PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA OLEH OKNUM POLRI
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
WIKA TRIDININGTIAS NIM: 090200042
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA OLEH OKNUM POLRI
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
WIKA TRIDININGTIAS NIM: 090200042
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
(Dr.M.Hamdan,SH,MH) NIP : 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(Syafruddin SH, M.H DFM) (Alwan SH M.Hum)
NIP : 196305111989031001 NIP : 196005201998021001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Dengan segenap kerendahan dan keikhlasan hati Penulis panjatkan puji
dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan
ridha-Nya yang begitu besar kepada Penulis sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Begitu pula shalawat beriring salam
Penulis panjatkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW (Allahumma
sholli ala sayyidina Muhammad, wa ala alihi sayyidina Muhammad) semoga kita
semua mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak.
Sudah menjadi suatu kewajiban bagi mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara untuk membuat suatu karya ilmiah dalam
menyelesaikan masa kuliahnya. Untuk menyelesaikan masa kuliah dan untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum maka Penulis mempersembahkan sebuah
skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkoba Oleh Oknum Polri”.
Penulis sangat sadar bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Maka dengan segala keterbukaan dan kerendahan hati
Penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk sekiranya memberikan
saran dan kritikan yang bersifat konstruktif guna menghasilkan suatu karya ilmiah
Terlepas dari semua kekurangan yang ada pada skripsi ini, Penulis
mempersembahkan serta memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang
tak terhingga kepada :
Kedua orang tua tercinta Penulis (Alm) Riduan Saragih dan Sumiatun.
Terima kasih atas semua yang telah kalian korbankan demi hidupnya seorang
Wika, atas kasih sayang serta doa yang tidak pernah putus yang kalian berikan
kepada Penulis, atas segenap dukungan baik moril maupun materil yang tak
terhingga yang telah diberikan kepada Penulis. Terima kasih kepada abang-abang
Penulis, Dedi Prawito, Deni Afandi, Yopi Hendriyanto, juga kepada kakak-kakak
Penulis Ika Riani, Ratni dan tak lupa kepada saudara kembar Penulis Wike
Tridiningsih yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil.
Kepada keponakan kecil Penulis yang telah memberikan semangat dan menghibur
Penulis, Devan Tri Prayogi, Dwi Fanny Rezka Finanda, Khalila Az-zahra, Qanita
Najiyah. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Riki Himawan Maha atas
segala pengorbanan, dukungan, kasih sayang, cinta yang telah dicurahkan kepada
Penulis dan setia menemani Penulis sampai sekarang dan InshaAllah selama
hidup Penulis, amin.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.H, DFM sebagai Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak Husni, SH., M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum USU Medan.
6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum USU Medan.
7. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM sebagai Pembimbing I
Fakultas Hukum USU Medan yang telah bersedia untuk meluangkan
waktunya untuk membimbing dan mengarahkan dalam pembuatan skripsi
ini.
8. Bapak Alwan, SH, M.Hum, sebagai pembimbing II Fakultas Hukum USU
Medan yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya untuk
membimbing dan mengarahkan dalam pembuatan skripsi ini.
9. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, sebagai penasehat akademik yang telah
banyak membantu penulis selama dalam menyelesaikan studi di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
10.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu yang telah mendidik Penulis
dari awal hingga akhir masa perkuliahan.
11.Seluruh Pegawai, Staf, Jajaran Fakultas Hukum Universitas Sumatera
12.Kepada Bapak Kompol J. Silaban Kasubag Minopsional di Reserse
Narkoba Polda SUMUT yang telah banyak membantu Penulis dalam
penelitian skripsi ini.
13.Kepada teman Penulis Dila Afifah yang telah bersama-sama melewati
masa-masa perkuliahan dari awal hingga akhir, terimakasih atas kesetiaan
dan ketulusan hati menemani dan membantu Penulis dalam menempuh
masa-masa perkuliahan.
14.Kepada teman-teman seperjuangan Penulis yang lain selama menuntut
ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Giovani, Enny Zega,
Yenni Girsang, Yona Siadari, Febri Sihombing, Christina Waruwu,
Natasha dan Eggianina Sinuhaji serta teman-teman seangkatan ’09
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
15.Kepada teman-teman satu kos Yoan Viti, Maylianda, Iga andryani, Ade
Dwi, Fitri Aprilia, Mega, Suci, Susi dan Indry. Terimakasih atas semua
kesetiaan dan kegilaan disaat penulis dalam keadaan suka maupun duka.
Medan, 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAKSI ... vii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Permasalahan ... 6
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6
D.Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana ... 8
2. Narkoba dan penggolongannya ... 19
3. Pengertian, Fungsi dan Tugas Pokok POLRI ... 26
4. Pengaturan Tindak Pidana yang dilakukan anggota Kepolisian ... 32
5. Proses peradilan terhadap anggota kepolisian yang melakukan Tindak Pidana ... 34
F. Metode Penulisan ... 36
BAB II PENANGGULANGAN KEJAHATAN ATAU TINDAK PIDANA NARKOBA YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM POLRI
A.... F
aktor yang menjadi penyebab Oknum POLRI
menyalahgunakan Narkoba ... 40
B.Modus operandi penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh
Oknum POLRI ... 47
C.Upaya penanggulangan dan hal-hal yang menjadi kendala
dalam penanggulangan penyalahgunaan Narkoba yang
dilakukan oleh Oknum POLRI ... 48
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM POLRI
A.Pengertian Sanksi dan Pemberian Sanksi Terhadap Oknum POLRI
yang menyalahgunakan narkoba ... 53
B.Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkoba
oleh
Oknum POLRI ... 73
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 80
ABSTRAK
Syafruddin SH, MH, DFM * Alwan SH, M.Hum ** Wika Tridiningtias ***
Skripsi ini berbicara tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap oknum Polri yang menyalahgunakan Narkoba. Tindak kejahatan narkoba saat ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sudah terang-terangan yang dilakukan oleh para pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi barang berbahaya itu. Tidak hanya masyarakat biasa, kejahatan narkoba juga banyak dilakukan oleh anggota kepolisian. Ada banyak kasus yang melibatkan anggota kepolisian terjerat dalam penyalahgunaan narkoba. Hal ini tentu saja menimbulkan pandangan buruk dari masyarakat dan mencoreng citra dari kepolisian. Dari uraian tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana narkoba yang dilakukan oleh oknum polri termasuk faktor penyebab dan modus operandi yang dilakukan oknum polri tersebut serta bagaimana pertanggungjawaban pidana oleh oknum tersebut dan sanksi apa yang dijatuhkan baik menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2009 serta sanksi adminitratif yang diberikan dari instansi yang bersangkutan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu penelitian dan pembahasan yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta melakukan survey kelapangan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
Banyaknya kasus yang melibatkan oknum Polri sebagai tersangka penyalahgunaan Narkoba tentu menimbulkan pencitraan yang buruk di mata masyarakat terhadap kinerja Polri sebagai penegak hukum. Penyalahgunaan narkoba oleh oknum Polri disebabkan karena beberapa faktor dan dilakukan ukepada anggota kepolisian untuk membuktikan adanya pelanggaran yang dilakukan. Berbagai upaya penanggulangan juga dilakukan sehingga diharapkan tidak ada lagi anggota polisi yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Pertanggungjawaban pidana oleh oknum Polri yang menyalahgunakan narkoba tidak dilihat dari sadar atau tidaknya dia ketika melakukan kejahatan tersebut namun, dilihat dari perbuatannya sehingga tetap dihukum sesuai hukum yang berlaku baik berdasarkan UU No 35 Tahun 2009 maupun sanksi disiplin dari instansi.
