• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Karya Sastra Novel Sebagi Media Komunikasi Massa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel merupakan hasil karya naratif dan fiksi yang bukan menyajikan kenyataan di dunia ini tetapi perlambangan atau model dari kenyataan itu, wujud dari perlambangan itu berupa kata-kata yang digunakan untuk berkomunikasi sekaligus untuk merasakan dan berfikir tentang realitas yang tergantikan oleh kata-kata tersebut.

Menurut Ducan dalam Ratna (2003:142), karya sastra sebagi proses komunikasi menyediakan pemahaman yang sangat luas. Dalam sebuah karya sastra terkandung bentuk-bentuk ideal komunikasi, karena karya sastra menyajikan pengalaman dalam kualitas antar hubungan.

Dalam suatu karya sastra, hubungan antara pengarang dan pembaca mesti dipahami dengan hubungan yang bermakna, sebagai pola-pola hubungan yang terbuka dan produktif dengan implikasi sosial, bukan sebagai kausalitas yang berbentuk tunggal dan linier. Karya sastra khususnya novel, dengan peralatan formalnya, makin lama makin

dirasakan sebagai aktivitas yang benar-benar memiliki fungsi integral dalam struktur sosial. (Ratna, 2003:134)

2.1.2 Representasi

Chris Barker menyebutkan bahwa Representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaiman dunia dikostruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita didalam pemaknaan tertentu. Cultural studies memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri. (Barker, 2006:9)

Representasi adalah elemen-elemen yang ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Elemen-elemen tersebut diStransmisikan kedalam kode representasional yang memasukkan diantara bagaimana objek digambarkan : karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya. (Eriyanto, 2001 115)

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk konkret.

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial. Pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas representasi merupakan produksi makna melalui bahasa. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).

Menurut Stuart Hall (1997), representasi merupakan salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudaan menyangkut “pengalaman berbagi”. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara bahasa yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).

Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, “bahasa” yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem “peta konseptual” dengan bahasa atau simbol yang berfungsi mereprasentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konseptual” dan “bahasa/simbol” adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi.

Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu didunia ini, ia selalu dikonstruksikan diproduksi lewat representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan, praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu

2.1.3 Keseimbangan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), Keseimbangan berasal dari kata dasar “Imbang” yang artinya setimbang ; sebanding ; sama. Keseimbangan adalah keadaan yang seimbang.

2.1.4 Keseimbangan Makan

Makan adalah kegiatan memasukkan makanan atau sesuatu ke dalam mulut untuk menyediakan nutrisi bagi binatang dan makhluk hidup, dan juga energi untuk bergerak dan juga untuk pertumbuhan, yaitu dengan memakan organisme. Makhluk karnivora memakan binatang, makhluk herbivora memakan tumbuhan, sedangkan omnivora memakan keduanya. (Foster, 2009:15)

Makan adalah bahan, yang biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, dimakan oleh makhluk hidup untuk memberikan tenaga dan nutrisi. (Zaidan, 2005:24)

Makan adalah salah satu kebutuhan pokok, setiap orang membutuhkan makanan termasuk minuman untuk kelangsungan hidup manusia. Makanan sangat beragam jenisnya yang berbeda-beda dari bentuk, aroma, dan rasanya. (http://indonesia.siutao.com/tetesan/keseimbangan.php)

Keseimbangan Makan adalah makanan yang bercita rasa tinggi sesuai selera dan dapat memenuhi kebutuhan kesehatan dengan menjamin tersedianya zat-zat yang diperlukan tubuh serta ekonimis. Tentunya untuk mendapatkan suatu masakan yang baik harus tersedia resep dimana yang terpenting dari semua itu adalah adanya suatu keseimbangan yang terkontrol

dengan baik sehingga mendapatkan hasil yang terbaik. (http://indonesia.siutao.com/tetesan/keseimbangan.php)

