• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)."

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG

MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA

( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)

SKRIPSI

(Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN ”Veteran” Jawa Timur)

Oleh :

FARIT KURNIAWAN NPM. 0671010056

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA

(2)

PERSETUJUAN MENGIKUTI UJIAN SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG

MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA

( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)

Disusun Oleh : FARIT KURNIAWAN

NPM. 0671010056

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Sutrisno, S.H., M.Hum. Yana Indawati, S.H., M.Kn. NIP. 19601212 198803 1 001 NPT. 37901070224

Mengetahui, D E K A N

(3)

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA

( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)

Oleh :

FARIT KURNIAWAN NPM. 0671010056

Telah dipertahankan Dihadapan dan Diterima oleh Tim Penguji skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

(4)

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA

( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)

Oleh :

FARIT KURNIAWAN NPM. 0671010056

Telah dipertahankan Dihadapan dan Diterima oleh Tim Penguji skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 18 November 2011

Tim Penguji :

1. H. Sutrisno, S.H., M.Hum. : ( ... ) NIP. 19601212 198803 1 001

2. Hariyo Sulistiyantoro, S.H., MM. : ( ... ) NIP. 19620625 199103 1 001

3. Subani, S.H., MSi. : ( ... ) NIP. 19510504 198303 1 001

Mengetahui, D E K A N

(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Farit Kurniawan

Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 16 Juni 1986

NPM : 0671010056

Konsentrasi : Pidana

Alamat : Pakis Gelora II No. 11

Surabaya

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul :

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG

MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)” dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sajar Hukum pada Fakultas Hukm Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan (plagiat).

Apabila dikemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka saya bersedia dituntut di depan Pangadilan dan dicabut gelar kesarjanaan (Sarjana Hukum) yang saya peroleh.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.

Mengetahui Surabaya, 18 November 2011

An. KaProdi Penulis,

Sek.Progdi

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, atas berkat rohmat-Nya tugas penulisan laporan Skripsi Penelitian Ilmu Hukum yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Orang yang Menggadaikan Mobil dalam Status Sewa (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor: 806/Pid/B/2010/PN.Sda) dapat terselesaikan.

Penulisan Skripsi ini disusun Penelitian untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang ada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu dalam mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan oleh beberapa pihak .ada kesempatan ini penulis berterima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, S.H, M.M, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan sekaligus Dosen Wali.

2. Bapak H. Sutrisno, S.H, M.Hum, selaku Wadek II Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” sekaligus Dosen Pembimbing Utama yang sangat membantu dalam penulisan laporan ini. 3. Bapak Drs. EC Gendut Soekarno, MS selaku Wadek II Ilmu Fakultas

(7)

4. Bapak Panggung Handoko.,S.sos.,S.H.,M.M. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

5. Ibu Yana Indawati, S.H, M.Kn, selaku dosen pendamping yang sangat membantu terselesaikan laporan ini.

6. Bapak Edy, S.H, dan Pak fawaid, S.H. yang telah banyak membantu dan memberikan arahan pemikiran hingga terselesaikan laporan ini dan

7. Guru ngaji DR. Gus Mujitabah, S.H., M.M , dan DR. Gus Kadis, S.H., M.M , yang telah memberi banyak petuah dan pemahaman perjalanan hidup.

8. Orang Tua dan Ayu Resti Widayanti S.Hum yang telah banyak memberi bantuan moril dan materiil.

9. Serta teman-teman satu angkatan yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan laporan gank PAK EDY, S.H, fronza,bagus deny helmi dan Praja.

Tentunya laporan Proposal Penelitian Ilmu Hukum ini masih jauh dari apa yang di harapkan, untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari seluruh pihak yang dapat dijadikan pedoman dalam penulisan selanjutnya.

Surabaya, November 2011

Penulis

(8)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM

Nama Mahasiswa : Farit Kurniawan

NPM : 0671010056

Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 16 Juni 1986 Program Studi : Strata 1 (S1)

Judul Skripsi :

”PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

Sidoarjo Nomor : 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)” ABSTRAKSI

Penelitian dengan judul di atas bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum bagi orang yang menggadaikan mobil dalam status sewa, dan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana orang yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa.

Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif yaitu merupakan penelitian hukum terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pertama, akibat hukumnya pelaku dapat dikenakan sanksi pidana karena telah melakukan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP. Penyewa mobil hanya memilikki hak untuk menikmati mobil sewa, kenyataannya penyewa memperlakukan mobil sewa sebagaimana miliknya sendiri dan menggadaikan mobil sewa tersebut.

Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa, bahwa pihak yang menggadaikan dikenakan sanksi pidana sebagaimana pasal 480 KUHP. Pihak yang menyewa mengetahui bahwa mobil tersebut bukan miliknya sendiri, melainkan milik yang menyewakan sehingga telah melakukan kesalahan. Oleh karena itu pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena tidak ada alasan pemaaf atau pembenar menggadaikan mobil sewa.

(9)

DAFTAR ISI

(10)

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG TELAH MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA ... 3.1. Pertanggungjawaban Pidana Orang yang

Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa Putusan No. 806/Pid/B/2010/PN.Sda. ... 3.2. Analisa Pertanggungjawaban Pidana Orang

yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa ... BAB IV PENUTUP ...

4.1. Kesimpulan ... 4.2. Saran ... DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

39

39

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia umumnya dan krisis moral masyarakat khususnya membawa dampak dalam kehidupan masyarakat. Kejahatan baik yang dilakukan oleh para pejabat maupun yang dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai modus sangat dirasakan dan meresahkan tatanan kehidupan. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi menjadikan jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin, sehingga ada suatu anggapan masyarakat yang menyatakan “mencari uang yang haram saja susah apalagi mencari uang yang halal”. Kondisi yang demikian terutama bagi masyarakat yang pemahaman tentang agama kurang mengambil jalan pintas yaitu mengambil langkah untuk melakukan kejahatan, dengan berbagai macam modus yang penting dapat berhasil dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk berfoya-foya maupun memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

(12)

barangsiapa melanggar larangan tersebut".1 Hal ini berarti bahwa perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum dan suatu yang membahayakan kepentingan hukum. Perbuatan yang dilanggar tersebut haruslah telah ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnyanya, sehingga jika peraturan tidak mengatur maka seharusnya seseorang tersebut bebas dari segala tuntutan hukum dengan didasarkan atas nullum delictum noela poena cine praivelege sebagaimana pasal 1 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada, bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebagaimana di atas, maka yang dipermasalahkan dalam skripsi ini adalah:

1. Apa akibat hukum bagi orang yang menggadaikan mobil dalam status sewa ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana orang yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa ?

