• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori 1. Bagasse Tebu

Bagasse atau ampas tebu adalah zat padat dari tebu yang diperoleh sebagai sisa dari pengolahan tebu pada industri pengolahan gula pasir. Bagasse tebu mengandung air 48-52%, gula 3,3% dan serat 47,7%. Berdasarkan hasil analisa XRF terhadap abu bagasse tebu, diketahui bahwa dalam abu bagasse tebu mengandung mineral – mineral yang berupa Si, K, Ca, Ti, V, Mn, Fe, Cu, Zn dan P. Kandungan yang paling besar dari mineral

– mineral tersebut adalah silikon (Si) sebesar 55,5% (Akhinov dkk., 2010). Peneliti lain, yaitu Goyal dkk. (2009) melaporkan, kandungan kimia abu bagasse tebu terdiri dari 62,43% SiO2; 4,38% Al2O3; 6,98% Fe2O3; 11,8% CaO; 2,51% MgO; 1,48% SO3; 3,53% K2O; dan 4,73% LiO. Abu bagasse tebu juga mempunyai sifat fisika antara lain densitas 2,52 g/cm3, luas permukaan 5140 cm2/g, ukuran partikel C28,9 μm, dan berwarna abu – abu. Govindarajan dan Jayalakhsmi (2011) melaporkan bahwa pada suhu 500˚C hingga 700 ˚C abu bagasse tebu memiliki struktur amorf sedangkan pada

7 2. Silika Gel

Menurut Oscik (1982), silika gel merupakan silika amorf yang terdiri atas kation Si4+ yang terkoordinasi secara tetrahedral dengan anion O2+ (SiO4) yang tersusun secara tidak teratur dan membentuk kerangka tiga dimensi yang lebih besar. Berikut gambar struktur silika gel.

Gambar 1. Struktur silika gel

Pada permukaan silika gel terdapat dua jenis gugus, yaitu gugus silanol

(≡Si-OH) dan gugus siloksan (≡Si-O-Si≡). Berdasarkan Sulastri (2010), kapasitas modifier akan dipengaruhi oleh banyaknya gugus silanol, kecuali jika terdapat gugus siloksan yang aktif dan dapat beriteraksi dengan air menghasilkan gugus silanol. Namun meskipun gugus silanol dan siloksan terdapat pada permukaan silika gel, jumlah distribusi per unit area bukan menjadi ukuran kemampuan adsorpsi silika gel. Hal ini karena adanya ketidak-teraturan susunan permukaan SiO4tetrahedral (Oscik, 1982).

3. Proses Sol-Gel

Sol-Gel yaitu proses pembuatan polimer anorganik atau keramik dari larutan melalui transformasi dari prekursor cair menjadi sol dan akhirnya ke struktur jaringan yang disebut 'gel' (Danks dkk., 2016) atau Sol-gel

8

dapat berarti pembentukan jaringan oksida melalui reaksi hidrolisis dan polikondensasi dari prekursor molekul dalam cairan. Reaksi ini mudah dilakukan, tidak membutuhkan kondisi khusus, dan tidak membutuhkan temperatur yang tinggi (Young, 2002).

4. Unsur Makro Kation Ca2+

Unsur hara yang dibutuhkan tanaman dibagi atas unsur hara makro dan mikro. Unsur hara makro adalah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah banyak, salah satunya adalah kalsium.

a. Kalsium

Kalsium menguraikan air dengan membentuk kalsium hidroksida dan hidrogen. Garam – garamnya biasanya berupa bubuk putih dan membentuk larutan yang tak berwarna, kecuali bila anionnya berwarna. Dalam suasana basa, ion kalsium dalam air dapat bereaksi dengan CO2

menghasilkan CaCO3 yang dapat mengendap, sesuai reaksi berikut (vogel, 1990:300)

