• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam tulisan ini yang menjadi permasalahan dalam sistem nilai, norma yang berkembang adalah dalam perubahan peran gender dalam budaya patriarki, dalam hal ini kita tidak akan lepas berbicara tentang perubahan sosial itu sendiri dan masalah perubahan peran gender dalam masyarakat yang sedang berkembang.

Masyarakat pada saat ini tidak terhindar dari perubahan sosial, karena proses kehidupan itu menempuh perkembangan jaman. Pergeseran masyarakat itu akan berlangsung terus menerus berlaku pada semua masyarakat manusia dan dapat terjadi dimana saja (Garna. 1991:1), yang dapat berlangsung secara tiba-tiba dan serenta (revolusi) atau berlangsung secara lambat (evolusi).

Setiap masyarakat yang mengalami perubahan sosial dari waktu-kewaktu memilik perbedaan keadaan. Suparlan dalam (Wijaya. 1986:106) mengemukakan bahwa masyarakat diamana saja berada dalam keadaan berubah, baik masyarakat yang hidup terisolir jauh dari transportasi maupun masyarakat yang hidup tidak terisolir.

Perubahan sosial dapat disebabkan adanya kontak dan komunikasi dengan warga sekitarnya, seperti akibat kontak yang dikemukakan Susanto (1984:49) bahwa kontak suatu kelompok sosial dengan sosial lain atau suatu bangsa dengan bangsa lain, dapat terjadinya suatu perubahan. Perubahan pada waktu yang lampau berjalan dengan lambat karena teknologi transportasi belum secepat dewasa ini. Kemauan dalam bidang transportasi mengakibatkan mobilitas fisik manusia tinggi, sehingga kontak antar kelompok sosial atau antar bangsa semakin meningkat.

Meningkat frekuensi dan volume kontak antar kelompok sosial atau suku bangsa memungkinkan penyebaran pengetahuan lebih cepat, sehingga terjadi perubahan masyarakat yang cepat pula. Betapapun kecilnya kontak dengan masyarakat di sekitarnya akan mempengaruhi terjadinya perubahan. Demikian juga halnya dalam peran gender, mengalami perubahan atau pergeseran peran laki-laki dan perempuan sesuai dengan perkembangan jaman dan peradaban dalam masyarakat.

Sebagai akaibat dari pertumbuhan dan mobilisasi penduduk, urbanisasi dan revolusi industri menimbulkan berbagai perubahan sosial, termasuk dalam kedudukan sosial bagi laki-laki dan perempuan. Memasuki abad ke-19 kaum perempuan makin menyadari kenyataan bahwa di luar sektor domestik telah tejadi perkembangan yang sangat pesat, yakni menyadari adanya norma-norma di sektor domestik membatasi perempuan untuk melakukan peran ganda, yaitu berperan sebagai ibu rumah tangga juga melalukan peran di luar rumah tangga. Dari pembatasan-pembatasan tersebut menjadi basis tumbuhnya keinginan baru bagi kaum perempuan untuk turut serta terlibat di sektor publik serta menuntut hak yang sama dengan kaum laki-laki, seperti memperoleh ketrampilan dan pendidikan tinggi serta yang lainnya.

Dalam sistem nilai, norma, stereotip tentang perempuan telah lama dilihat sebagai salah satu faktor utama yang mempengaruhi posisi ataupun hubungan perempuan dan laki-laki atau dengan lingkungannya dalam struktur sosial yang ada.

Pada masyarakat umum ada pandangan yang sangat kuat bahwa nilai atau norma tentang perempuan dalam masyarakat tumbuh dari konsensus dalam lingkungan masyarakat sendiri yang dibawah turun temurun dan dijadikan panutan oleh setiap

warganya, seperti kuatnya berlaku ideologi patriarki yang menemptkan kaum laki-laki sebagai mamhluk yang berkuasa merupakan budaya universal berkaitan dengan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan.

Dalam kaitan dengan ideologi patriarki ini, kaum perempuan posisinya subordinasi terhadap kaum laki-laki. Hubungan sosial yang suborniasi tersebut dalam kenyataannya, sangat bervariasi ditempat satu dengan tempat lainnya dan berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda pula antara golongan (kelas sosial) satu dengan golongan (kelas sosial) lainnya. Perbedadaan tersebut dapat dilihat berkaitan dengan pandangan masing-masing agama dan budaya masyarakat tentang hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan, yang di dalamnya termasuk masalah nilai, norma, status, dan peranan laki-lai dan perempuan, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat luas.

