• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori-teori yang Mendukung

Teori yang mendukung merupakan teori yang melandasi penelitian ini. Teori ini terdiri dari teori perkembangan anak, proses kognitif mengevaluasi dan

mencipta,metode inkuiri,hakikat IPA, materi pembelajaran IPA kelas V.

2.1.1.1Teori Perkembangan Anak

Perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun pemahaman mereka melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka dengan lingkungannya (Triyanto, 2009: 29). Jadi seorang anak akan belajar lebih baik jika mereka dihadapkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata mereka, karena mereka lebih mudah untuk belajar melalui pengalaman yang didapatkan dalam kehidupannya sehari-hari. Jika anak dapat dengan baik belajar melalui sebuah pengalaman yang mereka punya maka dia akan lebih mudah untuk mengingat hasil yang akan mereka capai,dimana pembelajaran tersebut akan memberikan makna tersendiri bagi seorang anak. Pembelajaranharus disesuaikan dengan tahap perkembangan anak.

Pada penelitian ini peneliti memilih teori perkembangan anak Piaget (1896) karena teori tersebut sesuai dengan kenyataan. Setelah Piaget memperoleh gelar doktor dia mulai tertarik pada psikologi sehingga dia melakukan pengamatan terhadap tiga anaknya sendiri dengan menerapkan prinsip dan metode biologi pada studi perkembangan manusia (Slavin, 2009: 42). Sebelum menuju pada tahap perkembangan anak terdapat beberapa konsep utama atau konsep penting dalam teori Piaget (Hergenhahn & Olson, 2010: 313-318) yaitu intelegensi, skemata, asimilasi

9 seseorang dalam mengoptimalkan setiap proses dalam kehidupannya (Hergenhahn & Olson, 2010: 313). Semisal kemampuan seorang anak dalam menyelesaikan tes di sekolah. Skemata, didefinisikan sebagai kemampuan untuk berindak dengan cara tertentu (Hergenhahn & Olson, 2010: 314). Misal anak sebelumnya belum pernah membawa botol, lalu anak tersebut membawa botol dengan cara memegang kepala botol tersebut terlebih dahulu. Asimilasi yakni proses merespon lingkungan fisik sesuai dengan struktur kognitif seseorang (Hergenhahn & Olson, 2010: 314). Misalnya anak sebelumnya sudah mengerti cara membawa botol yang pernah dilakukannya, maka dia akan mengulangi kembali cara yang dilakukannya. Sedangkan akomodasi merupakan proses memodifikasi struktur kognitif (Hergenhahn & Olson, 2010: 315). Dalam konsep ini anak akan berusaha untuk benar-benar memilih cara yang paling baik dalam bertindak.

Ekuilibrasi secara sederhana didefinisikan sebagai dorongan terus-menerus kearah keseimbangan atau ekuilibrium (Hergenhahn & Olson, 2010: 316).

Ekuilibrium adalah bagaimana anak-anak berpindah dari satu tahap pemikiran ke berikutnya (Santrock, 2014: 44). Pada proses ekuilibrasi tahap pemikiran anak akan berpindah ke tahap yang lebih tinggi karena adanya konflik atau disekuilibrium saat belajar dan dia akan berusaha untuk mencari jawaban atas permasalahannya.

Interiorisasi merupakan penurunan ketergantungan pada lingkungan fisik dan meningkatnya penggunaan struktur kognitif (Hergenhahn & Olson, 2010: 317). Pada konsep ini anak sudah mulai mempunyai struktur kognitif yang lebih luas dari sebelumnya karena anak lebih mempunyai banyak pengalaman, jadi anak tidak lagi tergantung pada situasi yang ada di sekitarnya. Sebagai contoh seorang bayi yang semula hanya dapat merespon situasi disekitar dengan mengindra, seiring berjalannya waktu bayi tersebut akan tumbuh dan akan menggunakan pikiran untuk merespon sesuatu yang terjadi dilingkungannya.

Kelima konsep tersebut saling berhubungan karena konsep-konsep tersebut menunjukkan perkembangan intelektual seseorang. Dari proses-proses yang saling berhubungan tersebut Piaget (dalam Hergenhahn & Olson, 2010: 318-320) menyimpulkan bahwa ada beberapa tahap perkembangan intelektual menurut umur

10 seseorang, yaitu: (1) Tahap sensori motor (0-2 tahun), (2) Tahap berpikir pra-operasional (sekitar 2-7 tahun), (3) Tahap pra-operasional konkret (sekitar 7-11 atau12 tahun), (4) Tahap operasional formal (sekitar 11 atau 12 tahun sampai 14 atau 15 tahun). Jadi, siswa usia sekolah dasar tergolong pada tahap operasional konkret.

