• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN

KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Perlindungan Sementara

Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan (UU No. 23 Th 2004, 2004: 2).

Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan atau lembaga sosial, atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Korban kekerasan tidak perlu takut untuk melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga karena dengan adanya UU No 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dapat dijadikan sebagai alat hukum untuk melindungi korban kekerasan. Sebagaimana dalam UU No 23 tahun 2004 dari bab VI dari pasal 16-38 (UU No. 23 Th 2004, 2004: 2).

Bentuk-bentuk perlindungan sementara yang diberikan pada pihak korban yang melapor, memeriksa saksi, melakukan visum pada korban, dan mencari barang bukti lain, melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman pada korban dan melakukan penangkapan pada pelaku tindak kejahatan kekerasan terhadap rumah tangga.

B. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Perempuan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Perkembangan gerakan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya tidak saja berkembang di banyak negara di dunia, namun juga di Indonesia. Para perempuan kian menyadari bahwa ketidakadilan yang diderita kaumnya akibat kultur masyarakat yang patriarkis (mengedepankan laki-laki) harus segera diakhiri sebab ketidakadilan tersebut antara lain menyebabkan kekerasan terhadap perempuan baik di lingkup domestik, maupun di lingkup publik (Venny, 2003: 1). Kekerasan dalam rumah tangga mengingatkan kita pada gambaran akan istri yang teraniaya atau istri yang terlanjur karena tindakan suami yang sewenang-wenang kepada mereka.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan menurut Herkutanto (Herkutanto, 2000: 263):

1. Kekerasan Psikis bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya. Karena sensitifitas emosi seseorang sangat bervariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya suasana kasih sayang pada istri agar terpenuhi kebutuhan emosinya. Hal ini penting untuk perkembangan jiwa seseorang. Identifikasi akibat yang timbul pada kekerasan psikis lebih sulit diukur dari pada kekerasan fisik.

2. Kekerasan fisik adalah bila didapati perlukaan bukan karena kecelakaan pada perempuan. Perlukaan itu dapat diakibatkan oleh suatu episode kekerasan yang tunggal atau berulang-ulang, dari yang ringan hingga yang fatal.

3. Penelantaran perempuan, penelantaran adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki ketergantungan pada pihak lain, khususnya dalam lingkungan rumah tangga.

4. Pelanggaran seksual adalah setiap aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa dan perempuan. Pelanggaran seksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa pemaksaan. Pelanggaran seksual dengan unsur pemaksaan akan mengakibatkan perlukaan dan berkaitan trauma emosi yang dalam bagi perempuan.

Bentuk kekerasan menurut Adriana Venny ada 2 bentuk kekeraan yakni kekerasan fisik dan kekerasan non fisik kekerasan nonfisik biasanya justru memiliki kecenderungan memperkuat dan mengawali terjadinya kekerasan fisik. Kedua jenis kekerasan tersebut kemudian bertali temali mengukuhkan kekuasaan si pelaku kekuasaan (Venny, 2003: 5):.

1. Kekerasan non tisik disini berupa aktivitas-aktivitas seperti merayu, memaki, dengan kata-kata jorok, menyiul, menatap dan melontarkan lelucon berbau sex yang memiliki konotasi merendahkan perempuan. 2. Kekerasan fisik adalah semua bentuk kekerasan yang menimbulkan

penderitaan fisik bagi yang dikenai dan disini mengambil kegiatan seperti memukul, mengikat, membenturkan dan lainnya yang sejenis.

Kekerasan seksual merupakan kekerasan atau serangan secara khusus ditujukan pada organ atau alat reproduksi korban yang biasanya adalah perempuan dengan tujuan untuk merusak, menghancurkan dan menghina

korban. Mansour Faqih mengatakan kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas (keutuhan) mental psikologis seseorang (Faqih, 1997: 17). Menurut Herkutanto kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara psikis (Herkutanto, 2000: 267).

Berdasarkan deklarasi Beijing kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk perbuatan berdasarkan gender yang akibatnya berupa atau dapat berupa kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikis termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, seperti pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di tempat umum (publik) atau di dalam kehidupan pribadi seseorang.

Bila ditelusuri ke belakang kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-laki bermula sejak manusia itu ada di muka bumi. Hal itu tetap terjadi pada masa kini dan mungkin sekali tetap berlangsung di masa mendatang.

