BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka
Kajian pustaka membahas tentang teori yang mendukung serta penelitian yang
relevan.
1. Teori yang mendukung
Bagian ini membahas beberapa topik yang berkaitan dengan penelitian yang
akan dipakai, yaitu prestasi belajar, metode montessori, alat peraga, pembelajaran
matematika, dan operasi perkalian.
a. Tahap Perkembangan Anak Sekolah Dasar
Pada topik ini akan menguraikan tahapan perkembangan anak menurut dua
ahli, yaitu menurut Piaget dan Montessori. Tahapan perkembangan anak menurut
Piaget dibagi menjadi 4 tahap (Hill, 2011: 160-164). Pertama adalah tahap sensori
motor yaitu pada umur 0-2 tahun. Pada tahap 0-2 tahun anak baru dapat
memahami hal-hal yang dapat ditangkap oleh pancaindranya. Seorang bayi lahir
dengan refleks bawaan untuk membantu membentuk perilaku anak. Kedua adalah
tahap pra operasional yaitu pada umur 2-7 tahun. Tahap kedua ini anak sudah bisa
menghubungkan pengalaman yang dilihat dengan pengalaman pribadi yang
dialaminya.Tahap ketigadisebut tahap pra operasional konkrit. Tahap operasional
konkrit berlangsung antara umur umur 7-11 tahun. Tahap 7-11 tahun, seorang
anak sudah dapat memahami simbol matematis namun anak belum dapat
memahami hal-hal yang abstrak. Anak sekolah dasar menurut Piaget berada pada
tahapan ini. Tahap terakhir ialah tahap operasional formal yang berjalan pada
umur sebelas tahun ke atas. Tahap terakhir ditandai dengan anak sudah dapat
memecahkan masalahnya, mampu berfikir reflektif, dan mengaitkan antar simbol.
Teori perkembangan anak yang kedua yaitu menurut Maria Montessori. Tahap
perkembangan anak menurut Montessori dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu umur
6, 6-12, dan 12-18 (Holt, 2008: xxi). Tahapan yang pertama adalah tahap usia
0-6 tahun. Usia 0-0-6 tahun merupakan tahapan pertama dan tahapan emas bagi
anak-anak. Tahapan ini merupakan periode dimana anak mulai belajar melakukan
gerak, berlatih tentang keteraturan, menyayangi lingkungan, serta sangat peka
terhadap susuatu yang bersifat mendetail dan bilangan atau angka. Tahap kedua
adalah usia 6-12 tahun. Tahap kedua ini, anak mulai peka terhadap hal yang
bersifat logika dan pembenaran. Anak mulai mampu mengembangkan imajinasi,
rasa berkelompok, ingin menampakkan kekuatan fisik, dan mengasah mental dan
moralitas pada umur 6-12 tahun. Tahap ketiga ialah 12-18 tahun. Usia 12-18
Anak pada tahapan ketiga akan mengalami kematangan fisik dan mulai mencari
model ideal yang akan menjadi idolanya dan menjadikannya acuan untuk diikuti.
Rentang usia anak sekolah dasar adalah antara 7-12 tahun. Piaget
mengungkapkan bahawa anak sekolah dasar tahapan perkembangannya ada pada
tahapan operasional konkret. Montessori mengungkapkan pernyataan yang lain
dari Piaget tentang teori perkembangan anak. Teori tersebut adalah anak usia
sekolah dasar ada pada tahapan yang kedua yaitu dimana anak sangat sensitif
terhadap logika dan pembenaran. Kedua uraian dari Montessori dan Piaget
tersebut kemudian dapat dikatakan anak sekolah dasar memerlukan pembelajaran
yang konkret dan ada pembenaran yang sesuai dengan logika anak.
b. Metode Montessori
Pada topik ini akan diuraikan mengenai dua pokok bahasan yaitu tentang
sejarah metode montessori dan karakteristik metode montessori.
1. Sejarah metode Montessori
Metode montessori merupakan salah satu metode untuk anak sekolah dasar
yang sudah lama berkembang di Italia dan kini menyebar sampai ke Indonesia.
Nama metode Montessori diambil dari nama pencetusnya yaitu Maria Montessori.