(13)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum bagi orang yang menggadaikan mobil dalam status sewa.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana orang yang telah menggadaikan mobil dalam status sewa.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai akibat dan pertanggungjawaban pidana pegadaian yang telah menerima gadai mobil dalam status sewa.

2. Sebagai masukan yang berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam sewa menyewa mobil, dan pemberi gadai mengenai tanggung jawabnya masing-masing serta aparat penegak hukum dalam menangani kasus gadai mobil sewa.

1.5. Kajian Pustaka

a. Pengertian Tindak Pidana

Perihal tindak pidana ada yang menyebut sebagai perbuatan pidana atau peristiwa pidana. Sianturi dalam mengartikan tindak pidana yang berasal dari istilah Belanda “strafbare feit”, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:

(14)

c. Perbuatan pidana dan tindak pidana.2

Mengenai “strafbare feit” ini, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang diartikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut".3 Sahetapy mengartikan tindak pidana adalah “perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela”,4 kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi berupa pidana.

Perihal delik dibedakan antara delik formil dan delik materiil. Delik formil menekankan pada perbuatannya, terlepas dari akibat yang mungkin timbul, perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana. Pada delik materiil, yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan aki bat tertentu.5

Hal tersebut berarti bahwa perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum dan suatu yang membahayakan kepentingan hukum. Memperhatikan definisi perbuatan pidana sebagaimana di atas dapat dijelaskan bahwa unsur perbuatan

2Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (selanjutnya

disingkat Sianturi 1), Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1986, h. 204.

3Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rinekacipta, Jakarta, 2000, h. 54.

4Sahetapy, Hukum Pidana, (Editor Penterjemah), Konsursium Ilmu Hukum Departemen

P & K, Liberty, Yogyakarta, 2003, h. 27.

(15)

pidana yaitu: 1) perbuatan manusia, 2) bersifat melawan hukum dan 3) dapat dicela.

Perbuatan manusia dijelaskan oleh Sahetapy yaitu:

bukan mempunyai keyakinan atau niat, tetapi hanya melakukan atau tidak melakukan dapat dipidana. Dalam ruang lingkup rumusan delik: semua unsur rumusan delik yang tertulis harus terpenuhi”. Bersifat melawan hukum ialah “suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis (misalnya, sengaja membunuh orang lain) tidak dapat dipidana kalau tidak bersifat melawan hukum (misalnya sengaja membunuh tentara musuh oleh seorang tentara dalam perang).

Sedangkan maksud dapat dicela adalah:

suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dicela itu merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan, sekalipun tidak disebut dalam rumusan delik.6

Perihal hukum pidana, Moeljatno mengemukakan:

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan-larangan tersebut;

2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut.7

Apabila diperhatikan pendapat Moeljatno di atas dapat dijelaskan bahwa perbuatan pidana merupakan salah satu bagian yang dipelajari dalam hukum pidana. Hukum pidana tidak hanya memberikan pengertian

6Ibid., h. 27

(16)

tentang perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, melainkan juga mencakup hal berkaitan dengan pengenaan pidana dan cara bagaimana pidana tersebut dapat dilaksanakan. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau perbuatan seseorang. Sedangkan ancaman pidananya atau sanksinya ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana yang biasanya disebut dengan perkataan "barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan pidana sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidang hukum.

Barang siapa ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan. Perihal kesalahan dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan karena kelalaiannya. Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu:

1) kesengajaan dengan maksud (dolus derictus); 2) kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan

3) kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).8

Sehubungan dengan kesengajaan sebagai suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, dibedakan antara sifat melawan hukum formal

(17)

dan sifat melawan hukum yang materiil. Sifat melawan hukum formal, apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka di situ ada kekeliruan. Sahetapy mengemukakan bahwa sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik dari undang-undang. Sifat melawan hukum formal merupakan untuk dapat dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas.9 Letak melawan hukum perbuatan sudah nyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Sifat melawan hukum formal memiliki makna melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Sifat melawan hukum yang materiil berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Hukum bukanlah undang-undang saja, di samping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.10 Bentuk yang dikenal dalam hukum pidana dapat berupa: Formeel delicht juga disebut delik dengan perumusan formil, yaitu delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Materieel delicht juga disebut delik dengan perumusan materiil, yaitu delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang.11

9Sahetapy, Op. cit., h. 40. 10Ibid., h. 130.

(18)

Yang dimaksud dengan kealpaan pada dasarnya ialah kekurang hati-hatian atau lalai, kekurang waspadaan, keteledoran, kurang menggunakan ingatannya atau kekhilafan atau sekiranya dia hati-hati, waspada, tertib atau ingat, peristiwa itu tidak akan terjadi atau akan dapat dicegahnya.12 Culpa atau Lalai adalah kekhilafan atau kealpaan yang menimbulkan akibat hukum dianggap melakukan tindak pidana yang dapat ditindak atau dituntut.13

b. Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 372 KUHP, yang menentukan sebagai berikut:

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Ketentuan Pasal 372 KUHP diawali dengan kata “barangsiapa” yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana penggelapan. Pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 KUHP, yang menentukan:

Pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 KUHP, yang menentukan: (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

a. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;

b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atas martabat dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

12Sianturi, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni-AHM-PTHM, Jakarta,

1983, h. 511.

(19)

(2) terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Tindak pidana penggelapan sebagaimana pasal 372 KUHP tersebut di atas di dalamnya mengandung unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

a. unsur subyektif : dengan sengaja; b. unsur obyektif :

- menguasai secara melawan hukum; - suatu benda;

- sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; - berada padanya bukan karena kejahatan.14

Unsur pertama Pasal 372 KUHP, yaitu “dengan sengaja”, merupakan unsur subyektif. Dengan sengaja berkaitan dengan tindak pidana penggelapan dijelaskan lebih lanjut oleh Sianturi sebagai berikut: “Pelaku menyadari bahwa ia secara melawan hukum memiliki sesuatu barang. Menyadari bahwa barang itu adalah sebagian atau seluruhnya milik orang lain, demikian pula menyadari bahwa barang itu ada padanya atau ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”.15 Jadi kesengajaan dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk kesengajaan sebagai maksud yakni si pembuat menghendaki adanya akibat yang dilarang dari perbuatannya.

14Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,

Sinar Baru, Bandung, 1989, h 105.

15Sianturi, Tindak Pidana di KUHP berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta, Tahun 1983,h.

(20)

Unsur kedua Pasal 372 KUHP ialah “menguasai atau memiliki secara melawan hukum” Pengertian memiliki secara melawan hukum dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung No. 69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959 “memiliki berarti menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang dimiliki atau benda itu. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 83 K/Kr/1956 tanggal 8 Mei 1957, “memiliki yaitu menguasai sesuatu barang bertentangan dengan sifat dari hak yang dijalankan seseorang atas barang-barang tersebut.16

Jadi apabila barang tersebut berada di bawah kekuasaannya bukan didasarkan atas kesengajaan secara melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan perbuatan memiliki sesuatu barang secara melawan hukum.

Unsur ketiga Pasal 372 KUHP, yaitu “suatu benda”, menurut Sugandhi adalah sebagai berikut :

Yang dimaksudkan barang ialah semua benda yang berwujud seperti uang, baju, perhiasan dan sebagainya, termasuk pula binatang, dan benda yang tidak berwujud seperti aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta yang disalurkan melalui pipa. Selain benda-benda yang bernilai uang pencurian pada benda-benda-benda-benda yang tidak bernilai uang, asal bertentangan dengan pemiliknya (melawan hukum) dapat pula dikenakan Pasal ini.17

Sedang menurut Sianturi bahwa: “Unsur barang sama saja dengan barang pada pencurian Pasal 362 KUHP. Pada dasarnya barang adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis setidak-tidaknya bagi

16Ibid.

(21)

pemiliknya”.18 Hal tersebut berarti bahwa pengertian barang diartikan secara luas, yaitu tidak hanya terbatas pada benda yang berwujud, melainkan termasuk benda-benda yang tidak berwujud, namun mempunyai nilai ekonomis, misalnya aliran listrik, gas dan yang lainnya.

Unsur ke empat Pasal 372 KUHP ialah “sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain”, dijelaskan oleh Sianturi bahwa: “Barang tersebut seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, berarti tidak saja bahwa kepunyaan itu berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga berdasarkan hukum yang berlaku”.19

Selanjutnya Sianturi mengemukakan:

Barang yang dimaksud ada padanya atau kekuasaannya ialah ada kekuasaan tertentu pada seseorang itu terhadap barang tersebut. Barang itu tidak mesti secara nyata ada di tangan seseorang itu, tetapi dapat juga jika barang itu dititipkan kepada orang lain, tetapi orang lain itu memandang bahwa si penitip inilah yang berkuasa pada barang tersebut.

Jadi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan berarti barang itu berada padanya/kekuasaannya bukan saja karena suatu pelaksanaan perundangan yang berlaku seperti :

a. Peminjaman, yang tidak bertentangan dengan hukum seperti misalnya :

1) Menemukan sesuatu benda di jalanan, di lapangan, di suatu tempat umum, dan sebagainya;

2) Tertinggalnya suatu barang tamu oleh tamu itu sendiri di mobil seseorang ketika ia bertamu;

3) Terbawanya sesuatu barang orang lain yang sama sekali tidak disadarinya; dan lain sebagainya.20

18 Sianturi, Op. Cit., h. 593 19Ibid., h. 625

(22)

Hal tersebut berarti bahwa apabila barang tersebut secara keseluruhan miliknya sendiri, maka tidak dapat dikatakan bahwa barang tersebut adalah sebagian atau seluruhnya milik orang lain.

Unsur kelima Pasal 372 KUHP, yaitu “berada padanya bukan karena kejahatan”, dijelaskan oleh Lamintang bahwa: “menunjukkan adanya suatu hubungan langsung yang sifatnya nyata antara pelaku dengan suatu benda tertentu”.21 Jadi jika barang tersebut berada di tangannya melalui mengambil dari orang lain tanpa hak, maka tidak dapat dikatakan sebagai telah melakukan penggelapan melainkan melakukan tindak pidana lainnya yaitu tindak pidana pencurian.

c. Penyerahan Barang Bergerak Sebagai Jaminan

Barang bergerak dapat digunakan sebagai jaminan utang melalui lembaga gadai dan lembaga fidusia. Barang bergerak yang dijadikan obyek jaminan gadai diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata) tentang Kebendaan. Gadai menurut Pasal 1150 KUHPerdata adalah:

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

(23)

Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa gadai adalah penyerahan barang bergerak yang dilakukan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai sebagai jaminan pelunasan utang ketika pemberi gadai ingkar janji. Dengan penyerahan barang bergerak sebagai jaminan utang tersebut, memberikan hak untuk didahulukan dalam pelunasan piutangnya pada pemegang gadai. Meskipun gadai didasarkan atas penyerahan kekuasaan atas suatu benda yang dijadikan obyek gadai, penyerahan barang bergerak dari tangan pemberi gadai kepada pemegang gadai merupakan suatu hal yang mutlak sesuai dengan ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata menentukan: “Tak sah adalah gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang”.

Memperhatikan hal tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa gadai obyeknya barang bergerak, sehingga ketika dijadikan obyek gadai barang tersebut harus diserahkan kepada pemegang gadai dengan ancaman tidak sah atau batal demi hukum jika barang yang dijadikan obyek gadai tersebut tetap berada ditangan pemberi gadai.

Penyerahan barang bergerak sebagai obyek gadai digunakan sebagai pelunasan utang ketika pemberi gadai tidak dapat membayar gadainya dengan menjual lelang atas barang tersebut.

(24)

dan fungsinya untuk diperlihatkan kepada terdakwa ataupun saksi dipersidangan guna mempertebal keyakinan hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa”.22

Penyerahan barang bergerak lainnya yang digunakan sebagai jaminan melalui lembaga fidusia. Fidusia berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitor selaku pemberi fidusia dan penerima fidusia selaku kreditor merupakan hubungan hukum yang didasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi hutangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalah-gunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.23 Tan Kamelo mengemukakan bahwa, jaminan fidusia adalah salah satu sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank yakni sebagai suatu kepastian bahwa nasabah debitor akan melunasi pinjaman kredit. Perjanjian fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena undang-undang melainkan harus diperjanjikan lebih dahulu antara bank dengan nasabah debitor.24

Secara yuridis pasal 1 angka (1) UU No. 42 Tahun 1999 mengemukakan bahwa “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas

22Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana,

Liberty, Yogyakarta, 1988, h. 148.

23Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia, Raja

Rafindo Persada, Jakarta, 2000, h. 113.

24Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia (Suatu Kebutuhan yang Didambakan),

(25)

dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Mengenai penyerahan barang jaminan fidusia, Satrio mengemukakan: “Penyerahan hak milik benda jaminan, maka sebenarnya kreditor telah menjadi pemilik, tetapi kalau diingat, bahwa tujuannya hanyalah sebagai/ untuk memberikan jaminan saja, maka kreditor setelah menerima penyerahan benda jaminan, tidak menjadi pemilik dalam arti yang sebenarnya”.25

Penyerahan secara kepercayaan tidak dimaksudkan untuk betul-betul dimiliki, namun mengenai hal di atas terjadi suatu silang pendapat, karena ada pihak yang berpendirian bahwa kreditor pemegang jaminan fidusia yang dinamakan fidusiairus dengan penyerahan tersebut benar-benar telah menjadi pemilik dari benda jaminan dengan hak-hak sebagaimana yang dipunyai seorang pemilik, namun di sisi yang lain pihak ada sarjana yang berpendapat bahwa fidusia terhadap pihak ketiga berkedudukan sebagai seorang pemilik, sedang terhadap pemberi jaminan hanya berkedudukan sebagai seorang pemegang gadai yang tak memegang benda jaminan, karena para pihak memang tidak benar-benar bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas benda jaminan dan dalam prakteknya para pihak mengadakan kesepakatan yang membatasi hak-hak kreditor sampai sejauh hak-hak seorang pemegang hak-hak jaminan saja.26

25J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996, h. 177.

(26)

Gadai kaitannya dengan tindak pidana dapat dijumpai dalam Pasal 480 ayat (2) KUHP menentukan bahwa “Barang siapa menjadikan sebagai kebiasaan untuk sengaja membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Orang dikatakan menadah apabila ia :

a. membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan; atau karena mau mendapat untung :

b. menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan.

Selain perbuatan-perbuatan di atas yang dapat digolongkan sebagai perbuatan menadah, orang yang mengambil untung dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan, dapat pula dikatakan ”menadah”.

(27)

Barang yang berasal dari kejahatan dibagi pula menjadi 2 bagian yakni :

a. barang yang diperoleh dari kejahatan seperti barang hasil pencurian, penggelapan, penipuan atau pemerasan. Barang-barang ini keadaannya sama saja dengan barang-barang lain yang bukan berasal dari kejahatan. Dapatnya kita mengeahui bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dilihat dari hasil penyelidikan tentang asal mula dan caranya barang itu berpindah tangan;

b. barang yang terjadi karena sesuatu kejahatan, misalnya mata uang palsu, uang kertas palsu, ijazah palsu dan lain sebagainya. Apabila barang-barang ini dilihat dari segi rupa dan keadaannya, memang agak berbeda dengan barang yang tidak palsu.

Untuk mengetahui apakah barang itu berasal dari kejahatan, memang sulit. Tetapi dengan cara menilai dari sudut harga yang jauh lebih mudah dari harga barang yang bukan berasal dari kejahatan dan cara penjualan yang dilakukan secara bersembunyi-sembunyi, kita dapat menyangka bahwa barang itu berasal dari kejahatan.

Hasil dari barang yang diperoleh karena kejahatan dapat disamakan dengan hasil penjualan barang itu.

(28)

Seorang berhasil merampok sebuah bank. Sebagian uang rampokan itu dibelikan barang-barang. Uang rampokan itu adalah barang berasal dari kejahatan, sedang barang-barang yang dibeli dengan uang rampokan itu adalah hasil dari barang yang diperoleh dari kejahatan.

Dengan adanya perbedaan ini, maka orang yang menerima hadiah uang yang berasal dari perampokan, dikenakan sub pertama pasal ini, sedang yang menerima hadiah barang yang dibeli dengan uang hasil rampokan itu dikenakan sub kedua pasal ini.

Sifat tidak legal pada barang yang diperoleh karena kejahatan itu tidak selamanya tetap. Apabila barang itu berpindah tangan kepada seseorang dengan itikat baik, maka sifat tidak legal itu hapus karenanya. Untuk jelasnya perlu dikemukakan contoh singkat sebagai berikut.

Seseorang berhasil mencuri sebuah arloji. Kemudian arloji itu digadaikan ke Pegadaian Negeri. Setelah beberapa bulan kemudian, karena tidak ditebus kembali oleh orang yang menggadaikan, maka arloji itu lalu dilelang. Orang yang membeli arloji tersebut, tidak dapat dihukum, karena diterimanya arloji itu dari mobil gadai tersebut dengan itikad baik.

(29)

Ketentuan pasal 367 tidak berlaku bagi pasal ini, artinya :menadah” bukan delik aduan.

Kejahatan ini biasa disebut ”menadah secara kebiasaan”. Agar dapat dituntut menurut pasal ini, maka kebiasaan sengaja melakukan penadahan itu harus dibuktikan. Membuat kebiasaan = melakukan perbuatan lebih dari sekali. Jadi yang dikenakan pasal ini ialah tukang-tukang tadah yang ulung.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa jika barang bergerak yang dijadikan obyek gadai, maka barang tersebut secara fisik harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai, dengan ancaman tidak sah. Sedangkan bagi barang bergerak yang dijadikan obyek jaminan fidusia, terjadi penyerahan hak milik atas obyek jaminan fidusia dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia. Penyerahan hak milik tersebut tidak perlu dilakukan penyerahan fisik barangnya melainkan cukup hak kepemilikannya saja, sehingga pemberi fidusia semula sebagai pemilik, karena hak pemelikannya telah dialihkan kepada penerima fidusia, maka pemberi fidusia hanya bertindak sebagai peminjam pakai.

d. Hak Pihak Penyewa dalam Sewa Menyewa

Sewa menyewa termasuk suatu perjanjian yang dibuat secara timbal balik, sesuai dengan pasal 1548 KUH Perdata menentukan:

(30)

dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.

Perjanjian sewa menyewa termasuk sebagai perjanjian yang terbuka atau kebebasan berkontrak sehingga dapat dibuat menyimpang dari pasal-pasal KUH Perdata, asalkan perjanjian sewa menyewa tersebut dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh pihak-pihak mengikat pada saat kedua belah pihak mencapai kata sepakat mengenai barang yang disewa dan harga sewa. Dengan tercapainya kata sepakat maka untuk tahap berikutnya yaitu pelaksanaan perjanjian tersebut.

Pelaksanaan perjanjian merupakan hakikat dari perjanjian itu sendiri, maksudnya bahwa setiap perjanjian dibuat tentunya mempunyai maksud tertentu untuk dilaksanakannya. Mengenai pelaksanaan perjanjian ini, Riduan Syahrani mengemukakan: “Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh karena itu melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain”.27

Pelaksanaan perjanjian, timbul pada saat perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak, yaitu sejak saat tercapainya kata sepakat

27Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,

(31)

mengenai hal-hal yang pokok antara kedua belah pihak yang disebut dengan konsensus. Saat terjadinya perjanjian atau konsensus, Subekti mengemukakan sebagai berikut: “Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas”.28

Dengan tercapainya kata sepakat, maka menimbulkan suatu kewajiban secara timbal balik yang disebut juga dengan prestasi. Prestasi diartikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai "kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan".29 Prestasi merupakan kewajiban, yang berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuat perjanjian sebagai pelaksanaan dari perjanjian tersebut, misalnya membuat bangunan, lukisan dan lain sebagainya.

Dalam perjanjian sewa menyewa pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban, di antaranya sebagaimana diatur dalam pasal 1550 KUH Perdata sebagai berikut:

Pihak yang menyewakan diwajibkan karena sifat perjanjian, dan dengan tak perlu adanya sesuatu janji untuk:

1. menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa;

2. memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;

3. memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram dari pada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa.

28 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, h. 15.

(32)

Dengan demikian kewajiban pihak yang menyewakan tidak hanya menyerahkan barang yang disewakan, melainkan juga untuk tetap memelihara barang yang disewakan tersebut agar tetap dapat dinikmati oleh penyewa selama waktu sewa.

Kewajiban pihak penyewa di antaranya tertuang dalam pasal 1560 KUH Perdata menentukan:

Si penyewa harus menepati dua kewajiban utama:

1. untuk memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak mobil yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada suatu perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan;

2. untuk membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Kewajiban untuk memakai barang yang disewa sebagai bapak mobil yang baik, maksudnya menganggap seakan-akan barang yang disewa tersebut miliknya sendiri, sehingga jika terdapat kerusakan-kerusakan kecil, menjadi kewajiban penyewa untuk memperbaikinya.

(33)

jika memperlakukan barang sewa seakan-akan barang sewa tersebut miliknya, dan melakukan suatu perbuatan hukum mengalihkan barang sewa tersebut, maka dapat dikatakan telah melakukan penggelapan.

e. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada penindakan pelaku jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang,30 yang berarti bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidjana terjadi jika pelaku telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana karena telah memenuhi keseluruhan unsur-unsur yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.

Pertanggungjawaban pidana diterapkan terhadap pembuat perbuatan pidana (dader) baik perbuatan kejahatan maupun pelanggaran atas delik. Menurut Moeljatno dikemukakan sebagai berikut:

Kejahatan atau “rechtsdeliten” adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran atau “wetsdeliktern” yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.31

Perihal pertanggungjawaban pidana maksudnya pelaku tindak pidana dapat dipidana jika memenuhi keseluruhan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum dan pelaku dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Apabila pelaku tidak

30Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,

Alumni, AHM-PTHM, Jakarta, 1982, h. 249.

(34)

memenuhi salah satu unsur yang didakwakan, maka tidak dapat dipidana. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah:

1) melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana; 2) untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab;

3) mempunyai suatu bentuk kesalahan; 4) tidak adanya alasan pemaaf.32

Ad. 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.

Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum “wederrechtelijkheid” sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dikutip dari bukunya Moeljatno dalam hal ini harus dilepas dari tuntutan hukum (onstlag van recht-vervolging).33

Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat pada KUHP merumuskan delik tersebut secara tertulis dan juga tidak tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum tersebut.34

32Ibid., h. 164.

(35)

Ad. 2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab. Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur yang

diwajibkan guna memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, yang menjadi dasar adanya kemampuan

bertanggungjawab adalah:

1) kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;

2) kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.35

Sedangkan batasan-batasan mengenai pembuatan perbuatan pidana (dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah:

1) kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (pasal 44 ayat (1) KUHP);

2) anak yang belum dewasa (pasal 45 KUHP).

Dengan dasar ketentuan KUHP tersebut di atas, maka pembuat perbuatan pidana (dader) tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana.

Ad. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan.

(36)

jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non fasit reum nisi mens sir rea). Menurut Moeljatno, perbuatan manusia dianggap

mempunyai kesalahan jika:

Orang dikatakan mempunyai kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian ….36

Sedangkan menurut Simon sebagaimana dikutip dari bukunya Moeljatno, kesalahan adalah “keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat tercela karena melakukan perbuatan tadi”.37

Bentuk perbuatan manusia mempunyai kesalahan terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu: 1) kesengakaan dengan maksud (dolus derictus);

2) kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan

3) kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).38

35Ibid., h. 165.

(37)

Menurut pendapat Simon yang dikutip dari bukunya Moeljatno mengenai kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah dapat diduga-duganya akan timbul akibat. Kealpaan yang harus terjadi pada perbuatan menurut Van Hamel harus mengandung dua syarat, yaitu:

1) tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan dalam hukum;

2) tidak menghadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu:

1) pembuat berbuat lain daripada seharusnya dia berbuat menurut aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum;

2) selanjutnya pembuat laku berbuat sembrono, lalai, kurang berfikir, lengah;

3) akhirnya pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa dia dapat dipertanggungakibatnya atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berfikir dan lengah.39

(38)

pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.

Ad. 4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Menurut Sudarto, alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawab-kannya seseorang atau tidak dipidananya, karena 2 hal:

Perbuatan meskipun telah mencocoki rumusan delik, namun tidak merupakan suatu tindak pidana karena tidak bersifat melawan hukum (ingat ajaran sifat melawan hukum yang formil dan materiil); meskipun perbuatannya itu dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, namun orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, karena padanya tidak ada kesalahan.40

Berhubung adanya dua hal di atas, maka ilmu pengetahuan hukum pidana membedakan adanya:

alasan pembenar, dan alasan pemaaf.41

Mengenai alasan pembenar dan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak penting bagi si pembuat sendiri, karena jika ternyata ada alasan penghapusan pidana, maka teranglah ia tidak akan dipidana.

Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut:

1) pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu;

2) pasal 48 mengenai daya memaksa (overmacht); 3) pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa (noodwer);

39Ibid., h. 201.

(39)

4) pasal 51 ayat (2) mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.

Jika memenuhi dari salah satu ketentuan tersebut di atas, maka perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana, namun harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

1.6. Metodologi Penelitian

Tipe penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Adapun yang dimaksud dengan tipe penelitian yuridis normatif, adalah penelitian hukum terhadap data primer dan data sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas.

a. Pendekatan Masalah

Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum, dengan pendekatan permasalahan secara statute approach dan conseptual approach42. Statute approach, artinya pendekatan terhadap masalah

yang diajukan didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Sedangkan Conseptual approach artinya pendekatan permasalahan berdasarkan konsep-konsep hukum.

b. Sumber Data

42Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenana Media Group, Jakarta, h.

(40)

-

Data primer, yaitu data yang bersifat mengikat, berupa peraturan perundang-undangan, dalam hal ini KUHP dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan materi yang dibahas.

-

Data sekunder, yaitu data yang erat kaitannya dengan data primer, karena bersifat menjelaskan, yang dapat membantu menganalisis dan memahami data primer, terdiri dari literatur maupun karya ilmiah para sarjana.43

c. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara membaca, mempelajari dan mengidentifikasinya seluruh data baik berupa peraturan perundang-undangan maupun pendapat para sarjana, kemudian data tersebut diolah dengan cara dipilah-pilah dari data yang bersifat umum kemudian disimpulkan menjadi khusus, sehingga diperoleh data yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas,untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini.

d. Metode Analisis Data

Langkah pengumpulan data dalam tulisan ini adalah melalui studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua data yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi data yang terkait dan selanjutnya data tersebut disusun secara sistematis untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya.

(41)

bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian dipakai sebagai bahan analisis terhadap permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya digunakan penafsiran sistematis dalam arti mengkaitkan pengertian antara peraturan perundang-undangan yang ada serta pendapat para sarjana.

e. Pertanggungjawaban Sistematika

Sistematika skripsiini diawali Bab I, Pendahuluan, berisikan gambaran umum permasalahan, yang merupakan pengantar pembahasan pada bab berikutnya. Sub babnya terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Metode Penelitian dan Pertanggungjawaban Sistematika.

Bab II mengenai Akibat Hukum Orang yang Menggadaikan Mobil Mobil Dalam Status Sewa, dalam bab II ini terdiri atas tiga sub bab, sub bab pertama tentang Gambaran Kasus Putusan PN Nomor 806/Pid/B/2010/PN.Sda. Sub bab kedua tentang Akibat Hukum Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa (Kasus Putusan Nomor 806/Pid/B/2010/PN.Sda.). Sub bab ketiga tentang Analisa Putusan PN Sidoarjo tentang Akibat Hukum Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa.

Bab III, mengenai Pertanggungjawban Pidana Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa. Dalam bab ini terdiri atas dua

(42)

sub bab. Sub bab pertama mengenai Pertanggungjawaban Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa (Putusan Nomor 806/Pid/B/2010/PN.Sda.). Sub bab kedua tentang Analisa Pertanggungjawaban Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa.

(43)

BAB II

AKIBAT HUKUM ORANG YANG MENGGADAIKAN MOBIL

DALAM STATUS SEWA

2.1. Gambaran Kasus Orang Yang Menggadaikan Mobil (Studi Kasus

Putusan PN Nomor 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)

Pada tanggal 10 Agustus 2010 sekitar pukul 19.30 WIB Mamat dan

M. Ubaidillah Efendi mendatangi Andi Kusuma di rumahnya yaitu di Jl.

Wijaya Kusuma Perum Wisma Tropodo Waru Sidoarjo dengan maksud

menyuruh Andi Kusuma mencarikan pembeli Avanza warna putih No. Pol

W-2367-SA yang pada waktu itu juga dibawa kerumah Andi Kusuma. Andi

Kusuma mengetahui bahwa mobil tersebut adalah milik Cycilia Cyntia

Soemamo yang disewa oleh M. Ubaidillah Efendi bersama-sama dengan

Agus Sumaryanto beberapa hari sebelumnya. Andi Kusuma mencarikan

pembeli sesuai perintah atau permintaan Ubaidillah Efendi dengan harapan

setelah dapat pembeli dan mobil tersebut laku, Andi Kusuma akan

mendapatkan imbalan sejumlah uang. Setelah seharian kemudian Andi

bertemu Dwi Wahyu Faria Wanto calon pembeli dan disitu Andi dan Dwi

mengadakan perjanjian untuk bertemu dan melihat mobil yang hendak dijual

tersebut. Andi Kusuma lalu menghubungi Mamat. untuk datang kerumah

Andi. Pada Selasa tanggal 13 Agustus 2010, M. Ubaidillah Efendy dan Agus

Sumaryanto datang kerumah Andi Kusuma dan menemui Dwi Wahyu Faria

(44)

di depan Perum Kartika Ds. Sedati Sidoarjo. Ditempat tersebut bukan

transaksi jual beli melainkan terjadi transaksi pinjam meminjam uang dengan

jaminan mobil Avanza No. Pol W-2367-SA yang hendak dijual tersebut. Dwi

Wahyu menyanggupi meminjamkan uang dengan jaminan mobil tersebut

seharga Rp 20.000.000,- selanjutnya mobil diserahkan kepada Dwi Wahyu

tanpa dilengkapi surat-suratnya (BPKB) dan Dwi Wahyu menyerahkan uang

sejumlah Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan sisanya yang

Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) lagi akan dibayarkan belakangan. Dari

hasil penggadaian mobil tersebut Andi Kusuma mendapat bagian sejumlah

Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), M. Ubaidillah mendapat bagian

Rp. 4.350.000,- dan Agus Sumaryanto mendapat bagian sejumlah

Rp. 4.500.000,-

Cycilia Cyntia Soemamo tahu bahwa mobil yang disewa oleh M.

Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto tidak akan dikembalikan karena

telah digadaikan kepada orang lain, maka Cycilia Cyntia Soemarno sebagai

pemilik mobil melaporkan kejadian tersebut ke Kantor Polisi. Setelah

mendapat laporan, Kepolisian bertindak cepat dan menangkap orang-orang

yang terlibat dalam penggelapan mobil tersebut. Dari keempat orang pelaku

penggelapan mobil tersebut 3 orang ditangkap Polisi. Mereka adalah M.

Ubaidillah Effendi, Agus Sumaryanto dan andi Kusuma, satu orang yang

melarikan diri yaitu Mamat, dan menjadi buronan Polisi. Kasus ini diadili

(45)

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat

dijelaskan bahwa Cycilia Cyntia Soemamo sebagai pemilik mobil, yang

disewa oleh Mamat (belum tertangkap) dan M. Ubaidillah Efendi. Mamat

dan M. Ubaidillah Efendi mempunyai niat untuk menjual mobil tersebut,

kemudian menghubungi Andi Kusuma, namun karena tidak ada yang

membelinya, kemudian disepakati mobil digadaikan oleh Andi Kusuma

kepada Dwi Wahyu Faria Wanto.

2.2. Putusan PN Nomor 806/Pid/B/2010/PN.Sda.

Pengadilan Negeri Sidoarjo yang memeriksa dan mengadili perkara

pidana dengan acara pemeriksaan biasa, pada peradilan tingkat pertama,

dalam perkara terdakwa : Andi Kusuma; telah menjatuhkan putusan sebagai

berikut:

Menyatakan Terdakwa Andi Kusuma, telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”menggadaikan mobil sewa”

sebagaimana pasal 480 KUHP.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Andi Kusuma, dengan pidana

penjara selama 3 (tiga) bulan 15 (lima belas) hari;

Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa tersebut

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

Menetapkan supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan;

Membebankan biaya perkara kepada teerdakwa sebesar Rp. 5000,

(46)

Putusan Pengadilan Negeri sebagaimana tersebut di atas yang

menyatakan :

Andi Kusuma telah melakukan tindak pidana penadahan dan

melanggar pasal 480 KUHP.

Ketentuan pasal 480 KUHP diawali dengan kata "barangsiapa" yaitu

pelaku tindak pidana sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak dan

kewajiban dalam bidang hukum. Pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55

KUHP, yang menentukan:

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;

2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atas martabat dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

(2) terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Ketentuan Pasal 55 KUHP di atas berkaitan dengan pelaku tindak

pidana baik kejahatan atau pelanggaran, yang berarti tidak membedakan

antara pelaku tindak pidana atas dasar kejahatan maupun pelanggaran.

Pelaku tindak pidana menurut Pasal 55 KUHP di atas dibedakan

menjadi empat bagian, yaitu:

a. orang yang melakukan (pleger),

b. orang yang menyuruh melakukan (deen pleger),

(47)

d. orang yang dengan pemberian upah (uitlekker).44

Pada kasus gadai mobil sewa tersebut sebagai pelaku adalah M.

Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto yang berposisi sebagai penyewa

mobil milik Cycilia Cyntia Soemamo. Keduanya telah merencanakan bahwa

mobil yang disewa akan dijual atau digadaikan. Melalui atau dengan

perantaraan Andi Kusuma mobil tersebut digadaikan kepada Dwi Wahyu

Fariawanto. Apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal 55 KUHP sebagaimana

tersebut di atas, M. Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto sebagai pelaku

atau pihak yang menggadaikan mobil sewa tersebut. Peristiwa menggadaikan

mobil tidak akan terjadi tanpa ikutsertanya Andi Kusuma, yang berarti bahwa

M. Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto sebagai pelaku sedangkan Andi

Kusuma sebagai pihak turut serta melakukan tindak pidana menggadaikan

mobil sewa.

Turut mengerjakan terjadinya tindak pidana berarti bersama-sama

dengan orang lain atau orang-orang lain mewujudkan tindak pidana.

Dalam mewujudkan tindak pidana itu ada 3 kemungkinan.

1. Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik.

Mereka ini masing-masing dapat juga disebut melakukan delik.

2. Salah seorang memenuhi rumusan delik/unsur-unsur dan ada orang lain

turut serta.

3. Tidak seorangpun melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik

seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu.

(48)

Untuk adanya turut serta melakukan diperlukan dua syarat:

1) adanya kerjasama secara sadar;

2) adanya pelaksanaan bersama-sama physik (jasmaniah)

Ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang

terlarang. Kesengajaan ditujukan kepada :

1) menggerakkan orang lain untuk berbuat

2) terjadinya tindak pidana

Mengenai terjadinya tindak pidana perlu dikemukakan bahwa menurut kata-kata

dari undang-undang yang menyebutkan “zij die het feit apxettelijk uitlakken”

(Mereka yang sengaja membujuk untuk terjadinya perbuatan).45

Menggerakkan tersebut harus menggunakan sarana-sarana

(upaya-upaya) seperti tersebut dalam undang-undang. Menggerakkan orang lain untuk

berbuat tidak senantiasa disebut “membujuk” tergeraknya orang untuk melakukan

tindak pidana atau timbulnya pikiran seseorang untuk berbuat tersebut, karena

orang lain itu, dapat disebabkan oleh banyak hal. Andi Kusuma turut serta

melakukan tindak pidana menggelapkan mobil tersebut karena ada janji dari

pelaku tindak pidana akan mendapatkan bagian dari hasil penjualan yang akhirnya

hanya digadaikan saja. Hal ini berarti bahwa unsur barang siapa yaitu pelaku

tindak pidana menggadaikan mobil sewa telah terpenuhi, yaitu M. Ubaidillah

Effendi dan Agus Sumaryanto sebagai pelaku tindak pidana menggadaikan mobil

sewa dan Andi Kusuma sebagai pihak yang turut serta melakukan tindak pidana

menggadaikan mobil.

(49)

Mobil yang digadaikan oleh M. Ubaidillah Effendi dan Agus

Sumaryanto adalah milik Cycilia Cyntia Soemamo, yang ada pada M.

Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto didasarkan atas perjanjian sewa

menyewa. Sebagai penyewa M. Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto

mempunyai hak untuk menikmati barang sewa dalam hal ini mobil selama

masa sewa. Apabila M. Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto

memperlakukan mobil sewa seakan-akan mobil tersebut adalah miliknya

kemudian menggadaikan mobil sewa tersebut, yang berarti bahwa M.

Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto telah menggadaikan mobil dari

hasil kejahatan (penggelapan sebagaimana pasal 372 KUHP). Hal ini berarti

bahwa unsur diperoleh dari kejahatan telah terpenuhi.

Memperhatikan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa posisi

Andi Kusuma dalam tindak pidana menggadaikan mobil dalam status sewa

yang berarti hasil dari kejahatan adalah sebagai pihak turut serta melakukan

tindak pidana menggadaikan mobil hasil kejahatan sebagaimana pasal 480

KUHP, karena keseluruhan unsurnya telah terpenuhi.

2.3. Akibat Hukum Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam Status Sewa

(Kasus Putusan Nomor 806/Pid/B/2010/PN.Sda.)

Pasal 480 KUHP oleh karena itu akan dibuktikan dan dipertimbangkan

apakah dakwaan tersebut terbukti atau tidak yang unsur-unsurnya sebagai

(50)

Unsur Barang siapa :

Adalah setiap orang sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggung

jawabkan atas segala perbuatannya, dan perbuatan tersebut dilakukan dalam

keadaan sehat jasmani dan rohani sedangkan yang dimaksud barang siapa

dalam perkara ini adalah sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan yaitu

terdakwa yang selama pemeriksaan dipersidangan dalam keadaan sehat

jasmani maupun rohani sehingga dapat menanggapi keterangan saksi-saksi

dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Majelis Hakim,

sehingga dengan demikian terdakwa dianggap mampu mempertanggung

jawabkan perbuatannya. Melihat posisi dari Andi Kusuma dalam tindak

pidana menggadaikan mobil sebagaimana pasal 480 KUHP tersebut

posisinya hanya sebagai perantara yang menghubungkan antara M.

Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto selaku penyewa dan terbukti

melakukan tindak pidana penggelapan dengan Dwi Wahyu Faria Wanto

selaku pihak penerima gadai, sehingga seharusnya pengertian barang siapa

dalam pasal 480 KUHP adalah ditujukan kepada Dwi Wahyu Faria Wanto

bukan ditujukan kepada Andi Kusuma, sehingga unsur barang siapa sebagai

pelaku tindak pidana sebagaimana pasal 480 KUHP tidak terpenuhi;

Unsur mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang yang diketahuinya

barang itu diperoleh dari hasil kejahatan;

Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan

dihubungkan dengan barang bukti dipersidangan, bahwa pekerjaan terdakwa

(51)

perantara meskipun telah mengetahui bahwa mobil yang digadaikan tersebut

adalah mobil dari persewaan mobil dengan maksud agar mendapatkan

keuntungan. Dengan demikian unsur mengambil keuntungan dari hasil sesuatu

barang yang diketahuinya barang itu diperoleh dari hasil kejahatan tidak

terpenuhi.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan berupa keterangan

saksi-saksi, keterangan terdakwa dan dihubungkan dengan barang bukti yang

diajukan dimana yang satu dan lainnya saling berhubungan ternyata unsur-unsur

pasal 480 ayat 2 KUHP, semuanya tidak terpenuhi menurut hukum oleh karena itu

terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum telah bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum tersebut, maka

seharusnya hakim membebaskan Andi Kusuma dari segala tuntutan hukum.

Bahwa dengan demikian Majelis sependapat dengan Jaksa Penuntut umum

yang menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak

pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 806/Pid/B/2010/PN.Sda.,

yang menyatakan Andi Kusuma terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum telah

melanggar ketentuan pasal 480 KUHP adalah tidak tepat. Dikatakan tidak tepat,

karena posisi Andi Kusuma dalam pelaksanaan gadai mobil sewa tersebut bukan

selaku pihak yang menggadaikan mobil sewa melainkan sebagai perantara untuk

(52)

kasus gadai mobil sewa tersebut pihak penyewa dan pihak yang menggadaikan

mobil adalah M. Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa akibat hukum

orang yang menggadaikan mobil dalam status sewa kepadanya akan dikenakan

sanksi sebagaimana pasal 480 ayat (2) KUHP. Sanksi tersebut diberikan kepada

penerima gadai dalam hal ini adalah Dwi Wahyu Faria Wanto selaku penerima

gadai bukan ditujukan kepada Andi Kusuma karena posisinya dalam gadai mobil

sewa ini hanya sebagai perantara yang menguhubungkan antara M. Ubaidillah

Effendi dan Agus Sumaryanto dengan Dwi Wahyu Faria Wanto. Posisi Andi

Kusuma ini sebagai perantara dan ikutserta mendapatkan bagian dari uang sewa

sehingga Andi Kusuma dalam tindak pidana penggelapan ini termasuk pihak yang

turut serta melakukan tindak pidana menggadaikan mobil dalam status sewa

sebagaimana pasal 480 KUHP.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan

bahwa dalam menggadaikan mobil tersebut, pelaku yang menggadaikan mobil

adalah M. Ubaidillah Effendi dan Agus Sumaryanto serta Andi Kusuma, yang

masing-masing telah melakukan tindak pidana melanggar ketentuan pasal 480

KUHP. Andi Kusuma melakukan tindak pidana turut serta menggadaikan mobil

(53)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG TELAH

MENGGADAIKAN MOBIL DALAM STATUS SEWA

3.1. Pertanggungjawaban Pidana Orang yang Menggadaikan Mobil Dalam

Status Sewa (Putusan No. 806/Pd/B/2010/PN.Sda)

Sebagaimana uraian sebelumnya bahwa putusan Pengadilan Negeri

Sidoarjo yang menyatakan bahwa Andi Kusuma terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana penadahan sebagaimana pasal 480

ayat (2) KUHP adalah telah tepat, meskipun posisi Andi Kusuma dalam

kasus gadai ini sifatnya sebagai perantara dari M. Ubaidillah Effendi dan

Agus Sumaryanto selaku penyewa dan dinyatakan bersalah melakukan

tindak pidana penggelapan.

Unsur-unsur yang berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana

Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan

perbuatan melawan hukum “wederrechtelijkheid” sebagai syarat mutlak

dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum

perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, harus dilepas dari tuntutan

hukum (enstlag van recht-vervelging). Sifat melawan hukum dari tindak

pidana yang terdapat pada KUHP merumuskan delik tersebut secara

(54)

adanya sifat melawan hukum suatu perbuatan pidana, maka unsur delik

tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika pelaku

perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum tersebut.

2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur yang diwajibkan

guna memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Menurut

Moeljatno, yang menjadi dasar adanya kemampuan bertanggungjawab

adalah:

1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;

2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Sedangkan batasan-batasan mengenai pembuatan perbuatan pidana

(dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah:

1) kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (pasal 44 ayat (1)

KUHP);

2) anak yang belum dewasa (pasal 45 KUHP).

Dengan dasar ketentuan KUHP tersebut di atas, maka pembuat perbuatan

pidana (dader) tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana

dalam melakukan perbuatan pidana. Penerima gadai yang menjadikan

gadai sebagai suatu kebiasaan atau matapencaharian sehingga penerima

gadai mempunyai kemampuan untuk membedakan antara obyek yang

Referensi

Dokumen terkait

Berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan pihak yang diperiksa atau akan diperiksa oleh OJK karena diduga melakukan pelanggaran peraturan perundang- undangan di

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah kandungan ADF, NDF, selulosa, hemiselulosa dan lignin pada silase pakan komplit yang berbahan dasar rumput gajah dan beberapa

(2011), mengatakan bahwa corporate governance yang baik akan meningkatkan firm performance. Secara bersamaan, praktik ini dapat melindungi perusahaan dari kemungkinan

akuntabilitas kinerja instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2010 tentang

Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan diterapkan untuk menetukan waktu

Demikian berita acara ini dibuat dengan sebenarnya sebagai dokumen pendukung dalam proses pemilihan calon penyedia pada pengadaan pencetakan embossing dan

Penelitian ini menerapkan metode deskriptif. Pengwnpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen yang terdiri dari tes dan angket. Dengan melalui tes terhadap siswa