• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5. Kajian Pustaka

a. Pengertian Tindak Pidana

Perihal tindak pidana ada yang menyebut sebagai perbuatan pidana atau peristiwa pidana. Sianturi dalam mengartikan tindak pidana yang berasal dari istilah Belanda “strafbare feit”, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:

a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; b. Peristiwa pidana;

c. Perbuatan pidana dan tindak pidana.2

Mengenai “strafbare feit” ini, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang diartikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut".3 Sahetapy mengartikan tindak pidana adalah “perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela”,4 kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi berupa pidana.

Perihal delik dibedakan antara delik formil dan delik materiil. Delik formil menekankan pada perbuatannya, terlepas dari akibat yang mungkin timbul, perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana. Pada delik materiil, yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan aki bat tertentu.5

Hal tersebut berarti bahwa perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum dan suatu yang membahayakan kepentingan hukum. Memperhatikan definisi perbuatan pidana sebagaimana di atas dapat dijelaskan bahwa unsur perbuatan

2Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (selanjutnya disingkat Sianturi 1), Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1986, h. 204.

3Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rinekacipta, Jakarta, 2000, h. 54.

4Sahetapy, Hukum Pidana, (Editor Penterjemah), Konsursium Ilmu Hukum Departemen P & K, Liberty, Yogyakarta, 2003, h. 27.

pidana yaitu: 1) perbuatan manusia, 2) bersifat melawan hukum dan 3) dapat dicela.

Perbuatan manusia dijelaskan oleh Sahetapy yaitu:

bukan mempunyai keyakinan atau niat, tetapi hanya melakukan atau tidak melakukan dapat dipidana. Dalam ruang lingkup rumusan delik: semua unsur rumusan delik yang tertulis harus terpenuhi”. Bersifat melawan hukum ialah “suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis (misalnya, sengaja membunuh orang lain) tidak dapat dipidana kalau tidak bersifat melawan hukum (misalnya sengaja membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam perang).

Sedangkan maksud dapat dicela adalah:

suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dicela itu merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan, sekalipun tidak disebut dalam rumusan delik.6

Perihal hukum pidana, Moeljatno mengemukakan:

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan-larangan tersebut;

2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut.7

Apabila diperhatikan pendapat Moeljatno di atas dapat dijelaskan bahwa perbuatan pidana merupakan salah satu bagian yang dipelajari dalam hukum pidana. Hukum pidana tidak hanya memberikan pengertian

6Ibid., h. 27

tentang perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, melainkan juga mencakup hal berkaitan dengan pengenaan pidana dan cara bagaimana pidana tersebut dapat dilaksanakan. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau perbuatan seseorang. Sedangkan ancaman pidananya atau sanksinya ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana yang biasanya disebut dengan perkataan "barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan pidana sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidang hukum.

Barang siapa ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan. Perihal kesalahan dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan karena kelalaiannya. Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu:

1) kesengajaan dengan maksud (dolus derictus); 2) kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan

3) kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).8

Sehubungan dengan kesengajaan sebagai suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, dibedakan antara sifat melawan hukum formal

8Ibid., h. 177.

dan sifat melawan hukum yang materiil. Sifat melawan hukum formal, apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka di situ ada kekeliruan. Sahetapy mengemukakan bahwa sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik dari undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan untuk dapat dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas.9 Letak melawan hukum perbuatan sudah nyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Sifat melawan hukum formal memiliki makna melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Sifat melawan hukum yang materiil berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Hukum bukanlah undang-undang saja, di samping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.10 Bentuk yang dikenal dalam hukum pidana dapat berupa: Formeel delicht juga disebut delik dengan perumusan formil, yaitu delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Materieel delicht juga disebut delik dengan perumusan materiil, yaitu delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang.11

9Sahetapy, Op. cit., h. 40.

10Ibid., h. 130.

Yang dimaksud dengan kealpaan pada dasarnya ialah kekurang hati-hatian atau lalai, kekurang waspadaan, keteledoran, kurang menggunakan ingatannya atau kekhilafan atau sekiranya dia hati-hati, waspada, tertib atau ingat, peristiwa itu tidak akan terjadi atau akan dapat dicegahnya.12 Culpa atau Lalai adalah kekhilafan atau kealpaan yang menimbulkan akibat hukum dianggap melakukan tindak pidana yang dapat ditindak atau dituntut.13

b. Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 372 KUHP, yang menentukan sebagai berikut:

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Ketentuan Pasal 372 KUHP diawali dengan kata “barangsiapa” yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana penggelapan. Pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 KUHP, yang menentukan:

Pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 KUHP, yang menentukan: (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

a. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;

b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atas martabat dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

12Sianturi, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni-AHM-PTHM, Jakarta, 1983, h. 511.