Montessori merupakan salah satu tokoh besar pendidikan. Montessori lahir di
Chiaravalle, provinsi Ancona, Italia pada tanggal 31 Agustus 1870 (Magini, 2013:
103). Montessori lahir dari seorang ibu bernama Renilde Stoppani dan seorang
ayah bernama Alessandro Montessori. Maria montessori adalah seorang dokter
Metode Montessori muncul melalui sebuah sekolah bagi anak-anak yang
kurang beruntung dalam bidang finansial yang bernama Casai De Bambini atau
Children’s House. Melalui Casai De Bambini inilah Montessori banyak mengamati perilaku anak dan menuangkan hasil pengamatannya ke dalam alat
peraga yang terinspirasi dari alat peraga Itard dan Seguin (Magini, 2013: 46-51).
2. Karakteristik metode Montessori
Standing (Kirkpatrick, 2008: 128) mengungkapkan tentang makna,”Teach, Teaching, not correcting”, yaitu mengoreksi memang akan lebih cepat memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh siswa, tetapi akan menimbulkan
catatan mental pada anak tentang ketidaksempurnaan sesuatu yang dikerjakan
oleh anak tersebut. Catatan mental tersebut akan membuat anak menjadi takut
salah, lebih baik jika anak tersebut menyadari ketidak sempurnaan yang terjadi
melalui dirinya sendiri atau alat yang dipakainya sendiri.
Metode Montessori memiliki 5 prinsip dasar yaitu menghormati anak, pikiran
penyerap, periode sensitif, swadidik, dan menyiapkan dengan lingkungan
(Bradley, 2013: 7-9). Guru yang menunjukkan rasa hormat kepada siswanya akan
membuat siswanya belajar akan hal tersebut, baik untuk diri mereka sendiri
maupun untuk orang lain. Konsep pikiran penyerap adalah setiap anak menyerap
langsung ke psikisnya segala yang mereka pelajari. Montessori mengungkapkan
hanya dengan hidup siswa dapat belajar, tetapi mereka tidak bisa belajar sendiri
melainkan membutuhkan guru, pengalaman dan lingkungan. Lingkungan dapat
membantu siswa untuk belajar. Periode sensitif adalah tahap perkembangan anak
Penerapan metode Montessori dalam pembelajaran selalu berkaitan dengan
alat peraga. Alat peraga merupakan salah satu ciri dari metode tersebut.
Montessori merancang dan membuat sendiri alat peraga sesuai dengan hasil
pengamatannya dan mengacu pada alat yang dibuat oleh Itard dan Seguin
(Magini, 2013: 46-50). Alat peraga Montessori di rancang sesuai dengan
kebutuhan anak baik secara kognitif maupun secara fisik. Secara kognitif, alat
peraga dikembangkan sesuai dengan kemampuan anak yaitu untuk membuat
materi pembelajaran menjadi lebih nyata, sedangkan secara fisik, alat peraga
Montessori disesuaikan dengan fisik anak. Misalnya meja dan kursi dibuat kecil
dan pendek sesuai dengan ukuran tubuh anak-anak.
Montessori berpendapat bahwa setiap anak memiliki kebutuhan untuk
mandiri (Pitamic, 2013: 8). Metode Montessori memiliki filosofi “Teach me to do it my self”. Filosofi tersebut mengandung arti bahwa setiap anak terlahir memiliki kemampuan untuk belajar dan menemukan cara belajarnya sendiri. Berangkat dari
filosofi tersebut, metode Montessori sangat menghargai kebebasan dan hasil kerja
anak.
Beberapa paparan yang telah diuraikan kemudian dapat dibuat kesimpulan
yaitu metode montessori memiliki karakter menghargai kemampuan anak,
menghargai kebebasan individu, menghargai hasil kerja anak, tidak ada unsur
mengoreksi dari guru, dan selalu menggunakan alat peraga yang menuntun anak
untuk belajar secara mandiri. Guru dapat menghargai kemampuan anak dengan
c. Alat Peraga Matematika Berbasis Metode Montessori
Sub bab alat peraga matematika berbasis metode Montessori akan membahas
tentang 3 bagian tentang alat peraga. Tiga bagian yang akan dibahas tersebut
adalah alat peraga matematika, alat peraga matematika Montessori, dan
karakteristik alat peraga Montessori. Hal pertama yang akan dibahas adalah
mengenai pengertian alat peraga matematika.