CO2 (g) + Ca2+ (aq) + 2 OH- (aq) → CaCO3 (s) + H2O (l) (Vogel, 1990:317). Unsur kalsium diperlukan oleh tanaman dalam jumlah relatif banyak dan diserap dalam bentuk ion Ca2+. Sebagian besar ion Ca2+

terdapat dalam daun dalam bentuk kalsium pektat. Selain itu terdapat juga dalam batang, ujung dan bulu – bulu akar. Karena ion Ca2+

9

termasuk unsur hara yang essensial, apabila zat tidak diperhatikan atau ditiadakan, pertumbuhan ujung dan bulu – bulu akar akan terhenti sedangkan bagian – bagian yang telah terbentuk akan mati dan berwarna coklat kemerah – merahan (Adriani, 2011).

Tabel 1. Sifat Kalsium

No Sifat Ca

1 Hidrolisis Mn+ + H2O ↔[M(OH)](n+1)+(n-1)H+ (Log K=1,3) Mn+ + 2 H2O ↔ M(OH)2 + 2 H+ (Log K=1,3x10-6)

2 Jari – jari Atom 1,97 Å

Ion 1,00 Å

Terhidrat 4,12 Å

3 Elektronegatifitas 1,0

(Jaslin dkk., 2015) 5. Adsorpsi dan Faktor yang Mempengaruhinya

Adsorpsi adalah interaksi antara molekul dari fluida dengan lapisan permukaan padatan atau cairan (Rouquerol dkk.,1999 : 10). Molekul yang terikat pada permukaan disebut adsorbat dan zat yang mengikat adsorbat disebut adsorben (Masel, 1996).

Molekul dan atom dapat menempel pada permukaan dengan dua cara yaitu fisisorpsi dan kemisorpsi. Dalam fisisorpsi (adsorpsi fisika) terjadi antaraksi van der waals (contohnya, dispersi atau antaraksi dipolar) antara adsorbat dan substrat yang mempunyai sifat lemah, jaraknya jauh, dan energi yang dilepaskan mempunyai orde besaran yang sama dengan entalpi kondensasi (Atkins, 1999:437). Fisisorpsi terjadi pada derajat kespesifikan yang rendah. Pada tekanan yang tinggi, fisisorpsi biasanya terjadi multilayer (Rouquerol dkk., 1999:10). Pada kemisorpsi (adsorpsi kimia), partikel melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia

10

(biasanya ikatan kovalen) (Atkins, 1999:437). Kekuatan kemisorpsi tergantung dari reaktifitas adsobat dan adsorben dan hanya sebatas membentuk monolayer pada situs reaktif adsorben yang mengikat adsorbat (Rouquerol dkk., 1999:10).

Adsorpsi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya sebagai berikut.

1. Mekanisme pemerangkapan

Adsorben yang berpori yang dapat menjebak ion logam dalam pori–porinya. Mekanisme ini akan terjadi apabila ukuran pori dari adsorben lebih besar daripada ukuran ion yang akan diadsorpsi.

Gambar 2. Mekanisme Pemerangkapan Adsorbat oleh Adsorben Pada mulanya adsorbat hanya pada permukaan adsorben, namun kemudian adsorbat memasuki pori (Kim dan Chea,2012).

2. Mekanisme pertukaran ion

Mekanisme pertukaran ion dapat ditinjau dari nilai elektronegatifitas pada adsorben. Ketika ion adsorbat kurang elektronegatif, maka adsorben akan melepaskan ionnya dan menggantinya dengan ion adsorbat (Wypych,2004:81).

11

Gambar 3. Mekanisme Pertukaran Ion Adsorbat oleh Adsorben 3. Pembentukan Ikatan Hidrogen

Ikatan hidrogen dapat terjadi antara oksigen dari gugus H2O dalam kompleks oktahedral dengan gugus aktif siloksan dan silanol pada silika gel maupun gugus aktif pada hibrida organo-silika.