Dalam aturan ataupun norma yang berkembang dalam masyarakat, peran gender dapat saling pertukarkan antara laki-laki dan perempuan, kecuali yang berhubungan dengan kodrat dan kaum perempuan menuntut persamaan hak karena kita semua tahu bahwa laki-laki dan perempuan sama sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Untuk itu kaum perempuan menuntut perlakuan yang sama, tidak ada perbedaan seperti dalam hal pendidikan, pekerjaan, upah, kesempatan dan lainya.

Jadi dalam aturan yang berkembang sampai saat ini dalam perubahan peran gender tidak terlalu bermasalah dengan catatan, tidak melupakan kodrat masing-masing, tetapi perlu diketahui juga bahwa diantara dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan saling melengkapi dan saling mengertian, sehingga terwujud kesetaraan

dan keadilan gender, namun pada wilayah atau daerah-daerah tertentu di Indonesia yang masih sangat kuat peran gender dalam budaya patriarki terutama pada wilayah atau daerah bekas kerajaan (feodalisme) bahwa perempuan tetap tidak berhak dalam pengambilan keputusan dalam suatu keluarga.

1.4. Landasan Teoritik

Penelitian kajian budaya bersifat interdisipliner atau pasca disipliner yang mempelajari produksi dan penanaman peta-peta makna (Barker, 2005: 515). Oleh karena itu, dalam kajian ini dipergunakan beberapa teori sebagai landasan berpikir dalam mengungkap permasalahan penelitian. Adapun teori yang digunakan, yaitu:

teori hegemoni, teori feminisme, dan teori pengambilan keputusan.

Teori hegemoni ini dipergunakan untuk membedah permasalahan dua yakni, faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga. Peletak dasar teori hegemoni yakni Antonio Gramci, yang gagasannya dipengaruhi oleh filsafat hukum Hegel. Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.

Antoni Gramci seorang Marxis berasal dari Italia. Teorinya merupakan salah satu teori yang terpenting pada abad ke XX dan relevan digunakan dalam membedah permasalahan yang terkait dengan kekuasaan. Dia mengatakan bahwa agar yang terhegemoni patuh terhadap penghegemoni, maka yang terhegemoni hendaknya mampu menginternalisasikan nilai-nilai penghegemoni, disamping harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Kelompok yang menghegemoni memperjuangkan legitimasi kekuasaannya dari massa. Sebaliknya massa dapat menerima prinsip, ide, dan norma sebagai miliknya. Hegemoni satu kelompok terhadap kelompok lain bukan berdasarkan paksaan, tetapi melalui konsensus (Gramci, 2001). Dia juga mengatakan bahwa secara esensial hegemoni bukan

hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan terjadi ideologi (Simon, 1999 ; Soetomo, 1977). Jadi, dalam teori Hegemoni Gramci tidak ada dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya namun lebih ditentukan karena adanya relasi kesepahaman antara kelompok yang menghegemoni dan yang terhegemoni.

Menurut Gramci, sebagai implikasi dari penggunaan teori hegemoni, kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pemeran utama dalam gerak perubahan sosial.

Kelas buruh dianggap sebagai salah satu dari banyak entitas dalam masyarakat seperti ekonomi, politik, kultur, gender, dan lingkungan yang saling tergantung satu sama lainnya. Dengan demikian, Gramci membuka kemungkinan memasukan kelompok-kelompok baru di dalam kategori kelas buruh, yang saling berinteraksi dan menghasilkan perubahan sosial (Fakih, 1996).

Gramci dalam konsep hegemoninya berargumentasi sebagai berikut: Pertama, tindakan kekerasan yang sifatnya memaksa atau bernuansa law enforcement. Konsep pertama ini biasanya dilakukan oleh negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan juga penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranatanya untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, dan bahkan keluarga (Heryanto, 1997). Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) melalui lembaga-lembaga sosial seperti: LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban, kelompok-kelompok kepentingan (inerest groups).