a. Pengertian alat peraga matematika
Alat peraga terdiri atas dua jenis yaitu media pembawa informasi dan media
yang digunakan sekaligus sebagai alat untuk menanamkan konsep kepada siswa
seperti alat-alat peraga matematika (Suherman,2003: 138). Menurut Suherman
(2003: 243) ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh apabila menggunakan
alat peraga matematika, yaitu proses belajar mengajar termotivasi dan konsep
abstrak matematika tersaji dalam bentuk konkrit, hubungan antara konsep abstrak
dan benda di alam sekitar akan lebih mudah dipahami siswa, merangsang siswa
untuk berfikir, merangsang siswa menjadi aktif dan merangsang siswa untuk
memecahkan masalahnya sendiri. Alat bantu atau alat peraga matematika sangat
mempengaruhi penyerapan dan ingatan tentang pengetahuan matematika dan
pengetahuan prosedural yang sangat penting untuk menguasai materi matematika
(Silver, Brunsting, Walsh, & Thomas 2013: 14).
Suherman (2003: 244) menyatakan hal-hal yang perlu diperhatikan saat
membuat, memilih atau menggunakan yaitu, alat peraga sebaiknya tahan lama,
bentuk menarik, warna menarik. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam memilih
fisik anak, dan sesuai dengan konsep matematika yang jelas. Masih menurut
Suherman (2003: 244) alat peraga yang baik seharusnya adalah alat peraga yang
dapat menjadi dasar bagi tumbuhnya konsep abstrak matematika karena abstrak
adalah salah satu hal pokok yang menyebabkan matematika sulit dipahami oleh
seorang anak.
Beberapa pernyataan tentang alat peraga alat peraga yang telah dikemukakan
kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa alat peraga adalah bagian dari media
pembelajaran yang memiliki banyak fungsi penting dalam pembelajaran
matematika. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan alat
peraga dalam membuat, memilih, serta memakai alat peraga matematika supaya
tujuan pembelajaran tercapai. Membuat alat peraga perlu memperhatikan bahan,
ketahanan, biaya dan yang paling penting adalah fungsinya.
b. Alat peraga matematika berbasis metode Montessori
Pitamic (2013: 105) dalam bukunya yang berjudul “Teach Me To Do It My Self” menyatakan bahwa Montessori melalui pengamatannya berpendapat bahwa matematika adalah konsep yang abstrak sehingga supaya anak dapat memahami
dengan baik harus dibuat senyata mungkin. Alat peraga montessori merupakan
salah satu alat yang digunakan untuk membuat materi menjadi lebih nyata. Materi
yang tersaji lebih nyata akan mudah dipahami oleh anak-anak karena sesuai
dengan perkembangan kognitif anak.
Lillard (2013: 168-169) mengatakan bahwa alat peraga matematika
Montessori tidak disusun untuk mengajar matematika. Alat peraga Montessori
meliputi kemampuan memahami perintah dan urutan. Alat peraga Montessori juga
dirancang untuk membantu anak memiliki kemampuan untuk menempatkan
secara bersamaan mengenai hal yang telah diketahui.
Alat peraga Montessori dirancang secara sederhana, manarik, dan memberi
kesempatan anak untuk mengeksplorasi, melatih anak belajar secara mandiri, dan
memperbaiki kesalahannya sendiri (Lillard, 2013: 170). Alat peraga yang menarik
akan menarik perhatian anak untuk menggunakannya atau untuk mencoba alat
peraga tersebut untuk memenuhi rasa ketertarikan dan rasa ingin tahunya. Alat
peraga Montessori sisusun sederhana supaya mudah untuk digunakan anak-anak,
selain itu juga supaya anak dapat menggunakan alat tersebut secara mandiri dan
menemukan pengetahuan yang dipelajari melalui alat peraga yang digunakan.
Pernyataan Pitamic dan Lilliard kemudian dapat dikatakan bahwa alat peraga
matematika Montessori bertujuan untuk mengkonkritkan materi matematika yang
abstrak, membantu mengembangkan pikiran matematika siswa, melatih
kemandirian siswa dan dapat memperbaiki sendiri kesalahan yang terjadi pada
siswa.
c. Karakteristik alat peraga matematika berbasis metode Montessori
Alat peraga Montessori memiliki empat ciri khusus (Gutek, 2004: 155), yaitu
auto-education, auto-corection, menarik, dan bergradasi. Auto-education
memiliki maksud bahwa anak akan belajar sendiri menggunakan alat peraga
Montessori. Alat peraga Montessori dirancang sesuai dengan perkembangan anak,
baik dalam hal perkembangan psikologi maupun fisiknya (Gutek, 2004: 155).
supaya anak dapat belajar secara mandiri. Sebagai contoh adalah alat peraga
Montessori tentang perkalian untuk usia 9 tahun dirancang dengan menggunakan
manik-manik untuk mengkonkritkan materi perkalian. Penggunaan manik
ditujukan untuk mengkonkritkan materi perkalian karena anak usia 9 tahun ada
pada tahapan operasional konkrit. Contoh konsep alat peraga sesuai dengan
tahapan fisik anak adalah setiap alat peraga dibuat menggunakan bahan yang
ringan. Hal itu ditujukan supaya anak mampu membawanya sendiri.
Karakteristik alat peraga Montessori selanjutnya adalah Auto-correction
(Gutek, 2004: 155). Istilah tersebut mengandung makna bahwa setiap alat peraga Montessori memiliki pengendali kesalahan, sehingga bukan guru yang menjadi
pengendali kesalahan melainkan pada alat tersebut. Misalnya saat anak
menggunakan tongkat asta merah biru untuk melakukan operasi penjumlahan 2+3.
Siswa akan mengambil tongkat 2 dan meletakkan tongkat 3 diatasnya kemudian
mencari tongkat yang panjangnya sama dengan gabungan kedua tongkat tersebut,
maka alat tersebut memiliki pengendali kesalahan berupa panjang yang berbeda.
Apabila panjang tongkat yang di dekatkan tidak sama dengan panjang tongkat
yang digabungkan itu artinya salah dan kesalahan tersebut dapat diketahui sendiri
oleh siswa karena dapat diamati, dirasakan dan diamati dengan pancaindra.
Konsep menarik adalah karakteristik alat peraga Montessori yang selanjutnya.
Alat peraga Montessori dirancang semenarik mungkin, baik dalam hal warna,
bentuk, dan cara penggunaan. Hal tersebut bertujuan untuk menarik minat siswa
untuk menyentuh dan menggunakan alat tersebut. Montessori (2008: 81)
tertarik dan berinisiatif sendiri untuk menggunakan alat peraga tentu akan lebih
merasa senang dibandingkan dengan yang disuruh atau dipaksakan.
Alat peraga Montessori yang menarik juga dilengkapi dengan karakteristik
bergradasi. Maksud dari bergradasi adalah setiap alat memiliki suatu hal yang
kontras baik kontras dalam hal warna, bentuk ukuran, maupun jumlah. Hal yang
kontras tersebut akan memudahkan anak untuk mengetahui perbedaannya. Selain
kontras, bergradasi juga memiliki makna bertingkat dan konsisten. Alat peraga
Montessori memiliki ukuran yang jelas dan dapat diamati oleh siswa. Setiap satu
set alat terdapat material alat peraga yang sama tetapi dengan ukuran yang
berbeda-beda serta dengan gradasi ukuran alat yang konsisten. Konsisten yang
dimaksud adalah selalu mempunyai selisih ukuran yang sama. Gradasi alat
tersebut akan melatih kemampuan berlogika siswa dalam menyelesaikan masalah.
Contohnya satu set alat terdiri dari 10 tongkat yang berbeda ukuran panjangnya,
maka jika tongkat pertama dan kedua selisih panjangnya 1 cm maka selisih
panjang untuk semua tongkat adalah 1 cm semua.
Peneliti menambahkan satu karakteristik alat peraga Montessori pada
penelitian ini yaitu kontekstual. Kontekstual yang dimaksud pada penelitian ini
adalah alat peraga dibuat menggunakan bahan yang ada disekitar siswa, sehingga
siswa lebih merasa familier serta membuat atau mendapatkannya lebih mudah.
Maria Montessori juga banyak memanfaatkan barang atau bahan yang ada
d. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika pada jenjang SD ada sejak siswa kelas 1.
Pembelajaran matematika pada tingkat paling bawah sekolah dasar dimulai dari
mengenalkan angka kepada siswa. Bagian ini akan membahas dua hal tentang
pembelajaran matematika yaitu mengenai pengertian matematika dan membahas
mengenai tujuan pembelajaran matematika.
1. Pengertian matematika
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang ada di jenjang sekolah
dasar. Matematika memiliki pengertian sebuah ilmu yang didapat dengan cara
berpikir dan menalar (Universitas Pendidikan Indonesia, 2011: 3). Matematika
menurut Tinggih (Suherman, 2003: 16) adalah ilmu pengetahuan yang didapat
melalui proses menalar. Sedangkan menurut Russefendi (Suherman, 2003: 16),
matematika adalah hasil proses pemikiran seorang manusia yang berupa ide,
proses dan penalaran atau logika. Pendapat yang telah dikemukakan mengenai
maematika kemudian dapat dikatakan matematika dapat diartikan sebagai ilmu
pengetahuan yang diperoleh dengan cara menalar menggunakan logika sehingga
setiap materi matematika dapat diterima dengan logika.
2. Tujuan pembelajaran matematika
Tujuan umum pembelajaran matematika pada pendidikan dasar lebih menitik
beratkan pada penataan penalaran dan penanaman sikap (Suherman, 2003: 58).
Siswa akan dengan mudah mengerjakan soal matematika tipe apapun saat siswa
tersebut mampu memahami konsep dasar dari soal yang dikerjakan. Siswa yang
tersebut akan memahami tetapi saat angka atau kata-katanya diganti siswa
tersebut kemungkinan menjadi tidak dapat menyelesaikan dengan baik karena ia
belum menguasai konsep dasarnya.
Tujuan matematika pada pendidikan sekolah dasar adalah supaya siswa dapat
menggunakan matematika dalam kehidupannya (Susanto, 2013: 189). Standar isi
kurikulum KTSP menuangkan tentang tujuan pembelajaran matematika yaitu
supaya siswa dapat memahami konsep matematika (BNSP, 2006: 417)
Matematika juga bertujuan mengasah kemampuan siswa untuk memecahkan
masalah dan juga bertujuan supaya siswa mampu menerapkan pengetahuan
matematikanya dalam kehidupan sehari-hari. Contoh langsung dari menggunaan
ilmu matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah saat melakukan jual beli dan
pengukuran terhadap suatu benda. Jadi, dapat dikatakan bahwa inti dari tujuan
pembelajaran matematika adalah penguasaan konsep matematika untuk diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari dari seorang siswa.
e. Materi Perkalian
Materi operasi perkalian adalah bentuk matematika pada materi perkalian
kelas 2 pada tingkat sekolah dasar. Pembelajaran matematika materi perkalian
kelas 2 pada kurikulum KTSP ada pada semester 2 dengan standar kompetensi 3
yaitu melakukan perkalian dan pembagian bilangan sampai dua angka dan
kompetensi dasar 3.1 Melakukan perkalian bilangan yang hasilnya bilangan dua
angka (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006: 241). Materi operasi perkalian
di kelas dua ini biasanya diawali dengan mengenalkan penjumlahan berulang
saja. Penerapan pembelajaran materi operasi perkalian di kelas 2 sekolah dasar
paling besar adalah hasilnya 99 yaitu hasil dari operasi perkalian 11 x 9.
f. Prestasi Belajar
Sub bab prestasi belajar akan memaparkan mengenai empat hal tentang
belajar. Empat hal tentang belajar tersebut diantaranya adalah teori belajar,
pengertian belajar, pengertian prestasi belajar dan faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar. Setiap hal akan di jelaskan dalam bagian yang
berbeda.
1. Teori belajar
Ada banyak teori tentang pembelajaran. Salat satu dari adalah teori
pembelajaran yang di ungkapkan oleh Jerome Bruner, Ausubel, dan Piaget.
Belajar penemuan merupakan salah satu teori yang di kemukakan oleh Jerome
Bruner (Slameto, 2010: 11-12). Belajar penemuan adalah berusaha menemukan
pemacahan masalah sendiri sehingga dapat memperoleh mengetahuan yang
menyertainya secara mandiri (Dahar 2011: 84). Bruner (Dahar 2011: 83)
mengungkapkan,
”we can teach a subject not to produce little living libraries on thah subject, but rather to get a student to think mathematically for himself, to consider matters as an historian does, to take part in the process knoledge-getting. Knowing is a process, not a product”.
Ungkapan Bruner tersebut mengandung arti bahwa pembelajaran itu lebih penting
prosesnya daripada produknya. Belajar akan lebih bermakna apabila anak
Berbeda dengan teori Bruner, Ausubel membedakan bentuk belajar menjadi
dua yaitu belajar penerimaan dan belajar penemuan. Teori Ausubel mengatakan
bahwa belajar bermakna tidak hanya dapat diperoleh dari belajar penemuan
dimana anak melakukan sendiri. (Dahar 2011: 95). Belajar bermakna juga dapat
diperoleh dari belajar penerimaan atau hafalan yang dilanjutkan dengan
mengaitkan antar konsep hafalan yang diperoleh (Dahar 2011: 95).
Teori lain tentang pembelajaran juga di ungkapkan oleh Piaget. Piaget
mengatakan bahwa belajar terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi (Hill
2011: 157-159). Asimilasi adalah pengetahuan pertama yang dimiliki oleh siswa
dan akomodasi merupakan pengkondisian pengetahuan pertama terhadap
pengetahuan baru yang diperoleh. Piaget juga menuturkan bahwa perkembangan
intelektual anak tidak akan berkembang saat anak pasif melainkan akan
berkembang seiring tindakan yang dilakukannya (Dahar, 2011: 136).
Ketiga teori yang telah diuraikan oleh Bruner, Ausubel, dan Piaget
kemudian dapat dikatakan bahwa peneliti setuju dengan teori Bruner dan Piaget.
Pengetahuan yang dibangun dan ditemukan sendiri oleh anak akan lebih
bermakna serta tindakan yang dilakukan anak akan mempengaruhi
perkembanagan intelektual seorang anak. Semakin banyak pancaindra yang
digunakan untuk belajar, maka semakin melekat kuat pengetahuan yang diperoleh.
2. Pengertian belajar
Pengertian belajar menurut Gagne adalah perubahan perilaku suatu organisme
yang diakibatkan karena adanya pengalaman yang dilakukan (Slameto, 2010:
perubahan tingkah laku pada seseorang akibat suatu pengalaman yang telah
dilaluinya (Riyanto, 2009: 5). Definsi lain diungkapkan oleh Thorndike yang
menyatakan belajar adalah proses hubungan antara stimulus dan respon
(Suryasubrata, 2012: 254-255). Stimulus dapat berupa pikiran, gerakan atau
perasaan, sedangkan respon dapat berupa seperti stimulus.Selain itu belajar adalah
proses penghubungan antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru yang di
miliki oleh siswa sehingga terbentuk suatu gabungan pengetahun dan menjadi
pengetahuan baru (Degeng dalam Riyanto, 2009: 5). Beberapa pengertian yang
telah dipaparkan kemudian dapat di katakan belajar adalah perubahan perilaku
akibat dari mendapat pengetahuan baru dimana pengetahuan tersebut diperoleh
melalui adanya pengalaman.
3. Pengertian prestasi belajar
Sepanjang kehidupan, seringkali manusia mengejar prestasi. Siswa di sekolah
sebagian besar juga mengejar prestasi di sekolahnya. Prestasi belajar adalah hasil
usaha belajar yang pada umumnya berkenaan dengan pengetahuan (Arifin 2009:
12). Sukmadinata (dalam Arifin, 2013: 2) mengungkapkan bahwa pengertian
prestasi prestasi belajar sama dengan hasil belajar.
Sudjana (2005: 3) memaparkan pengertian prestasi ialah hasil belajar yang
dicapai oleh siswa dengan kriteria tertentu sehingga untuk mengetahui tingkat
prestasi belajar maka perlu dilakukan evaluasi belajar. Sebelum menilai prestasi
siswa seorang guru harus mengukur prestasi belajar siswa melalui tes, ulangan,
taksonomi Bloom memiliki tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan
ranah psikomotor (Azwar, 2012: 8).
Uraian tentang pengertian belajar dari Azwar, Sudjana, Arifin dan Masidjo
dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa prestasi belajar adalah
penilaian tentang hasil belajar siswa berupa pengetahuan kognitif, afektif, dan
psikomotor yang diukur melalui tes, ujian, pengamatan atau tugas. Jadi indikator
prestasi belajar siswa dilihat dari penggabungan skor kognitif, afektif dan
psikomotor yang biasanya di sekolah ada nilai KKM sebagai batas ketuntasan
minimal.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar diungkapkan oleh Slameto (2010:
54) yaitu bahwa prestasi belajar di pengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal tersebut yaitu bentuk masyarakat, teman bergaul, dan bentuk