ORGANISATIONAL CONFLICT ANALYSIS FOR IMPLEMENTATION OF SPACIAL PLANNING IN REGIONAL SARBAGITA
2. KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka sangat bermaanfaat untuk mencermati dan mensintesis hasil-hasil riset terkini dalam rangka membuatinference judgement dan mengorganisasikan ide-ide yang berhubungan dengan bidang penelitian tertentu (Saunders et al., 2009). Proses sintesis sangat penting ketika harus mengidenti kasi
dan memahami ‘Masalah Penelitian’ yang memerlukan solusi tepat dalam rangka mencapai ‘Tujuan Penelitian’ melalui metoda ilmiah yang sistematis. Tahap kajian pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan
untuk mengidenti kasi dan memetakan sumber-sumber kon ik kelembagaan serta memperkirakan solusi alternatif terhadap penyelesaian Kon ik Kelembagaan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam pada
Penyelenggaraan Penataan Ruang Kawasan Sarbagita”, yaitu kawasan perkotaan Denpasar, Badung,
Gianyar, dan Tabanan.
Proses penelitian diawali dengan kajian pustaka untuk pemahaman terhadap kelembagaan, kemudian mengetahui dimana posisi sumber daya alam terhadap kelembagaan tersebut. Dengan mengetahui posisi sumber daya alam dalam kelembagaan, selanjutnya dikaitkan dengan penyelenggaraan penataan ruang. Samuel (1995) mendiskusikan pembahasan struktur kelembagaan dalam Prasad (2003), menjelaskan bahwa, sumber daya dialokasikan melalui struktur kelembagaan yang bermacam-macam dan dalam beragam hirarki kekuasaan yang hidup di masyarakat. Faktanya, di negara-negara berkembang sebagian besar sumber daya milik negara (seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan), hanya dipegang oleh pimpinan lokal dan didalam kantor-kantor pemerintahan. Bahkan, sering terjadi kolusi antara pengusaha lokal dengan pemegang kekuasaan terhadap proses alokasi sumber daya negara tersebut. Disisi yang lain, kelembagaan lebih memberikan perhatian kepada kendala yang
menghalangi pengkondisian kelembagaan, yang utamanya memfokuskan pentingnya ‘kelembagaan sebagai kerangka interaksi antar individu’ (Hodgson, 1998; dan Williamson, 1998).
Kelembagaan sebagai aturan main dan sistem organisasi dalam institusi pemerintah diharapkan dapat memberikan manfaat penting dalam rangka meningkatkan kesejahtraan sosial masyarakat. (Yeager, 1999) mejelaskan aturan main tersebut, merupakan regulasi yang dapat memapankan masyarakat dalam melakukan interaksi sosial. Disisi lain, kelembagaan juga dapat mengurangi ketidakpastian yang inheren dalam interaksi manusia melalui penciptaan pola prilaku (Pejovich, 1995). Pendekatan para ahli kelembagaan bergerak dari ide-ide umum mengenai prilaku manusia, kelembagaan, dan perkembangan sifat dari proses ekonomi menuju ide-ide dan teori-teori khusus yang berkaitan dengan kelembagaan ekonomi yang spesi k.
Hodgson (1998) juga mende nisikan kelembagaan sebagai sistem aturan main dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika aturan main dalam kelembagaan masyarakat dijalankan secara teratur dengan keteraturan, maka hedaknya dapat diwujudkan melalui proses pembiasaan. Kebiasaan dapat mencerminkan struktur kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Lebih lanjut, kebiasaan juga dapat menyebabkan perubahan niat, itikad, sikap, prilaku dan tindakan. Hal ini mengidikasikan bahwa semestinya sistem kelembagaan juga dapat menyebabkan perubahan struktur sosial-ekonomi masyarakat. Dengan demikian, kebiasaan merupakan mekanisma kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sebagai penghubung antara kelembagaan dan struktur (Hudson, 1998).
Variabel Kelembagaan
Seperti telah disadari bahwa kelembagaan bukanlah merupakan variabel statis, namun sangat dinamis dan interaktif dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang dapat menjembatani antar kepentingan. Sifat dinamis dari aspek-aspek kelembagaan juga disebabkan oleh berubahnya nilai-nilai kultur masyarakay sejalan dengan perubahan/ kemajuan jaman. Dalam kondisi seperti ini dinamika kelembagaan memiliki dua dimensi, yakni: pertama, perubahan kon gurasi antar pelaku ekonomi yang memicu terjadinya perubahan kelembagaan; yang kedua, perubahan kelembagaan memang sengaja didesain untuk mempengaruhi (mengatur/merubah) kegiatan sosial dan ekonomi. Dalam pendekatan yang pertama, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan (kepentingan/kon gurasi) prilaku sosial dan pelaku ekonomi. Sedangkan, pada pendekatan yang kedua, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk mengatur kegiatan sosial dan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat didalamnya). Dari dua spektrum penomena tersebut dapat diyakini bahwa perubahan kelembagaan relatif sama pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri (Yustika, 2008).
Proses perubahan kelembagaan, menurut North (1990), dapat digambarkan dimana perubahan harga relatif mendorong kedua belah pihak untuk melakukan pertukaran. Pertkaran yang dimaksud bisa dalam bentuk politik atau ekonomi yang bertujuan untuk menunjukkan kedua belah pihak dapat bekerja lebih baik dengan kesepakatan atau kontrak yang telah diperbaharui. Perubahan kelembagaan juga selalu berproses sesuai penjelasan Manig (1991), bahwa dinamika perubahan berarti terjadinya perubahan prinsip
regulasi dan organisasi, prilaku dan pola-pola interaksi dalam masyarakat. Arah perubahan tersebut biasanya menuju peningkatan kebutuhan untuk melakukan interaksi dan integrasi dalam sistem sosial yang sangat kompleks. Perubahan/perbedaan tersebut juga bisa berarti memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Dalam posisi ini, perbedaan dan integrasi merupakan proses pelengkap (komplementer).