Gambar 4. Pembentukan Ikatan Hidrogen Antara Adsorben dengan Molekul Air

4. Pembentukan kompleks

Untuk adsorpsi ion logam transisi

Karakteristik adsorspsi bersifat spesifik untuk suatu sistem, sehingga setiap sistem dapat berbeda karekteristiknya. Menurut Benefield dkk.(1982), faktor- faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi sebagai berikut. a. Luas permukaan adsorben

Luas permukaan sebanding dengan jumlah situs aktif adsorben, sehingga semakin luas permukaan adsorben maka semakin banyak

12

adsorbat yang teradsorpsi. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat laju adsorpsi (William, 1987).

b. Ukuran molekul adsorbat

Molekul yang besar akan lebih mudah teradsorpsi daripada molekul yang kecil. Namun, ada batas ukuran molekul adsorpsi tertentu pada setiap adsorpsi.

c. Konsentrasi adsorbat

Konsentrasi adsorbat yang tinggi akan menghasilkan daya dorong yang tinggi bagi molekul adsorbat untuk masuk ke dalam situs aktif adsorben (Altaher dan Elqada, 2011).

d. Suhu

Adsorpsi merupakan proses kinetika maka pengaturan suhu akan mempengaruhi kecepatan proses adsorpsi. Semakin tinggi suhu, maka kecepatan laju adsorpsi semakin tinggi (Altaher dan Elqada, 2011). e. pH

pH mempengaruhi terjadinya ionisasi ion hydrogen dan ion ini sangat kuat teradsorpsi. Semakin rendah pH maka semakin besar daya daya adsorpsi (Altaher dan Elqada, 2011). Anderson dan Rubin (1981:117) juga menyatakan bahwa adsorpsi Ca2+ pada Al2O3

meningkat berdasarkan penurunan pH. f. Waktu pengadukan

Waktu pengadukan yang relative lama akan memberikan waktu kontak yang lebih lama terhadap adsorben untuk berinteraksi dengan adsorbat.

13 7. Model Isoterm Adsorpsi

Isoterm adsorpsi merupakan hubungan konsentrasi zat terlarut yang teradsorpsi pada padatan dengan konsentrasi larutan, pada suhu tetap. Persamaan isoterm adsorpsi yang lazim digunakan ialah yang dikaji dan dikembangkan oleh Freundlich dan Langmuir.

a. Isoterm Freundlich

Salah satu pendekatan dengan isoterm adsorpsi dikemukakan oleh Freundlich. Menurut Freundlich, jika � / m adalah berat zat terlarut per gram adsorben dan C adalah konsentrasi zat terlarut dalam larutan. Dari konsep tersebut dapat diperoleh persamaan sebagai berikut.

� / m = Kf. ��1/

log qe = log Kf + 1/n. log Ce

dimana:

qe = jumlah adsorbat teradsorpsi per gram adsorben (mol/g) �� = konsentrasi pada saat setimbang(mol/L)

Kf = konstanta isoterm Freundlich � = kapasitas atau intensitas adsorpsi

Kemudian k dan n adalah konstanta adsorpsi yang nilainya bergantung pada jenis adsorben dan suhu adsorpsi. Bila dibuat kurva log � terhadap log Ce akan diperoleh persamaan linier dengan intersep log Kf dan kemiringan 1/n, sehingga nilai k dan n dapat diketahui.

14

Gambar 5. Grafik Isoterm Freundlich b. Isoterm Langmuir

Model isoterm Langmuir mengasumsikan bahwa permukaan adsorben terdiri atas situs adsorpsi di mana semua adsorbat hanya teradsorpsi pada situs aktif dan tidak terjadi interaksi antar adsorbat, sehingga yang terbentuk adalah lapisan adsorpsi monomolekuler di mana jumlah molekul yang teradsorpsi tidak akan melebihi jumlah situs aktif (Sriyanti dkk., 2005). Berikut ilustrasi dari isoterm Langmuir.

adsorben

lapisan adsorbat

Gambar 6. Ilustrasi Adsorpsi pada Isoterm Langmuir

Persamaan Langmuir dapat ditulis sebagai berikut.