2.1.5 Keseimbangan Doa

Doa atau Meditasi adalah praktisi disiplin mental yang berusaha untuk mendapatkan refleksif "berpikir" yang melampaui pikiran dalam keadaan yang lebih relaksasi atau kesadaran. Meditasi merupakan sebuah komponen dari banyak agama, dan telah dipraktekkan sejak jaman dahulu. Hal ini juga dipraktekkan di luar tradisi keagamaan. Disiplin meditatif yang berbeda-beda mencakup berbagai praktek-praktek spiritual atau psikofisik yang mungkin mempunyai tujuan yang berbeda-beda dari pencapaian keadaan yang lebih tinggi dari kesadaran, untuk lebih menjadi lebih fokus, kreativitas atau kesadaran diri, atau hanya kegiatan santai dalam kerangka untuk berpikir jernih. (Dioma, 2002:6)

Meditasi adalah usaha pengalihan pikiran kepada kesadaran yang lebih tinggi dengan tujuan untuk memperluhur jiwa. Di dalam praktek yoga, meditasi sering dilakukan dengan cara mengulang-ulang di dalam hati suatu mantra tertentu, yang telah diberkati dengan tenaga spiritual oleh seorang Guru. Dan dengan mengulang-ulang mantra tersebut, kekuatan

spiritual yang luhur dan suci akan hadir di dalam diri siswa meditasi untuk memurnikan jiwanya. (Khrisnamurti, 1997:25) Dalam kebatinan Hindu, meditasi merupakan latihan pengendalian mental yang dipraktekkan melalui yoga. Yoga adalah seorang bangsa India penganut agama Hindu yang mempunyai tujuan utama untuk melatih pikiran dan tubuh sebagai satu keseluruhan. Untuk mencapai wawasan spiritual dan ketenangan yang dicapai melalui latihan serangkaian postur khusus yang disebut asana, latihan pernafasan yang disebut pranayama, pengendalian mental melalui meditasi, berbagai teknik pembersihan dalam, dan pengendalian serta memanipulasi suatu energi fundamental yang disebut prana. (Gandhi, 2007:63)

Tujuan seseorang melakukan praktek yoga adalah untuk mempersatukan ketiga unsur tersebut dan mencapai persatuan dengan “Sang Tuhan” atau “Pikiran Alam Semesta”. Dalam meditasi yoga ada usaha untuk mencapai persatuan At-man dengan Brahman, antara diri (self) manusia kepada diri Alam. Menurut Merta dalam Majalah Gatra, 7 Agustus 1999, hlm.26, pendiri Bali Usaha Meditasi, teknik meditasi ada dua. Pertama meditasi kosentrasi, yang menerapkan teknik memfokuskan pikiran ke satu obyek, hingga terjadi penyatuan dengan cara menyebut mantra-mantra tertentu, memandang

cahaya lilin, dan sebagainya. Dengan cara itu, muncullah kekuatan supranatural, sesuai dengan arah yang dikehendaki. Kedua, meditasi kebijaksanaan, teknik untuk menghilangkan reaksi buruk didalam memori : keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Sehingga akhirnya seseorang menjadi orang yang

baik, sesuai agama masing-masing. (http://www.yabina.org/artikel.htm)

Keseimbangan Doa adalah bagian yang tidak tepisahkan dari latihan untuk membangkitkan kekuatan batin dalam diri manusia dan yang ditujukan untuk mencari ketenangan hidup, relaksasi, dan kelepasan. Dalam agama kebatinan (patheis/mistik) maupun yang mempercayai animisme dan magisme, praktek meditasi atau yang sekarang diperhalus disebut kontemplasi atau kosentrasi, merupakan salah satu cara populer untuk membangkitkan energi vital/tenaga hidup dalam diri manusia disamping cara lain seperti latihan pernafasan dan gerakan tubuh. Untuk mengalami tenaga hidup sepenuhnya, seseorang harus mengendalikan pikiran dari perasaan diri sendiri. Hal itu harus menguasai keterampilan menjernihkan pikiran dan berkosentrasi dengan cara bermeditasi. (http://azrl.wordpress.com/hidup-seimbang/)