Sampai saat ini mekanisme kontrol dengan kekerasan masih umum dilaksanakan untuk melegitimasikan kekuasaan. Selama patriarti "disepakati" sebagai keniscayaan alamiah sejauh itu kekerasan terhadap perempuan akan terus berlangsung.

Hal yang lebih tragis apabila perkawinan dianggap sebagai legitimasi formal kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, jiwa dan raga. Karena sifat

otonom laki-laki berhak melakukan apa yang ia kehendaki dengan sedikit campur tangan pihak luar.

Lazimnya pelaku kekerasan mempunyai status kekuasaan yang lebih besar baik dari segi otonomi. kekuasaan fisik maupun status sosial dalam keluarga. Dan karena posisinya yang khusus itu berlaku kerap kali memaksakan kehendaknya untuk diikuti orang lain. Untuk mencapai keinginannya pelaku akan menggunakan berbagai cara kalau perlu cara kekerasan atau bersikap seenaknya.

Selain kekuasaan ketidak adilan gender juga berperan dalam bentuknya kekerasan, ketika perbedaan laki-laki dan perempuan dijadikan masalah dan ada pihak yang dirugikan maka lahirlah ketidak adilan, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Kekerasan berbasis gender adalah istilah yang merujuk kepada kekerasan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Dan dimana biasanya yang menjadi korban adalah perempuan sebagai akibat adanya distribusi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Disebut kekerasan berbasis gender karena menuju pada dampak status gender perempuan yang subordinat dalam masyarakat.

Kekerasan gender merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender seperti subordinasi, marginasi, stereotipe, kekerasan (violence) dan beban kerja (burden) ketidakadilan ini dapat muncul dimana saja termasuk di lingkungan keluarga.

KDRT Khususnya penganiayaan merupakan salah satu penyebabkekacauan dalam masyarakat. berbagai temuan penelitian memastikan bahwapenganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau anak raja. Rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat (Ciciek, 1999: 22).

Lembaga Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang mencatat selama 2005 telah terjadi 134 kasus KDRT yang terbesar di 33 kota atau kabupaten se-Jateng. Penyelesaian kasus yang ditempuh berbeda-beda ada yang menempuh jalur hukum, damai, cerai, atau mendiamkannya saia.

Persoalan kekerasan dalam rumah tangga dulu dianggapnya sebagai masalah yang biasa, dikarenakan tatanan sosial budaya masyarakat yang masih berpandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah konflik yang lumrah terjadi dalam berumah tangga bahkan itu dianggap sebagai bumbu rumah tangga. Sekarang kekerasan diatur dalam UU No 23 Tahun 2004 tersebut menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan kriminal sehingga pelaku dapat diajukan ke kepolisian.

C. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban KDRT menurut UU No 23 Tahun 2004

Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya diawali dengan percekcokan kecil atau persoalan yang dianggap sepele. Kemudian mengarah

pada pertengkaran yang dahsyat dan dibarengi dengan ucapan-ucapan kotor sehingga terjadi pemukulan yang menyakitkan.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan (kekerasan berbasis gender) menurut UU No 23 Tahun 2004 meliputi pasal 5 (Yanti, 2006: 8): 1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

sakit, luka berat seperti dipukul, ditinju, dicakar, dibanting, digigit,didorong dengan kasar, ditendang, diinjak, ditampar, disundut rokok,disekap, diikat, dilempar benda keras.

2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,hilangnya rasa kemampuan bertindak, rasa tidakberdaya, dan penderitaan psikis berat pada seseorang seperti diancam akan diceraikan, diancam akan ditinggal pergi, dipisakan dari anak, tidak boleh menemui keluarganya, dilecehkan secara verbal (dikata-katai yang tidak menyenangkan), bentakan dan ancaman untuk memunculkan rasa takut. 3. Kekerasan ekonomi dan penelantaran adalah tindakan yang

mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban dibawah kendalinya seperti tidak diberi nafkah, bekerja tidak dibayar, dibatasi secara ketat, tidak boleh bekerja.

4. Kekerasan seksual adalah kekerasan yang bernuansa seksual termasuk berbagai perilaku yang tidak diinginkan dan mempunyai makna seksual Sari berbagai bentuk pemaksaan hubungan seks yang tidak dikehendaki salah satu pihak.

