• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

Batik adalah sehelai wastra yang dibuat secara tradisional dengan beragam hias pola batik tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan menggunakan malam atau lilin batik sebagai bahan perintang warna. Suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok yakni teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik (Santosa, 2002: 10). Sedang menurut Kalinggo, batik merupakan suatu hasil dari proses yang penjang mulai dari melukis motif hingga pada tahap akhir proses babaran dan yang menjadi ciri utama dari batik adalah di dalam proses tersebut menggunakan bahan utama berupa mori, malam (lilin), dan pewarna (Kalinggo, 2002: 2).

Di Indonesia batik tidak sekadar produk kain bermotif, tetapi lebih daripada itu. Batik menempati tempat khusus dalam dunia tekstil. Tidak ada kain yang menempati kedudukan khusus dalam kebudayaan seperti batik yang berisi begitu banyak simbol dan sarat makna baik dalam filosofi warna itu sendiri dan desain, dalam cara batik dibuat, bagaimana batik mengekspresikan jiwa dari orang-orang yang membuat dan memakainya, maupun nilai-nilai yang menjadi bagian dari peninggalan warisan budaya (Kerlogue, 2004: 1). Maka tidak salah jika batik menjadi salah satu produk budaya yang dianggap sebagai karya lokal genius bangsa Indonesia yang telah mendunia. Harkat dan martabat batik dipuji oleh Grolier Encyclopedia sebagai “world famous” dan mendapat apresiasi yang

commit to user

sangat tinggi bahkan ditempatkan pada tataran seni luhung (Sudjoko, 1998: 216-217).

Sebagai teknik menghias kain sebenarnya batik bukan hanya ada di Indonesia. Hampir di seluruh belahan dunia mengenal teknik celup rintang ala batik. Namun, dunia mengakui bahwa batik Indonesia, lebih khusus Jawa, yang paling halus karena memiliki corak ragam hias paling kaya, teknik pewarnaan paling berkembang, dan teknik pembuatan paling sempurna dibandingkan batik dari daerah lain (Ninuk, 2000: 234). Dan, sudah sejak lama, beratus-ratus tahun silam batik telah menarik perhatian para peneliti asing seperti Raffles yang tertarik pada batik dengan mengulas secara terperinci proses batik yang kemudian ia tuliskan dalam bukunya yang sangat monumental “History of Java” Vol 1. Dalam buku tersebut Raffles menjelaskan teknik pembuatan batik dari proses pencelupan warna dasar, pemberian lilin batik sebagai perintang warna dengan menggunakan canting, dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membuat kain batik (Raffles, 1978:168-170).

Dari penjelasan Raffles dapat diketahui bahwa penggunaan malam atau lilin membedakan batik yang sekarang dikenal dengan bentuk awal batik. Malam

yang dipanaskan hingga mencair memberi peluang untuk menghasilkan beragam motif yang akan dibuat. Sebelum penggunaan malam untuk menahan warna, di Indonesia sudah dikenal “batik” dengan teknik lebih sederhana. Contoh dari teknik “batik” sederhana misalnya kain simbut di Banten dan kain sarita dan maa

dari Toraja, Sulawesi Selatan. Pada kain simbut sebagai perintang warna dipakai bubur ketan yang dalam bahasa aslinya disebut darih. Proses ini dianggap sebagai

commit to user

proses yang lebih tua daripada pemalaman pada batik. Corak-corak kain simbut sangat sederhana, sesuai dengan peralatan yang dipakai, yaitu semacam kuas dari buluh kecil dan untuk mewarnai keseluruhan kain digunakan kuas dari sabut kelapa (Biranul dkk, 1997: 15-16).

Di samping kecanggihan teknik batik, para ahli dan peneliti juga tertarik dengan sejarah munculnya batik, penyebaran, dan perkembangannya. Dari sisi munculnya batik Antropolog Rens Heringa menyebutkan, meskipun bukti tertulis atupun bukti fisik tentang perkembangan batik pada masa awal belum ditemukan, mitos paling awal tentang batik sudah ada sekitar tahun 700 M. Mitos tersebut menyebutkan bahwa Pangeran dari pantai timur Jenggala dekat Surabaya bernama Lembu Amiluhur mempunyai seorang istri bernama Lembu Amiluhur (seorang putri bangsawan dari Coromandel, India) dan bersama dengan para dayangnya yang beragama Hindu telah mengajarkan menenun, membatik, dan mewarnai kain kepada orang-orang Jawa (Ninuk, 2000; Yusak dan Adi, 2011). Bukti tertulis tentang batik baru muncul ratusan tahun kemudian, yakni dalam sebuah naskah Sunda yang ditemukan di selatan Cirebon bertanggal 1440 Saka/1518 M. Kata batik belum tersebut di sana, tetapi yang ada kata tulis yang sejak itu lazim dipakai untuk menyatakan pembubuhan malam ke atas kain. Selain itu, disebut nama-nama teknik dari sembilan motif, yang beberapa di antaranya kemudian muncul kembali (Lombard, 1996:193).

Kemunculan dan perkembangan batik banyak dikaitkan dengan keberadaan kerajaan atau keraton di Jawa. Hal ini karena, seperti yang ditulis Lombard, hanya di Jawa saja ditemukan teknik batik dan teknik ini tidak

commit to user

ditemukan di daerah mana pun di Nusantara (Lombard, 1996:193). Maka tidak aneh jika batik selalu dikaitkan dengan kerajaan Jawa. Keraton atau istana tempat para raja Jawa bertahta adalah pusat kegiatan serta penyebaran kebudayaan dan raja mempunyai hak-hak istimewa dalam pembinaan kesenian (Edi Sedyawati, 2006: 221). Keraton inilah yang senantiasa memelihara, mengembangkan, dan menyantuni berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan pada masa silam, termasuk di dalamnya batik. Atau dengan kata lain keraton menjadi pelindung

(patronage) batik. Batik-batik terbaik dihasilkan para artisan batik untuk raja

sebagian karena wujud pengadian si seniman batik kepada Yang Maha Pencipta (Ninuk, 2000: 237).

Sumbangan keraton terhadap perkembangan batik bisa dilihat pada penghalusan ragam hias sesuai dengan tradisi keraton dan nulai-nilai dalam membatik yang dikaitkan dengan proses pencapaian kemurnian serta kemuliaan dalam rangka mengabdi dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Mahakuasa. Melalui ini batik terwujudkan dalam ungkapan warna dan ragam hias yang halus (Biranul, 1997: 56-64).

Keraton yang selalu menjadi rujukan batik sampai saat ini adalah Keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Keraton Yogyakarta, Pura Pakualaman, Keraton Cirebon, dan Keraton Sumenep. Keraton-keraton tersebut, terutama Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, meninggalkan jejak-jejak pengaruh batik ke daerah-daerah di luar keraton dan juga menghasilkan produk batik yang sekarang disebut batik klasik (Santosa, 2002: 54-58).

commit to user

Salah satu keraton atau kerajaan besar yang jarang disebut atau bahkan “dilupakan” dalam perkembangan batik adalah Majapahit. Padahal, dari bukti sejarah dan bukti tertulis dapat ditelusuri keberadaan batik Majapahit. Misalnya dari kitab Pararaton di mana batik telah disebut-sebut sebagai bahan sandang dan menyinggung motif gringsing dan ceplok sebagai motif hias batik. Jejak batik Majapahit juga dapat dilihat pada relief-relief candi seperti relief cerita Panji atau Ramayana yang menggambarkan adanya penggunaan kain batik dan kebaya yang dikenakan oleh para wanita juga pada patung-patung perwujudan raja dan permaisuri raja hasil karya seni patung Majapahit, batik sebagai busana istana sudah dilukiskan (Wiyoso, 2008). Begitu juga patung perwujudan Raja Kartajasa (Hayam Wuruk), raja pertama Majapahit, yang digambarkan sudah memakai kain dengan hiasan motif kawung, suatu motif hasil dari mengolah garis lengkung yang sulit diwujudkan jika menggunakan alat tenun. Dari patung tersebut sangat mungkin masyarakat Majapahit telah menggunakan kain batik sebagai bahan sandang (Supartono, 2002: 88).

Keyakinan bahwa batik lebih dahulu muncul di Jawa Timur diperkuat catatan GP Rouffaer yang menyatakan bahwa teknik membatik ini telah diperkenalkan di Jawa sekitar Abad ke-6 atau 7 dari pedagang India dan Sri Lanka (Lombard, 1996:193). Rouffaer juga melaporkan bahwa motif gringsing sudah dikenal pada abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Sumber lain yang lebih tua dari Jawa Timur, di Candi Penataran Blitar yang dibangun tahun 1194 oleh Raja

Crnga (Syrenggra) pada reliefnya menggambarkan tokoh yang menggunakan kain

commit to user

dikenakan oleh Pradjnaparamita, patung Budha dewi kebijaksanaan dari Jawa Timur sekitar abad ke-13 Masehi menunjukkan pola bunga rumit yang mirip dengan yang ditemukan pada batik Jawa tradisonal. Begitu juga dengan penemuan arca dalam Candi Ngrimbi dekat Jombang yang menggambarkan sosok Raden Wijaya, raja pertama Majapahit, memakai kain batik bermotif kawung (Hasanudin. 2001: 14-15). Keberadaan batik Majapahit lebih dahulu dari pada batik Surakarta dan Yogyakarta dinyatakan oleh Veldhuisen bahwa Kerajaan Mataram menyatakan diri mewarisi budaya kerajaan Majapahit dan melanjutkan perkembangannya (Veldhuisen, 1993: 19). Begitu juga menurut Kalinggo dalam buku Bathik Sebagai Busana Dalam Tatanan dan Tuntunan, menyatakan bahwa jika dirunut dari sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, Keraton Surakarta masih mempunyai pertalian darah dengan Kerajaan Majapahit (Kalinggo, 2002: 3).

Di era sekarang ini Batik Majapahit muncul kembali. Munculnya Batik Majapahit dilandasi semangat untuk menggali potensi batik daerah Mojokerto dan berusaha untuk membuat batik sebagai ciri khas daerah. Dari hasil penelitian Ken Adhisti, salah satu alasan munculnya kembali Batik Majapahit dilatarbelakangi untuk mengenalkan identitas kota Mojokerto yang mempunyai sejarah dan warisan Majapahit (Ken, 2010). Munculnya batik Majapahit di Mojokerto sedikit banyak juga membawa polemik di dalam pengembangannya yakni berbenturan dengan pengemabnagan Batik Mojokerto yang juga ingin dimunculkan sebagai ciri khas daerah. Seperti yang ditulis Mita (2010) dalam laporan penelitiannya bahwa Batik Mojokerto tidak ada keterkaitan dengan kebudayaan Majapahit,

commit to user

hanya saja sumber ide banyak mengambil dari peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit.

Tarik ulur dua kepentingan di atas sedikit banyak dipengaruhi oleh bagaimana seni membatik di Mojokerto justru berangkat dari berkembangnya seni kerajinan di wilayah ini. Pembatik Mojokerto sendiri banyak yang tidak tahu apakah batik yang mereka kerjakan itu adalah asli digali dari Mojokerto atau justru motif-motif yang biasa mereka kerjakan itu berdasarkan pesanan konsumen sejak bertahun-tahun yang lalu. Oleh karenya sulit mengetahui asal-usul motif yang berkembang dan populer di Mojokerto saat ini. Masalah ini bukan hanya terjadi di Mojokerto saja, tetapi juga merupakan kendala yang dihadapi di daerah lain (Yusak dan Adi, 2011).

Bertahannya pengrajin Batik Majapahit mengerjakan motif-motif yang dianggap khas Majapahit memberi gambaran bagaimana tradisi Batik Majapahit bertahan di tengah arus kebudayaan kontemporer. Sederet motif yang dikembangkan seperti Gedheg Rubuh, Mrico Bolong, Gringsing, Surya Majapahit, Bunga Matahari, Koro renteng, Rawan Inggek, Bunga Sepatu, Kawung Cemprot, dan Pring Sedapur memberi gambaran bagaimana pergulatan kreativitas dalam batik dengan identitas daerah. Seperti diketahui masing-masing wilayah sentra batik biasanya memiliki ciri khas tertentu baik dari segi motif, goresan canting, warna yang dipakai, serta gaya motif yang itu semua bisa jadi hasil dari interaksi, melihat, meniru yang telah berlangsung sekian lama dan

commit to user

berulang-ulang. Hasil dari proses ini menjadi ciri khas batik daerah, menjadi kearifan lokal.

Kerangka Pikir

Untuk menjawab penelitian ini, maka rancangan teori atau kerangka pikir yang dipakai dengan melihat Batik Majapahit sebagai representasi budaya dari masyarakat pendukungnya, yakni masyarakat Mojokerto. Konsep representasi ini menjadi penting dalam kajian budaya karena representasi menghubungkan makna dan bahasa dengan budaya (Hall, 1997: 15-21). Dengan mengacu pada Hall, maka Batik Majapahit yang diteliti bukan sekadar sebagai produk estetis semata, tetapi Batik Majapahit dilihat sebagai teks budaya, sebagai representasi dari individu atau komunitas yang membawa pesan-pesan dan makna tertentu. Dengan cara pandang ini Batik Majapahit sebagai suatu fenomena kesenian dilihat sebagai sebuah teks. Sebagai sebuah teks, demikian menurut Heddy, maka fenomena seni tersebut dapat dibaca dan kemudian ditafsirkan (Heddy, 2000: 402).

Mempertimbangkan batik Majapahit sebagai teks maka ancangan teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan etnografi di mana pendekatan ini memandang artefak, dalam hal ini batik Majapahit, dari kacamata manusia dengan menyoroti aspek-aspek budayanya. Etnografi sendiri merupakan bagian dari kajian antropologi yang secara holistik mendiskripsikan kebudayaan suatu masyarakat yang tujuan utamanya adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli atau masyarakat yang diteliti (Spradley, 1997; h.3). Metode etnografi memperlihatkan penghargaan yang tinggi dan terhadap

commit to user

masyarakat yang diteliti dengan diberi ruang untuk berbicara (Barrett, 1996:29). Hal ini sejalan dengan pengertian istilah Etnografi yang berasal dari kata ethno

(bangsa) dan graphy yang berarti menguraikan atau menggambarkan (Suwardi, 2003:50).

Lewat kajian etnografi maka batik Majapahit akan dikaji dari sisi kebudayaan masyarakt pendukungnya, masyarakat Mojokerto. Sedang kebudayaan menurut A.L. Kroeber dan C. Kluchkohn, seperti yang dikutip Hari Poerwanto (2005), adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirinya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi. Selain itu, C. Kluchkohn juga mengatakan bahwa dalam setiap kebudayaan manusia juga terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya universal; meliputi sistem organisasi sosial, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi, sistem pengetahuan, kesenian, bahasa, dan religi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa setiap unusur-unsur kebudayaan, misalnya kesenian, pada hakekatnya juga mengandung tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya, sistem sosial, dan artefak (Hari, 2005: 53).

Dalam arus pusaran kebudayaan di atas, Batik Majapahit dengan masyarakat pendukungnya tidak lagi dipandang sebagai karya batik yang kalah dengan batik-batik klasik yang lebih kuat pengaruhnya. Namun, batik Majapahit menjadi batik yang khas yang mengacu pada bentuk, struktur, dan

aturan-commit to user

aturannya sendiri di dalam kebudayaan yang melingkupinya. Dengan pemahaman demikian, akan dapat menyingkap bagaimana masyarakat atau pengrajin Batik Majapahit memaknai kebudayaan mereka sendiri yang mereka presentasikan dalam seluruh proses Batik Majapahit atau dengan kata lain seperti yang ditulis Spradley, kajian etnografi tidak hanya melihat berbagai artefak dan objek, tetapi lebih daripada itu ia menyelidiki makna yang diberikan oleh orang-orang terhadap berbagai artefak atau objek tersebut (Spradley, 1997: 6).

Pendekatan etnografi yang dipakai dalam penelitian dapat mengeksplorasi bagaimana batik Majapahit sebagai produk budaya adalah saling berkaitan dengan makna yang berhubungan dengan relasi sosial, praktek dan pengalaman-pengalaman masyarakat pendukungnya. Seperti yang dituliskan Heddy, salah satu pendekatan dalam antropologi seni yang sering dipakai dalam mengkaji fenomena kesenian adalah pendekatan kontekstual. Pendekatan ini untuk memahami fenomena kesenian secara holistik atau menyeluruh agar si pengkaji seni atau peneliti dapat melihat kesenian menjadi lebih komprehensif, lebih utuh. Melalui pendekatan semacam ini dapat mengetahui bahwa proses-proses kreatif dalam simbolisasi ide dan perasaan ke dalam berbagai bentuk kesenian tidak dapat lepas dari konteks sosial dan budaya tempat individu berada dan dibesarkan (Heddy, 2000: 413).

commit to user

Dokumen terkait