2.1.6 Keseimbangan Cinta

Dalam psikoanalisis, Sigmund Freud mengemukakan teori cinta yang membahas cinta seksual dimana objek cinta adalah lawan jenis, ini semua merupakan objek-objek normal yang memiliki insting seksual. Semua jenis cinta lain misalnya cinta diri, cinta familial, persahabatan dan cinta akan kemanusiaan, cinta terhadap objek konkrit maupun abstrak, dibentuk lewat pengalihan objek normal atau rintang atau lewat penyimpangan dari tujuan normal. (Santas, 2002:36)

Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut. (Rosyadi, 2000:18)

Cinta adalah satu perkataan yang mengandungi makna perasaan yang rumit. Penggunaan perkataan cinta juga dipengaruhi perkembangan semasa. Perkataan sentiasa berubah seperti menurut tanggapan, fahaman dan penggunaan di dalam keadaan, kedudukan dan generasi masyarakat yang berbeza. Sifat cinta dalam pengertian abad ke 21 mungkin

berbeza daripada abad-abad yang lalu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Cinta)

Cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam. Menurut Erich Fromm, ada empat syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:Pengenalan, Tanggung jawab, Perhatian, Saling menghormati. (Widianti, 2007:19)

Cinta identik dengan ungkapan perasaan sayang, suka sepasang sejoli yang dimabuk asmara. Ada yang mengatakan cinta itu suci, cinta itu agung, cinta itu indah dan begitu indahnya hingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan. Tidak ada batasan yang jelas tentang arti cinta, oleh karena itu kita sering secara tidak sadar berdialektika sendiri untuk menemukan arti cinta ynag sesungguhnya. Setiap orang mempunyai pemikiran dan pendapat sendiri mengenai cinta, hal ini berkaitan dengan pengalaman, latar belakang dan tingkat kepekaan individu. Keseimbangan cinta adalah bagaimana memberikan cinta kepada orang yang disayangi dan bagaimana orang yang disayangi memberikan cintanya seimbang atau cukup untuk kita. Semua itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. cinta dapat berupa apa aja yang bisa membahagiakan pasangan kita. Variabel kontrolnya disini adalah perasaan bahagia dan

senang dari pasangan. Hal ini tidak harus kita menuruti kehendak pasangan kita, yang jelas disini adalah bagaimana pasangan kita bisa merasakan kebahagiaan dan ketengan saat kita berada di sisinya dan satu lagi. Ini yang biasanya dilupakan banyak pasangan. Dia atau pasangan kita juga harus tenang saat kita tidak berada disisinya karena dia yakin dan percaya pada kita. (http://ardlian.net/keseimbangan-cinta/)

Keseimbangan cinta merupakan kunci kehidupan untuk bahagia, namun hal yang lebih penting.

2.1.7 Keseimbangan Hidup

Pada dasarnya orang perlu hidup berdasarkan konsep yang dipilihnya. Dan pada umumnya, orang menetapkan tujuan hidup, kemudian menjalankan kehidupan sehari-hari agar tujuan hidup bisa tercapai.

Kalau seseorang belum punya konsep, maka ada usul atau rekomendasi para ahli bahwa seseorang mengejar tiga aspek tujuan hidup:

a. Kualitas pribadi, agar aspek fisik, mental, dan spiritual semakin bertumbuh istimewa.

b. Aset sosial dan ekonomi, agar tidak miskin dan bergantung pada orang lain.

c. Petualangan, hobby dan kesenangan, yang memberikan berbagai thrills dan surprises.

Jadi hidup yang seimbang adalah hidup yang mengejar tiga aspek ini secara seimbang. Pastikan anda mengalokasikan hari-hari anda pada pencapaian ketiga aspek ini. (http://azrl.wordpress.com/hidup-seimbang/)

Kehidupan adalah fenomena atau perwujudan adanya hidup, yaitu keadaan yang membedakan organisme (makhluk

hidup) dengan benda mati. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kehidupan)

2.1.8 Semiologi

Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Akar namanya sendiri adalah “Semeion”, nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simptomatologi dan diagnostik inferensial (Sinha, 1988:3 dalam Kurniawan, 2001 :49)

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upayah berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. (Sobur, 2004;15)

Semiologi adalah ilmu tentang bentuk-bentuk, karena hal itu mempelajari pertandaan terlepas dari kandungannya. (Barthes, 2007 :299)

Dalam devinisi Saussure (Budiman, 1990:107), Semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat dan dengan demikian, menjadi bagian dari displin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya (Sobur, 2004:12)

Sejak kemunculan Saussure dan Peirce, maka semiologi menitikberatkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya. Meskipun semiotika Pierce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi Skolastik yang mengarah pada inferensi (Pemikiran logis) dan Saussure menekankan pada linguistik, pada kenyataanya semiologi juga membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam sistem tanda non linguistik. Sementara itu, bagi Barthes (1988:179) semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things). (Kurniawan, 2001;53)

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan

keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara penjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai sistem pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes desebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas dibedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley&Jansz,1999):

Gambar 2.1.4 Peta Tanda Roland Barthes

Dalam Konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

1.signifier (Penanda)

2. signified (petanda) 3. denotative sign (tanda denotative) 4. conotative signifier

(penanda konotatif)

5. conotative signified (petanda konotatif) 6. conotative sign (tanda konotatif)

pembenaran bagi nilai-nilai dominasi yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Sobur, 2004:69-71)

Mitos, menurut Barthes (1993:109), adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah objek, sebuah konsep, atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan yakni sebuah bentuk. Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek pesannya.

Suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila tidak hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tak lain adalah teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi, maka teks tersebut dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan bacaan tertentu. Leksia ini dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, sebuah paragraf, atau beberapa paragraf. (Kurniawan, 2001:93)

Lima Kode yang ditinjau Barthes adalah (Lechte, 2001:196) Kode sebagai sistem makna luar yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda, menurut Barthes terdiri atas lima jenis : kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode

gnomik atau kultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.

Pertama, kode hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Didalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian dalam cerita.

Kedua, kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip.

Ketiga, kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna yang berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam proses produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Keempat, kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang. Antara lain semua teks yang bersifat naratif.

Kelima, kode gnomik atau kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, reslisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.

Tujuan Analisis Barthes ini, menurut Lechte (2001:196), bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian paling meyakinkan atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produka buatan, dan bukan tiruan yang nyata. (Sobur,2004:66)

Semiologi, bagaimanapun sejauh ini tetaplah sebuah metode untuk mendekati kebudayaan dalam beragam bentuknya.

2.2 Kerangka Berfikir

Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu obyek atau peristiwa. Hal ini dikarenakan latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda pada setiap individu tersebut. Dalam menciptakan sebuah pesan

komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan melalui teks novel, maka seorang penulis novel dalam menyampaikan pesan yang dituliskan didalam bukunya berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Dua hal diatas ini juga nantinya mempengaruhi peneliti dalam memaknai pesan yang terdapat dalam teks novel tersebut

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan pada novel Elizabeth Gilbert berjudul EAT,PRAY,LOVE. Dalam merepresentasikannya menggunakan metode semiologi Roland Barthes, dengan menggunakan leksia dan lima kode pembacaan. Representasi Keseimbangan yang terdapat pada novel Elizabeth Gilbert berjudul EAT,PRAY,LOVE akan diintepretasiakn melalui tahap pemaknaan. Novel EAT,PRAY,LOVE akan dipilah penanda-penandanya kedalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut leksia atau satuan bacaan, yaitu satuan pembacaan (units of reading) dengan menggunakan kode-kode pembaca yang terdiri dari lima kode. Kelima kode tersebut meliputi kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, kode kultural. Leksia ini dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, atau beberapa paragraf.

Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan interpretasi yang mendalam dan tidak dangkal.

Gambar 2.2 Kerangka Berfikir Novel Elizabeth Gilbert berjudul EAT,PRAY,LOVE Analisis Menggunakan Metode Semiologi Roland Barthes Hasil intepretasi Data

Dokumen terkait