= 1 ��� . + ��� Dimana: 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 Lo g q e (m o l/g) Log Ce (mol/L)

15

= konsentrasi pada saat setimbang (mol/L) qe = jumlah adsorbat per gram adsroben (mol/g) � = kapasitas adsorpsi maksimum (mol/g) � = konstanta isoterm Langmuir (L/mol) Dari kurva

�� terhadap � akan diperoleh persamaan linear, dan diketahui nilai � dan � . Berikut adalah grafik isoterm Langmuir.

Gambar 7. Grafik Isoterm Langmuir

Penentuan isoterm adsorpsi suatu sistem dapat dilihat dari besarnya koefisien korelasi (R). Semakin harga R mendekati 1, semakin akurat model isotermnya. Untuk mengetahui R diperlukan grafik hubungan Ce/qe dan Ce untuk isoterm Langmuir dan grafik hubungan log qe dan log Ce untuk isoterm Freundlich. Untuk mengetahui model isoterm adsorpsi, dapat juga digunakan data RL

(untuk isoterm Langmuir) dan 1/n (untuk isoterm Freundlich). Data RL berguna untuk mengetahui kelayakan dan karakteristik penting

2.05 2.1 2.15 2.2 2.25 2.3 2.35 0 5 10 15 20 Ce /q e (g/ L) Ce(mol/L)

Isoterm Langmuir

16

dalam adsorpsi (Weber dan Cakraborti, 1974). Persamaannya sebagai berikut. RL= 1

1+ .�

� = konstanta faktor pemisahan Co = konsentrasi awal (mol/L)

KL = konstanta Langmuir (L/mol)

Apabila 0< RL<1 maka dapat dinyatakan bahwa adsorpsi bersifat favorable, RL >1 adsorpsi bersifat unfavorable, RL=1 adsorpsi bersifat linier dan RL=0 adsorpsi bersifat irreversibel. Sedangkan pada isoterm Freundlich, apabila 0<1/n<1 maka dapat dinyatakan bahwa adsorpsi bersifat favorable (Kul dan Koyuncu, 2010).

8. Spektroskopi Serapan Atom (SSA)

Spektroskopi Serapan Atom (SSA) adalah suatu metode untuk mengukur konsentrasi suatu unsur dengan mengukur radiasi yang terserap oleh unsur tersebut (García dan Báez, 2012). Radiasi yang terserap terukur dalam absorbansi. Untuk menghitung konsentrasi diperlukan persamaan Lambert-Beer,

A = ɛ.b.c Dimana :

A= radiasi yang terserap

ɛ = tetapan absorptivitas molar (M-1.cm-1) b = panjang medium (cm)

17 c = konsentrasi zat (M)

karena b dan ɛ merupakan bilangan tetap, maka absorbansi hanya tergantung oleh konsentrasi.

9. Spektroskopi FTIR

Spektroskopi inframerah adalah metode untuk mempelajari interaksi molekul (materi) dengan radiasi inframerah. Salah satu tipe spektroskopi yang umum dipakai adalah Fourier Transform Infra Red

Spectroscopy (FTIR). Alat ini cukup sensitif untuk mendeteksi

keberadaan gugus fungsi dalam sampel (Smith, 1998).

Spektroskopi ini bekerja ketika ikatan molekul dalam materi menyerap energi inframerah. Namun, tidak semua ikatan dalam molekul dapat menyerap energi inframerah, meskipun frekuensi radiasi tetap sesuai dengan gerakan ikatan. Hanya ikatan yang mempunyai momen dipol yang dapat menyerap radiasi inframerah (Sastrohamidjojo, 2007:102). Ketika molekul menyerap energi inframerah, ikatan molekul akan bervibrasi. Ikatan dapat mengalami regangan, penyusutan, dan tekukan (Smith, 1998). Setiap tipe ikatan memiliki frekuensi dengan vibrasi yang berbeda. Walaupun mempunyai ikatan yang sama namun kondisi lingkunganya berbeda, akan memberikan frekuensi vibrasi yang berbeda. Oleh karena itu tidak ada dua molekul yang berbeda strukturnya akan mempunyai serapan inframerah yang tepat sama. Untuk memperjelas

18

hal tersebut, dapat dilihat tabel serapan karakteristik senyawa-senyawa karbon-silikon dalam lingkungan yang berbeda-beda.

Tabel 2. Serapan Karakteristik Senyawa-Senyawa Organo-Silikon

Gugus Fungsional Rentang Frekuensi (cm-1) Rentang Panjang Gelombang(μm) Si-H 2230-2150 4, 48- 4,65 890-860 11, 24- 11, 63 Si-OH 3390-3200 2, 95- 3, 13 870-820 11, 49- 12, 20 Si-O 1110- 1000 9, 01- 10, 00 Si-O- O- Si 1053 9, 50 (Disiloksan) Si- O- Si 1080 9, 26 (Linier) 1025 9, 76 (Sastrohamidjojo, 1992: 102) Untuk mempelajari keberhasilan sintesis silika, Spektroskopi FTIR merupakan metode utama yang digunakan karena murah dan cukup sensitif. Berdasarkan percobaan yang dilakukan Wu dkk. (2014), Spektra FTIR silika gel ditunjukkan dengan adanya pita yang lebar pada kisaran 3000 – 4000 cm-1 yang menunjukkan gugus hidroksil, dan gugus Si-OH pada 3750 cm-1. Sedangkan vibrasi Si-O-Si, regangan asimetriknya terletak didekat 810 cm-1, dan regangan simetrik dan vibrasi tekuk didekat 470 cm-1.Data tersebut hampir sama dengan data yang dilaporkan oleh Sulastri dkk. (2011).

Secara ringkas, frekuensi vibrasi pada sintesis silika gel dapat dilihat pada tabel berikut.

19

Tabel 3. Frekuensi Vibrasi Silika Gel Gugus Fungsional Frekuensi (cm-1

) Tipe vibrasi -OH 3400-3000 Regangan -Si-OH 3750 Regangan -Si-O-Si- 810 Asimetrik 470 Simetrik -Si-O 1110-1000 Regangan 10.Difraksi Sinar X

Difraksi sinar X merupakan instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi material kristalin maupun non kristalin, dan juga kemurnian suatu materi. Sinar X dihasilkan ketika tegangan tinggi dikenai terhadap dua elektron. Ketika elektron mempunyai energi yang cukup dan kecepatan yang tinggi, maka elektron tersebut akan keluar dari katoda dan menumbuk elektron materi pada anoda. Elektron tersebut kemudian melambat dan kehilangan energinya. Ketika elektron kehilangan energinya, terbentuklah sinar X kontinyu dengan beberapa panjang gelombang (Waseda dkk., 2011). Berdasarkan hasil experimen Hariharan dan Sivakumar (2013), pita lebar yang kuat berpusat pada 22°(2θ) menunjukkan silika amorf yang ditunjukan oleh gambar 8.

20 B. Penelitian yang Relevan

Kristianingrum dkk. (2016) dalam penelitiannya yang berjudul

“Pengaruh Jenis Asam Pada Sintesis Silika Gel Dari Abu Bagasse dan Uji Sifat Adsorptifnya Terhadap Ion Logam Tembaga (II)” menyebutkan bahwa silika gel hasil sintesis dengan asam klorida, asam sulfat, asam asetat, dan asam sitrat 3M mempunyai nilai keasaman berturut-turut sebesar 8,320; 6,554; 6,836 dan 7,574 mmol/g. Sedangkan kadar air masing-masing 12,880; 15,118; 11,085 dan 17,423%. Hasil karakterisasi gugus fungsi dengan spektroskopi infra merah menunjukkan bahwa silika gel hasil sintesis mempunyai kemiripan dengan kiesel gel 60G. Jenis asam kuat dan lemah yang digunakan dalam sintesis mempunyai nilai daya adsorpsi dan efisiensi adsorpsi ion logam tembaga(II) yang berbeda.