Pada dasarnya dalam setiap masyarakat senantiasa ada dua kelas, yakni kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Karena kekuasaan menyangkut seorang pelaku yang melaksanakan kehendaknya maka kekuasaan berkaitan dengan kepatuhan. Untuk memelihara kepatuhan digunakanlah hegemoni dan dominasi budaya sehingga mereka mampu mempertahankan kekuasaannya (Legg, 1983) yang menyatakan bahwa dalam hubungan tuan-hamba umumnya mengandung tiga hal, yaitu (1) pihak-pihak yang bersangkutan menguasai sumber daya yang tidak sama,

(2) hubungan bersifat mempribadi, dan (3) hubungan berdasarkan atas saling memberi serta saling menerima.

Dalam perspektif Gramci penciptaan warga negara yang patuh terhadap negara maupun pemerintah dilakukan dengan cara dominasi atau mempengaruhi secara eksternal. Dominasi lebih menekankan pada pembentukkan kepatuhan dengan cara memberikan ganjaran yang bisa berwujud hadiah, sumbangan atau bisa dalam bentuk hukuman maupun kekerasan (Sugiono, 1999; Fakih, 2001). Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui konsensus. Karena itulah hegemoni pada hakikatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam rangka yang ditentukan. Melalui produk-produk budaya, hegemoni menjadi penentu dari suatu yang dipandang benar, baik secara moral maupun intelektual (Gramci, 1976: 244 ). Dalam konteks tersebut, Gramci lebih menekankan pada aspek kultural (ideologis). Melalui produk-produknya, hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar secara moral maupun intelektual. Hegemoni kultural tidak hanya terjadi dalam relasiantar negara tetapi juga dapat terjadi dalam hubungan antarberbagai kelas sosial yang ada dalam suatu negara. Hal ini menunjukkan bahwa hegemoni dapat terjadi di dalam suatu negara, dalam hal ini kelompok yang mewakili negara terhadap kelompok masyarakat lainnya.

Hubungan vertikal terjadi dalam hubungan suami istri. Bagi istri yang menggantungkan seluruh kehidupan finansialnya pada sang suami dituntut untuk selalu berperilaku sesuai keinginan suami. Ketaatan dan bhakti pada suami merupakan salah satu cara yang dilakukan istri untuk mempertahankan pundi ekonominya tetap terisi. Demikian pula bagi perempuan yang memiliki sumber ekonomi sendiri, tidak terbatas dari relasi yang bersifat vertikal. Budaya patriakal tidak hanya berwujud ideologi, melainkan terkait pula dengan struktur sosial, dimana laki-laki memiliki superioritas, bahkan berhak mendominasi perempuan dengan berbagai cara (Bhasin, 2002; Atmadja, 2004). Kondisi inilah yang sering memicu

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri (Ariani, 2003).

Demikian pula dalam pertautan tuan-hamba atau suami-istri, biasanya si hamba (istri) mendapatkan keuntungan materi atau perlindungan sedangpihak tuan menerima keuntungan simbolis, kesetiaan, dan keuntungan politik, pihak tuanlah (suami) yang sering menjadi pemrakasa, pihak hamba (istri) setelah menikmati yang diberikan oleh pihak tuan (suami) berkewajiban membalasnya. Dalam tukar menukar itu pihak hamba atau istri berkedudukan sebagai lumbung nilai tempat pihak tuan atau suami menyimpan kredit sosial yang dapat diambil kembali di waktu yang akan datang demi keuntungan dirinya (Legg, 1983; Atmadja, 1999). Teori hegemoni digunakan untuk membedah permasalahan satu yakni, otonomi perempuan Bali di Desa Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga yang didukung dengan teori feminisme dan teori pengambilan keputusan.

Feminisme merupakan gerakan sosial yang bertujuan mendapatkan status yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan lainnya (Soerjono, 1985). Menurut Mira Diarsi (dalam Bainar, 1998), feminisme merupakan suatu kesadaran terhadap kondisi ketertindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan di dalam masyarakat, dunia kerja dan keluarga, serta sebuah gerakan oleh laki-laki dan perempuan untuk mengubahnya.