Pada tahap operasional konkret (7 – 11 atau 12 tahun) anak sudah mampu mengembangkan kemampuan mempertahankan (konservasi), mengelompokkan, melakukan pengurutan (pengurutan dari yang terkecil hingga paling besar dan sebaliknya), dan juga memecahkan konsep angka. Namun pada beberapa kemampuan tersebut anak masih mengacu pada objek konkret/nyata. Anak akan mampu menyelesaikan suatu permasalahan jika permasalahan tersebut berbentuk konkret/nyata Hergenhahn & Olson (2010: 320). Pada tahap terakhir operasional konkret siswa sudah mulai memiliki pemikiran yang logis, namun pemikiran tersebut belumlah sempurna. Anak masih mengalami kesulitan untuk memahami gagasan-gagasan yang abstrak (Ormrod, 2008: 47). Pemikiran-pemikiran abstrak akan lebih matang pada tahap berikutnya, yaitu tahap operasional formal.

Dalam teori perspektif sosiokultural Lev Vygotsky (1896) menempatkan lebih banyak penekanan pada lingkungan sosial sebagai fasilitator perkembangan dan pembelajaran (Tudge & Scrimsher, dalam Schunk 2012: 337). Teori Vygotsky ini menitikberatkan interaksi dari faktor-faktor interpersonal (sosial), kultural-historis, dan individual sebagai kunci dari perkembangan manusia (Tudge& Scrimsher, dalam Schunk, 2012: 339). Interaksi dari faktor-faktor tersebut merupakan bagaimana anak berhubungan dengan lingkungan disekitarnya, sebagai contoh interaksi anak di lingkungan sekolah maupun disekitar rumah, dan masyarakat. Dengan interaksi tersebut maka akan mendorong proses perkembangan psikologi anak sehingga kemampuan berpikir/kognitif mereka juga akan bertumbuh karena mereka telah belajar dari lingkungan sekitar mereka. Gauvain & Parke (dalam Santrock, 2014: 57) juga mengemukakan bahwa dalam perkembangan teori kognitif Vygotsky, anak dibentuk oleh konteks budaya tempat mereka hidup.

Aspek kultural-historis dari teori Vygotsky menonjolkan pemikiran bahwa pembelajaran dan perkembangan tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Cara siswa

11 berinteraksi dengan dunia mereka-dengan orang-orang, objek, dan intuisi-intuisi didalamnyamengubah cara berpikir mereka. Makna-makna konsep berubah ketika dihubungkan dengan dunia (Gredler, dalam Schunk, 2012: 339). Hal ini berarti bahwa lingkungan disekitar anak sangatlah penting karena lingkungan tersebut menjadi sebuah wahana bagi anak untuk menggali dari mana asal pengetahuan mereka. Jadi dengan kata lain lingkungan disekitar anak juga menjadi faktor pendukung pembelajaran.

Salah satu konsep pokok dalam teori Vygotsky adalah Zona Perkembangan Proksimal(ZPD) yang didefinisikan sebagai “jarak antara level perkembangan aktual

yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara mandiri dan level potensi perkembangan yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bantuan orang dewasa atau dengan kerjasama dengan teman-teman sebaya yang lebih mampu”

(Vygotsky, dalam Schunk 2012: 341). Sedangkan konsep ZPD yang dikemukakan oleh Santrock (2014: 57) adalah istilah Vygotsky untuk berbagi tugas yang terlalu sulit bagi anak untuk dikuasai sendiri, tetapi dikuasai dengan bimbingan dan bantuan dari orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil. Dari dua pendapat para ahli tersebut yang dimaksudkan konsep ZPD yaitu dimana seorang anak yang mengalami kesulitan belajar akan menyelesaikan suatu permasalahan dengan dibantu oleh orang lain yang mempunyai pengalaman dalam mencari solusi dari permasalahan tersebut. Orang lain disini adalah guru, saudara, tetangga maupun teman-temannya yang memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan anak, jadi anak dapat berinteraksi sambil belajar dengan orang lain untuk menyelesaikan permasalahannya. Interaksi dengan orang lain tersebut akan mendorong perkembangan berpikir atau kognitif seorang anak, selain itu anak akan lebih mudah untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang dialaminya.

Untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam ZPD mereka, anak dibantu oleh guru, teman, maupun pihak lain yang mempunyai kemampuan lebih. Bantuan tersebut disebut scaffolding (perancahan) yang berarti perangkat yang berfungsi sebagai penyangga (tempat berpijak) bagi para pekerja hingga bangunan itu sendiri telah cukup kuat untuk menyangga mereka (Ormrod, 2008: 63). Misalnya, seorang anak

Dokumen terkait