(2) terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Tindak pidana penggelapan sebagaimana pasal 372 KUHP tersebut di atas di dalamnya mengandung unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

a. unsur subyektif : dengan sengaja; b. unsur obyektif :

- menguasai secara melawan hukum; - suatu benda;

- sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; - berada padanya bukan karena kejahatan.14

Unsur pertama Pasal 372 KUHP, yaitu “dengan sengaja”, merupakan unsur subyektif. Dengan sengaja berkaitan dengan tindak pidana penggelapan dijelaskan lebih lanjut oleh Sianturi sebagai berikut: “Pelaku menyadari bahwa ia secara melawan hukum memiliki sesuatu barang. Menyadari bahwa barang itu adalah sebagian atau seluruhnya milik orang lain, demikian pula menyadari bahwa barang itu ada padanya atau ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”.15 Jadi kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk kesengajaan sebagai maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang dilarang dari perbuatannya.

14Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Baru, Bandung, 1989, h 105.

15Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta, Tahun 1983,h. 622.

Unsur kedua Pasal 372 KUHP ialah “menguasai atau memiliki secara melawan hukum” Pengertian memiliki secara melawan hukum dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung No. 69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959 “memiliki berarti menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atau benda itu. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8 Mei 1957, “memiliki yaitu menguasai sesuatu barang bertentangan dengan sifat dari hak yang dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut.16

Jadi apabila barang tersebut berada di bawah kekuasaannya bukan didasarkan atas kesengajaan secara melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan perbuatan memiliki sesuatu barang secara melawan hukum.

Unsur ketiga Pasal 372 KUHP, yaitu “suatu benda”, menurut Sugandhi adalah sebagai berikut :

Yang dimaksudkan barang ialah semua benda yang berwujud seperti uang, baju, perhiasan dan sebagainya, termasuk pula binatang, dan benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta yang disalurkan melalui pipa. Selain benda-benda yang bernilai uang pencurian pada benda-benda-benda-benda yang tidak bernilai uang, asal bertentangan dengan pemiliknya (melawan hukum) dapat pula dikenakan Pasal ini.17

Sedang menurut Sianturi bahwa: “Unsur barang sama saja dengan barang pada pencurian Pasal 362 KUHP. Pada dasarnya barang adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis setidak-tidaknya bagi

16Ibid.

pemiliknya”.18 Hal tersebut berarti bahwa pengertian barang diartikan secara luas, yaitu tidak hanya terbatas pada benda yang berwujud, melainkan termasuk benda-benda yang tidak berwujud, namun mempunyai nilai ekonomis, misalnya aliran listrik, gas dan yang lainnya.

Unsur ke empat Pasal 372 KUHP ialah “sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain”, dijelaskan oleh Sianturi bahwa: “Barang tersebut seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, berarti tidak saja bahwa kepunyaan itu berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga berdasarkan hukum yang berlaku”.19

Selanjutnya Sianturi mengemukakan:

Barang yang dimaksud ada padanya atau kekuasaannya ialah ada kekuasaan tertentu pada seseorang itu terhadap barang tersebut. Barang itu tidak mesti secara nyata ada di tangan seseorang itu, tetapi dapat juga jika barang itu dititipkan kepada orang lain, tetapi orang lain itu memandang bahwa si penitip inilah yang berkuasa pada barang tersebut.

Jadi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan berarti barang itu berada padanya/kekuasaannya bukan saja karena suatu pelaksanaan perundangan yang berlaku seperti :

a. Peminjaman, b. Penyewaaan, c. Sewa-beli, d. Penggadaian,

e. Jual beli dengan hak utama untuk membeli kembali oleh sipenjual,

f. Penitipan,

g. Hak retensi, dan lain sebagainya tetapi juga karena sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan hukum seperti misalnya :

1) Menemukan sesuatu benda di jalanan, di lapangan, di suatu tempat umum, dan sebagainya;

2) Tertinggalnya suatu barang tamu oleh tamu itu sendiri di mobil seseorang ketika ia bertamu;

3) Terbawanya sesuatu barang orang lain yang sama sekali tidak disadarinya; dan lain sebagainya.20

18 Sianturi, Op. Cit., h. 593

19Ibid., h. 625

Hal tersebut berarti bahwa apabila barang tersebut secara keseluruhan miliknya sendiri, maka tidak dapat dikatakan bahwa barang tersebut adalah sebagian atau seluruhnya milik orang lain.