Adapun kiranya bentuk-bentuk kekerasan mulai dari tindak kekerasan yang umum terjadi dan nyata dalam rumah tangga seperti, pemukulan, ucapan-ucapan kotor, pemaksaan seksual, penekanan ekonomi, perselingkuhan, menelantarkan dan lain sebagainya, sampai pada tindakan yang lebih tidak tampak nyata tetapi sangat jelas seperti memberi pembatasankesempatan berusaha, ketertutupan kesempatan untuk memperliuas pelayanan kesehatan dan pendidikan serta mengalami isolasi sosial. Dengan demikian selain kekerasan fisik yang menyebabkan penderitaan fisik, juga bisa dalam bentuk tekanan lain. Misalnya pemberian beban tanggung jawab yang berat bagi perempuan.

Perlindungan hukum menurut UU KDRT Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Perlindungan adalah perbuatan (hal) melindungi, pertolongan (Purwodarminto, 1976: 600). Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan pemerintahan dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat (Kansil, 1995: 11). Jadi perlindungan hukum adalah suatu upaya pertolongan atau penjagaan terhadap ketetapan atau peraturan-peraturan yang ditaati oleh masyarakat. Perlindungan menurut UUKDRT No 23 Tahun 2004 dalam pasal 1 Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman pada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat. lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

D. Motif Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga

Kekerasan terhadap istri sangat bervariasi bisa jadi dari hal -hal yang dianggap sepele, kemudian berkomulasi sehingga menjadi penyebab tindakan kekerasan. Farha Ciciek mengemukakan beberapa hal yang dijadikan motif tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diantaranya (Ciciek, 1999: 25-27):

1. Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Dalam rumah tangga suami punya hak penuh atas istri sehingga ia selalu ada dalam kontrol suami. Jika istri "keliru" menurut cara pandang suami, maka suami bisa berbuat apa saja agar istri "sadar". Termasuk di dalamnya melakukan tindakan kekerasan.

2. Masyarakat masih membesarkan anak lelaki dengan mendidiknya agar menjadi berani dan jantan. Sehingga setelah mereka tumbuh dewasa dan menikah ada dorongan untuk menaklukkan istri biar disebut jantan. Jika mereka gagal maka berkuranglah kejantanannya. Nilai inilah yang mendorong suami melakukan kekerasan terhadap istrinya . 3. Kebudayaan yang mendorong perempuan supaya bergantung kepada

suami khususnya secara ekonomi karena istri sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suami. Akibatnya perempuan seringkali diperlakukan semena-mena sesuai kehendak atau mood suami.

4. Masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai persoalan sosial tetapi menganggap persoalan pribadi suami istri. Orang lain tidak boleh ikut campur.

5. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan, penafsiran semacam ini mengakibatkan pemahaman turunan bahwa agama juga membenarkan suami melakukan pemukulan terhadap istri dalam rangka mendidik.

Eli N. Hasbiyanto secara garis besar mengklarifikasikan faktor penyebab KDRT dan bisa dijadikan sebagai motif sebagai berikut (Hasbiyanto, 1999: 193-194):

1. Budaya patriarkat, budaya ini meyakini bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan inverior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.

2. Interpretasi yang keliru atas ajaran agama, sering ajaran agama ya ng menempatkan laki-laki sebagai pemimpin diinterpretasikan sebagai pembolehan mengontrol dan menguasai istrinya.

3. Pengaruh role model anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga yang ayahnya suka memukul atau kasar kepada ibunya cenderung akan meniru cara tersebut kepada pasangannya.

4. Motif lainnya yaitu mitos yang tumbuh subur di masyarakat, diantaranya (Hasbiyanto, 1999: 191-192):

a. Istri dipukul karena membantah, melawan suami dan berbuat kesalahan besar,

b. KDRT hanya terjadi pada pasangan yang melakukan perkawinan tanpa dasar saling cinta (dijodohkan),

d. KDRT terjadi pada pasangan yang kondisi sosial ekonominya rendah,

e. KDRT terjadi karena suami mabuk, kalah judi, gagal dalam pekerjaan dan sebagainya,

f. KDRT hanya dilakukan suami yang memang berperangai kasar, g. KDRT adalah persoalan perempuan barat,

h. KDRT terjadi semata-mata karena suami lepas kontrol atau march, dan

i. KDRT tidak akan terjadi bila suami dan istri beragama dengan baik dan taat.

Mitos-mitos di atas pada kenyataannya berbicara lain. Karena faktanya KDRT bisa muncul kapan saja dimanapun tempatnya serta menimpa siapa saja tidak mengenal status sosial atau pendidikannya .