Dalam konteks feminisme, teori feminisme Gandhi (2001) mengatakan bahwa perempuan ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah, yakni dimulai dari hubungan yang bersifat hegemonik. Hubungan yang bersifat hegemonik, kemudian memunculkan apa yang disebut dominasi dan subordinasi (dalam Sukeni, 2007: 44 ).

Di samping itu muncul gambaran-gambaran yang tidak menyenangkan terhadap pihak subordinat/inferior, seperti tidak beradab, bodoh, mistik, dan tidak rasional.

Dalam hal ini bukan berarti perempuan tidak bisa berkomunikasi, tetapi tidak adanya posisi subyek yang memungkinkan kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri sebagai pribadi. Dari teori ini posisi perempuan adalah tersubordinat laki-laki. Hal ini akan berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, baik dalam keluarga maupun

dalam masyarakat, termasuk dalam pengambilan keputusan untuk penentuan jumlah anak, penjarakan kelahiran, dan penentuan waktu mempunyai anak.

Dalam sejarah perkembangan feminisme ada tiga gelombang besar gerakan feminisme yang masing-masing mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ketiga gelombang tersebut adalah: (1). Gelombang pertama, mulai tahun 1800-an yang dijadikan landasan adalah teori feminisme liberal, teori feminisme radikal, dan teori fminisme marxis/sosialis. (2). Gelombang kedua, mulai tahun 1960-an yang termasuk di dalamnya teori feminisme eksistensialisme. (3). Gelombang ketiga, teori feminisme postmodern, teori feminisme multikultural, teori feminisme global, dan teori ekofeminisme (Arivia, 2003: 84-85).

Dalam teori feminisme gelombang ketiga, yang salah satu di dalamnya adalah teori ekofeminisme, yaitu suatu teori yang menyuarakan bagaimana penindasan atas perempuan. Menurut Catriona Sandilands dalam Marselina Nope (2005: 94), mengatakan bahwa dalam bentuk penciptaannya, dualisme seksual bahwa kealamiahan perempuan ditindas oleh kebudayaan laki-laki secara tidak disadari, terekspresi dalam pernyataan yang berkaitan dengan alam, yang disimpulkan bahwa penindasan atas perempuan berakar dalam pelabelan perempuan sebagai alam.

Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini beranjak pertama-tama dari pengertian dari ketidakadilan yang dilakukan manusia terhadap alam. Karena perempuan selalu dihubungkan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik, dan linguistik ada keterkaitan antara isu feminisme dan ekologis ( alam).

Dalam konteks tersebut menurut Karen J. Warren, hal tersebut tidak mengherankan mengingat bahwa masyarakat dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, dan tingkah laku yang menggunakan kerangka kerja patriarki, dimana ada justifikasi hubungan dominasi dan sub-ordinasi, penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki. Kenyataannya perempuan selalu di “alam”kan atau di “feminin”kan.

Di “alam”kan bila diasosiasikan dengan binatang, seperti ayam, kucing, dan ular.

Sementara itu perempuan di “feminin”kan dikaitkan dengan aktivitas seperti diperkosa, dikuasai, dipenetrasi, digarap dan lainnya yang sejenis. Perhatikan bahwa

kata-kata tersebut kata-kata yang dipakai menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan alam, misalnya tanah yang digarap, bumi yang dikuasai, dan hutan yang diperkosa (Arivia, 2003: 143).

Teori Ekofeminisme disini melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai mahluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya dan melihat adanya pergeseran paradigma, sosial koflik menuju paradigma struktural fungsional yang memberikan tempat terhadap adanya saling ketergantungan individu dengan sebuah sistem (Megawangi, 1999: 189).

Sedangkan menurut pandangan teori feminisme liberal (dikenal dengan nama kaum feminisme hak-hak perempuan). Feminisme ini pertama dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft dkk, termasuk di dalamnya Betty Friedan yang dalam tulisannya berjudul “The Feminis Mystique”dan “The Second Stage” yang menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum dan adat yang menghalangi perempuan untuk masuk kelingkungan publik. Di mana masyarakat beranggapan bahwa perempuan, karena kondisi alamiah yang dimilikinya, kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik dibandingkan laki-laki (Ihromi, 1995:

86-87).

Masih menurut pandangan feminisme liberal, manusia adalah baik, rasional, dan bebas (termasuk kaum perempuan). Perempuan mempunyai hak dan kebebasan yang sama untuk mengembangkan kemampuan dan rasionalitas secara optimal.

Diskriminasi dianggap sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia dan sumber diskriminasi adalah kecurigaan laki-laki yang dibentuk dan ditanamkan melalui proses sosialisasi dalam kehidupan.

Terkait dengan permasalahan penelitian, teori-teori feminisme yang telah diuraikan di atas, yaitu teori feminisme ekofeminisme, teori liberal sangat relevan untuk membedah permasalahan satu, yaitu bagaimana otonomi (berdasarkan kemauan sendiri) perempuan Bali di desa Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksinya dalam keluarga.

Pengambilan keputusan adalah menunjukkan pada suatu proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan dalam penelitian ini berkaitan dengan posisi perempuan sebagai istri yang mempunyai hak dalam menentukan jumlah anak, jarak kelahiran, dan penentuan waktu mempunyai anak.

Keluarga sebagai sebuah sistem akan mempunyai beberapa tugas dan peran penting, seperti pencapaian tujuan, memelihara integrasi dan solidaritas serta memelihara keluarga (Goode, 1991: 5). Menurut Parsons, (dalam Megawangi, 1999:

69) institusi keluarga serta kelompok-kelompok kecil lainnya dibedakan (didifrensiasikan) oleh kekuasaan atau dimensi khirarki. Dalam keluarga harus ada alokasi kewajiban dan tugas yang harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem dapat tetap bertahan. Wewenang keluarga pada umumnya ditentukan oleh kebudayaan dan masyarakatnya, seperti misalnya kepala keluarga adalah sang suami dan biasanya kekuasaan suami atau istri dalam keluarga untuk membuat keputusan yang erat hubungannya dengan wewenang keluarga atau kebudayaan setempat.

Menurut Rogers (dalam Sayogja, 1983) menyatakan bahwa distribusi kekuasaan yang dipengaruhi oleh sumber daya pribadi yang dapat berupa nilai (value), keterampilan, pengetahuan, uang, tanah serta pengalaman. Sumber daya pribadi tersebut diperolehnya dari keluarga orientasi yang kemudian dibawa ke dalam keluarga prokreasinya. Di samping itu kekuasaan antara suami istri berhubungan erat dengan sumber daya yang paling banyak disumbangkan oleh masing-masing dalam keluarga. Lebih lanjut dikatakan bahwa distribusi kekuasaan dalam keluarga (antara suami istri) ditentukan oleh dua hal, yaitu sumber daya suami dan istri serta pola kebudayaan masyarakat.

Perubahan dalam distribusi kekuasaan, akan dapat dilihat dari adanya perubahan pola pengambilan keputusan oleh laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan keluarga. Dalam sistem kekerabatan patrilineal seperti di Bali, norma yang pada umumnya telah diterima oleh masyarakat bahwa perempuan punya status yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Apabila, ternyata potensi perempuan dalam pengambilan keputusan itu, cukup tinggi, maka dapat diartikan

status perempuan dalam hal ini meningkat (Astiti. 1986). Hal ini sependapat dengan Achari (dikutip Megawangi, 1999) bahwa perempuan yang tertanggung seratus persen pada suami. Jika, menghadapi hal-hal yang membutuhkan kesepakatan, posisinya selalu di bawah karena ia tidak memiliki nilai tawar. Kalau juga istri memiliki kekuatan secara ekonomi posisinya bisa setengah-tengah (sama besar).

Menurut Sajogya (1983: 58) ada lima pola dalam pengambilan keputusan, yaitu:

1. Pengambilan keputusan oleh istri sendiri.

2. Pengambilan keputusan oleh suami sendiri.

3. Keputusan yang dibuat oleh suami istri bersama dengan pengaruh istri lebih besar.

4. Keputusan antara suami istri dengan pengaruh suami lebih besar.

5. Keputusan suami istri bersama yang setara.

Keputusan suami istri bersama yang setara. Dalam kaitan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi suami-istri dalam pengambilan keputusan, yaitu:

1. Perkawinan, umumnya pada sebuah perkawinan seorang istri lebih muda dan lebih rendah pendidikan dari suami. Karena suami dianggap lebih tua secara tidak langsung mempengaruhi istri dalam pengambilan keputusan (Sajogya, 1983). Selain itu, adanya adat dalam perkawinan yang menyebabkan istri mengikuti suami atau tinggal dipihak kerabat suami, merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status perempuan termasuk dalam pengambilan keputusan.

2. Pewarisan, menurut Goode (dalam Sudarta, 2000) dalam masyarakat pedesaan, perempuan tidak bisa menjadi pemilik tanah dan kekayaan yang lain melalui hak waris, status perempuan cenderung menjadi lebih lemah dari pada laki-laki.

3. Sumber daya pribadi, Blood dan Wolfe, menyatakan kebudayaan saja tidak cukup untuk menyoroti dan menjelaskan distribusi dan alokasi kekuasaan suami-istri dalam hubungan rumah tangga. Dalam hal ini perlu diperhatikan sumber daya pribadi, yang disumbangkan oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka (Sudarta, 2000: 82).

Pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal membawa konsekuensi bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang istri lebih rendah dari pada suami. Menurut sistem ini, selain istri mengikuti suami, istri juga berhak mewarisi harta kekayaan keluarga orientasinya. Akan tetapi, karena dipihak lain ada pengaruh sumber daya pribadi yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, dapat memberikan sumbangan untuk meningkatkan potensi perempuan dalam pengambilan keputusan. Keadaan ini secara tidak langsung, akan dapat menimbulkan perubahan dalam pembagian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga dan keluarga. Perubahan dalam distribusi kekuasaan dapat dilihat dan adanya perubahan pola pengambilan keputusan oleh laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan keluarga (Sayogja, 1983; Astiti, 1986).

Untuk mempertahankan sistem kekerabatan, harus melalui proses sosialisasi baru dalam arti mendidik, memelihara nilai-nilai, sikap dan segala tata cara yang dianut dalam sistem kekerabatan tersebut, serta cara-cara bagaimana seseorang anggota kerabat dibenarkan, menyatakan diri sebagai reaksi atas berbagai soal yang berkenaan dengan dirinya (Astiti, 1986). Hal ini sejalan dengan pandangan (Poerwanto, 2000: 8-89) yang menyatakan bahwa setiap manusia adalah bagian dari sistem sosial, maka setiap individu harus selalu belajar mengenai pola-pola tindakan agar ia dapat mengembangkan hubungan dengan individu lain disekitarnya dan proses belajar tersebut lebih dikenal dengan sosialisasi. Begitu pula dengan pandangan (Soesanto, 1985: 12), yang menyatakan bahwa sosialisasi merupakan proses yang membantu individu melalui belajar dan menyusaikan diri, bagaimana cara hidup dan berfikir kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya. Jadi, sosialisasi kebudayaan proses belajar terhadap pola-pola belajar dan penyusaian terhadap alam pikiran serta sikapnya terhadap adat, sistem norma serta semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang (Koentjaraningrat, 1976: 143).

Gender sebagai bagian dari kebudayaan, proses sosialisasinya juga berlangsung dilingkungan keluarga maupun masyarakat. Keluarga sebagai institusi

keluarga dan anak (individu) melakukan transfer nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut diekspresikan secara konkrit, maupun secara tersembunyi baik melalui aturan-aturan yang berlaku dikeluarga maupun di dalam perilaku yang mencerminkan nilai dan norma gender yang berlaku dalam masyarakat. Akibat proses sosialisasi yang panjang, gender dianggap sebagai Takdir Tuhan, yang selanjutnya menjadi sistem budaya masyarakat dan sulit dihapuskan.

Berdasarkan pola pengambilan keputusan dan faktor-faktor yang mempengaruhi suami-istri dalam pengambilan keputusan sangat relevan dipakai untuk mengkaji tingkat kekuasaan serta kedudukan perempuan (istri) dalam keluarga.

Berdasarkan pola pengambilan keputusan dan faktor-faktor yang mempengaruhi suami-istri dalam pengambilan keputusan sangat relevan dipakai untuk mengkaji tingkat kekuasaan serta kedudukan perempuan (istri) dalam keluarga.

Dokumen terkait