Unsur kelima Pasal 372 KUHP, yaitu “berada padanya bukan karena kejahatan”, dijelaskan oleh Lamintang bahwa: “menunjukkan adanya suatu hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda tertentu”.21 Jadi jika barang tersebut berada di tangannya melalui mengambil dari orang lain tanpa hak, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan penggelapan melainkan melakukan tindak pidana lainnya yaitu tindak pidana pencurian.

c. Penyerahan Barang Bergerak Sebagai Jaminan

Barang bergerak dapat digunakan sebagai jaminan utang melalui lembaga gadai dan lembaga fidusia. Barang bergerak yang dijadikan obyek jaminan gadai diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata) tentang Kebendaan. Gadai menurut Pasal 1150 KUHPerdata adalah:

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

21 Lamintang, Op. Cit., h. 121.

Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa gadai adalah penyerahan barang bergerak yang dilakukan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai sebagai jaminan pelunasan utang ketika pemberi gadai ingkar janji. Dengan penyerahan barang bergerak sebagai jaminan utang tersebut, memberikan hak untuk didahulukan dalam pelunasan piutangnya pada pemegang gadai. Meskipun gadai didasarkan atas penyerahan kekuasaan atas suatu benda yang dijadikan obyek gadai, penyerahan barang bergerak dari tangan pemberi gadai kepada pemegang gadai merupakan suatu hal yang mutlak sesuai dengan ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata menentukan: “Tak sah adalah gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang”.

Memperhatikan hal tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa gadai obyeknya barang bergerak, sehingga ketika dijadikan obyek gadai barang tersebut harus diserahkan kepada pemegang gadai dengan ancaman tidak sah atau batal demi hukum jika barang yang dijadikan obyek gadai tersebut tetap berada ditangan pemberi gadai.

Penyerahan barang bergerak sebagai obyek gadai digunakan sebagai pelunasan utang ketika pemberi gadai tidak dapat membayar gadainya dengan menjual lelang atas barang tersebut.

Gadai barang bergerak adalah barang bukti dalam perkara pidana. Barang bukti yaitu: “Barang bukti adalah barang-barang baik yang berwujud, bergerak atau tidak bergerak yang dapat dijadikan bukti

dan fungsinya untuk diperlihatkan kepada terdakwa ataupun saksi dipersidangan guna mempertebal keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa”.22

Penyerahan barang bergerak lainnya yang digunakan sebagai jaminan melalui lembaga fidusia. Fidusia berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitor selaku pemberi fidusia dan penerima fidusia selaku kreditor merupakan hubungan hukum yang didasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi hutangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalah-gunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.23 Tan Kamelo mengemukakan bahwa, jaminan fidusia adalah salah satu sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank yakni sebagai suatu kepastian bahwa nasabah debitor akan melunasi pinjaman kredit. Perjanjian fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena undang-undang melainkan harus diperjanjikan lebih dahulu antara bank dengan nasabah debitor.24

Secara yuridis pasal 1 angka (1) UU No. 42 Tahun 1999 mengemukakan bahwa “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas

22Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, h. 148.

23Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia, Raja Rafindo Persada, Jakarta, 2000, h. 113.

24Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia (Suatu Kebutuhan yang Didambakan), Alumni, Bandung, 2004, h. 187.

dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Mengenai penyerahan barang jaminan fidusia, Satrio mengemukakan: “Penyerahan hak milik benda jaminan, maka sebenarnya kreditor telah menjadi pemilik, tetapi kalau diingat, bahwa tujuannya hanyalah sebagai/ untuk memberikan jaminan saja, maka kreditor setelah menerima penyerahan benda jaminan, tidak menjadi pemilik dalam arti yang sebenarnya”.25

Penyerahan secara kepercayaan tidak dimaksudkan untuk betul-betul dimiliki, namun mengenai hal di atas terjadi suatu silang pendapat, karena ada pihak yang berpendirian bahwa kreditor pemegang jaminan fidusia yang dinamakan fidusiairus dengan penyerahan tersebut benar-benar telah menjadi pemilik dari benda jaminan dengan hak-hak sebagaimana yang dipunyai seorang pemilik, namun di sisi yang lain pihak ada sarjana yang berpendapat bahwa fidusia terhadap pihak ketiga berkedudukan sebagai seorang pemilik, sedang terhadap pemberi jaminan hanya berkedudukan sebagai seorang pemegang gadai yang tak memegang benda jaminan, karena para pihak memang tidak benar-benar bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas benda jaminan dan dalam prakteknya para pihak mengadakan kesepakatan yang membatasi hak-hak kreditor sampai sejauh hak-hak seorang pemegang hak-hak jaminan saja.26

25J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 177.

