• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN PERAN GENDER DALAM BUDAYA PATRIARKI. OLEH DRA. KOMANG SRININGSIH, M.Si

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERUBAHAN PERAN GENDER DALAM BUDAYA PATRIARKI. OLEH DRA. KOMANG SRININGSIH, M.Si"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN PERAN GENDER DALAM BUDAYA PATRIARKI

OLEH

DRA. KOMANG SRININGSIH, M.Si

UNIT PELAYANAN TEHNIS PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KAREKTER BANGSA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2019

(2)

KATA PENGANTAR

Puji sukur dipanjatkan pada Allah Subahanallah, tulisan Penelitian dan bahan materi kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) bisa diselesaikan. Tulisan ini hasil dari penelitian yang sederhana dan dimaksud sebagai bahan ajar mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.

Gender dalam kebebasan untuk bertindak atas inisiatif diri sendiri, bukan disuruh orang lain atau dipaksa. Sehubungan dengan itu, penelitian dilakukan, pengambilan keputusan atas peran gender dalam keluarga. Selama ini peran terbatas gender pada dunia domestik, yang merupakan konstruksi dari masyarakat. Hasil penelitian, dalam pengambilan keputusan yang dilakukan perempuan, berhubungan dengan kesehatan, dan keluarga berencana, kesemuanya lebih didominasi laki-laki.

Fokus penelitian pada peran gender dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksinya dalam keluarga, makna, faktor yang mempengaruhinya.

Mahasiswa bisa membaca dan dapatkan bahan ini ditaruh diperpustakaan Universitas Udayana. Sekian dan terima kasih.

Denpasar, Nopember 2018

Komang Sriningsih

(3)

DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang ... 4

1.2. Permasalah ... 6

1.3. Kajian Pustaka ... 9

1.4. Landaasan Teoritik ... 12

1.5. Hasil Penelitian ... 24

1.5.1. Konsep, Teori Nilai, dan Norma Patriarki ... 24

1.5.2. Konsep, Teori, dan Penyimpangan ... 27

1.6. Kesimpulan ... 29

1.6.1. Analisis Perubahan Peran Gender Budaya Patriarki ... 29

1.6.2. Pengembangan Model ... 30

1.7. Daftar Pustaka ... 31

(4)

1.1. Latar Belakang

Perempuan sebagai mahluk Tuhan maupun sebagai warga negara dan sumber daya insani pembangunan mempunyai hak dan kewajiban, kedudukan, peran serta, serta kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berperan di berbagai bidang kehidupan dalam segenap kegiatan pembangunan. Di samping itu kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, peranannya dalam pembangunan perlu dipelihara serta terus ditingkatkan, sehingga perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki dapat memberikan sumbangan yang sebesar-besarnya bagi pembangunan dengan memperhatikan kodrat, harkat, dan martabat bagi perempuan (Aida Vitalaya. 2000).

Peranan perempuan dalam pembangunan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh perempuan pada status atau kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik pembangunan bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya maupun pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Peranan dan kedudukan perempuan dalam masyarakat tidak lepas dari sistem sosial budaya, dimana perubahan sistem sosial budaya akan mempengaruhi kedudukan dan peranan perempuan (Kartodirjo dan Tukiran.

2001:135).

Sejak berabad-abad kegiatan kaum perempuan terbatas pada dunia domestik, karena memang demikianlah peran yang dikonstruksi oleh masyarakat umumnya, termasuk perempuan Bali. Proses sosialisasi peran domestik (mencuci pakaian, memasak, mengasuh anak, dan peran lain sebagai ibu rumah tangga) pada perempuan yang telah berlangsung sejak lama. Semua itu adalah bentukan masyarakat manusia

(5)

itu sendiri yang dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda-beda dari masyarakat lainnya (Astiti. 2003:50).

Perbedaan perlakuan terhadap perempuan diberbagai bidang kehidupan sudah terjadi sejak zaman dahulu, ketika manusia mulai mengenal kehidupan. Para pemerhati perempuan merasa perlu memperbaiki kondisi perempuan yang diperlakukan tidak adil, baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga.

Dalam kehidupan manusia perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam masyarakat dan kebudayaan. Perubahan merupakan suatu fenomena yang selalui diwarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan kebudayaannya. Dinamika masyarakat sejalan dengan perubahan jaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi, seperti perkembangan sosial budaya dan teknologi akan terus berlanjut pada tekanan pola manusia dan lingkungan. Proses tekanan manusia dan lingkungan menyebabkan terjadikanya pergeseran kedudukan dan peranan dalam sistem sosial yang cukup memperhatinkan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Perubahan sosial adalah suatu gejala yang pasti dialami oleh setiap masyarakat.

Pada hakekatnya tidak ada suatu masyarakat yang tidak berubah walaupun masyarakat sesederhana apapun. Dengan kata lain tidak ada satupun masyarakat yang statatis. Semua masyarakat berubah dengan pesat, ada yang berubah lambat, bahkan ada juga tidak kelihatan perubahannya, tetapi paling tidak berubah dalam kualitasnya.

Perubahan masyarakat dapat berbentuk suatu kemajuan (progress) dan dapat pula merupakan kemunduran (regres). Perubahan dalam arti kemajuan adalah perubahan

(6)

yang menjadi suatu kemajuan bagi masyarakat. Sedangkan, perubahan dalam arti kemunduran adalah bahwa tidak setiap perubahan berarti kemajuan, suatu kemajuan teknologi dapat juga mengakibatkan perubahan dalam mental manusia yang juga mengakibatkan berubahnya masyarakat secara keseluruhan, perubahan tersebut terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia.

1.2. Permasalahan

Melihat dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang didapat adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses perubahan peran gender dalam budaya patriarki ? 2. Bagaimanakah dampak dan status perempuan dalam budaya patriarki ? Adapun alasan penulis dalam pemilihan masalah di atas disebabkan oleh perubahan yang berlangsung terus menenerus bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia. Demikian halnya dengan peran gender dalam budaya patriarki yang sudah berabad-abad, kaum perempuan menjadi orang yang tersubordinasi, marjinalisasi, stereotip, dan mendapat perlakuan diskriminasi.

Peran gender tidak berdiri sendiri, melainkan berkait dengan identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan.

Terjadinya ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan lebih sekedar perbedaan fisik biologis, tetapi segenap nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat turut serta memberi andil.

(7)

Di era globalisasi saat ini yang diikuti oleh penemuan-penemuan baru dibidang teknologi, peran gender mengalami perubahan dimana kaum perempuan ingin bekerja di dunia publik, di samping tetap berkewajiban mengambil pekerjaan domestik.

Kaum perempuan ingin turut bekerja diranah publik, tidak lain disebabkan untuk membantu ekonomi keluarga yang disebabkan, karena semakin meningkatnya kebutuhan keluarga, baik kebutuhan primer, sekunder, dan tertier.

Masyarakat dan kebudayaan selalu dalam keadan berubah. Terjadinya perubahan itu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan dari luar masyarakat tersebut. Perubahan adalah alami dan sehat, bukan sesuatu yang ditakuti dan dihindari, kalau kita tidak teliti semua perubahan yang terjadi dalam kehidupan, sehingga dapat dilihat semua hal-hal yang baik justru akibat dari proeses perubahan (Simorangkir. 1987: 555).

Dari sifat dinamis kebudayan, maka suatu perubahan tidak mungkin dihindari, baik yang terjadi secara lambat maupun cepat. Sesuatu hal menjadi berbeda dari keadaan sebelumnya, maka hal itu dikatakan berubah atau mengalami perubahan.

Perubahan kebudayaan dalam arti berkembang (progres) dapat diukur dari empat dimensi, yaitu: (1). Dimensi tingkat, perubahan akan berlangsung dari tingkat sederhana menuju tingkat yang lebih maju. (2). Dimensi ruang, perubahan terjadi dari suatu tempat ke tempat lain. (3). Dimensi waktu, perubahan terjadi menurut interval waktu tertentu. (4). Dimensi pembesaran skala (gabungan 1, 2, dan 3) dimana perubahan tersebut dilihat secara meningkat, luas dan menuruti perjalanan dalam

(8)

interval waktu tertentu. Setiap dimensi dapat dipakai tolok ukur secara khusus dan terpisah untuk melihat perubahan kebudayaan. Sedangkan dimensi pembesaran skala adalah tolak ukur untuk melihat perubahan kebudayaan, membesar baik meningkat, meluas, dan terjadinya dalam kurun waktu tetentu. Sesuai dengan dimensi-dimensi tersebut, maka dalam hal ini sebuah perubahan dapat dilihat dari komponen- komponen atau dalam sistem secara keseluruhan.

Menurut Kaplan dan Manners (2002) istilah sistem (systema bahasa Yunani) bisa berarti entitas atau satuan yang berwujud. Satu sistem merupakan entitas atau wujud yang tersusun dari berbagai unsur, unit atau komponen secara integral atau teratur untuk menyangga keseimbangan sistem itu sendiri. Oleh karena itu berbagai unsur dalam suatu sistem bersifat fungsional.

Sistem adalah suatu keseluruhan dari sekian banyak bagian. Fuad Hassan (Geriya 1981:25) menjelaskan bahwa sistem adalah susunan dari relasi-relasi yang ada pada realitas. Pengertian sistem seperti itu menunjukan bahwa dalam sebuah sistem ada beberapa komponen yang berfungsi dan berkaitan erat satu sama lainnya dengan teratur serta secara keseluruhan membentuk suatu kebulatan dengan batas yang jelas.

Demikian juga dalam kehidupan masyarakat dimanapun memiliki struktur (keteraturan) dan fungsi dalam suatu masyarakat sebagai organisasi kemasyarakatan yang mengalami suatu proses perubahan. Perubahan yang akan dibahas dalam hal ini adalah perubahan peran gender dalam budaya patriarki.

(9)

1.3. Kajian Pustaka

Dalam tulisan ini yang menjadi permasalahan dalam sistem nilai, norma yang berkembang adalah dalam perubahan peran gender dalam budaya patriarki, dalam hal ini kita tidak akan lepas berbicara tentang perubahan sosial itu sendiri dan masalah perubahan peran gender dalam masyarakat yang sedang berkembang.

Masyarakat pada saat ini tidak terhindar dari perubahan sosial, karena proses kehidupan itu menempuh perkembangan jaman. Pergeseran masyarakat itu akan berlangsung terus menerus berlaku pada semua masyarakat manusia dan dapat terjadi dimana saja (Garna. 1991:1), yang dapat berlangsung secara tiba-tiba dan serenta (revolusi) atau berlangsung secara lambat (evolusi).

Setiap masyarakat yang mengalami perubahan sosial dari waktu-kewaktu memilik perbedaan keadaan. Suparlan dalam (Wijaya. 1986:106) mengemukakan bahwa masyarakat diamana saja berada dalam keadaan berubah, baik masyarakat yang hidup terisolir jauh dari transportasi maupun masyarakat yang hidup tidak terisolir.

Perubahan sosial dapat disebabkan adanya kontak dan komunikasi dengan warga sekitarnya, seperti akibat kontak yang dikemukakan Susanto (1984:49) bahwa kontak suatu kelompok sosial dengan sosial lain atau suatu bangsa dengan bangsa lain, dapat terjadinya suatu perubahan. Perubahan pada waktu yang lampau berjalan dengan lambat karena teknologi transportasi belum secepat dewasa ini. Kemauan dalam bidang transportasi mengakibatkan mobilitas fisik manusia tinggi, sehingga kontak antar kelompok sosial atau antar bangsa semakin meningkat.

(10)

Meningkat frekuensi dan volume kontak antar kelompok sosial atau suku bangsa memungkinkan penyebaran pengetahuan lebih cepat, sehingga terjadi perubahan masyarakat yang cepat pula. Betapapun kecilnya kontak dengan masyarakat di sekitarnya akan mempengaruhi terjadinya perubahan. Demikian juga halnya dalam peran gender, mengalami perubahan atau pergeseran peran laki-laki dan perempuan sesuai dengan perkembangan jaman dan peradaban dalam masyarakat.

Sebagai akaibat dari pertumbuhan dan mobilisasi penduduk, urbanisasi dan revolusi industri menimbulkan berbagai perubahan sosial, termasuk dalam kedudukan sosial bagi laki-laki dan perempuan. Memasuki abad ke-19 kaum perempuan makin menyadari kenyataan bahwa di luar sektor domestik telah tejadi perkembangan yang sangat pesat, yakni menyadari adanya norma-norma di sektor domestik membatasi perempuan untuk melakukan peran ganda, yaitu berperan sebagai ibu rumah tangga juga melalukan peran di luar rumah tangga. Dari pembatasan-pembatasan tersebut menjadi basis tumbuhnya keinginan baru bagi kaum perempuan untuk turut serta terlibat di sektor publik serta menuntut hak yang sama dengan kaum laki-laki, seperti memperoleh ketrampilan dan pendidikan tinggi serta yang lainnya.

Dalam sistem nilai, norma, stereotip tentang perempuan telah lama dilihat sebagai salah satu faktor utama yang mempengaruhi posisi ataupun hubungan perempuan dan laki-laki atau dengan lingkungannya dalam struktur sosial yang ada.

Pada masyarakat umum ada pandangan yang sangat kuat bahwa nilai atau norma tentang perempuan dalam masyarakat tumbuh dari konsensus dalam lingkungan masyarakat sendiri yang dibawah turun temurun dan dijadikan panutan oleh setiap

(11)

warganya, seperti kuatnya berlaku ideologi patriarki yang menemptkan kaum laki- laki sebagai mamhluk yang berkuasa merupakan budaya universal berkaitan dengan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan.

Dalam kaitan dengan ideologi patriarki ini, kaum perempuan posisinya subordinasi terhadap kaum laki-laki. Hubungan sosial yang suborniasi tersebut dalam kenyataannya, sangat bervariasi ditempat satu dengan tempat lainnya dan berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda pula antara golongan (kelas sosial) satu dengan golongan (kelas sosial) lainnya. Perbedadaan tersebut dapat dilihat berkaitan dengan pandangan masing-masing agama dan budaya masyarakat tentang hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan, yang di dalamnya termasuk masalah nilai, norma, status, dan peranan laki-lai dan perempuan, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat luas.

Dalam aturan ataupun norma yang berkembang dalam masyarakat, peran gender dapat saling pertukarkan antara laki-laki dan perempuan, kecuali yang berhubungan dengan kodrat dan kaum perempuan menuntut persamaan hak karena kita semua tahu bahwa laki-laki dan perempuan sama sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Untuk itu kaum perempuan menuntut perlakuan yang sama, tidak ada perbedaan seperti dalam hal pendidikan, pekerjaan, upah, kesempatan dan lainya.

Jadi dalam aturan yang berkembang sampai saat ini dalam perubahan peran gender tidak terlalu bermasalah dengan catatan, tidak melupakan kodrat masing- masing, tetapi perlu diketahui juga bahwa diantara dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan saling melengkapi dan saling mengertian, sehingga terwujud kesetaraan

(12)

dan keadilan gender, namun pada wilayah atau daerah-daerah tertentu di Indonesia yang masih sangat kuat peran gender dalam budaya patriarki terutama pada wilayah atau daerah bekas kerajaan (feodalisme) bahwa perempuan tetap tidak berhak dalam pengambilan keputusan dalam suatu keluarga.

1.4. Landasan Teoritik

Penelitian kajian budaya bersifat interdisipliner atau pasca disipliner yang mempelajari produksi dan penanaman peta-peta makna (Barker, 2005: 515). Oleh karena itu, dalam kajian ini dipergunakan beberapa teori sebagai landasan berpikir dalam mengungkap permasalahan penelitian. Adapun teori yang digunakan, yaitu:

teori hegemoni, teori feminisme, dan teori pengambilan keputusan.

Teori hegemoni ini dipergunakan untuk membedah permasalahan dua yakni, faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga. Peletak dasar teori hegemoni yakni Antonio Gramci, yang gagasannya dipengaruhi oleh filsafat hukum Hegel. Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.

Antoni Gramci seorang Marxis berasal dari Italia. Teorinya merupakan salah satu teori yang terpenting pada abad ke XX dan relevan digunakan dalam membedah permasalahan yang terkait dengan kekuasaan. Dia mengatakan bahwa agar yang terhegemoni patuh terhadap penghegemoni, maka yang terhegemoni hendaknya mampu menginternalisasikan nilai-nilai penghegemoni, disamping harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Kelompok yang menghegemoni memperjuangkan legitimasi kekuasaannya dari massa. Sebaliknya massa dapat menerima prinsip, ide, dan norma sebagai miliknya. Hegemoni satu kelompok terhadap kelompok lain bukan berdasarkan paksaan, tetapi melalui konsensus (Gramci, 2001). Dia juga mengatakan bahwa secara esensial hegemoni bukan

(13)

hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan terjadi ideologi (Simon, 1999 ; Soetomo, 1977). Jadi, dalam teori Hegemoni Gramci tidak ada dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya namun lebih ditentukan karena adanya relasi kesepahaman antara kelompok yang menghegemoni dan yang terhegemoni.

Menurut Gramci, sebagai implikasi dari penggunaan teori hegemoni, kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pemeran utama dalam gerak perubahan sosial.

Kelas buruh dianggap sebagai salah satu dari banyak entitas dalam masyarakat seperti ekonomi, politik, kultur, gender, dan lingkungan yang saling tergantung satu sama lainnya. Dengan demikian, Gramci membuka kemungkinan memasukan kelompok- kelompok baru di dalam kategori kelas buruh, yang saling berinteraksi dan menghasilkan perubahan sosial (Fakih, 1996).

Gramci dalam konsep hegemoninya berargumentasi sebagai berikut: Pertama, tindakan kekerasan yang sifatnya memaksa atau bernuansa law enforcement. Konsep pertama ini biasanya dilakukan oleh negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan juga penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranatanya untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, dan bahkan keluarga (Heryanto, 1997). Perangkat kerja ini biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) melalui lembaga-lembaga sosial seperti: LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban, kelompok-kelompok kepentingan (inerest groups).

Pada dasarnya dalam setiap masyarakat senantiasa ada dua kelas, yakni kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Karena kekuasaan menyangkut seorang pelaku yang melaksanakan kehendaknya maka kekuasaan berkaitan dengan kepatuhan. Untuk memelihara kepatuhan digunakanlah hegemoni dan dominasi budaya sehingga mereka mampu mempertahankan kekuasaannya (Legg, 1983) yang menyatakan bahwa dalam hubungan tuan-hamba umumnya mengandung tiga hal, yaitu (1) pihak-pihak yang bersangkutan menguasai sumber daya yang tidak sama,

(14)

(2) hubungan bersifat mempribadi, dan (3) hubungan berdasarkan atas saling memberi serta saling menerima.

Dalam perspektif Gramci penciptaan warga negara yang patuh terhadap negara maupun pemerintah dilakukan dengan cara dominasi atau mempengaruhi secara eksternal. Dominasi lebih menekankan pada pembentukkan kepatuhan dengan cara memberikan ganjaran yang bisa berwujud hadiah, sumbangan atau bisa dalam bentuk hukuman maupun kekerasan (Sugiono, 1999; Fakih, 2001). Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui konsensus. Karena itulah hegemoni pada hakikatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam rangka yang ditentukan. Melalui produk-produk budaya, hegemoni menjadi penentu dari suatu yang dipandang benar, baik secara moral maupun intelektual (Gramci, 1976: 244 ). Dalam konteks tersebut, Gramci lebih menekankan pada aspek kultural (ideologis). Melalui produk-produknya, hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar secara moral maupun intelektual. Hegemoni kultural tidak hanya terjadi dalam relasiantar negara tetapi juga dapat terjadi dalam hubungan antarberbagai kelas sosial yang ada dalam suatu negara. Hal ini menunjukkan bahwa hegemoni dapat terjadi di dalam suatu negara, dalam hal ini kelompok yang mewakili negara terhadap kelompok masyarakat lainnya.

Hubungan vertikal terjadi dalam hubungan suami istri. Bagi istri yang menggantungkan seluruh kehidupan finansialnya pada sang suami dituntut untuk selalu berperilaku sesuai keinginan suami. Ketaatan dan bhakti pada suami merupakan salah satu cara yang dilakukan istri untuk mempertahankan pundi ekonominya tetap terisi. Demikian pula bagi perempuan yang memiliki sumber ekonomi sendiri, tidak terbatas dari relasi yang bersifat vertikal. Budaya patriakal tidak hanya berwujud ideologi, melainkan terkait pula dengan struktur sosial, dimana laki-laki memiliki superioritas, bahkan berhak mendominasi perempuan dengan berbagai cara (Bhasin, 2002; Atmadja, 2004). Kondisi inilah yang sering memicu

(15)

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri (Ariani, 2003).

Demikian pula dalam pertautan tuan-hamba atau suami-istri, biasanya si hamba (istri) mendapatkan keuntungan materi atau perlindungan sedangpihak tuan menerima keuntungan simbolis, kesetiaan, dan keuntungan politik, pihak tuanlah (suami) yang sering menjadi pemrakasa, pihak hamba (istri) setelah menikmati yang diberikan oleh pihak tuan (suami) berkewajiban membalasnya. Dalam tukar menukar itu pihak hamba atau istri berkedudukan sebagai lumbung nilai tempat pihak tuan atau suami menyimpan kredit sosial yang dapat diambil kembali di waktu yang akan datang demi keuntungan dirinya (Legg, 1983; Atmadja, 1999). Teori hegemoni digunakan untuk membedah permasalahan satu yakni, otonomi perempuan Bali di Desa Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga yang didukung dengan teori feminisme dan teori pengambilan keputusan.

Feminisme merupakan gerakan sosial yang bertujuan mendapatkan status yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan lainnya (Soerjono, 1985). Menurut Mira Diarsi (dalam Bainar, 1998), feminisme merupakan suatu kesadaran terhadap kondisi ketertindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan di dalam masyarakat, dunia kerja dan keluarga, serta sebuah gerakan oleh laki-laki dan perempuan untuk mengubahnya.

Dalam konteks feminisme, teori feminisme Gandhi (2001) mengatakan bahwa perempuan ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah, yakni dimulai dari hubungan yang bersifat hegemonik. Hubungan yang bersifat hegemonik, kemudian memunculkan apa yang disebut dominasi dan subordinasi (dalam Sukeni, 2007: 44 ).

Di samping itu muncul gambaran-gambaran yang tidak menyenangkan terhadap pihak subordinat/inferior, seperti tidak beradab, bodoh, mistik, dan tidak rasional.

Dalam hal ini bukan berarti perempuan tidak bisa berkomunikasi, tetapi tidak adanya posisi subyek yang memungkinkan kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri sebagai pribadi. Dari teori ini posisi perempuan adalah tersubordinat laki-laki. Hal ini akan berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, baik dalam keluarga maupun

(16)

dalam masyarakat, termasuk dalam pengambilan keputusan untuk penentuan jumlah anak, penjarakan kelahiran, dan penentuan waktu mempunyai anak.

Dalam sejarah perkembangan feminisme ada tiga gelombang besar gerakan feminisme yang masing-masing mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ketiga gelombang tersebut adalah: (1). Gelombang pertama, mulai tahun 1800-an yang dijadikan landasan adalah teori feminisme liberal, teori feminisme radikal, dan teori fminisme marxis/sosialis. (2). Gelombang kedua, mulai tahun 1960-an yang termasuk di dalamnya teori feminisme eksistensialisme. (3). Gelombang ketiga, teori feminisme postmodern, teori feminisme multikultural, teori feminisme global, dan teori ekofeminisme (Arivia, 2003: 84-85).

Dalam teori feminisme gelombang ketiga, yang salah satu di dalamnya adalah teori ekofeminisme, yaitu suatu teori yang menyuarakan bagaimana penindasan atas perempuan. Menurut Catriona Sandilands dalam Marselina Nope (2005: 94), mengatakan bahwa dalam bentuk penciptaannya, dualisme seksual bahwa kealamiahan perempuan ditindas oleh kebudayaan laki-laki secara tidak disadari, terekspresi dalam pernyataan yang berkaitan dengan alam, yang disimpulkan bahwa penindasan atas perempuan berakar dalam pelabelan perempuan sebagai alam.

Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini beranjak pertama-tama dari pengertian dari ketidakadilan yang dilakukan manusia terhadap alam. Karena perempuan selalu dihubungkan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik, dan linguistik ada keterkaitan antara isu feminisme dan ekologis ( alam).

Dalam konteks tersebut menurut Karen J. Warren, hal tersebut tidak mengherankan mengingat bahwa masyarakat dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, dan tingkah laku yang menggunakan kerangka kerja patriarki, dimana ada justifikasi hubungan dominasi dan sub-ordinasi, penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki. Kenyataannya perempuan selalu di “alam”kan atau di “feminin”kan.

Di “alam”kan bila diasosiasikan dengan binatang, seperti ayam, kucing, dan ular.

Sementara itu perempuan di “feminin”kan dikaitkan dengan aktivitas seperti diperkosa, dikuasai, dipenetrasi, digarap dan lainnya yang sejenis. Perhatikan bahwa

(17)

kata-kata tersebut kata-kata yang dipakai menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan alam, misalnya tanah yang digarap, bumi yang dikuasai, dan hutan yang diperkosa (Arivia, 2003: 143).

Teori Ekofeminisme disini melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai mahluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya dan melihat adanya pergeseran paradigma, sosial koflik menuju paradigma struktural fungsional yang memberikan tempat terhadap adanya saling ketergantungan individu dengan sebuah sistem (Megawangi, 1999: 189).

Sedangkan menurut pandangan teori feminisme liberal (dikenal dengan nama kaum feminisme hak-hak perempuan). Feminisme ini pertama dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft dkk, termasuk di dalamnya Betty Friedan yang dalam tulisannya berjudul “The Feminis Mystique”dan “The Second Stage” yang menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum dan adat yang menghalangi perempuan untuk masuk kelingkungan publik. Di mana masyarakat beranggapan bahwa perempuan, karena kondisi alamiah yang dimilikinya, kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik dibandingkan laki-laki (Ihromi, 1995:

86-87).

Masih menurut pandangan feminisme liberal, manusia adalah baik, rasional, dan bebas (termasuk kaum perempuan). Perempuan mempunyai hak dan kebebasan yang sama untuk mengembangkan kemampuan dan rasionalitas secara optimal.

Diskriminasi dianggap sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia dan sumber diskriminasi adalah kecurigaan laki-laki yang dibentuk dan ditanamkan melalui proses sosialisasi dalam kehidupan.

Terkait dengan permasalahan penelitian, teori-teori feminisme yang telah diuraikan di atas, yaitu teori feminisme ekofeminisme, teori liberal sangat relevan untuk membedah permasalahan satu, yaitu bagaimana otonomi (berdasarkan kemauan sendiri) perempuan Bali di desa Pemaron dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksinya dalam keluarga.

(18)

Pengambilan keputusan adalah menunjukkan pada suatu proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan dalam penelitian ini berkaitan dengan posisi perempuan sebagai istri yang mempunyai hak dalam menentukan jumlah anak, jarak kelahiran, dan penentuan waktu mempunyai anak.

Keluarga sebagai sebuah sistem akan mempunyai beberapa tugas dan peran penting, seperti pencapaian tujuan, memelihara integrasi dan solidaritas serta memelihara keluarga (Goode, 1991: 5). Menurut Parsons, (dalam Megawangi, 1999:

69) institusi keluarga serta kelompok-kelompok kecil lainnya dibedakan (didifrensiasikan) oleh kekuasaan atau dimensi khirarki. Dalam keluarga harus ada alokasi kewajiban dan tugas yang harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem dapat tetap bertahan. Wewenang keluarga pada umumnya ditentukan oleh kebudayaan dan masyarakatnya, seperti misalnya kepala keluarga adalah sang suami dan biasanya kekuasaan suami atau istri dalam keluarga untuk membuat keputusan yang erat hubungannya dengan wewenang keluarga atau kebudayaan setempat.

Menurut Rogers (dalam Sayogja, 1983) menyatakan bahwa distribusi kekuasaan yang dipengaruhi oleh sumber daya pribadi yang dapat berupa nilai (value), keterampilan, pengetahuan, uang, tanah serta pengalaman. Sumber daya pribadi tersebut diperolehnya dari keluarga orientasi yang kemudian dibawa ke dalam keluarga prokreasinya. Di samping itu kekuasaan antara suami istri berhubungan erat dengan sumber daya yang paling banyak disumbangkan oleh masing-masing dalam keluarga. Lebih lanjut dikatakan bahwa distribusi kekuasaan dalam keluarga (antara suami istri) ditentukan oleh dua hal, yaitu sumber daya suami dan istri serta pola kebudayaan masyarakat.

Perubahan dalam distribusi kekuasaan, akan dapat dilihat dari adanya perubahan pola pengambilan keputusan oleh laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan keluarga. Dalam sistem kekerabatan patrilineal seperti di Bali, norma yang pada umumnya telah diterima oleh masyarakat bahwa perempuan punya status yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Apabila, ternyata potensi perempuan dalam pengambilan keputusan itu, cukup tinggi, maka dapat diartikan

(19)

status perempuan dalam hal ini meningkat (Astiti. 1986). Hal ini sependapat dengan Achari (dikutip Megawangi, 1999) bahwa perempuan yang tertanggung seratus persen pada suami. Jika, menghadapi hal-hal yang membutuhkan kesepakatan, posisinya selalu di bawah karena ia tidak memiliki nilai tawar. Kalau juga istri memiliki kekuatan secara ekonomi posisinya bisa setengah-tengah (sama besar).

Menurut Sajogya (1983: 58) ada lima pola dalam pengambilan keputusan, yaitu:

1. Pengambilan keputusan oleh istri sendiri.

2. Pengambilan keputusan oleh suami sendiri.

3. Keputusan yang dibuat oleh suami istri bersama dengan pengaruh istri lebih besar.

4. Keputusan antara suami istri dengan pengaruh suami lebih besar.

5. Keputusan suami istri bersama yang setara.

Keputusan suami istri bersama yang setara. Dalam kaitan ini, ada tiga faktor yang mempengaruhi suami-istri dalam pengambilan keputusan, yaitu:

1. Perkawinan, umumnya pada sebuah perkawinan seorang istri lebih muda dan lebih rendah pendidikan dari suami. Karena suami dianggap lebih tua secara tidak langsung mempengaruhi istri dalam pengambilan keputusan (Sajogya, 1983). Selain itu, adanya adat dalam perkawinan yang menyebabkan istri mengikuti suami atau tinggal dipihak kerabat suami, merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status perempuan termasuk dalam pengambilan keputusan.

2. Pewarisan, menurut Goode (dalam Sudarta, 2000) dalam masyarakat pedesaan, perempuan tidak bisa menjadi pemilik tanah dan kekayaan yang lain melalui hak waris, status perempuan cenderung menjadi lebih lemah dari pada laki-laki.

3. Sumber daya pribadi, Blood dan Wolfe, menyatakan kebudayaan saja tidak cukup untuk menyoroti dan menjelaskan distribusi dan alokasi kekuasaan suami- istri dalam hubungan rumah tangga. Dalam hal ini perlu diperhatikan sumber daya pribadi, yang disumbangkan oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka (Sudarta, 2000: 82).

(20)

Pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal membawa konsekuensi bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang istri lebih rendah dari pada suami. Menurut sistem ini, selain istri mengikuti suami, istri juga berhak mewarisi harta kekayaan keluarga orientasinya. Akan tetapi, karena dipihak lain ada pengaruh sumber daya pribadi yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, dapat memberikan sumbangan untuk meningkatkan potensi perempuan dalam pengambilan keputusan. Keadaan ini secara tidak langsung, akan dapat menimbulkan perubahan dalam pembagian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga dan keluarga. Perubahan dalam distribusi kekuasaan dapat dilihat dan adanya perubahan pola pengambilan keputusan oleh laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan keluarga (Sayogja, 1983; Astiti, 1986).

Untuk mempertahankan sistem kekerabatan, harus melalui proses sosialisasi baru dalam arti mendidik, memelihara nilai-nilai, sikap dan segala tata cara yang dianut dalam sistem kekerabatan tersebut, serta cara-cara bagaimana seseorang anggota kerabat dibenarkan, menyatakan diri sebagai reaksi atas berbagai soal yang berkenaan dengan dirinya (Astiti, 1986). Hal ini sejalan dengan pandangan (Poerwanto, 2000: 8-89) yang menyatakan bahwa setiap manusia adalah bagian dari sistem sosial, maka setiap individu harus selalu belajar mengenai pola-pola tindakan agar ia dapat mengembangkan hubungan dengan individu lain disekitarnya dan proses belajar tersebut lebih dikenal dengan sosialisasi. Begitu pula dengan pandangan (Soesanto, 1985: 12), yang menyatakan bahwa sosialisasi merupakan proses yang membantu individu melalui belajar dan menyusaikan diri, bagaimana cara hidup dan berfikir kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya. Jadi, sosialisasi kebudayaan proses belajar terhadap pola-pola belajar dan penyusaian terhadap alam pikiran serta sikapnya terhadap adat, sistem norma serta semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang (Koentjaraningrat, 1976: 143).

Gender sebagai bagian dari kebudayaan, proses sosialisasinya juga berlangsung dilingkungan keluarga maupun masyarakat. Keluarga sebagai institusi

(21)

keluarga dan anak (individu) melakukan transfer nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut diekspresikan secara konkrit, maupun secara tersembunyi baik melalui aturan-aturan yang berlaku dikeluarga maupun di dalam perilaku yang mencerminkan nilai dan norma gender yang berlaku dalam masyarakat. Akibat proses sosialisasi yang panjang, gender dianggap sebagai Takdir Tuhan, yang selanjutnya menjadi sistem budaya masyarakat dan sulit dihapuskan.

Berdasarkan pola pengambilan keputusan dan faktor-faktor yang mempengaruhi suami-istri dalam pengambilan keputusan sangat relevan dipakai untuk mengkaji tingkat kekuasaan serta kedudukan perempuan (istri) dalam keluarga.

Adanya perubahan peran perempuan dalam pengambilan keputusan, perempuan dapat dijadikan petunjuk telah terjadinya perubahan dalam alokasi kekuasaan antara laki- laki dan perempuan dalam keluarga dan rumah tangga. Kekuasaan yang dianggap kemampuan untuk mengambil keputusan yang dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, bisa berpola sama nilainya atau tidak sama nilainya antara suami dan istri (Sayogja, 1983: 39).

Teori pengambilan keputusan ini digunakan untuk membedah permasalahan tiga yakni, makna dari otonomi perempuan Bali dalam pengambilan keputusan atas hak reproduksi dalam keluarga, karena dalam pengambilan keputusan antara suami dan istri ada ketimpangan terutama atas hak reproduksi perempuan. Teori ini didukung oleh teori hegemoni, teori feminisme.

Pelanggaran yang ada terhadap perubahan peran gender dalam budaya patriarki secara jelas pelanggaran atau penyimpangan yang ada, umumnya tidak ada namun disini terlihat sesuatu penyimpangan berupa perlakuan diskriminasi yang disebabkan karena perbedaan antara laki-laki dan perempuan baik dari fisik dan kodrat dari kedua jenis kelamin tersebut.

Berbicara peran berarti, kita berbicara hak dan kewajiban dan peran gender pada setiap wilayah atau daerah, berbeda-beda seperti didaerah Papua, tugas

(22)

perempuan disini bercocok tanam (bertani) sedangkan kaum laki-laki berburu untuk kebutuhan pangan keluarga, demikian juga sebaliknya di samping tetap pada kodrat masing-masing.

Secara harafiah patriarki berarti, sistem yang menempatkan ayah (suami) sebagai penguasa keluarga. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan suatu masyarakat dimana kaum laki-laki berkuasa atas kaum perempuan dan anak-anak. Pada awalnya sistem patriarki menunjuk pada sistem kekeluargaan yang hidup pada jaman Yunani dan Romawi Kuno yang meligitimasi kepala rumah tangga laki-laki, memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas semua anggota keluarganya. Namun dewasa ini istilah patriarki digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara (Bhasin. 1991:1).

Dalam masyarakat Indonesia yang masih diwarnai oleh sisa-sisa feodalisme, patriarki juga masih tetap berkembang dan kuat. Hubungan antara perempuan dan laki-laki bersifat khirarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan dominant dan perempuan subordinate, laki-laki menentukan dan perempuan ditentukan oleh laki- laki. Dalam kehidupan sehari-hari, adanya khirarki tersebut membuahkan akibat yang merugikan kaum perempuan. Bahkan sering kali kerugian yang harus dibayar kaum perempuan terasa tidak masuk akal dan tidak adil.

Bila mengikuti analisis Engels, pembagian peran di dasarkan atas, perbedaan secara seksual yang mepunyai sejarah panjang dalam proses pelestariannya. Artinya, pembagian peran dibentuk dan dipertahankan dari satu masyarakat ke masyarakat

(23)

lainnya. Seperti pada masyarakat primitif penyebab pembagian lebih disebabkan oleh factor kelangsungan hidup kelompok dimana nyawa perempuan lebih penting dari pada nyawa laki-laki, yang setiap saat dapat dikorbankan, pada masa ini, karena belum ada sistem masyarakat dan Negara, pembagian peran bersifat timbal balik, artinya masing-masing pihak memperoleh keuntungan dari pembagian peran tersebut.

Ketika kelompok manusia menjadi lebih banyak dan pada akhirnya, membentuk suatu komunitas atau masyarakat, pekerjaan diluar rumah tangga menjadi lebih beragam. Dari adanya hubungan yang saling membutuhkan dan muncul pula sumber-sumber ekonomi yang menghasilkan, kekayaan materi yang lebih banyak, sementara pekerjaan rumah tangga tetap statis dan tidak produktif. Sementara pengambilalihan kekuasaan oleh laki-laki karena hasrat untuk memiliki harta kekayaan sendiri selama-lamanya, termasuk anak dan istri dengan mengakhiri kolektifitas kelompok, pemilikan bersama atas harta kekayaan oleh kelompok dan jiwa kelompok. Dan muncul unit-unit keluarga dimana kekuasaan berpusat pada laki- laki dengan istilah patriarki.

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat direkomendasikan sistem pengembangan dan pengendalian sosial dalam perubahan peran gender dalam budaya patriarki adalah, sebagai berikut:

Pertama, perlunya sosialisasi peran gender secara berkesinambungan di

semua lapisan masyarakat baik dipedesaan maupun di kota. Dengan penyadaran gender di masyarakat nantinya dapat mengurangi ketidak adilan gender dalam rumah tangga dan masyarakat.

(24)

Kedua, dalam upaya pemberdayaan perempuan dalam proses pembangunan

dimasyarakat pada masa yang akan datang, perlu melibatkan kaum perempuan dalam pengambilan keputusan diikut sertakan.

Ketiga, pada dasarnya perjuangan kaum perempuan, ingin menuju pada

prinsip kesetaraan dan kemitraan. Kondisi kesetaraan laki-laki dan perempuan, bisa dicapai bila hegemoni budaya patriarki dikurangi dan memberi kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan.

Keempat, peran gender adalah peran (hak dan kewajiban) laki-laki dan

perempuan yang meliputi tiga hal, yakni: peran produktif (peran yang menghasilkan uang), peran reproduktif (peran atau pekerjaan yang tidak menghasilkan uang), dan peran sosial kemasyarakatan (peran untuk berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan). Semua peran di atas dapat saling dipertukarkan baik laki-laki dan perempuan.

1.5. Hasil Penelitian

1.5.1. Konsep, Teori Nilai, dan Norma Patriarki.

Untuk memahami realitas sosial diperlukan alat analisis yang disebut konsep.

Konsep adalah definisi yang diberikan terhadap suatu gejala atau himpunan gejala.

Konsep gender menunjuk pada peran sosial dan interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan. Relasi tersebut meliputi semua aktivitas sosial, seperti relasi sosial dalam

(25)

organisasi, dan relasi segala lapangan pekerjaan: politik kenegaraan, perekonomian, dan keagamaan. Teori yang digunakan dalam tataran ini adalah teori gender.

Kata gender sering diartikan sebagai kelompok laki-laki dan perempuan atau perbedaan jenis kelamin. Untuk memahami kata gender harus dibedakan dengan kata seks dan jenis kelamin. Gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial budaya laki-laki dan perempuan. Gender adalah membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan, tidak ditetntukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani. 2002:5-6).

Kata gender adalah berasal dari kata Inggris yang berarti suatu pemahaman budaya tentang apa dan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berprilaku.

Gender and society memberi makna gender sebagai perbedaan jenis kelamin yang

bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin (seks) merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanent dan universal berbeda, Gender adalah behavioural diffences atau perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang socialy conructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum laki-laki dan perempuan melalui proses social dan budaya. Perbedaan gender yang selanjutnya melahirkan

(26)

peran gender seperti sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah atau tidak perlu digugat (Fakih. 2003:170-171).

Pengertian gender yaitu perbedaan peran, fungsi, hak dan tanggungjawab laki- laki dan perempuan tidak abadi, tidak kekal, tidak berlaku universal merupakan ciri- ciri non kodrat yang dibangun dan dibentuk oleh manusia. Gender adalah perbedaan peran fungsi dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi social budaya serta dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.

Fungsi kodrat gender tidak dapat ditukar dengan laki-laki, karena secara turun temurun menjadi perempuan memiliki kedudukan dan peran yang berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini dibentuk dan diubah oleh masyarakat oleh karena itu gender bersifat dinamis (dapat diubah dari waktu ke waktu). Pendekatan gender berdasarkan kemitra sejajaran, maka peran perempuan mengalami perkembangan yang cukup cepat. Peranan perempuan ini sifatnya menambah tuntutan ekonomi, untuk itu kesan beban perempuan berlebihan. Kemitra setaraan ini tidaklah mengubah peran perempuan di sektor domestik (rumah tangga).

Peran gender yang dijalankan kehidupan sehari-hari merupakan bagian dari landasan cultural dan tidak mudah diubah. Tindakan-tindakan yang dilakukan terkait dengan gender diharapkan benar-benar selaras dan stabil. Status dan peran dalam keluarga dan masyarakat yang titik beratnya pada struktur dan kultur.

Peran perempuan dan laki-laki dalam pembagian kerja berdasarkan gender merupakan cara efisien untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga dan

(27)

beradaptasi dengan lingkungan. Pembagaian kerja tidak semata-mata menyatakan tingkat status, dimana kerja perempuan mempunyai nilai atau bernilai sama dengan kerja laki-laki (Mosse. 2004:28).

Pengarusutamaan gender dalam keluarga menerima perbedaan kodrati individu laki-laki dan perempuan, saling menghormati, menolong, melengkapi dan mendukung dalam pengelolaan rumah tangga dan keluarga, mempunyai akses dan partisipasi, kontrol dan manfaat yang sama dalam berbagai fungsi masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan di dalam keluarga.

1.5.2. Konsep, Teori, dan Penyimpangan

Istilah patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak (partiach). Pada mulanya patriarki digunakan untuk menyebut tipe keluarga yang dikuasai kaum laki- laki, yaitu keluarga besar yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak- anak, dan pelayan rumah tangga yang semuanya berada dibawah kekuasaan laki-laki.

Dalam perkembangan budaya patriarki telah terjadi dominasi oleh satu pihak terhadap yang lainnya, sehingga menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Umumnya kaum perempuan mendapat posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Pada konferensi dunia tentang perempuan I yang diadakan di Mexico City oleh PBB, telah memberi gambaran bahwa di Negara manapun di dunia, status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Di samping itu perempuan juga umumnya, relative terpinggirkan dalam berbagai aspek pembangunan, baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat hasil pembangunan.

(28)

Pada hakikatnya konsep tentang budaya patriarki (sistem patriarki) yang berlaku di dalam masyarakat bukanlah suatu penyimpangan, melainkan suatu perbedaan yang memang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri dilihat dari sistem, norma dan struktur social yang ada dan itu disebabkan oleh perbedaan fisik maupun kodrat yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Dalam era globalisasi saat ini yang penuh dengan berbagai persaingan, peran seseorang tidak lagi banyak mengacu kepada norma-norma kebiasaan yang lebih banyak mempertimbangkan faktor jenis kelamin, tetapi ditentukan oleh daya saing dan ketrampilan. Laki-laki dan perempuan sama-sama berpeluang untuk memperoleh kesempatan dalam persaingan tersebut.

Dalam tataran teori yang dapat digunakan untuk dapat membahas masalah unsur penyimpangan peran gender dalam budaya patriarki, yaitu digunakan teori feminisme. Feminisme merupakan gerakan sosial yang bertujuan mendapatkan status dan hak yang sama dengan laki-laki bagi perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan lainnya ( Soerjono Soekanto. 1985). Menurut Mira Diarsi (dalam Baynar.

1998), feminisme merupakan suatu kesadaran terhadap kondisi ketertindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan di dalam masyarakat di dunia kerja dan keluarga serta sebuah gerakan oleh laki-laki dan perempuan untuk mengubahnya.

Adian (2001) menjelaskan bahwa feminisme merupakan aktivitas politik bagi perubahan social yang oleh karenanya sarat dengan nilai. Feminisme ini merupakan aktivitas politik baik di tataran wacana amupun praktis yang berjuang merubuhkan budaya patriarki demi suatu bangunan social dan budaya yang lebih menghargai suatu kesetaraan gender. Dapat disimpulkan bahwa feminisme merupakan gerakan

(29)

para feminis di bidang politik sosial dan budaya untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.

1.6. Kesimpulan

1.6.1. Analisis Perubahan Peran Gender Dalam Budaya Patriarki

Analisis gender memberi perangkat teoritis untuk memahami sistem ketidak adilan gender. Kedua jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi korban dari ketidak adilan gender tersebut. Namun, karena mayoritas menjadi korban ketidak adilan gender adalah perempuan, maka seolah-olah analisis gender hanya menjadi alat perjuangan kaum perempuan. Analisis gender membantu memahami bahwa pokok persoalan adalah sistem dan struktur yang tidak adil baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidak adilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi akrena ketidak adilan gender, sementara kaum laki-laki mengalami dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender (Fakih. 1996:16).

Tugas utama analisis gender dama SPPS adalah memberi makna konsepsi, asumsi, ideologi, dan paraktek hubungan-hubungan baru antara laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan) yang tidak dilihat oleh teori dan analisis sosial lainnya. Analisis ini merupakan alat yang digunakan untuk menelaah kehidupan masyarakat sebagai suatu sistem berdasarkan struktur dan relasi sosial antara laki-laki

(30)

dan perempuan (Astiti. 2005:5). Dengan menggunakan analisis gender, akan dapat ditemukan permasalahan atau isu gender yang muncul dari masalah-masalah perempuan laimnya (kekerasan, diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi, stereotip).

1.6.2. Pengembangan Model

Gender --- Budaya Patriarki --- Peran Gender --- Teori Gender dan feminisme --- Perubahan Peran Gender --- Dunia Publik --- Kesetaraan dan Keadilan Gender

Keterangan Pengembangan Model.

Perempuan dan laki-laki dalam budaya patriarki mendapat perlakuan yang berbeda dan sangat dipengaruhi oleh sistem, struktur sosial, dan status kaum perempuan, dimasyarakat sehingga terjadi pembagian peran gender yang memang sudah dikonstruksi oleh masyarakat, tetapi dengan kemajuan IPTEK dan memasuki Era Globalisasi saat ini perubahan peran gender terjadi, dimana kaum perempuan ingin bekerja diranah publik dengan tidak melupakan tugas domestik dan kodrat.

Teori Gender dan Teori Feminisme, memandang peran gender dalam budaya patriarki untuk tercapai keseimbangan dan pembagian kerja pada peran gender, sehingga tercipta kesetaraan dan keadilan gender (KKG).

1.7. Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan, 2001, Seks Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang Press, Yogyakarta

(31)

Astiti, TIP, 2003, Dimensi Perempuan Dalam Perubahan Sosial Budaya Bali (dalam Guratan Budaya, Fakultas Sastra Universitas Udayana

Bhasin K, 1996, Menggugat patriarki Pengantar Tentang Persoalan Dominasi Terhadap Kaum Perempuan, Bentang Budaya, Yogyakarta

Barker, Christ, 2004, Cultural Stadies Teori dan Praktek, PT Bentang, Yogyakarta Fakih, Mansyur, 2003, Runtuhnya Teori Pembangunan dan globalisasi, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta

Garna, Judistira K, 1991, Teori-Teori Perubahan Sosial, Program Pascasarjana Unpad, Bandung.

Griya, W, 1981, Beberapa Segi Tentang Masyarakat dan Sistem Sosial, Jurusan Anthropologi, FS Unud, Denpasar.

Handayani, T dan Sugiarti, 2002, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Universitas Muhamadiyah, Malang

Kalpan, David dan Albert A. Manners, 2000, Teori Budaya, (Terjemahan Landung Simatupang), Pusataka Pelajar, Yogyakarta

Ratna, Kutha, 2004, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Mosse, J.C., 2004, Gender Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Sanderson, S.K, 2003, Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta Susanto, Astrid S, 1984, Sosiologi Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta

Supardi, Suparlan, 1986, Perubahan Sosial Dalam manusia Indonesia, Individu, Keluarga dan Masyarakat, Akademika Prasindo, Jakarta

Tong, Rosemarie Putnam, 2004, Feminist Thought: Pengantar Paling Koprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Jala Sutra, Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Yaitu pencapaian atau hubungan unit-unit dalam suatu apartemen dengan koridor yang terletak dibagian dalam bangunan serta melayani dua sisi unit hunian dalam

Cara belajar siswa yang kurang teratur dapat terlihat pada hasil pengisian kuesioner yang telah diberikan pada responden rata-rata adalah 30,05 yang berarti

Navedeni dokument usmjeren je na poticanje integriranja kulturnih raznolikosti u razvojne politike, isticanjem da cjeloviti razvoj uključuje i multikulturalnu politiku

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar jiwa kewirausahaan yang dimiliki pengurus Gapoktan penerima Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha

Hipotesis dari penelitian ini adalah pertama, variabel input mempengaruhi tingkat efektivitas program pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP) pada peternakan babi di Desa

15.40 – 15.50 Implementasi Kurikulum Psikoterapi Dinamik pada Program Studi Dokter Spesialis 1, di Universitas

Pembelajaran dengan simulasi dan games dapat meningkatkan minat dan motivasi peserta yang belajar, karena dengan menggunakan Metode simulasi dan permainan keterlibatan

Dengan banyaknya permintaan dari kecamatan tersebut sehingga Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang kesulitan dalam memutuskan kecamatan mana yang lebih