E. Dampak kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga Dari berbagai bentuk kekerasan di atas kita akan melihat dampak-dampak kekerasan domestik, khususnya terhadap perempuan (Venny, 2003: 8-9).

1. Dampak secara medis dari kekerasan dalam Rumah Tangga (Kekerasan Domestik):

a. Keluarga yang mengalami kekerasan domestik akan pergi ke ruang gawat darurat 6 kali lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalaminya.

b. Keluarga yang mengalami kekerasan domestik akan menemui dokter 8 kali lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalaminya.

c. Keluarga yang mengalami kekerasan domestik akan menggunakan resep dokter dan membeli 6 kali lebih banyak dibandingkan d engan mereka yang tidak mengalaminya.

d. Korban kekerasan domestik akan mengeluarkan biaya kesehatan tahunan yang lebih besar.

2. Dampak secara emosional dari kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan domestik):

a. Depresi

b. Penyalahgunaan/pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol)

c. Kecemasan

d. Percobaan bunuh diri e. Keadaan stres pasta-trauma f. Rendahnya kepercayaan diri

3. Dampak secara personal (keluarga) dari kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan domestik):

a. Anak-anak yang dibesarkan di rumah dengan kekerasan domestik memiliki kemungkinan lebih besar bahwa hidupnya akan dibimbing dengan kekerasan

b. Peluang terjadinya perlakuan kejam terhadap anak-anak lebih tinggi dalam rumah yang mengalami kekerasan domestik dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalaminya.

c. Anak-anak yang menyaksikan (sebagai saksi) kekerasan domestik akan mengalami masalah dalam kesehatan mentalnya, termasuk di dalamnya perilaku anti sosial dan depresi.

4. Dampak secara Profesional dari kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan domestik):

a. Kinerja yang buruk dalam kerja

b. Lebih banyak waktu yang digunakan untuk mengatasi persoalan, memerlukan pendampingan (counseling) dan mencari bantuan c. Ketakutan kehilangan pekerjaan

d. Sementara bekerja, korban masih terus meladeni gangguan dari pelaku kekerasan.

F. Pandangan UU KDRT Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Tercantum dalam UU No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pasal 1 adalah setiap perbuatan atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Untuk larangan kekerasan dalam lingkup rumah tangga dengan bentuk-bentuk sebagai berikut dan dijelaskan dalam pasal 5:

1. Kekerasan fisik 2. Kekerasan psikis 3. Kekerasan seksual

4. Penelantaran dalam rumah tangga.

Bentuk-bentuk kekerasan di atas pengertiannya dijelaskan dalam pasal 6 sampai pasal 9.

Pasal 6, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Dalam pasal 7 kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada seseorang Pasa1 8 kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf c meliputi:

1. Pemaksaan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga tersebut.

2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan tujuan tertentu.

Penelantaran rumah tangga pengertiannya dalam pasal 9:

1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau

karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian atau lembaga sosial atau pihak lain sebelum dikeluarkannya penetapan dari pengadilan.

Bentuk perlindungan menurut UU KDRT meliputi pasal 16 sampai pasal 38.

Pasal 16

1. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.

2. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.

3. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Pasal 17

Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban . Pasal 18

Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.

Pasal 19

Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 20

Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang: 1. Identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;

2. Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan

3. Kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.

Pasal 21

1. Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus:

b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

2. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Pasal 22

1. Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:

a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban:

b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dan kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan

c. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif, dan

d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.

2. Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat.

Pasal 23

Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:

1. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;

2. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara obyektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;

3. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan

4. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.

Pasal 24

Dalam memberikan pelaypun, pendamping rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.

Pasal 25

Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:

1. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;

2. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk

secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau

3. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya

Pasal 26

1. Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

2. Korban dapat memberian kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Pasal 27

Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 28

Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.

Pasal 29

Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:

1. Korban atau keluarga korban; 2. Teman korban;

3. Kepolisian;

4. Relawan pendamping; atau 5. Pembimbing rohani

Pasal 30

1. Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan

2. Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera peradilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut

3. Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya . 4. Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa

persetujuan korban. Pasal 31

1.Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk:

a. Menetapkan suatu kondisi khusus;

b. Mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan

2.Pertimbangan sebagaimana dimaksud di ayat (1) dapat diajukan bersama sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 32

1. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1

Dokumen terkait