Gadai kaitannya dengan tindak pidana dapat dijumpai dalam Pasal 480 ayat (2) KUHP menentukan bahwa “Barang siapa menjadikan sebagai kebiasaan untuk sengaja membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Orang dikatakan menadah apabila ia :

a. membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan; atau karena mau mendapat untung :

b. menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan.

Selain perbuatan-perbuatan di atas yang dapat digolongkan sebagai perbuatan menadah, orang yang mengambil untung dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan, dapat pula dikatakan ”menadah”.

Barang yang dapat digolongkan sebagai ”barang yang diperoleh karena kejahatan” misalnya barang asal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perampokan dan lain sebagainya. Barang yang berasal dari pelanggaran tidak termasuk di sini.

Barang yang berasal dari kejahatan dibagi pula menjadi 2 bagian yakni :

a. barang yang diperoleh dari kejahatan seperti barang hasil pencurian, penggelapan, penipuan atau pemerasan. Barang-barang ini keadaannya sama saja dengan barang-barang lain yang bukan berasal dari kejahatan. Dapatnya kita mengeahui bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dilihat dari hasil penyelidikan tentang asal mula dan caranya barang itu berpindah tangan;

b. barang yang terjadi karena sesuatu kejahatan, misalnya mata uang palsu, uang kertas palsu, ijazah palsu dan lain sebagainya. Apabila barang-barang ini dilihat dari segi rupa dan keadaannya, memang agak berbeda dengan barang yang tidak palsu.

Untuk mengetahui apakah barang itu berasal dari kejahatan, memang sulit. Tetapi dengan cara menilai dari sudut harga yang jauh lebih mudah dari harga barang yang bukan berasal dari kejahatan dan cara penjualan yang dilakukan secara bersembunyi-sembunyi, kita dapat menyangka bahwa barang itu berasal dari kejahatan.

Hasil dari barang yang diperoleh karena kejahatan dapat disamakan dengan hasil penjualan barang itu.

Untuk dapat membedakan antara barang yang berasal dari kejahatan dan hasil dari barang yang diperoleh karena kejahatan, perlu dikemukakan contoh sederhana sebagai berikut :

Seorang berhasil merampok sebuah bank. Sebagian uang rampokan itu dibelikan barang-barang. Uang rampokan itu adalah barang berasal dari kejahatan, sedang barang-barang yang dibeli dengan uang rampokan itu adalah hasil dari barang yang diperoleh dari kejahatan.

Dengan adanya perbedaan ini, maka orang yang menerima hadiah uang yang berasal dari perampokan, dikenakan sub pertama pasal ini, sedang yang menerima hadiah barang yang dibeli dengan uang hasil rampokan itu dikenakan sub kedua pasal ini.

Sifat tidak legal pada barang yang diperoleh karena kejahatan itu tidak selamanya tetap. Apabila barang itu berpindah tangan kepada seseorang dengan itikat baik, maka sifat tidak legal itu hapus karenanya. Untuk jelasnya perlu dikemukakan contoh singkat sebagai berikut.

Seseorang berhasil mencuri sebuah arloji. Kemudian arloji itu digadaikan ke Pegadaian Negeri. Setelah beberapa bulan kemudian, karena tidak ditebus kembali oleh orang yang menggadaikan, maka arloji itu lalu dilelang. Orang yang membeli arloji tersebut, tidak dapat dihukum, karena diterimanya arloji itu dari mobil gadai tersebut dengan itikad baik.

Sebaliknya sifat tidak legal pada uang palsu yang diperoleh karena kejahatan tetap kekal untuk selama-lamanya. Uang palsu dan ijazah palsu senantiasa wajib diserahkan kepada polisi untuk diusut atau kemudian dirusak guna menjaga agar jangan sampai dipergunakan orang.

Ketentuan pasal 367 tidak berlaku bagi pasal ini, artinya :menadah” bukan delik aduan.

Kejahatan ini biasa disebut ”menadah secara kebiasaan”. Agar dapat dituntut menurut pasal ini, maka kebiasaan sengaja melakukan penadahan itu harus dibuktikan. Membuat kebiasaan = melakukan perbuatan lebih dari sekali. Jadi yang dikenakan pasal ini ialah tukang-tukang tadah yang ulung.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa jika barang bergerak yang dijadikan obyek gadai, maka

Dokumen terkait