Akhinov dkk. (2010) dalam penelitianya yang berjudul “Sintesis Silika Aerogel Berbasis Abu Bagasse dengan Pengeringan pada Tekanan Ambient” menyebutkan bahwa silika aerogel yang dihasilkan berbentuk serbuk kasar, dan serbuk halus. Sifat fisik terbaik berupa volume pori, surface area dan hidrofobisitas diperoleh pada perbandingan volume SA : TMCS : HMDS = 1 : 0,04 : 0,06 yaitu dengan surface area sebesar 1153,501 m2/g dan volume pori 1,119 cc/g. Sudut kontak yang dihasilkan 130°.

Mahatmanti dkk. (2016) dalam penelitianya yang berjudul

21

Blended with Rice Hull Ash Silica and Polyethilene Glycol

menyebutkan bahwa untuk adsorpsi Ca(II) dan Mg(II) pada membran mengikuti model Freundlich dengan afinitas 1,266 dan 1,099, sedangkan Zn(II) dan Cd(II) mengikuti model Langmuir dengan kapasitas adsorpsi berturut-turut 182 dan 106 mmol/g.

Berdasarkan penelitian yang telah ada, pada penelitian ini akan dilakukan sintesis silika gel dari bagasse tebu. Sintesis ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh konsentrasi terhadap adsorpsi kation Ca2+

dan mengetahui model isoterm adsospsinya.

C. Kerangka Berfikir

Kandungan silika dalam bagasse diketahui cukup besar. Menurut Akhinof dkk. (2012) dan Goyal dkk. (2009) bahwa kandungan silika dalam bagasse mencapai lebih dari 50%. Randemen silika yang cukup besar ini dapat dimanfaatkan salah satunya sebagai adsorben berupa silika gel, seperti yang telah dilakukan oleh Kristianingrum dkk. (2011), dan Nazriati dkk. (2011). Potensi silika gel yang memiliki kemampuan adsorbsi sorbat yang tinggi dan melepaskan unsur hara yang lambat ini dapat diaplikasikan melalui prinsip pupuk slow release

fertilizer (SRF)(Ikhsan dkk., 2015).

Sintesis silika gel dari bagasse ini dapat menggunakan metode sol-gel. Sol-gel yaitu proses pembuatan polimer anorganik atau keramik dari larutan melalui transformasi dari prekursor cair menjadi sol dan

22

akhirnya ke struktur jaringan yang disebut 'gel' (Danks dkk., 2016). Reaksi ini mudah dilakukan, tidak membutuhkan kondisi khusus, dan tidak membutuhkan temperatur yang tinggi (Young, 2002), sehingga metode ini sangat baik untuk sintesis silika gel dari bagasse tebu.

Hasil sintesis dikarakterisasi dengan spektroskopi FTIR, difraksi sinar X untuk mengetahui keberhasilan sintesis. Silika gel ini selanjutnya diuji dengan adsorpsi kation Ca2+ dengan variasi kation Ca2+. Menurut Altaher dan Elqada, (2011) semakin besar konsentrasi, semakin besar pula daya adsropsinya. Dari hubungan konsentrasi dan daya adsorpsi ini, dapat diturunkan suatu model isoterm adsorpsi yang dapat menggambarkan kapasitas adsorpsi. Diharapkan dengan sintesis ini dapat mengetahui kapasitas adsorpsi silika gel dari bagasse tebu. Apabila silika ini menghasilkan daya adsorpsi yang lebih besar, maka hasil sintesis silika gel dari bagasse tebu dapat dijadikan dasar untuk pembuatan pupuk SRF.

23

Dokumen terkait