*
Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**
Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
ABSTRAK
Syafruddin SH, MH, DFM * Alwan SH, M.Hum ** Wika Tridiningtias ***
Skripsi ini berbicara tentang bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap oknum Polri yang menyalahgunakan Narkoba. Tindak kejahatan narkoba saat ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sudah terang-terangan yang dilakukan oleh para pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi barang berbahaya itu. Tidak hanya masyarakat biasa, kejahatan narkoba juga banyak dilakukan oleh anggota kepolisian. Ada banyak kasus yang melibatkan anggota kepolisian terjerat dalam penyalahgunaan narkoba. Hal ini tentu saja menimbulkan pandangan buruk dari masyarakat dan mencoreng citra dari kepolisian. Dari uraian tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana narkoba yang dilakukan oleh oknum polri termasuk faktor penyebab dan modus operandi yang dilakukan oknum polri tersebut serta bagaimana pertanggungjawaban pidana oleh oknum tersebut dan sanksi apa yang dijatuhkan baik menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2009 serta sanksi adminitratif yang diberikan dari instansi yang bersangkutan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu penelitian dan pembahasan yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta melakukan survey kelapangan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
Banyaknya kasus yang melibatkan oknum Polri sebagai tersangka penyalahgunaan Narkoba tentu menimbulkan pencitraan yang buruk di mata masyarakat terhadap kinerja Polri sebagai penegak hukum. Penyalahgunaan narkoba oleh oknum Polri disebabkan karena beberapa faktor dan dilakukan ukepada anggota kepolisian untuk membuktikan adanya pelanggaran yang dilakukan. Berbagai upaya penanggulangan juga dilakukan sehingga diharapkan tidak ada lagi anggota polisi yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Pertanggungjawaban pidana oleh oknum Polri yang menyalahgunakan narkoba tidak dilihat dari sadar atau tidaknya dia ketika melakukan kejahatan tersebut namun, dilihat dari perbuatannya sehingga tetap dihukum sesuai hukum yang berlaku baik berdasarkan UU No 35 Tahun 2009 maupun sanksi disiplin dari instansi.
*
Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**
Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyalahgunaan narkoba telah lama menjadi masalah yang serius di
berbagai negara, baik negara-negara yang sudah maju maupun di negara-negara
yang sedang berkembang tidak terkecuali di Indonesia. Kita ketahui bahwa
masalah narkoba dewasa ini merupakan masalah yang sangat menarik perhatian
dari banyak kalangan baik kalangan masyarakat maupun pemerintah. Hal ini
disebabkan karena narkoba merupakan benda yang dapat merusak bagi para
pemakai bila digunakan tidak dengan ketentuan-ketentuan medis. Narkoba juga
memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pengedarnya sehingga kejahatan
ini lebih sering dilakukan.
Tindak kejahatan narkoba saat ini tidak lagi dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, tetapi sudah terang-terangan yang dilakukan oleh para pemakai dan
pengedar dalam menjalankan operasi barang berbahaya itu. Dari fakta yang dapat
disaksikan hampir setiap hari baik melalui media cetak maupun elektronik,
ternyata barang haram tersebut telah merebak kemana-mana tanpa pandang bulu,
terutama diantara generasi remaja yang sangat diharapkan menjadi generasi
penerus bangsa dalam membangun negara di masa mendatang. Masyarakat kini
bersedia menceritakan keadaan anggota keluarganya dari penderitaan dalam
kecanduan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya itu.1
Kejahatan narkoba, khususnya di Indonesia sudah semakin mengerikan
dan dahsyat. Meskipun ada peraturan yang sudah mengatur tentang kejahatan
tersebut yang menghukum dengan hukuman mati, tetapi kejahatan tersebut tetap
juga dilakukan dan berlangsung secara terus menerus.
Jika hal tindak pidana tersebut telah terjadi, maka hal tersebut harus
ditindak lanjuti karena telah melanggar hukum ataupun norma. Adapun yang
menindak lanjuti tindak pidana tersebut adalah aparat penegak hukum yakni
polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga permasyarakatan. Tugas polisi dalam
bidang peradilan adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Untuk mencapai kerja yang positif baik jaksa, hakim maupun polisi perlu
lebih dahulu memiliki kesadaran dan mental tangguh yang tidak akan tergoyahkan
oleh pengaruh yang dapat merusak kejujurannya dalam menegakkan keadilan.
Kepolisian sebagai aparat penyidik dalam melakukan penyelidikan perlu bekerja
keras mengumpulkan bukti-bukti yang cukup yang akan disempurnakan oleh
jaksa penuntut umum pada saat perkara diperiksa di pengadilan. Tetapi hal
tersebut hanyalah merupakan langkah teoritis, dalam kenyataannya maksud
tersebut tidak tercapai. Hal tersebut disebabkan pada kerapuhan mental yang
dihinggapi oleh aparat penegak hukum yang bersangkutan. Bukan rahasia lagi,
aparat penegak hukum dalam hal ini polisi dalam melakukan penyelidikan
terhadap kasus-kasus kejahatan penyalahgunaan obat-obatan terlarang sering
1
bertindak diluar prosedur hukum yang berlaku dan bersikap tidak adil, artinya
dalam penegakan tersebut sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku dan jabatannya sebagai penegak hukum.
Hal tersebut bukan hanya rapuhnya mental dari para penegak hukum yang harus
kita perhatikan tetapi juga rendahnya profesionalisme aparat penegak hukum
dalam menjalankan tugasnya.
Polisi sebagai pelaksana dan penegak hukum mempunyai tugas
memelihara keamanan dalam negara Republik Indonesia serta diberikan
kewenangan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana.
Keberadaan polisi sebagai ujung tombak dalam posisi awal pelaksanaa sistem
peradilan wajib melakukan tugas dan wewenang sebagai penegak hukum. Namun
ada beberapa oknum polisi yang bahkan menyalahgunakan wewenangnya dengan
ikut menggunakan dan mengedarkan obat-obatan terlarang atau narkoba. Hal
tersebut tentu saja dapat menyebabkan hilangnya rasa percaya masyarakat kepada
polisi untuk memberikan jaminan kepastian hukum atau memberikan
perlindungan hukum terhadap masyarakat.
Dalam hal ini polisi telah melakukan penyalahgunaan jabatan, tugas serta
wewenangnya. Seharusnya mereka bertugas untuk memberikan panutan kepada
masyarakat, memberikan contoh yang baik bahkan ikut serta dalam proses
pemberantasan kejahatan narkoba. Namun sebaliknya jika mereka ikut serta
dalam tindakan menggunakan dan mengedarkan narkoba, tentu saja dapat
Dapat kita lihat dari sebuah kasus yang terjadi sekitar satu tahun terakhir
ini, bahwa masih saja terdapat kasus oknum Polri yang menggunakan bahkan ikut
serta dalam mengedarkan narkoba seperti kasus yang terjadi pada tanggal 15
maret 2012, sejumlah polisi dan jaksa ditangkap karena kedapatan memakai
narkobabahkan ikut mengedarkannya.
Sebanyak 227 orang anggota Polri terlibat 102 kasus narkotika pada tahun
2011 dan 32 orang diantaranya adalah Perwira. 32 orang Perwira tersebut terdiri
dari 14 orang Pamen dan 18 orang Perwira Pertama. Sementara untuk pangkat
Bintara sebanyak 192 orang dan 3 orang dari PNS. Semuanya telah diproses
secara disiplin dan pidana. Sementara untuk angka anggota Polri yang terlibat
dalam narkotika di tahun 2012, periode bulan Januari sampai dengan Maret,
terdapat 45 kasus yang melibatkan 1 orang Pamen dan 39 Bintara. Ini baru yang
ketahuan.2
Lemahnya pengawasan oleh institusi penegak hukum menjadi salah satu
penyebab adanya oknum polisi yang menyalahgunakan narkoba. Sehingga timbul
sikap pesimistis terhadap keberhasilan pihak kepolisian untuk memberantas
peredaran dan penyalahgunaan barang haram tersebut. Dengan demikian
memunculkan pendapat di kalangan anggota masyarakat yang tidak sedikit yang
menghendaki agar anggota polisi yang terlibat atas pelanggaran yang dikakukan
dapat dihukum berat, bukan hanya diberikan sanksi melanggar disiplin atau
sekedar peringatan saja.
2
Dengan demikian, akan terwujud tujuan dari pemberian sanksi pidana
yaitu memberikan efek jera kepada siapa saja yang telah melanggar peraturan
dengan tidak memandang jabatan orang yang melakukan tindak pidana tersebut
sehingga keadilan dapat ditegakkan dan terwujud pula pertanggungjawaban
pidana oleh oknum polisi tersebut. Apalagi yang melakukan tindak pidana adalah
salah satu dari aparat penegak hukum. Tentu saja yang diinginkan adalah
pemberian sanksi dan pertanggungjawaban baik pidana maupun pemberian sanksi
dari instansi yang bersangkutan yang diberikan seberat-beratnya sehingga hal ini
dapat memberikan peringatan kepada aparat penegak hukum yang lain untuk tidak
melakukan hal yang sama.
Dengan demikian, Penulis memilih judul ini karena polisi merupakan
aparat penegak hukum yang pertama langsung menangani suatu perkara pidana
sebelum ke kejaksaan ataupun ke pengadilan, dimana dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya itu polisi telah disorot apakah telah melakukan penyelewengan
atau penyalahgunaan wewenang.
Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mencoba menguraikan masalah
tindak pidana menggunakan dan mnegedarkan narkoba, khususnya yang
dilakukan oknum polri dengan judul skripsi “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA PENGGUNA DAN PENGEDAR NARKOBA YANG
DILAKUKAN OLEH OKNUM POLRI” untuk dikaji lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban itu dan pemberian sanksi pidana trehadap oknum polri
B. PERMASALAHAN
Dengan adanya penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran yang
dilakukan oleh polisi seperti yang telah disebutkan pada latar belakang, muncul
beberapa pertanyaan yang dijadikan sebagai perumusan masalah yaitu :
1. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan atau tindak pidana narkoba yang
dilakukan oleh oknum Polri?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana oleh oknum Polri yang
menggunakan dan mengedarkan narkoba?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang
dilakukan oleh Polri.
b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana oleh oknum Polri yang
menyakahgunakan narkoba serta sanksi yang diberikan baik sanksi pidana
maupun sanksi administrative dari instansi yang bersangkutan.
2. Manfaat Penulisan
Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana dikemukakan diatas,
a. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana,
khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap anggota polri yang
menyalahgunakan narkoba. Selain itu juga untuk memberikan wawasan dan
pengetahuan mengenai sanksi yang diberikan kepada oknum polri tersebut.
b. Manfaat Praktis
(1) Bagi Penulis : Penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang
penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan dilapangan, serta
menambah wacana Ilmu Hukum Pidana tentang penanganan atau
pertanggungungjawaban pidana terhadap anggota polri yang
menyalahgunakan narkoba.
(2) Bagi Kepolisian : Khususnya bagi Kepolisian Daerah Sumatera Utara,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam hal
penanganan terhadap anggota Kepolisian yang menyalahgunakan narkoba
sehingga dapat lebih meningkatkan profesionalisme para anggotanya.
(3) Bagi Masyarakat : Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan
masyarakat tentang upaya yang dilakukan oleh Polri Sumatera Utara
dalam penanganan terhadap anggota Polri yang menyalahgunakan
narkoba, sehingga masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam penanganan
D. Keaslian Penulisan
Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana,
belum ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan
permasalahan yang akan diangkat yaitu tentang “Pertanggungjawaban pidana
pengguna dan pengedar narkoba yang dilakukan oleh oknum Polri”. Penulisan
skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiri tanpa
adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak
tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggung jawab
atas keaslian penulisan skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana 1.1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, demikian juga pada WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan
resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya
sampai kini belum ada keseragaman pendapat.3
3
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan
yang ada maupun dalam bernagai literature hukum sebagai terjemahan dari istilah
starfbaar feit adalah sebagai berikut:4
1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-perundang-undangan
menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No. 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta, (diganti dengan UU No.19/2002), UU
No.11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UU
No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti
dengan UU No. 31 Tahun 1999), dan perundang-undangan lainnya. Ahli
hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, S.H. (lihat buku Tindak-tindak Pidana Tertentu di
Indonesia).
2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R.
Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, Mr. Drs. H.J. van
Schravendijk dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia,
Prof. A. Zainal Abidin, S.H. dalam buku beliau Hukum Pidana.
Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu
dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (baca Pasal 14 ayat
1).
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan
untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit.
4
Istilah ini dapat dijumpai dalam beberapa literature, misalnya Prof. Drs. E.
Utrecht, S.H., walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni
peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum Pidana I. Prof. Moeljatno pernah juga
menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku beliau Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan walaupun menurut beliau lebih tepat
dengan istilah perbuatan pidana.
4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku beliau Ringkasan tentang Hukum Pidana. Begitu juga
Schravendijk dalam bukunya Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia.
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk
Undang-Undang dalam Undang-Undang-Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan
Bahan Peledak (baca Pasal 3).
7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum Pidana.
Dari beberapa istilah tersebut, tidak ditemukan penjelasan tentang apa
yang dimaksud dengan strafbaar feit. Pengertian tindak pidana perlu diketahui untuk memahami unsur-unsur yang ada di dalamnya, dimana unsur-unsur tindak
pidana tersebut dapat menjadi patokan dalam upaya untuk menentukan apakah
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa didalam KUHP (WvS) hanya
ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk
menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “starfbaar feit” tidak
dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana.
Pengertian tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (stafbaar feit) hanya
ada dalam teori atau pendapat para sarjana.5
Simons merumuskan tindak pidana “sebagai suatu tindakan melanggar
hukum yang telah disengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat
dihukum.6
Dapat disimpulkan bahwa Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum dimana apabila peraturan tersebut dilanggar,
maka ada ancaman hukuman bagi mereka yang melanggar. Tindak pidana hanya
menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan yang ditetapkan oleh suatu
peraturan perundang-undangan, apakah si pelanggar aturan telah melakukan
tindak pidana sehingga harus dijatuhi hukuman berupa sanksi atau tidak. Dasar
adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya si
pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan.
5
Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2010, hal.75
6
1.2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Seseorang yang melakukan suatu perbuatan kemudian dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan kepadanya, tergantung dari soal apakah
dalam melakukan perbuatan tersebut dia mempunyai kesalahan atau tidak.
Kesalahan (schuld) pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana.
Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan
dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada
kesalahan, atau sikap bathin yang dapat dicela, ternyata pula dalam azas hukum
yang tidak tertulis : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. (Geen straf zonder
schuld, ohne Schuld keine Strafe).7
Dapat pula dikatakan : Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan
dijatuhi hukuman kalau tidak melakukan perbuatan pidana, ia tidak selalu dapat
dipidana. Tetapi meskipun ia melakukan perbuatan pidana ia tidak selalu dapat
dipidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana, apabila ia
mempunyai kesalahan. Kapankah orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan.
Hal inilah yang dibicarakan dalam masalah pertanggungjawaban pidana ini.8
Di bawah ini beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang
kesalahan (schuld) yang pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana.9
7
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1988 hal. 98
8
Ibid
9
a. Metzger:
Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya
pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana.
b. Simons:
Kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada seseorang yang
melakukan tindak pidana dan adannya hubungan antara keadaan tersebut
dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa hingga orang itu
dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Berdasarkan pendapat ini
dapat disimpulkan adanya dua hal disamping melakukan tindak pidana,
yaitu:
1. keadaan psikis tertentu;
2. hubungan tertentu antara keadaan psikis dengan perbuatan yang
dilakukan hingga menimbulkan celaan.
c. Van Hamel:
Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis,
berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur
delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam
hukum.
Dalam hukum pidana, yang dimaksud dengan “kesalahan” atau
“pertanggungjawaban” itu adalah suatu pertanggungjawaban menurut hukum
pidana (verantwoordelijkheid volgens het strafrecht). Sebetulnya menurut etika,
tiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Tetapi dalam bidang
menjatuhkan hukuman dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat.
Pertanggungjawaban itu adalah pertanggungjawaban pidana. 10
Selain pengertian dari kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, perlu
juga diketahui mengenai unsur-unsur dari kesalahan. Dimana dari unsur-unsur
tersebut dapat diketahui pula apakah suatu perbuatan tersebut merupakan
perbuatan melawan hukum atau tidak. Apabila perbuatan tersebut tidak melawan
hukum, maka tidak perlu menetapkan kesalahan kepada si pembuat atau
sebaliknya apabila perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum,
maka perbuatan tersebut dapat dijatuhkan pidana.
Orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dipidana jika memenuhi
semua unsur yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana. Sedangkan jika
orang tersebut tidak memenuhi salah satu unsur-unsur mengenai
pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dipidana dari segala tuntutan
hukum.
Dalam buku Hukum Pidana edisi I Karya Sudarto, disebutkan ada dua
golongan yang memandang mengenai pemidanaan yakni pandangan monistis dan
dualistis. Bagi golongan yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan
tindak pidana sudah dapat dipidana, sedang bagi yang berpandangan
dualistis/dualism sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana kerana
masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang
yang berbuat.11
10
Djoko Prakoso, op.cit, hal. 105
11
Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah :12
1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.
2. Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab.
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan.
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan
melawan hukum atau wederrechtelijkheid sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut
tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal ini harus
dilepas dari segala tuntutan (onslag van recht-vervolging). Menurut Vos, perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang tidak
diperbolehkan.13
Batasan mengenai perbuatan pidana yang dianggap tidak mampu
bertanggung jawab menurut KUHP adalah :
“ Kurang sempurnanya akan atau adanya sakit yang berubah akalnya” (pasal 44
ayat (1) KUHP).
Dengan dasar adanya ketentuan KUHP diatas, maka pembuat perbuatan
pidana tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan
perbuatan pidana.
Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan merupakan bagian dari
unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam
pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidananya jika tidak ada kesalahan.
12
Ibid, hal. 164
13
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan
perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakatnya dapat tercela karenanya, yaitu
kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk
mengetahui makna yang tidak baik dari perbuatan tersebut, dan karenanya dapat
bahkan harus menghindari perbuatan yang sedemikian itu.
Bentuk perbuatan manusia yang dianggap mempunyai kesalahan
mengandung dua sifat dalam melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan
(dolus) dan kealpaan (culpa). Menurut Willems dan Werens, yang dimaksud
perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki
dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Sedangkan bentuk dari kesengajaan
menurut teori ini terdiri dari tiga corak yaitu:14
(a) Kesengajaan sebagai maksud ( Dolus Derictus) (b) Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan
(c) Kesengajaan sebagai kemungkinan ( Dolus Eventualis)
Pertanggungjawaban pidana seorang yang melakukan perbuatan pidana
dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alas an pemaaf. Yang dimaksud alas an
pemaaf menurut teori hukum adalah alas an yang menghapuskan kesalahan. Kalau
ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih
ada perbuatan pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana (tidak dapat
dipertanggungjawabkan).15
14
Ibid. hal. 165
Dampak yang terjadi dengan adanya alasan pemaaf
yang terjadi pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilakukan oleh orang tersebut tetaplah merupakan perbuatan yang melawan
15
hukum, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada
kesalahan.
Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan
tidak dipidananya seseorang adalah:16
(a) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
dalam orang itu (inwendig), misalnya hilangnya akal, dll.
(b) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
diluar orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan, dll.
Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada
ketentuan KUHP adalah sebagai berikut:
(a) Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu.
(b) Pasal 48 mengenai daya memaksa.
(c) Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa.
(d) Pasal 51 ayat (2) mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.
Jika seseorang melakukan tindak pidana namun memenuhi ketentuan diatas, maka
harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dimintai
pertanggungjawaban pidana meskipun perbuatan tersebut merupakam perbuatan
atau tindak pidana.
Berdasarkan hukum pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana pada diri
seseorang pelaku tindak pidana, harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai
berikut:17
16
Ibid.
17
1. Ada suatu tindakan (commission atau omission) oleh si pelaku.
2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang.
3. Dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta 4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana negara-negara
yang menganut “common law system” pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan
yang fundamental dengan “civil law system”. Hukum pidana Inggris
mensyaratkan bahwa pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab-sebab yang
meniadakan penghapusan pertanggungjawaban pidana yang bersangkutan atau
“exemptions from liability”.18
Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika:19 a. Ia memperoleh tekanan (physic atau psikologis) sedemikian rupa sehingga
mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi
kebebasan pribadinya, seperti: gila atau daya paksa atau
b. Pelaku termasuk golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan
khusus, seperti: diplomat asing atau anak di bawah umur.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang,
ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.
18
Ibid hal. 71
19
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena
itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggung
jawaban harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya
unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu
dan biaya, maka dalam praktek dipakai faksi yaitu bahwa setiap orang dianggap
mampu bertanggungjawaban kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain.
Maka dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian
pertanggung jawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko
dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.
2. Narkoba dan penggolongannya
2.1Pengertian Narkoba, Pengguna dan Pengedar
Pada hakikatnya, Narkoba adalah bahan zat baik secara alamiah maupun
sintetis yaitu narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya jika masuk kedalam
tubuh manusia tidak melalui aturan kesehatan berpengaruh terhadap otak pada
susunan pusat dan bila disalahgunakan bertentangan ketentuan hukum. Narkoba
pertama kali dibuat oleh orang Inggris dan kemudian disebarluaskan ke daerah
daratan Asia mulai dari China, Hongkong, Jepang sampai ke Indonesia. Pelaku
penyalahgunaan narkoba terbagi atas dua kategori yaitu pelaku sebagai
“pengedar” dan/atau “pemakai”, sedangkan peraturan substansial untuk
menanggulangi kasus penyalahgunaan narkotika adalah UU Nomor 35 Tahun
peraturan lainnya. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 diatur bahwa Narkotika di
satu sisi merupakan obat atau bahan bermanfaat dibidang pengobatan atau
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi disisi lain
dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
serta saksama.20
Pada UU Narkotika dan UU Psikotropika secara eksplisit tidak dijelaskan
pengertian “pengedar Narkotika/Psikotropika”. Secara implisit dan sempit dapat
dikatakan bahwa, “Pengedar Narkotika/Psikotropika” adalah orang yang melakukan
kegiatan penyaluran dan penyerahan Narkotika/Psikotropika. Akan tetapi, secara luas
pengertian “pengedar” tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada dimensi
penjual, pembeli untuk diedarkan, mengangkut, menyimpan, menguasai,
menyediakan, melakukan perbuatan mengekspor dan mengimpor
“Narkotika/Psikotropika”. Dalam ketentuan UU Narkotika maka “pengedar” diatur
dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124,
125 dan dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a, c, Pasal 60
ayat (1) huruf b, c, ayat (2), (3), (4), (5), Pasal 61 dan Pasal 63 ayat (1) huruf a UU
Psikotropika. Begitu pula halnya terhadap “pengguna Narkotika/Psikotropika”.
Hakikatnya “pengguna” adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang
berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
20
dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU Narkotika/Psikotropika.
Dalam ketentuan UU Narkotika maka “pengguna” diatur dalam Pasal 116, 121, 126,
127, 128, 134, dan dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36, 37, 38, 39, 40, 41,
59 ayat (1) huruf a, b dan Pasal 62 UU Psikotropika.21
2.2 Penggolongan Narkoba
1) Narkotika
Pengertian yang paling umum dari narkotika adalah zat-zat (obat) baik
dari alam atau sintesis maupun semi sintesis yang dapat menimbulkan
ketidaksadaran atau pembiusan. Efek narkotika disamping membius dan
menurunkan kesadaran, adalah mengakibatkan daya khayal/halusinasi (ganja),
seta menimbulkan daya rangsang/stimulant (cocaine). Narkotika tersebut dapat
menimbulkan ketergantungan (depence).22
Narkotika menurut Soedjono Dirdjosisworo adalah sejenis zat yang bila
dipergunakan (dimasukkan dalam tubuh) akan membawa pengaruh terhadap
tubuh si pemakai, pengaruh tersebut berupa menenangkan, merangsang, dan
menimbulkan khayalan-khayalan (halusinasi).23
Pengertian Narkotika dalam Pasal 1 angka 1 dalam Undang-undang No.
35 Tahun 2009 yaitu :
21
Ibid
22
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 35
23
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Penggolongan narkotika dalam penjelasan pasal 6 Undang-undang No.35
Tahun 2009 tentang narkotika adalah, sebagai berikut :
a. Narkotika Golongan I
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah
Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
c. Narkotika Golongan III
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah
Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua macam yaitu
narkotika alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk dalam kategori narkotika
alam adalah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan
cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit
sedangkan narkotika sintetis adalah pengertian narkotika secara luas dan termasuk
didalamnya adalah Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.24
2) Psikotropika
narkotika dan berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Pada
prinsipnya psikotropika bermanfaar dan sangat diperlukan dalam pelayanan
kesehatan, seperti pada pelayanan penderita gangguan jiwa dan saraf, maupun
tujuan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian, penggunaan psikotropika yang
tidak dilakukan oleh dan/atau dibawah pengawasan tenaga yang diberikan
wewenang dapat merugikan kesehatan, dan dapat menimbulkan sindrom
ketergantungan yang merugikan perseorangan, keluarga, masyarakat, generasi
sekarang dan generasi yang akan datang serta merusak nilai-nilai budaya
bangsa.25
24
Op.cit hal. 34
25
ketergantungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Psikotropika digolongkan menjadi:26
• Golongan I, psikotropika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta memiliki potensi kuat
mengakibatkan sindrom ketergantungan.
• Golongan II, psikotropika yang berkhasiat sebagai obat dan dapat
digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki
potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.
• Golongan III, psikotropika yang berkhasiat sebagai obat dan banyak
digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki
potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan.
• Golongan IV, psikotropika yang berkhasiat sebagai obat dan sangat luas
digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki
potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Zat adiktif hampir
semuanya termasuk ke dalam psikotropika, tetapi tidak semua
psikotropika menimbulkan ketergantungan.
Berikut ini termasuk ke dalam golonga
Acid Diethylamide) dan amfetamin. Penyalahgunaan kedua golongan
psikotropika ini sudah meluas di dunia.27
26
Penjelasan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Psikotropika
27
a. LSD (Lysergic Acid Diethylamide)
LSD merupakan zat psikotropika yang dapat menimbulkan halusinasi
(persepsi semu mengenai sesuatu benda yang sebenarnya tidak ada). Zat ini
dipakai untuk membantu pengobatan bagi orang-orang yang mengalami gangguan
jiwa atau sakit ingatan.
semula tegang menjadi rileks. Penyalahgunaan zat ini biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang menderita frustasi dan ketegangan jiwa.
b. Amfetamin
Kita seringkali mendengar pemberitaan di media massa mengenai
penjualan barang-barang terlarang, seperti ekstasi dan shabu. Ekstasi dan shabu
adalah hasil sintesis dari
seperti ekstasi dan shabu tidak diperoleh dari tanaman melainkan hasil sintesis.
Pemakaian zat-zat tersebut akan menimbulkan gejalagejala berikut: siaga, percaya
diri, euphoria (perasaan gembira berlebihan), banyak bicara, tidak mudah lelah,
tidak nafsu makan, berdebar-debar, tekanan darah menurun dan napas cepat. Jika
overdosis akan menimbulkan gejala-gejala: jantung berdebar-debar, panik,
mengamuk, paranoid (curiga berlebihan), tekanan darah naik, pendarahan otak,
suhu tubuh tinggi, kejang, kerusakan pada ujung-ujung saraf dan dapat
mengakibatkan kematian. Jika sudah kecanduan, kemudian dihentikan akan
menimbulkan gejala putus obat sebagai berikut: lesu, apatis, tidur berlebihan,
3. Pengertian Kepolisian, Fungsi dan Tugas Pokok POLRI
3.1 Pengertian Polisi
Istilah Polisi sepanjang sejarah ternyata mempunyai arti yang
berbeda-beda. Pengertian polisi yang sekarang misalnya adalah berbeda dengan pengertian
polisi pada awal ditemukannya istilah itu sendiri. Ada pun pengertian polisi
diantaranya:28
a. Pertama kali ditemukannya polisi dari perkataan Yunani “politea” yang
berarti seluruh pemerintahan negara kota. Pada masa itu yaitu abad
sebelum masehi negara yunani terdiri dari kota-kota tidak saja menyangkut
mengenai pemerintahan negara kota saja, tapi juga termasuk urusan-urusan
keagamaan. Baru setelah timbul agama Nasrani, maka pengertian polisi
sebagai pemerintahan negara kota dikurangi urusan agama.
b. Di negara Belanda pada zaman dahulu istilah polisi dikenal melalui
konsep Catur Praja dan van Hollenhoven yang membagi
pemerintahanmenjadi 4 (empat) bagian, yaitu bestuur, politie, rechtspraack dan regeling.
c. Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of History mengemukakan
pengertian polisi dalam bahasa inggris: “Police Indonesia the English Language came mean of planning for improving ordering communal
existence”, yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan susunan kehidupan masyarakat. Pengertian ini berpangkal
28
dari pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang berkelompok,
membuat aturan-aturan yang disepakati bersama. Ternyata didalam
kelompok itu terdapat anggota yang tidak mau mematuhi aturan bersama
sehingga timbul masalah siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan
menertibkan kembali anggota kelompok yang telah melanggar. Dari
pemikiran ini kemudian diperlukan polisi baik orangnya maupun tugasnya
untuk memperbaiki dan menertibkan tata susunan kehidupan masyarakat
tersebut.
d. Di dalam Encyclopediaand Social Scince di kemukakan bahwa pengertian
polisi meliputi bidang fungsi, tugas yang luas yang digunakan untuk
menjelaskan berbagai aspek daripada pengawasan keseharian umum.
Kemudian dalam arti yang sangat khusus dipakai dalam hubungannya
dengan penindasan pelanggaran-pelanggaran politik, yang selanjutnya
meliputi semua bentuk kepentingan dari ketertiban umum. Dengan kata
lain polisi diberikan pengertian sebagai hal-hal yang berhubungan dengan
pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta
bendanya dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum.
e. Dalam kamus bahasa Indonesia W.J.S. Poerwodarmita dikemukakan
bahwa istilah polisi menduduki pengertian:
1. Badan pemerintah sekelompok pegawai negeri yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban umum.
2. Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban
f. Analog dalam penerbitan diatas untuk jelasnya dapat disimak pengertian
yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 2 tahun 2002 pada Pasal (5) yang menyatakan bahwa:
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Kemudian dalam Pasal 13, Kepolisian Negara mempunyai tugas:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2. Menegakkan hukum; dan
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Dari pengertian-pengertian polisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
istilah polisi mengandung 4 (empat) pengertian, yaitu:
1. Sebagai tugas
2. Sebagai organ
3. Sebagai petugas
4. Sebagai ilmu pengetahuan kepolisian
Polisi sebagai tugas di artikan sebagai pemeliharaan keamanan dan
bertugas dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Sebagai petugas dalam
arti orang yang dibebani tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
itu, sedangkan sebagai ilmu pengetahuan kepolisian berarti ilmu yang
mempelajari segala hal ikhwal kepolisian.
3.2 Fungsi POLRI
Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai fungsi melaksanakan
salah satu tugas fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penertiban hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.
Memperhatikan fungsi kepolisian tersebut diatas jelas bahwa tugas
kepolisian tersebut hanya sampai pada keamanan dan ketertiban masyarakat
dalam arti seluas-luasnya. Kepolisian mempunyai dua fungsi utama, menurut C.H
Niew Huis untuk melaksanakan tugas pokok polisi itu mempunyai dua fungsi
utama yaitu:29
1. Fungsi Preventif untuk pencegahan, yang berarti bahwa polisi itu
berkewajiban melindungi negara serta lembaga-lembaganya, ketertiban
dan ketaatan umum, orang-orang dan harta bendanya, dengan jalan
mencegah dilakukannya perbuatan-perbuatan pada hakikatnya dapat
mengancam dan membahayakan ketertiban dan ketenteraman umum.
29
2. Fungsi Represif atau pengendalian, yang berarti bahwa polisi itu
berkewajiban menyidik perkara-perkara tindak pidana dan menangkap
pelaku-pelakunya dan kepada penyidik (yustisi) untuk penghukuman.
Sehubungan dengan kedua fungsi tersebut, maka dalam organisasi
kepolisian dibagi dua macam kepolisian dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing yaitu:
a. Polisi Administratif
Polisi keamanan yang disebut juga dengan “Service Publik”, polisi tertib,
polisi berseragam. Tugas polisi ini pada umumnya memberikan pelayanan umum,
bantuan atau penolongan kepada masyarakat, menegakkan hukum yang bersifat
mengatur baik dari pusat maupun daerah dan menjaga ketertiban. Mengingat
tugasnya yang sangat luas maka tindakannya tidak selalu berdasar wetdelijk, tetapi cukup dengan rectdelijk. Sedangkan orientasinya adalah pelayanan dan
kesetaraan, oleh karena itu pengawasannya ada pada pejabat-pejabat pemerintah
baik dari pusat maupun daerah.
b. Polisi Peradilan atau Reserse
Tugas umumnya menegakkan hukum pidana, mencari pelaku,
mengumpulkan bukti-bukti dan nantinya diproses di pengadilan. Oleh karena
tugasnya itu, polisi ini disebut “La Politie Judiciaire”. Mengingat tugasnya bersifat represif yang dilakukan secara rahasia dengan menggunakan
tidak beruniform. Karena dalam tugasnya selalu menggunakan pakaian preman, di
Indonesia polisi ini disebut dengan reserse (reserse kriminal, reserse narkotika).
Polisi peradilan berbeda tugasnya dengan polisi administratif. Polisi
yudicial ini tindakannya selalu berdasarkan undang-undang (ketentuan-ketentuan
hukum pidana dan kitab undang-undang hukum acara pidana). Polisi ini ditujukan
untuk menegakkan hukum pidana. Namun demikian polisi mempunyai satu tujuan
yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dimaksud dengan keamanan dan ketertiban masyarakat telah diatur jelas
dalam pasal 1 angka 5 UU Nomor tahun 2002 adalah suatu kondisi dinamis
masyarakat sebagai salah satu syarat terselenggaranya proses pembangunan
nasional dalam rangka mencapai tujuan nasional yang ditandai oleh terjaganya
keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman yang
mengandung kemampuan membina dan mengembangkan potensi dan kekuatan
masyarakat dalam menyangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk
pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk pelanggaran lainnya yang dapat
meresahkan masyarakat.
3.3Tugas Pokok POLRI
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia mempunyai fungsi melaksanakan salah satu fungsi pemerintahan negara
dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
Agar supaya fungsi kepolisian itu dapat terwujud maka polisi harus
dilengkapi dengan tugas dan wewenang. Dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun
2002 diatur mengenai tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas
kepolisian adalah:30
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan hukum
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.
4. Pengaturan Tindak Pidana yang dilakukan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tahun 2002 mengalami suatu
perubahan yang mendasar dalam kelembagaan Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Perubahan tersebut membawa konsekuensi, khususnya mengenai
pertanggungjawaban anggota Kepolisian Republik Indonesia yang melakukan
tindak pidana, bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
melakukan tindak pidana setelah Peraturan Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003
dinyatakan berlaku, maka anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana
mulai dari tingkat penyidikan maupun penyelidikan diberlakukan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dilingkungan peradilan umum.
30
Untuk menjaga keteraturan pelaksanaan, maka pemerintah mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana yang
dilakukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tujuan pemerintah
mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut agar ada kepastian hukum,
hal ini senada dengan bahwa sebenarnya hukum itu dituntut untuk memenuhi
berbagai karya, tidak saja hanya kepastian hukum, tetapi juga keadilan dan
kegunaan dan oleh Radbruch ketiga-tiganya disebut sebagai mulai dasar dari
hukum.31
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak
pidana yang dilakukan anggota Kepolisian Republik Indonesia, yaitu :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, Pasal
28 D ayat (1), yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum.
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor : VI / MPR / 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional
Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
31
5) Peraturan Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan
Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
5. Proses Peradilan terhadap anggota kepolisian yang melakukan Tindak Pidana.
Proses peradilan terhadap anggota kepolisian Negara Republik Indonesia
yang melakukan tindak pidana berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 3
Tahun 2003 tunduk pada kekuasaan peradilan umum, mulai dari tingkat
penyidikan maupun pemeriksaan di Pengadilan.
Sesuai ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003,
bahwa proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia secara umum dilakukan menurut hukum acara yang berlaku
dilingkungan Peradilan umum. Proses penanganannya dilakukan menurut hukum
acara pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak
pidana dapat dikenakan penahanan. Hal ini sesuai dengan Pasal 8 Peraturan
1) Bagi tersangka anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, tempat
penahanan dapat dipisahkan dari ruang tahanan tersangka lainnya.
2) Bagi terdakwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tempat
penahanan dapat dipisahkan dari ruangan terdakwa lainnya.
Sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003,
yaitu :
1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijadikan tersangka /
terdakwa dapat diberhentikan sementara dari jabatan dinas Kepolisian
Negara Republik Indonesia, sejak dilakukan proses penyidikan sampai
adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
2) Pemberhentian sementara dari jabatan dinas Kepolisian Negara Republik
Indonesia untu kepentingan penyidikan dapat dilakukan secara langsung.
3) Ketentuan tentang tata cara pelaksanaan pemberhentian sementara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur Keputusan Kapolri.
Dalam hal penyidikan terhadap terdakwa anggota Kepolisian Republik
Indonesia dinyatakan cukup maka berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri
untuk dilakukan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum seperti yang diatur dalam
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 yaitu “Penuntutan terdakwa
dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Pembinaan narapidana anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dilaksanan di lembaga Permasyarakatan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku seperti yang tercantum pada Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2003.
Dapat dijelaskan bahwa mulai dari penyidikan anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia apabila disangka melakukan tindak pidana dilakukan oleh
pejabat penyidik yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya tingkat
penuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang mendasarkan pada
Hukum Acara Pidana yang berlaku di Peradilan Umum. Apabila jaksa penuntut
umum telah menerima perlimpahan berkas dari penyidik Kepolisian dan tidak ada
perubahan dan dinyatakan secara lengkap, maka jaksa akan melimpahkan ke
Pengadilan Negeri untuk dilakukan penuntutan. Hal ini sesuai dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan pemerintah
Nomor 3 Tahun 2003.
F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan
Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode
pendekatan Yuridis Normatif yaitu penelitian dan pembahasan yang didasarkan
pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu
dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas dalam skripsi ini.
2. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini alasan memilih dan menentukan lokasi penelitian
merupakan yang sifatnya ilmiah, dalam hal ini penulis memilih lokasi penelitian
di KAPOLDA SUMUT Direktorat Reserse Narkoba yang beralamat di JL. SM.
Raja KM. 10,5 No. 60 Medan.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan diambil didalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari informan yang berhubungan
dengan permasalahan yang dikaji tentang penanganan bagi Polri yang
menyalahgunakan narkoba. Informan tersebut adalah Bapak Kompol J. Silaban
Kasubag Minopsnal di Reserse Narkoba Polda Sumut.
b. Data Sekunder
Data kepustakaan yang mendukung data primer yang merupakan pedoman
dalam melanjutkan penelitian terhadap data primer yang ada dilapangan. Data
sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan melakukan pengumpulan
data dari berbagai sumber dan literatur yang berkaitan dengan narkoba.
4. Teknik Pengumpulan Data
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.32
b. Untuk data sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka.
Wawancara yang
dilakukan sebagai upaya mendapatkan data yang lebih lengkap dengan cara
mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lisan yang berhubungan dengan
permasalahan. Jenis wawancara yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan
data adalah dengan cara wawancara bebas terpimpin yaitu dengan mempersiapkan
terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dan masih dimungkinkan
didalamnya ada variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika
wawancara.
Studi pustaka adalah mencari data tersedia yang pernah ditulis peneliti
sebelumnya dimana ada hubungan dengan masalah yang akan dipecahkan dan
informasi lain yang bersifat umum.33
5. Analisis Data
Studi pustaka ini dilakukan dengan
mengumpulkan data melalui penelusuran bahan pustaka yang dipelajari dan
dikutip dari data sumber yang ada, berupa catatan literatur yang berhubungan
dengan narkoba.
Teknik analisa data ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis
dengan memperlihatkan kualitas dari data yang diperoleh. Penulis melakukan
analisis dari semua data yang dianggap relevan diperoleh dilapangan, dan
kemudian data tersebut dipaparkan sesuai dengan realitanya. Kemudian
32
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 95
33
berdasarkan data yang diperoleh akan dilakukan analisis untuk membuat suatu
kesimpulan dan dapat memberikan suatu pemecahan dari masalah yang dikaji.
G. Sistematika Penulisan
Sistem penulisan skripsi ini oleh penulis dimaksudkan untuk memberi
perincian secara garis besar isi dari skripsi ini. Dalam penyusunannya skripsi ini
akan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan susunan sebagai berikut :
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan
penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Dalam bab ini akan diuraikan tentang hal-hal apa yang menjadi penanggulangan pemakaian dan pengedaran narkoba yang dilakukan oleh
oknum Polri seperti faktor-faktor penyebab oknum POLRI menjadi pengguna
dan pengedar narkoba, modus operandi yang dilakukan dalam
menyalahgunakan narkoba serta upaya penanggulangan dan hal-hal yang
menjadi kendala dalam penanggulangan tersebut
BAB III : Bab ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana oleh oknum POLRI yang menyalahgunakan narkoba. Dalam bab ini dijelaskan
pula pemberian sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi administratif
terhadap oknum POLRI yang terbukti melakukan pelanggaran seperti
menggunakan atau mengedarkan narkoba.
BAB II
PENANGGULANGAN KEJAHATAN ATAU TINDAK PIDANA NARKOBA YANG DILAKUKAN OKNUM POLRI
A. Faktor-faktor yang menjadi penyebab oknum POLRI menyalahgunakan Narkoba.
Masalah penyalahgunaan tindak pidana narkoba, terutama yang dilakukan
oleh anggota kepolisian bukan semata-mata polisi sebagai penegak hukum, dia
tetap melanggar hukum karena masalah narkoba bisa menjerat ke siapapun. Sebab
narkoba tidak melihat jabatan baik polisi, anggota DPR, Pegawai Negeri Sipil dan
lain-lain.34
34
Hasil wawancara dengan Kompol J. Silaban Kasubag Minopsional di Reserse Narkoba Polda SUMUT
Siapapun bisa terlibat narkoba, namun keprihatinan besar selalu saja
muncul setiap kali terungkap ada kasus narkoba yang menjerat aparat penegak
hukum baik itu Polisi, Jaksa ataupun Hakim karena mereka merupakan gerbang
Tidak adanya suatu pendirian yang tetap dalam suatu kepribadian akan
menyebabkan seseorang mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif khususnya
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Sebab pada pribadi yang semacam
ini, biasanya tidak dapat membedakan hal-hal yang positif dan negatif. Krisis
kejiwaan juga memegang peranan yang penting, hal ini biasanya terjadi pada
orang-orang yang kurang kreatif, pemalas, senang ikut-ikutan, senang iseng.
Keadaan seperti ini akan menimbulkan perbuatan yang negatif, sebab orang-orang
semacam ini tidak dapat memanfaatkan waktu yang terluang dengan kegiatan
positif.35
Penyalahgunaan Narkoba oleh polisi menghadirkan suatu dimensi yang
benar-benar berbeda. Contohnya, petugas mungkin melakukan kejahatan melalui
kepemilikan narkoba. Belum lagi potensi bahaya bagi keselamatan penduduk jika
seorang petugas berada dibawah pengaruh obat terlarang ketika melakukan tugas.
Rachman Hermawan S, berpendapat bahwa terjadinya penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika dipengaruhi oleh beberapa faktor dimana salah satunya
adalah faktor dari dalam diri pecandu narkotika dan psikotropika. Dimana hal ini
meliputi faktor kecerdasan, usia, jenis kelamin serta masalah-masalah yang
dihadapi.36
Penggunaan narkoba bagi orang awam atau orang yang kurang mengerti,
tentu saja dapat dipahami. Tetapi bagi seseorang yang mengkonsumsi narkoba,
35
B. Bosu, Sendi-sendi kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hal.68
36
yang sebelumnya sudah mengetahui akibat-akibatnya adalah di luar nalar kita.
Lalu apakah yang mendorong mereka untuk mengkonsumsi? Menurut GRAHAM BLAINE seorang psikiater (M. RIDHA MA’ROEF, 1976 : 63) sebab-sebab penyalahgunaan narkotika adalah :37
1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang
berbahaya, dan mempunyai resiko, misalnya ngebut, berkelahi atau
bergaul dengan wanita;
2. Untuk menantang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau
instansi yang berwenang;
3. Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual;
4. Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh
pengalaman-pengalaman emosional;
5. Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup;