• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara religiusitas dengan keba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan antara religiusitas dengan keba"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEBAHAGIAAN

Diajukan untuk memenuhi penugasan mata kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif

Fakultas Psikologi

Universitas Gadjah Mada

Chika Aulia

16/395791/PS/07136

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

DAFTAR ISI

D. Manfaat Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Religiusitas... 5

A.1 Pengertian Religiusitas... 5

A.2 Dimensi – Dimensi Religiusitas... 6

A.3 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Religiusitas... 8

B. Kebahagiaan... 10

B.1 Pengertian Kebahagiaan... 10

B.2 Dimensi – Dimensi Kebahagiaan... 11

B.3 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Kebahagiaan... 12

C. Dinamika Hubungan Antara Religiusitas dan Kebahagiaan... 16

(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Skor Item Skala... 22

Tabel 3.2 Blue Print Skala Religiusitas... 23

Tabel 3.3 Blue Print Skala Kebahagiaan... 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Religiusitas berasal kata dari bahasa latin religio, yang berakar dari kata religare yang berarti mengikat (Ahmad, 1995). Secara instansial religius menunjuk pada sesuatu yang dirasakan sangat dalam yang bersentuhan dengan keinginan seseorang, yang butuh ketaatan dan memberikan imbalan sehingga mengikat seseorang dalam suatu masyarakat (Ahmad, 1995). Mayer (dalam Kahf, 1995) mengatakan bahwa agama adalah seperangkat aturan dan kepercayaan yang pasti untuk membimbing manusia dalam tindakan terhadap Tuhan, orang lain, dan diri sendiri.

(4)

seberapa tinggi tingkat kebahagiaan individu yang tumbuh dalam dirinya menyangkut hubungannya dengan orang lain atau bagaimana seorang individu menjalani kehidupannya.

Sebagaimana yang diajarkan dalam ilmu psikologi bahwa manusia yang sehat secara mental adalah manusia yang memahami potensi dalam dirinya. Sehat secara mental dapat diperoleh tak hanya dari faktor psikologis yang muncul dalam dirinya namun bagaimana seorang individu dapat meneladani apa yang dihayatinya sebagai sebuah keyakinan sebagai pedoman dalam berkehidupan yang biasa kita sebut sebagai hal yang bersifat religius. Ketika seseorang menjaga kualitas religius yang baik tentunya kita akan merasakan kebahagiaan yang lebih baik pula yakni dengan dapat menysukuri dan menjalani kehidupan dengan lebih bermakna. Ada yang mengatakan spiritual futness is about dropping your ego, and letting God in it. Spiritus, spiritual, berasal dari bahasa Latin yang artinya kekuatan yang amat halus dan lembut, dan memberikan energi dan vitalitas hidup. Di Indonesia orang cenderung mengaitkan spiritual dengan pemaknaan dan penghayatan religiusitas [CITATION Hid13 \l 1057 ]

Berdasarkan hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan adalah agama atau religiusitas. (Seligman, 2005) Penelitian yang dilakukan Diener dan Seligman terhadap 222 mahasiswa selama satu semester menemukan bahwa aktivitas religius dan olah raga mampu menimbulkan perasaan bahagia. Hasil penelitian ahli psikologi menunjukkan bahwa kebahagiaan yang menjadi idaman seluruh ummat manusia ini ternyata banyak dimiliki oleh individu yang aktif beribadah, berdo’a dan bersedekah (Muslim, 2007).

(5)

khususnya di Indonesia yang saat ini sedang gencar – gencarnya menjalankan pembangunan negara dan melibatkan generasi muda hingga generasi senior yang membuat mereka semakin menjadi manusia yang individualis dan mengejar kebahagian serta kenikmatan dunia. Individualis semakin menjadi karena masyaratakt dunia saat ini tampaknya semakin dimanjakan oleh kemudahan teknologi dan membuat dunianya sendiri di ranah media sosial. Padahal seharusnya alangkah lebih indahnya apabila kemajuan teknologi yang semakin berkembang di era globalisasi saat ini dapat dimanfaatkan sebagai media penyebaran ajaran agama serta media dakwah yang juga semakin berkembang dengan banyaknya organisasi maupun sekedar komunitas yang bersifat keagamaan guna memperkuat keimanan,ketakwaan, serta juga dapat membuat manusia berpikir secara lebih rasional dari pengaruh gaya hidup kurang baik di tengah era modernisasi saat ini karena terkadang saat kita mencari kebahagiaan di dunia, manusia tak jarang melupakan aspek – aspek keagamaan yang sebenarnya amat penting dalam menjamin kebahagiaan sebagai seorang individu dalam menjalani kehidupannya di dunia dan akhirat.

Nashori (1997) menjelaskan bahwa secara sekilas dapat dilihat dari dalam (hati nurani) bahwa siapa yang mendekat kepada Tuhan, maka individu merasa lebih tenang kehidupannya. Siapa yang menjauh dari Tuhan, maka kehidupannya akan lebih diwarnai dengan stres dan ketidaktentraman. Oleh karena itu dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan antara religiusitas dengan kebahagiaan” dalam kehidupan saat ini.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah ada hubungan antara religiusitas dengan kebahagiaan individu dalam kehidupan saat ini?

(6)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengugkap ada atau tidaknya hubungan religiusitas dengan kebahagiaan dalam kehidupan saat ini, serta menegetahui bagaimana bentuk hubungan yang dirasakan oleh individu.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan serta mengemmbangkan wawasan bagi penulis juga pembaca mengenai hubungan religiusitas dengan kebahagiaan dalam berkehidupan. 2. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi manfaat, masukan,

dan pertimbangan bagi masyarakat khususnya pembaca dalam mengaplikasikan ajaran keagamaan.

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Religiusitas

A.1 Pengertian Religiusitas

Menurut Rakhmat (2004), religiusitas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Ini sejalan dengan pernyataan Kibuuka (2005) yang menyatakan bahwa religiusitas merupakan perasaan spiritual yang berkaitan dengan model perilaku sosial dan individual, yang membantu seseorang mengorganisasikan kehidupan sehari-harinya (Rahman, 2012)

(8)

meliputi pengetahuan agama, pengalaman agama, perilaku (moralitas) agama, dan sikap sosial keagamaan. Apapun istilah yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan aspek religius di dalam diri manusia, semua menunjuk pada suatu fakta bahwa kegiatan religius itu tidak dapat dipisahan dalam kehidupan manusia. Di dalamnya terdapat hal yang menyangkut moral atau akhlak, serta keimanan dan ketaqwaan seseorang terhadap ajaran agama yang diyakininya.

A.2 Dimensi – Dimensi Religiusitas

Menurut Glock & Stark seperti yang dikutip oleh Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori, terdapat lima macam dimensi keagamaan, yaitu :

a. Dimensi keyakinan (Ideologi)

Dimensi ini berisikan pengharapan – pengharapan dimana orang dan religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran – kebenaran doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat. Dimensi ini mencakup hal – hal seperti keyakinan terhadap rukun iman, percaya keEsaan Tuhan, pembalasan di hari akhir, surga dan neraka, serta percaya pada masalah – masalah gaib yang diajarkan oleh agama.

b. Dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistik)

(9)

Selain itu mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal – hal yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya

Praktek – praktek keagamaan ini terdiri dari dua kelas parenting, yaitu :

1) Ritual, mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek – praktek suci yang semua agama mengharapkan para penganut melaksanakannya.

2) Ketaatan, ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.

c. Dimensi Pengalaman

Wujud religiusitas yang tampak dan dapat langsung diketahi dari seseorang adalah perilakunya. Apabila seseorang selalu menunjukkan perilaku yang positif dan konstruktif kepada orang lain dengan dimotivasi agama, maka itu merupakan wujud keberagamaannya. Aspek ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk merealisasikan ajaran – ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari – hari yang berdasarkan pada etika dan spiritualitas agama. Dimensi pengalaman menyangkut hubungan manusia dengan manusia yang lain serta hubungan manusia dengan lingkungannya. Sebagai contoh, ramah dan baik terhadap orang lain, memerjuangkan kebenaran dan keadilan, menolong sesama, disiplin dan menghargai waktu dan lain sebagainya.

(10)

Setelah memilki keyakinan yang tinggi dan melaksanakan ajaran agama, baik ibadah maupun amal, dalam tingkatan yang lebih optimal, maka perlu dicapai situasi ihsan. Dimensi ihsan berkaitan dengan seberapa jauh seseorang merasa diselamatkan oleh Tuhan, perasaan nikmat dalam melaksanakan ibadah, perasaan dekat dengan Tuhan, perasaan doa – doa yang didengar oleh Tuhan, serta perasaan syukur atas nikmat yang dikaruniai oleh Tuhan dalam kehidupan mereka.

e. Dimensi Pengetahuan

Aspek ini berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran – ajaran agamanya. Orang – orang yang beragama paling tidak harus mengetahui hal – hal yang pokok mengenai dasar – dasar keyakinan, ritus – ritus, kitab suci sebagai pedoman hidup sekaligus sumber ilmu pengetahuan, dan tradisi dalam keyakinannya. Hal tersebut dapat dipahami bahwa sumber ajaran keagamaan sangat penting agar religiusitas seseorang tidak sekedar atribut dan hanya sampai pada dataran simbolisme eksoterik.

Jadi, aspek – aspek religiusitas dalam hal ini terdiri dari keyakinan (ideologi), aspek peribadatan atau praktek agama (ritualistik), aspek pengalaman, aspek ihsan (penghayatan), dan aspek pengetahuan. Dari serangkaian dimensi relogiusitas tersebut berpengaruh terhadap tingkat religiusitas seseorang.

A.3 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Religiusitas

(11)

Thouless menyebutkan beberapa faktor yang mungkin ada dalam perkembangan sikap keagamaan akan dibahas secara lebih rinci, yaitu :

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial )faktor sosial). Faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, dari pendidikan yang kita terima pada masa kanak – kanak, berbagai pendapat dan sikap orang – orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi yang kita terima dari masa lalu.

b. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan, terutama pengalaman – pengalaman mengenai :

1) Keindahan, keselarasan, dan kebaikan di dunia lain (faktor alamiah). Pada pengalaman ini yang dimaksud faktor alamiah adalah seseorang dapat menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah karena Tuhan, misalnya seseorang sedang mengagumi segala bentuk ciptaan-Nya.

2) Konflik moral (faktor moral), pada pengalaman ini seseorang cenderung mengembangkan perasaan bersalahnya ketika dia berperilaku yang dianggap tidak benar oleh pendidikan sosial yang diterimanya, misalnya ketika seseorang telah mencuri dia akan terus menyalahkan dirinya atas perbuatan mencurinya tersebut karena jelas bahwa mencuri adalah perbuatan yang dilarang.

3) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif), dalam hal ini misalnya ditujukan dengan mendengarkan kutbah di masjid pada hari jumat, mendengarkan pengajian dan ceramah – ceramah keagamaan.

(12)

keempat kebutuhan yang tidak terpenuhi yang telah disebutkan, maka seseorang maka menggunakan kekuatan spiritual untuk mendukung.

d. Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual). Dalam hal ini berfikir dalam bentuk kata – kata sangat berpengaruh untuk mengembangkan sikap keagamaannya, misalnya ketika seseorang mampu mengeluarkan pendapatnya tentang benar dan yang salah menurut ajaran agamanya.

Dapat disimpulkan bahwa religiusitas atau keberagaman seseorang ditentukan dari banyak faktor, tidak hanya dari dalam diri individu tersebut tetapi lingkungan sekitar juga amat memengaruhi.

B. Kebahagiaan

B.1 Pengertian Kebahagiaan

Kebahagiaan merupakan hal yang bersifat personal ada di dalam diri setiap individu. Kebahagiaan bersifat subjektif dimana setiap orang memiliki definisi kebahagian dalam diri sendiri dan selalu mengusahakan agar selalu merasa bahagia dengan memenuhi apa yang menjadi ukuran kebahagiaan dalam kehidupannya. Pandangan setiap manusia mengenai kebahagiaan tentu berbeda – beda tergantung dari kebutuhan pokok kesehariaannya hingga keinginan – keinginan yang menjadi tujuan dan impian hidupnya.

(13)

dapat dikatakan bahwa kebahagiaan adalah gejala dari keadaan psikologis seseorang akibat dari perilakunya sendiri ketika sedang memenuhi keinginan dalam dirinya. Dalam sebuah buku “Cambridge Advance Leaners Dictionary” disebutkan bahwa beberapa ahli psikologi – positif cenderung mendefinisikan kebahagiaan sebagai keadaan pikiran atau perasaan dengan adanya kepuasan, cinta, kesenangan, atau sukacita. Kebahagiaan berasal dari kata “happy” atau bahagia yang berarti feeling good, having fun, having a good timr, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan (Rakhmat, 2009). Di sisi lain, orang yang berbahagia menurut Ariestoteles, sebagaimana yang dikutip oleh Rakhmat, adalah orang yang mempunyai good birth, good health, good look, good reputatiom, good friends, good money, and goodness. (Rakhmat, 2007) . Selanjutnya menurut Diener dalam jurnalnya yang berjudul ”The Satisfaction With Life Scale” , kebahagiaan mempunyai makna yang sama dengan kesenangan, yakni merupakan evaluasi diri atas kehidupan individu, yaitu penilaian terhadap kepuasan hidupnya dan evaluasi terhadap suasana hati dan emosi individu tersebut.

B.2 Dimensi – Dimensi Kebahagiaan

Kebahagiaan tentu memiliki beberapa aspek / dimensi di dalamnya. Sebagaimana yang coba dipaparkan secara rinci oleh Seligman yang mengatakan bahwa terdapat lima aspek utama yang menjadi sumber dari kebahagiaan, yaitu :

a. Hubungan Positif Dengan Orang Lain

Terlajinnya hubungan positif (positive relationship) bukan berarti sekedar memiliki teman, pasangan, ataupun anak, tetapi juga dengan menjalin hubungan yang positif dan sehat dengan individu yang ada di sekitar.

(14)

Keterlibatan penuh tidak hanya dalan lingkup karir seseorang, tetapi juga dalam aktivitas keseharian lain seperti hobi dan aktivitas bersama keluarga. Dengan melibatkan diri secara penuh dengan lingkungan maka tidak hanya fisik yang beraktivitas namun juga hati dan pikiran turut serta dalam aktivitas tersebut yang dapat menjadi sumber kebahagiaan dalam diri manusia.

c. Penemuan Makna Dalam Keseharian

Setelah kita menjalani keterlibatan penuh dan hubungan yang positif dengan orang lain di sekitar kita, satu cara lain untuk dapat merasa bahagia adalah dengan menemukan makna dari kegiatan apapun yang kita lakukan. Dengan dapat memberi makna / arti dalam setiap kegiatan yang sedang atau akan kita jalani maka diri kita akan merasakan motovasi dan energi positif yang muncul dari dalam diri kita sendiri.

d. Optimisme yang Realistis

Manusia yang menjalani hidupnya dengan optimis dan penuh antusias ditemukan lebih bahagia. Mereka tidak menjadi seseorang yang mudah cemas, putus asa, dan tidak bersemangat karene mereka selalu menjalani setiap langkah kehidupan dengan penuh harapan yang disertai usaha.

e. Resiliensi

(15)

untuk bangkit dari peristiwa tidak menyenangkan dalam hidupnya. Alangkah baiknya apabila kita dapat memaknai suatu kegagalan sebagai hal positif yang akan mendorong dan membuat kita menjadi individu yang lebih baik karena kegagalan adalah pelajaran terbaik untuk kembali berdiri.

B.3 Faktor – Faktor yang Memengaruhi Kebahagiaan

Kebahagiaan tidak sama dengan kumpulan kenikmatan (pleasure). Mungkin saja hidup seseorang dipenuhi kenikmatan, tetapi dia tidak bahagia. Kebahagiaan juga bukan berarti ketiadaan kesulitan atau penderitaan. Karena, boleh jadi penderitaan datang silih berganti, tetapi kesemuanya itu tak merusak keberadaan kebahagiaan. Inilah yang disebut sebagai underlying happiness (kebahagiaan yang senantiasa melambari) hidup kita (Bagir, 2012). Banyak hal yang menjadi faktor – faktor yang memengaruhi sebuah kebahagiaan itu terjadi dalam hidup kita. Menurut Seligiman ada dua (2) faktor yang memengaruhi kebahagiaan, yaitu:

a. Faktor Eksternal

Seligman dalam bukunya menyebutkan sembilan faktor eksternal yang dapat memengaruhi kebahagiaan seseorang, namun tak semua memiliki pengaruh yang besar. Berikut ini adalah penjabaran dari faktor – faktor eksternal yang telah diungkapkan oleh Seligiman yang dapat berkontribusi terhadap kebahagiaan seseorang:

1. Uang

(16)

2. Pernikahan

Pernikahan memiliki dampak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang dalam berkontribusi dalam kebahagiaan seseorang. Individu yang menikah cenderung lebih dapat merasakan kebahagiaan dalam hidupnya dibandingkan mereka yang tidak menikah. Pernikahan memberikan kepuasan dan kenikmatan psikologis dan fisik dalam konteksi memiliki keturunana, membangun rumah tangga bersama pasangan hdiup, dan mengafirmasi identitas serta peran sosial sebagai sepasang suami – istri dan sebagai orangtua.

3. Kehidupan Sosial

Setiap manusia memiliki tingkat kebahagiaan yang berbeda – beda. Seseorang yang memiliki tingkat kebahagiaan tinggi pada umumnya memiliki kehidupan sosial yang memuaskan dan menghabiskan banyak waktu bersosialisasi. Pertemanan yang terjalin juga sebaiknya terbuka antar satu sama lain sehingga dapat berkontribusi pada kebahagiaan. Pertemanan dalam kehdiupan sosial tersedia untuk memberikan dukungan sosial dan terpenuhinya kebutuhan akan affiliasi antarmanusia.

4. Kesehatan

(17)

5. Agama

Banyak penelitian menunjukkan bahwa individu yang religius lebih bahagia dan lebih puas dengan kehidupannya dibandingkan dengan individu yang kurang religius. Disebutkan oleh Seligman bahwa terdapat tiga hal yang berhubungan dengan religiusitas. Pertama, efek psikologis yang ditimbulkan oleh religiusitas cenderung positif, mereka yang religius memiliki tingkat penyalahgunaan obat – obatan, kejahatan, perceraian dan bunuh diri yang rendah. Kedua, adanya kepuasan emosional dari agama berupa dukungan sosial dari mereka yang bersama – sama membentuk kelompok agama yang simpatik. Ketiga, agama berhubungan dengan karakteristik gaya hdiup sehat secara fisik dan psikologis dalam kesetiaan pernikahan, perilaku prososial, makan dan minum secara teratur, serta adanya komitmen untuk bekerja keras.

6. Emosi Positif

Norman Bradburn dalam penelitiannya mendefinisikan bahwa individu yang mengalami banyak emosi negatif akan mengalami sedikit emosi positif, artinya bahwa individu tersebut juga memiliki sedikit kebahagiaan yang dirasakan akibat sedikitnya emosi positif yang dirasakan. Lafrenire juga menyatakan bahwa emosi positif merupakan emosi yang dikehendaki setiap manusia, seperti gembira, rasa ingin tahu yang tinggi, cinta, dan bangga yang muncul dalam dirinya.

(18)

Sebuah studi kebahagiaan terhadap 60.000 orang dewasa yang dilakukan di 40 negara membagi kebahagiaan ke dalam tiga komponen utama, yaitu kepuasan hidup, afek menyenangkan, dan afek tidak menyenangkan. Kepuasan hidup manusia yang meningkat perlahan – lahan seiring dengan bertambahnya usia, afek menyenangkan menurun sedikit, dan afek tidak menyenangkan tidak berubah.

8. Pendidikan, Iklim, Ras dan Gender

Keempat hal di atas memiliki bagiaan dalam memengaruhi kebahagiaan manusia walaupun porsinya tak cukup besar. Menurut Seligman, pendidikan dapat sedikit meningkatkan kebahagiaan pada mereka yang berpenghasilan rendah karena pendidikan merupakan sarana dalam mencapai pendapatan yang lebih baik. Iklim di daerah dimana seseorang tinggal dan ras juga tak banyak memberi pengaruh pada kebahagiaan namun tetap ada porsinya. Gender antara pria dan wanita tak banyak perbedaan tehadap keadaan emosinya, akan tetapi wanita cenderung dapat menjadi lebih bahagia sekaligus lebih sedih dibandingkan pria karena mayoritas wanita adalah seseorang yang peka perasaannya.

9. Produktivitas Pekerjaan

(19)

b. Faktor Internal

Menurut Seligman terdapat tiga faktor internal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan, yaitu kepuasan akan masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan pada masa sekarang. Ketiga hal tersebut tidak selalu dirasakan dalam waktu yang bersamaan, seseorang bisa bangga dan puas dengan masa lalunya namun merasa khawatir dengan masa sekarang yang sedang dijalaninya dan masa depan yang akan dihadapi.

1. Kepuasan Terhadap Masa Lalu

Seligiman berpendapat bahwa kepuasan akan masa lalu dapat digapai dengan tiga cara:

a) Melepas pandangan bahwa masa lalu sebagai penentu utama masa yang akan datang

b) Bersyukur dengan segala hal – hal baik yang kita miliki

c) Memaafkan dan melupakan terhadap kenangan emosi negatif di masa lalu, sebab dengan terus melibatkan kenangan kurang baik dalam diri kita justru akan menghambat kita untuk dapat menjalani hidup dengan baik. Memaafkan dan melupakan adalah dua cara yang baik untuk terciptanya kepuasan hidup.

2. Optimis Terhadap Masa Depan

Optimisme didefinisikan sebagai ekspektasi dari pikiran kita secara umum bahwa akan ada hal baik di masa yang akan datang.

(20)

Seligiman melibatkan dua hal penting yang berpengaruh terhadap kebahagiaan di bagian ini :

a) Pleasure, merupakan kesenangan yang dimiliki komponen sensori dan emosional yang cukup kuat. Sifatnya sementara dan melibatkan sedikit pemikiran

b) Gratification, adalah kegiatan yang amat disukai oleh seseorang namun tak selalu melibatkan perasaan tertentu dan durasinya lebih lama jika dibandingkan dengan pleasure. Hal – hal yang memunculkan gratifikasi terhadap pelakunya biasanya merupakan hal yang menantang, membutuhkan keterampilan dan konsentrasi, memiliki tujuan, serta ada umpan balik langsung di dalamnya.

C. Dinamika Hubungan Antara Religiusitas dan Kebahagiaan

Kehidupan beragama dapat memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang untuk menghadapi tantangan hidup. Agama dapat pula memberikan bantuan moril dalam menghadapi krisis dalam kehidupan. Keyakinan beragama dapat meningkatkan kehidupan itu sendiri ke dalam suatu nilai spiritual. Religiusitas menjadikan hidup seseorang lebih berkamkna dalam berbagai kondisi, memperoleh ketenangan dalam hidup, merasakan dan meyakini adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan sehingga memberikan kemantapan batin, bahagia, dan terlindungi (Meichati, 1983).

(21)

apabila dengaan sengaja atau benar – benar diusahakan untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya (Tasmara, 2001)

Semangat seseorang dalam memberi makna hidup merupakan pondasi yang membuat manusia siap dalam menghadapi berbagai lika – liku kehidupan dan segala tantangannya. Segala bentuk tantangan, kegagalan, dan keberhasilan merupakan bentuk dari bagaimana manusia meyakini apa yang menjadi makna dan tujuan hidupnya. Pada akhirnya keyakinan tersebut mengantarkan individu menjadi manusia yang optimis, independen, tangguh, dan dapat merasakan kebahagiaan dalam dirinya di berbagai macam kondisi kehidupan. Wen-Chun Chang pernah mempublikasikan penelitiannya mengenai korelasi antara presensi dalam kegiatan keagamaan dengan kebahagiaan di negara berbudaya ketimuran seperti Taiwan. Kehadiran agama dianggap telah memiliki dua efek pada manusia. Efek pertama adalah sebagai modal untuk eksistensi setelah hidup yang sekarang. Efek kedua adalah untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif dan kepuasan hidup baik secara fisik maupun psikologis. Maka Chang menemukan kesimpulan bahwa kehadiran agama terkait secara positif dengan kebahagiaan manusia (Chang, 2009).

Dalam penelitian hubungan antara religiusitas dan kebahagiaan serta depresi pada orang dewasa muda yang beragama Islam di Palestina & Kuwait mendapati bahwa ada korelasi yang signifikan antara religiusitas dengan kebahagiaan, namun tidak dengan depresi[ CITATION Ahm11 \l 1057 ]. Individu yang memiliki religiusitas yang tinggi maka cenderung memiliki internalisasi nilai positif yang tinggi pula dalam hidupnya, keyakinan terhadap pandangan hidup menjadi lebih positif, bermakna, dan terciptalah kebahagiaan. (Seligman, 2005)

D. Hipotesis Penelitian

(22)

memiliki nilai – nilai religiusitas yang tinggi dalam kehidupan sehari – hari maka tinggi pula kebahagiaan subjektifnya. Penelitian ini menjadi penting dari pertimbangan bahwa dalam kehidupan yang serba modern ini dimana kebahagiaan banyak tercipta dari kesibukan duniawi, sebuah keyakinan dalam hal agama adalah hal yang tetap menjadi pedoman penting dalam menjalani setiap langkah kehidupan. Religiusitas dan kebahagiaan tentunya dapat dirasakan oleh seluruh manusia dari berbagai tingkat usia, pendidikan, berbagai macam suku, ras, dan jenis kelamin.

BAB III

METODE PENELITIAN

(23)

Identifikasi variabel yang akan ditentukan penulis adalah mengenai “Hubungan antara religiusitas dengan kebahagiaan”. Dalam penelitian ini terdapat variabel terikat (dependen) dan variabel bebas (independen).

Variabel bebas (independen) adalah variabel yang menjadi sebab atau variabel yang mempengaruhi variabel terikat (dependen). Berikut ini adalah variabel penelitian yang dilibatkan dalam penelitian:

Variabel independen : religiusitas

Variabel dependen : kebahagiaan

B.Devinisi Operasional Variabel

Berikut adalah pemaparan operasionalisasi pada masing – masing variabel yang dilibatkan dalam penelitian:

1. Religiusitas

(24)

Pengetahuan, adalah seberapa jauh seseorang dapat mengetahui dan memahami ajaran – ajaran agama yang dianutnya.

Perilaku di atas diukur menggunakan skala religiusitas yang disusun menggunakan dimensi religius tersebut. Semakin tinggi skor yang didapatkan maka semakin tinggi tingkat religiusitas. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang didapatkan maka semakin rendah pula tingkat religiusitas.

2. Kebahagiaan

Kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan oleh individu serta aktivitas – aktivitas positif yang disukai oleh individu tersebut (Seligman, 2005). Berdasarkan pengertian dari Seligman ini, dapat dikatakan bahwa kebahagiaan adalah gejala dari keadaan psikologis seseorang akibat dari perilakunya sendiri ketika sedang memenuhi keinginan dalam dirinya. Kebahagiaan dapat diwujdkan dalam beberapa dimensi yaitu: (1) Hubungan Positif Dengan Orang lain, adalah wujud dari hubungan interpersonal yang baik dan sehat kepada orang – orang disekitar kita. (2) Keterlibatan Penuh, dengan melibatkan diri secara penuh terhadap berbagai aktivitas yang bermanfaat dan memunculkan emosi positif maka tak hanya fisik yang beraktivitas namun juga hati yang secara langsung akan menjadi sumber kebahagiaan. (3) Penemuan Makna Dalam Keseharian, artinya bahwa salah satu cara lain untuk mendapatkan kebahagiaan adalah dengan memaknai segala peristiwa dan kegiatan yang kita lakukan dalam sehari – hari sebagai hal yang bertujuan dan memiliki arti positif. (4) Optimisme yang Realistis, optimis adalah bentuk ekspektasi bahwa akan ada hal baik di masa yang akan datang. Optimisme juga harus disertai realistis terhadap kehidupan sehingga apa yang kita impikan tak jauh melampaui batas kemampuan kita. (5) Resiliensi, berkaitan dengan memaknai suatu kegagalan sebagai hal positif yang akan mendorong dan membuat kita menjadi individu yang lebih baik karena kegagalan adalah pelajaran terbaik untuk kembali berdiri.

(25)

tinggi skor yang didapatkan maka semakin tinggi tingkat religiusitas. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang didapatkan maka semakin rendah pula tingkat religiusitas.

C.Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel sebanyak 60 orang yang tinggal di daerah perkotaan untuk dijadikan responden pengisian skala ukuran hubungan antara religiusitas dengan kebahagiaan dengan rincian sebagai berikut:

1. Jumlah subjek penelitian sebanyak 60 orang.

2. Subjek penelitian terdiri dari 30 orang beragama islam dan 30 orang beragama nasrani

3. Subjek penelitian diambil pada rentang usia remaja tengah (14 – 17 tahun) , remaja akhir (17 – 21 tahun), dan dewasa awal (21 – 40 tahun)

Batasan – batasan di atas dipilih atas dasar teori Hurlock (1964) bahwa Eksistensi dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan mulai dipahamkan dan dihayati menurut kepercayaan / agama yang dianutnya ketika seseorang mulai menginjak masa remaja tengah.

D.Metode Penelitian

(26)

Penelitian ini menggunakan skala model Likert, dimana variabel penelitian dijadikan sebagai titik tolak penyusunan item instrumen (Hasan, 2002). Pernyataan terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable). Jawaban dari instrumen memiliki tingkat tertinggi hingga tingkat terendah, kemudian diukur dengan satu item dengan empat skala jawaban, sebagai berikut:

Tabel 3.1 Skor Item Skala

Item Favorable Sko

r

Item Unfavorable Skor

SS (Sangat Setuju) 4 SS (Sangat Setuju) 1

S (Setuju) 3 S (Setuju) 2

TS (Tidak Setuju) 2 TS (Tidak Setuju) 3

STS (Sangat Tidak Setuju 1 STS (Sangat Tidak Setuju 4

E.Instrumen Penelitian

Metode yang akan peneliti gunakan untuk melakukan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Skala yang akan dipergunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua, yaitu skala Religiusitas dan skala Kebahagiaan.

(27)

Tabel 3.2

1 Keyakinan Keyakinan terhadap tuhan 1 2,33 3

Mukzijat 3 34 2

Kepercayaan yang salah 39 40 2

Pelanggaran terhadap

ritual yang benar 41 8 2

(28)

Mengikuti siraman rohani

dari media elektronik 12 45 2

Keikutsertaan organisasi

3 Pengalaman Memperkuat pengalaman 23 55 2

(29)

5 Konsekuensi

2. Skala Kebahagiaan dalam penelitian ini disusun berdasarkan aspek – aspek dari konsep Seligman (2002). Skala kebahagiaan terdiri dari 50 butir pernyataan berikut:

Tabel 3.3

Blue Print Skala Kebahagiaan

Dimensi DimensiSub- Indikator FavorableItem UnfavorableItem Total Emosi

diri yang positif 5,9 35,37 4

(30)

Yakin bahwa setiap

menjadi lebih baik 12,36 18 3

Percaya diri terhadap

Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis untuk mendapatkan suatu kesimpulan dari penelitian ini, dengan metode perhitungan statistik menggunakan program SPSS untuk mengetahui signifikansi korelasi antara religiusitas dengan kebahagiaan dalam diri responden. Ditentukan pada taraf signifikasi sebesar 0,05 pada one tailed test. Pengolahan data ini menggunakan analisis data statistik dengan

Pengujian hipotesis :

Ho : Tidak terdapat hubungan positif antara religiusitas dengan kebahagiaan

Hi : Terdapat hubungan positif antara religiusitas dengan kebahagiaan

(31)

Abdel-Khalek, A. M., & G.Gonzalez. (2011). Religiosity and its association with subjective well-being and depression among Kuwaiti and Palestinian Muslim children and adolescents. Mental Health, Religion & Culture, 117-127.

Ardians, A. (2014, Maret). teori kebahagiaan. Diambil kembali dari atrofardians.blogspot.com: http://atrofardians.blogspot.co m/2014/03/teorikebahagiaan.html

Bagir, H. (2012). Risalah Cinta dan Kebahagiaan. Jakarta: PT Mizan Publika.

Chang, C. (2009). Religious Attendance and Subjective well-being In an Eastern Culture Country: Empirical Evidence from Taiwan. Marburg Journal of Religion, vol 14, no 1 (1- 30).

Chang, C. (2009). Religious Attendence and Subjective Well-being in Eastern-Culture Country: Empirical Evidence from Taiwan. Marburg Journal of Religion, volume 14, No 1, 1-30.

Diener, E., Emmons, R., Larsen, R., & Griffin, S. (t.thn.). The Statisfaction with Life Scale. Journal of Personality Assesment, Volume 49, issue 1, p 71-75.

Hidayat, K. (2013). Psikologi Kebahagiaan. Dalam K. Hidayat, Psikologi Kebahagiaan (hal. 102-113). Jakarta: PT Mizan Publika.

Meichati, S. (1983). Kesehatan Mental. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Muslim, & Nashori. (2007). Hubungan Antara Religiusitas dengan Kebahagiaan Otentik (Authentic Happiness). Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.

Nashori, F., & Mucharam, R. (2002). Mengembangkan Kreativitas: Psikologi Islam. Yogyakarta: Menara Kudus.

Rahman, P. (2012). Hubungan Religiusitas dengan Kebahagiaan pada Lansia Muslim. Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Rakhmat, J. (2009). Meraih Kebahagiaan. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Seligman, M. (2005). Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif. Bandung: PT MIzan Pustaka.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

(32)

Thouless, R. H. (1971). An Introduction to the Psychology of Religion. London: Cambridge University Press.

Thouless, R. H. (2000). Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

VJ, E. (2012, November 16). proposal penelitian kuantitatif. Diambil kembali dari ardiandasly.blogspot.co.id:

http://ardiandasaly.blogspot.co.id/2012/11/proposal-penelitian-kuantitatif.html

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3

Referensi

Dokumen terkait

terdiri dari biaya pembelian rokok (138 Trilyun), kehilangan produktivitas karena kematian prematur, sakit dan disabilitas (235.4 Trilyun), serta biaya medis penyakit

Penelitian tentang konversi lahan pertanian produktif akibat pertumbuhan lahan terbangun di Kota Sumenep bertujuan untuk mengetahui karakteristik perubahan tutupan

inovasi lebih lanjut untuk mengolah hasil alam atau melinjo tersebut. Di kampung-kampung yang lain di Desa Mancak melimpahnya hasil alam berupa melinjo dan kelapa sedangkan

Karakteristik berdasarkan umur dan tingkat kelas terhadap pengetahuan, sikap, serta perilaku terhadap aborsi, umumnya pada usia 16-19 tahun atau kelas XI

Sebuah opsi call memberikan hak, bukan kewajiban, kepada pemiliknya (holder) untuk membeli sebuah aset dari writer dengan harga yang telah disepakati (strike price

Pengujian dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan distributor udara pada tungku updraft menggunakan bahan bakar sekam padi sebanyak 1kg dengan kecepatan

Nyeri kram disebabkan karena kontraksi berlebihan dari otot-otot rahim akibat pelepasan berlebihan zat-zat, yang dikenal sebagai prostaglandin.Kesehatan reproduksi adalah

Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik dalam