikan keleluasan bagi setiap pelaku usaha dari negara manapun untuk berusaha di Indonesia melalui skema TRIMS (Trade Related on Investment Meausures).
Ratifikasi GATS atau WTO Agreement telah mempengaruhi pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya Bali. Ideologi liberal yang mendasari WTO Agreement bertumpu pada: (a) pembebasan dan kebebasan masyarakat untuk langsung memegang dan mengusahakan faktor‐faktor produksi tanpa kecuali; (b) mengusahakan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat, memajukan kesejahteraan umum melalui persaingan bebas (free competition); (c) persaingan bebas merupakan dasar inovasi dan pengembangan diri secara alamiah untuk membuat individu‐individu dalam masyarakat berkembang secara alamiah; (d) kekuasaan negara direduksi untuk menciptakan kebebasan ekonomi sebesar‐besarnya dalam wujud: kebebasan individu, persaingan bebas, dan pasar bebas; persaingan bebas merupakan dasar pengembangan sistem ekonomi yang cepat adil dan terbuka.19
GATS melarang adanya pembatasan perdagangan jasa antar negara dengan mengurangi campur tangan negara. Namun GATS tetap memberikan kesempatan bagi negara host untuk menetapkan pengecualian terhadap prinsip‐prinsip WTO (Worls Trade Oragnization) seperti Most‐
Favoured Nation (MFN), National Treatment dan Transparency.
Ratifikasi GATT telah lebih banyak menjiwai kebijakan‐kebijakan di bidang ekonomi di Indonesia termasuk bidang kepariwisataan. Namun dengan dikeluarkannya deklarasi TPB tidak ada lagi kebijakan dunia yang dapat ditafsirkan hanya melindungi atau bermanfaat pada pengusaha atau investor saja, tapi haruslah bermanfaat pada sosial dan lingkungan juga. Indonesia sebagai negara Host atau tuan rumah haruslah menggunakan SDGs sebagai deklarasi global dalam membatasi kaptalisme yang menghambat terwujudnya TPB/SDGs. Kebijakan provinsi maupun kabupaten/kota tidaklah menjadikan kapitalisme sebagai paham yang mendasarinya. Pancasila sebagai dasar negara yang berlaku di Indonesia dan diperkuat dengan deklarasi SDGs sebagai deklarasi global dapat dijadikan dasar norma.
19 Wyasa Putra, op.cit., hlm.42.
2. Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
Ketentuan hukum ini memberikan akses perdagangan jasa dalam bidang pariwisata di Indonesia telah terbuka bagi penanaman modal asing. Berdasarkan Perpres 36 tahun 2010 maka berlakulah Pasal XVI GATS, dengan ketentuan bahwa apabila akses pasar suatu sektor jasa diberikan/
dibuka maka tidak boleh ada kebijakan yang berupa:
a. Pembatasan jumlah penyedia jasa
b. Pembatasan nilai total transaksi atau aset jasa
c. Pembatasan jumlah orang‐orang yang dipekerjakan dalam sektor tersebut
d. Kebijakan yang membatasi atau mengharuskan bentuk‐bentuk khusus bagi bentuk‐bentuk badan usaha pemberi jasa
e. Pembatasan partisipasi modal asing
Perpres 36 tahun 2010 memberikan keleluasan bagi investor asing untuk menanamkan modalnya maksimal 51% dari keseluruhan modal, usaha tersebut diantaranya, seperti: Hotel Melati dan Hotel bintang 1 dan 2; Spa. Apabila usaha‐usaha tadi yang membutuhkan modal tidak terlalu besar kemudian diberikan hak bagi investor asing maka sulit bagi pengusaha dalam negeri untuk bersaing, karena mereka memilki keterikatan dengan pasar di negara mereka. Selain itu Perpres dimaksud juga mengandung kekosongan hukum tentang syarat pendirian Hotel berbintang 3, 4, dan 5, yang juga didirikan oleh Investor Asing. Hotel berbintang 3, 4, dan 5 mayoritas didirikan oleh Perusahaan Transnasional, yang berimbas kepada repatriasi laba dan modal kepada kembali ke negara asal investor, dan bukan negara host (Indonesia).
Keleluasaan pada investor tidaklah berarti mereka dapat berbuat seenaknya, yang dapat merugikan kepentingan sosial, negara atau daerah. Investor sebagai tamu yang diundang juga harus mengikuti atauran nasional dan daerah. Kebijakkan daerah haruslah mengikuti atauran hukum diatasnya sehingga tidak terjadi ketidakpastian hukum. Kebijakan tidaklah menimbulkan kerugian bagi pihak masyarakat, lingkungan maupun investor.
3. Undang Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan
UU nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan (selanjutnya UU Kepariwisataan), konsideran “menimbang” huruf a disebutkan bahwa pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya pasal 7 disebutkan bahwa
“pembangunan kepariwisataan” meliputi: a. industri pariwisata; b. destinasi pariwisata; c. pemasaran;
dan d. kelembagaan kepariwisataan. Penjelasan pasal 7 diuraikan :
“Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan industri pariwisata, antara lain pembangunan struktur (fungsi, hierarki, dan hubungan) industri pariwisata, daya saing produk pariwisata, kemitraan usaha pariwisata, kredibilitas bisnis, serta tanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial budaya.
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan destinasi pariwisata, antara lain pemberdayaan masyarakat, pembangunan daya tarik wisata, pembangunan prasarana, penyediaan fasilitas umum, serta pembangunan fasilitas pariwisata secara terpadu dan berkesinambungan.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan pemasaran, antara lain pemasaran pariwisata bersama, terpadu, dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta pemasaran yang bertanggung jawab dalam membangun citra Indonesia sebagai destinasi pariwisata yang berdaya saing.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan kelembagaan kepariwisataan, antara lain pengembangan organisasi Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, regulasi, serta mekanisme operasional di bidang kepariwisataan.”
Uraian pasal 7 beserta penjelasannya belum memberikan landasan yang tegas tentang bagaimana dan siapa yang bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan terhadap hak‐hak ekonomi masyarakat. Uraian tentang pembangunan kepariwisataan telah melupakan pembangunan Masyarakat Lokal/Daerah sebagai unsur penting dalam pembangunan kepariwisataan. Pembangunan kepariwisataan lebih terfokus pada pengembangan industri pariwisata, namun belum menyentuh pengembangan masyarakat sekitar aktivitas pariwisata atau masyarakat yang terkena dampak pariwisata. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tafsir ataupun pengabaian terhadap hak‐hak ekonomi masyarakat. Pengabaian terhadap hak‐hak ekonomi masyarakat dapat menghambat terwujudnya tercapainya TPB/SDGs.
UU Kepariwisataan juga mengatur tentang Kewajiban Pemerintah (Pusat dan Daerah), Masyarakat, Wisatawan, dan Pengusaha. Kewajiban Pemerintah dalam Pasal 23 adalah:
(a) menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan;
(b) menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi, dan memberikan kepastian hukum;
(c) memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan
(d) mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
Huruf d pasal 23 telah mewajibkan pemerintah untuk mengendalikan dampak negatif dari kegiatan kepariwisataan. Apabila dilihat dari fakta di atas maka disimpulkan pemerintah belum
melaksanakan kewajibannya secara maksimal. Pasal ini membutuhkan peraturan operasionalnya yang dapat memberikan landasan atau bentuk pengendalian dampak kepariwisataan. Ketidakjelasan kewenangan, kelembagaan, dan prosedur pengendalian menjadi penyebab ketidakefektifan pasal 23 huruf d ini. Dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan kepariwisataan haruslah secara tegas dilaksanakan oleh pemerintah. Kebijakan daerah haruslah secara tegas memuat turunan dari norma ini apabila ingin daerah mencapai tujuan TPB/SDGs.
Selain pengaturan tentang kewajiban, UU Kepariwisataan juga mengatur tentang kewenangan pemerintah baik pusat, daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah pusat diantaranya berwenang untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat, yang sebenarnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, sehingga anggaran pun menjadi dialokasikan kepada pemerintah daerah, dengan pertimbangan daerahlah yang lebih mengetahui karakter sosial masyarakatnya, sehingga pemberdayaan yang dilakukan menjadi tepat arah dan tepat guna.
4. Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Berdasarkan UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), kewenangan pemerintah pusat terbatas pada: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d.
yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.
Kewenangan Pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang diantaranya meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota.
Kewenangan Pemerintah kabupaten/kota diantaranya meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h.
pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
Berdasarkan UU Pemda, pemerintah daerah yang berwenang dalam menanggulangi dan sekaligus memberdayakan masyarakat serta mengembangkan potensi. Hal ini berarti bertentangan dengan ketentuan dalam UU Kepariwisataan yang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk memberdayakan masyarakat.
5. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
Kemudian dalam UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, Penerimaan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah,