• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

B. Kajian Pustaka

xxvii

tanggapan pembaca terhadap teks sastra. Keberterimaan atau tanggapan pembaca teks sastra tersebut kemudian akan dimaknai oleh pembaca atau penerimanya. Karenanya, makna tergantung bagaimana penerima melakukan konkretisasi teks sastra berdasarkan pengalamannya atas teks sastra tersebut. Pembaca akan memanfaatkan kode-kode tertentu menurut pemahamannya. Konkretisasi itu berada pada ketegangan antara struktur karya sastra dengan norma yang dominan pada masa tertentu. Dominasi norma pada kurun waktu tertentu juga mampu mengubah penilai karya sastra.

Salah satu tokoh teori resepsi sastra adalah Wolfgang Iser. Teori resepsi sastra Iser biasa disebut respon estetik yang menekankan pada efek, yaitu cara sebuah teks mengarahkan reaksi-reaksi pembaca untuk mendekatinya. Iser membuktikan bahwa teks sastra tidak dapat disamakan baik dengan objek-objek nyata dari dunia pembaca maupun dengan pengalaman pembacanya sendiri. Ketidaksamaan ini akan menghasilkan ‘tempat kosong’, dan tugas pembaca adalah mengisi tempat kosong tersebut.

Suatu karya sastra akan menimbulkan kesan atau efek (wirkung) tertentu pada pembacanya. Kesan ini didapat melalui “hakikat” yang ada pada karya yang dibaca oleh pembacanya. Dalam proses pembacaan ini (Lesevorgang) akan ada interaksi antara hakikat karya itu dengan “teks luar” yang mungkin memberikan kaidah dan nilai yang berbeda. Bahkan dapat dikatakan bahwa kaidah dan nilai “teks luar” akan sangat menentukan kesan yang akan muncul pada seseorang sewaktu membaca suatu teks, karena fenomena ini akan menentukan imajinasi pembaca dalam membaca teks itu (Umar Junus, 1985:38).

Iser (1987:68) berpendapat bahwa teks dan pembaca bertemu melalui sebuah situasi yang “realisasinya” tergantung pada teks dan pembaca. Jika komunikasi kesastraan ingin mencapai keberhasilan, komunikasi itu harus terdiri dari semua komponen/elemen yang diperlukan untuk merekonstruksi situasi karena komponen itu tidak memiliki eksistensi di luar karya sastra. Konvensi-konvensi yang diperlukan untuk perekonstruksian tersebut dapat disebut sebagai

repertoire teks. Prosedur-prosedur yang diterima disebut sebagai strategi, dan partisipasi pembaca disebut sebagai realisasi.

Repertoire berhubungan erat dengan bekal yang dimiliki pembaca ketika melakukan tindak pembacaan. Bagi pembaca, bekal ini sangat menentukan pemahaman terhadap teks sastra yang dibacanya. Bekal tersebut dapat berupa pengalaman pembaca, referensi-referensi terhadap karya terdahulu, norma sosial dan sejarah/historis, atau semua kebudayaan dan keseluruhan struktur tentang karya itu. Kaum Strukturalis Praha menyebutnya sebagai realitas “ekstratekstual”. Fakta ini mempunyai dua implikasi. Pertama, realitas ini tidak terbatas pada cetakan halaman. Kedua, elemen-elemen yang diseleksi sebagai referensi tersebut bukan hanya sebagai replika semata. Sebaliknya, keberadaan elemen-elemen tersebut berarti bahwa mereka mengalami berbagai macam perubahan/transformasi, dan hal ini adalah ciri pelengkap dari keseluruhan proses komunikasi (Iser, 1987:68).

Cara konvensi-konvensi, norma-norma, dan tradisi-tradisi mengambil tempat pada repertoire sastra sangat bervariasi, tetapi elemen-elemen ini selalu dikurangi/tereduksi atau diubah/termodifikasi, karena telah diangkat dari konteks

xxix

kemampuan menjadikan hubungan-hubungan baru, tetapi pada saat yang sama tetap mempertahankan hubungan lama, paling tidak pada tingkat tertentu (dan dengan sendirinya mereka bisa memperoleh wujud penampilan baru). Sebenarnya, konteks aslinya harus tetap cukup implisit agar dapat bertindak sebagai latar belakang untuk mengimbangi signifikansi barunya. Jadi, repertoire memadukan asal-usul dan transformasi elemen-elemennya, dan individualitas teks sangat bergantung pada tingkat perubahan identitas elemen-elemen tersebut (Iser, 1987:69).

Teks sastra memungkinkan para pembacanya dapat melampaui keterbatasan situasi kehidupan nyata miliknya sendiri, bukan refleksi dari suatu realita, tetapi perluasan realita mereka sendiri. Kosik (dalam Iser, 1987:79) berpendapat bahwa setiap karya seni memiliki karakter ganda yang bersatu dan tak dapat dibagi, yaitu ekspresi realita, tetapi juga membentuk realita yang ada, bukan dengan sesudah atau sebelum karya tersebut, tetapi benar-benar ke dalam karya itu sendiri. Karya seni bukan ilustrasi konsep-konsep realita.

Repertoire meliputi penyeleksian norma-norma dan kiasan-kiasan. Norma-norma dan konvensi-konvensi ini disusun kembali oleh pembaca dan selanjutnya berpotensi estetis (fungsional), bukan hanya imitatif. Repertoire sastra mempunyai dua fungsi (Iser, 1987:81) yaitu membentuk kembali skemata familiar untuk latar belakang proses-proses komunikasi, dan menyediakan kerangka umum di mana pesan atau arti teks dapat diorganisasi. Melalui proses seleksi ini juga akan menciptakan hubungan background-foreground, elemen terseleksi berada di

Pendistribusian repertoire diantara perspektif-perspektif yang berbeda membutuhkan kriteria agar dapat dilakukan evaluasi elemen-elemen terseleksi, dan efektivitas untuk kepentingan itu hanya dapat dilakukan melalui interaksi tema dan horison (Iser, 1987:96). Tema adalah konstitusi pandangan tentang pembaca yang terlibat pada satu momen tertentu. Horison adalah segala sesuatu yang dapat dilihat dari satu titik.

Tema dan horison mengorganisasi sikap pembaca dan mengkonstruksi sistem perspektif teks. Struktur ini mengkonstitusi aturan dasar untuk mengkombinasikan strategi-strategi teks, dan struktur ini memiliki beragam efek. Interaksi tema dan horison memungkinkan pembaca untuk memandang norma-norma lama dalam konteks barunya dan karenanya memungkinkan pembaca untuk memproduksi sendiri satu sistem ekuivalensi. Inilah cara bagaimana struktur tema dan horison “menyerap” pembaca ke dalam situasi historis teks, dan kemudian ia melakukan reaksi terhadapnya (respon).

Salah satu cara mengetahui repertoire dalam sebuah teks untuk merespon teks adalah melalui kebudayaan yang terdapat dalam teks tersebut. Featherstone (dalam Suwardi, 2006:24-26) mengungkapkan ada tiga konteks kebudayaan yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti, yaitu produksi kebudayaan, socio-genesis kebudayaan, dan psicho-genesis kebudayaan.

1. Produksi kebudayaan

Produksi berkaitan dengan hasil suatu karya. Oleh karena itu, produksi kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil dari akal dan pemikiran manusia berdasarkan budaya yang ada di sekelilingnya. Kebudayaan diciptakan

xxxi

tertarik, muncul pula budaya inovasi yang berarti budaya sebagai ciptaan akan melebar ke bidang apa saja (Featherstone dalam Suwardi, 2006:24).

2. Socio-genesis kebudayaan

Socio-genesis kebudayaan dapat diartikan sebagai aspek sosial yang mempengaruhi kebudayaan yang dihasilkan. Kebudayaan akan terikat oleh

boundary (lingkup) yang mengitari. Lingkup sosial akan menciptakan produk budaya yang lain, karena di antara unsur sosial budaya tersebut merasa saling terkait (Featherstone dalam Suwardi, 2006:25).

3. Psicho-genesis kebudayaan

Psicho berarti jiwa. Oleh karena itu, psico-genesis kebudayaan dapat diartikan sebagai aspek kejiwaan yang mempengaruhi kebudayaan yang dihasilkannya. Kebudayaan dapat muncul dari dorongan kejiwaan. Karena itu muncul budaya-budaya lembut yang bersifat spiritual. Budaya semacam ini merupakan tuntutan alamiah naluri jiwa manusia sebagai pemenuhan kebutuhan batin (Featherstone dalam Suwardi, 2006:25).

Berkaitan dengan manfaat repertoire yang salah satunya untuk mencapai estetika kepada pembaca, nilai merupakan pendorong struktural yang dibutuhkan untuk proses komunikasi. Nilai estetika mengawali proses di mana pembaca membangun arti teks. Arti atau pemahaman haruslah pragmatis, karena arti tidak bisa mencakup semua potensial semantik teks, tetapi hanya bisa membuka satu bentuk akses khusus untuk potensial ini. Arti pragmatis adalah arti yang diterapkan untuk memungkinkan teks sastra mampu memenuhi fungsinya sebagai jawaban dengan menampilkan dan menyeimbangkan kecacatan-kecacatan sistem yang telah menciptakan masalah. Arti pragmatis hanya bisa muncul melalui

realisasi selektif, maka keputusan pembaca yang harus bermain bersama dengan sikap yang dibangkitkan dalam dirinya oleh teks terhadap permasalahan yang dilemparkan oleh repertoire. Arti membuat pembaca bereaksi terhadap realitanya sendiri, sehingga realita yang sama ini kemudian dapat dibentuk kembali. Dengan proses ini, simpanan pengalaman masa lalu pembaca dapat menjalani revaluasi yang sama dengan yang dimaksudkan ke dalam repertoire (Iser, 1987:85).

Repertoire membentuk struktur arti organisasional yang harus dioptimalisasikan melalui pembaca teks. Optimalisasi ini bergantung pada tingkat kesadaran dan keinginannya sendiri untuk membuka pengalaman yang belum dikenal. Dengan kata lain, bergantung pada strategi-strategi teks dengan meletakkan baris-baris yang akan diaktualisasikan ke dalam teks. Baris-baris ini tidak berubah karena unsur-unsur repertoire sangat ditentukan. Apa yang tidak menentukan untuk tingkat yang dirumuskan adalah sistem persamaan-persamaan dan hanya dapat ditemukan dengan mengoptimalisasi struktur yang ditentukan.

Luxemburg, dkk (1984:79-80) mengungkapkan sumber-sumber terpenting bagi penelitian resepsi ialah:

1. laporan resepsi dari pembaca nonprofesional: catatan dalam buku catatan harian, catatan di pinggir buku, laporan dalam autobiografi, dan seterusnya; 2. laporan profesional;

3. terjemahan dan saduran;

4. saduran di dalam sebuah medium lain, seperti misalnya film yang berdasarkan sebuah novel;

xxxiii 6. resensi;

7. pengolahan dalam buku-buku sejarah sastra, ensiklopedi, dan sebagainya; 8. dimuatnya sebuah fragmen dalam sebuah bunga rampai, buku teks untuk

sekolah, daftar bacaan wajib bagi pelajar dan mahasiswa; 9. laporan mengenai angket, penelitian sosiologik dan psikologik.

Dalam hal ini, Songlit Sebelum Cahaya termasuk dalam kategori kelima yaitu resepsi produktif, unsur-unsur dari sebuah karya sastra diolah dalam sebuah karya baru. Unsur-unsur yang ada pada teks (lirik) Lagu Sebelum Cahaya diolah sehingga menghasilkan Songlit Sebelum Cahaya. Di sinilah peran pembaca implisit sehingga tujuan pengarang yang termuat dalam teks songlit dapat diikuti dengan panduan itu (teks lagu) sebagai pedoman untuk merekonstruksi situasi tekstual dalam proses pemahaman dan pemaknaan teks.

Dengan teori repertoire Iser, penelitian ini mempergunakan keseluruhan teks dalam Songlit Sebelum Cahaya sebagai objek kajian. Objek kajian tersebut kemudian difokuskan pada segala sesuatu yang menjadi landasan pengarang untuk menciptakan Songlit Sebelum Cahaya, yang dalam hal ini meliputi karya terdahulu sebagai referensi, struktur tema, horison, dan keseluruhan kebudayaan tentang karya itu.

Dokumen terkait