Selanjutnya, North (1995) menjelaskan karakteristik dasar dari perubahan kelembagaan adalah interaksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus-menerus dan kemudian diperkuat oleh kompetisi. Disisi lain, perbedaan dipercaya bahwa ada dua faktor utama sebagai cara untuk memahami dinamika perubahan kelembagaan. Perubahan kelembagaan sebagi hubungan simbiotik antara kelembagaan dan organisasi yang mengelilingi disekitar struktur insentif yangdisediakan oleh inividu, merasa dan bereaksi terhadap perubahan dalam berbagai kesempatan. Dalam penjelasan lainnya, menyebutkan hubungan yang pertama menegaskan bahwa organisasi bersifat aoptimis dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Berdasarkan proporsi tersebut, tantangan mendasar dalam menciptakan kelembagaan yang dinamis adalah dengan melakukan reformasi kelembagaan dan penyatuan politik yang melibatkan seluruh lembaga dalam
proses pembuatan peraturan/kelembagaan dalam mencari keseimbangan baru ‘kekuasaan pemerintah’
dengan membentuk kelembagaan dalam rangka Penyelenggaraan Penataan Ruang. Penyelenggaran Penataan Ruang
Kegiatan penataan ruang merupakan siklus kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan
‘Struktur Ruang dan Pola Ruang’. Sebelum ruang tata dengan bantuan regulasi, sesungguhnya ruang tersebut
telah terbentuk secara alamiah yang merupakan perwujudan proses alam dan proses sosial, yang dijadikan proses pembelajaran bagi seluruh pemangku kepentingan. Rustiadi dan Wafda (2007) menjelaskan bawwa, ruang dan upaya perubahan sebenarnya sudah terwujud sebelum secara formal dilakukan perencanaan
perubahan secara terstruktur yang disebut dengan perencanaan tata ruang. Proses ‘pembelajaran ruang’
yang berkelanjutan merupakan pengalaman manusia yang dalam kehidupannya, berbeda dalam siklus
tanpa akhir mulai dari “Perencanaan – Pemanfaatan – Pengendalian” dalam rangka mengantisipasi masa depan. Gambar berikut meperlihatkan metode dan proses berkelanjutan penyelenggaraan penataan ruang.
Selama manusia dianggap sebagai pusat utama yang paling menentukan dalam penataan ruang, maka sangat penting untuk mengarahkan cara pandang (sistem nilai) tentang dirinya, masyarakat, dan sumber daya didalam ruang serta mengatur prilaku manusia terhadap ruang dan sumber dayanya. Hal ini menjadi sumber inspirasi kelembagaan dalam penataan ruang yang pengaturan selanjutnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pengaturan yang bersifat non- sik (kelembagaan), dan (2) pengaturan secara sik
yang meliputi “Struktur Ruang dan Pola Ruang”.
Penyelenggaraan penataan ruang pada hakekatnya bertujuan mewujudkan struktur ruang dan pola ruang yang dapat meberikan kesejahtraan manusia dan tata kehidupan lingkungannya. Struktur ruang merupakan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan, pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang sebagai fungsi lindung dan fungsi budidaya.
Pola ruang dan struktur ruang memiliki sumber daya alam dan sumber daya buatan manusia. Pemanfaatan berbagai sumber daya demi kepentingan bersama, semestinya tertata dalam sistem
kelembagaan yang baik agar tidak mengakibatkan terjadinya permasalahan; seperti ‘degradasi dan eksploitasi pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan’. Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya
kelembagaan dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan bersama.
Hubungan antara manusia dengan manusia yang tercermin dalamsoscial systems (sistem sosial masyarakat) banyak keterkaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam dan pengelolaan linkungannya. Torras dan Boyce (1998) menjelaskan banyak fakta dari hasil studi terdahulu menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan yang berkaitan dengan: kesenjangan pendapatan, rendahnya tingkat pendidikan, dan ketidakseimbangan distribusi kekuatan politik. Pendidikan yang lebih baik/tinggi dan distribusi kekuasaan yang lebih merata akan membawa pengaruh positif terhadap kualitas lingkungan. Jadi pada dasarnya masalah degradasi dan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan bukan saja masalah sik, sosial dan ekonomi, namun juga merupakan masalah kelembagaan. Malah kelembagaan dalam hal ini berkaitan dengan aturan yang dapat merubah perilaku sosial bermasyarakat. Pretty dan Ward (2001), menunjukkan berbagai contoh yang mengindikasikan bagaimana ikatan-ikatan dan perilaku sosial yang tercermin dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan bersama semua pihak.
Sejalan dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 16 tahun 2009, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali maka ditetapkan kesepakatan bersama, yang tertuang dalam RTRWP Bali, nomor 9 tahun 2009 antara pemerintah Provinsi Bali dengan pemerintah Kabupaten/Kota mengenai Kawasan Strategis Provinsi Bali. Namun dari 108 titik kawasan strategis, baru hanya 18 titik yang telah dibuatkan turunan Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) Kawasan Strategis (Wiryasa, 2014). Penetapan kawasan strategis Provinsi untuk semua Kabupaten/Kota di Bali, semestinya segera diikuti dengan arahan peraturan zonasi sistem Provinsi, melengkapi RRTR Kawasan Strategis, indikasi program dan pembiayaannya.