• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkoba Oleh Oknum Polri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkoba Oleh Oknum Polri"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyalahgunaan narkoba telah lama menjadi masalah yang serius di berbagai negara, baik negara-negara yang sudah maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang tidak terkecuali di Indonesia. Kita ketahui bahwa masalah narkoba dewasa ini merupakan masalah yang sangat menarik perhatian dari banyak kalangan baik kalangan masyarakat maupun pemerintah. Hal ini disebabkan karena narkoba merupakan benda yang dapat merusak bagi para pemakai bila digunakan tidak dengan ketentuan-ketentuan medis. Narkoba juga memberikan keuntungan yang sangat besar bagi pengedarnya sehingga kejahatan ini lebih sering dilakukan.

(2)

bersedia menceritakan keadaan anggota keluarganya dari penderitaan dalam kecanduan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya itu.1

Kejahatan narkoba, khususnya di Indonesia sudah semakin mengerikan dan dahsyat. Meskipun ada peraturan yang sudah mengatur tentang kejahatan tersebut yang menghukum dengan hukuman mati, tetapi kejahatan tersebut tetap juga dilakukan dan berlangsung secara terus menerus.

Jika hal tindak pidana tersebut telah terjadi, maka hal tersebut harus ditindak lanjuti karena telah melanggar hukum ataupun norma. Adapun yang menindak lanjuti tindak pidana tersebut adalah aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga permasyarakatan. Tugas polisi dalam bidang peradilan adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Untuk mencapai kerja yang positif baik jaksa, hakim maupun polisi perlu lebih dahulu memiliki kesadaran dan mental tangguh yang tidak akan tergoyahkan oleh pengaruh yang dapat merusak kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Kepolisian sebagai aparat penyidik dalam melakukan penyelidikan perlu bekerja keras mengumpulkan bukti-bukti yang cukup yang akan disempurnakan oleh jaksa penuntut umum pada saat perkara diperiksa di pengadilan. Tetapi hal tersebut hanyalah merupakan langkah teoritis, dalam kenyataannya maksud tersebut tidak tercapai. Hal tersebut disebabkan pada kerapuhan mental yang dihinggapi oleh aparat penegak hukum yang bersangkutan. Bukan rahasia lagi, aparat penegak hukum dalam hal ini polisi dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus kejahatan penyalahgunaan obat-obatan terlarang sering

1

(3)

bertindak diluar prosedur hukum yang berlaku dan bersikap tidak adil, artinya dalam penegakan tersebut sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan jabatannya sebagai penegak hukum. Hal tersebut bukan hanya rapuhnya mental dari para penegak hukum yang harus kita perhatikan tetapi juga rendahnya profesionalisme aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.

Polisi sebagai pelaksana dan penegak hukum mempunyai tugas memelihara keamanan dalam negara Republik Indonesia serta diberikan kewenangan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana. Keberadaan polisi sebagai ujung tombak dalam posisi awal pelaksanaa sistem peradilan wajib melakukan tugas dan wewenang sebagai penegak hukum. Namun ada beberapa oknum polisi yang bahkan menyalahgunakan wewenangnya dengan ikut menggunakan dan mengedarkan obat-obatan terlarang atau narkoba. Hal tersebut tentu saja dapat menyebabkan hilangnya rasa percaya masyarakat kepada polisi untuk memberikan jaminan kepastian hukum atau memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat.

(4)

Dapat kita lihat dari sebuah kasus yang terjadi sekitar satu tahun terakhir ini, bahwa masih saja terdapat kasus oknum Polri yang menggunakan bahkan ikut serta dalam mengedarkan narkoba seperti kasus yang terjadi pada tanggal 15 maret 2012, sejumlah polisi dan jaksa ditangkap karena kedapatan memakai narkobabahkan ikut mengedarkannya.

Sebanyak 227 orang anggota Polri terlibat 102 kasus narkotika pada tahun 2011 dan 32 orang diantaranya adalah Perwira. 32 orang Perwira tersebut terdiri dari 14 orang Pamen dan 18 orang Perwira Pertama. Sementara untuk pangkat Bintara sebanyak 192 orang dan 3 orang dari PNS. Semuanya telah diproses secara disiplin dan pidana. Sementara untuk angka anggota Polri yang terlibat dalam narkotika di tahun 2012, periode bulan Januari sampai dengan Maret, terdapat 45 kasus yang melibatkan 1 orang Pamen dan 39 Bintara. Ini baru yang ketahuan.2

Lemahnya pengawasan oleh institusi penegak hukum menjadi salah satu penyebab adanya oknum polisi yang menyalahgunakan narkoba. Sehingga timbul sikap pesimistis terhadap keberhasilan pihak kepolisian untuk memberantas peredaran dan penyalahgunaan barang haram tersebut. Dengan demikian memunculkan pendapat di kalangan anggota masyarakat yang tidak sedikit yang menghendaki agar anggota polisi yang terlibat atas pelanggaran yang dikakukan dapat dihukum berat, bukan hanya diberikan sanksi melanggar disiplin atau sekedar peringatan saja.

2

(5)

Dengan demikian, akan terwujud tujuan dari pemberian sanksi pidana yaitu memberikan efek jera kepada siapa saja yang telah melanggar peraturan dengan tidak memandang jabatan orang yang melakukan tindak pidana tersebut sehingga keadilan dapat ditegakkan dan terwujud pula pertanggungjawaban pidana oleh oknum polisi tersebut. Apalagi yang melakukan tindak pidana adalah salah satu dari aparat penegak hukum. Tentu saja yang diinginkan adalah pemberian sanksi dan pertanggungjawaban baik pidana maupun pemberian sanksi dari instansi yang bersangkutan yang diberikan seberat-beratnya sehingga hal ini dapat memberikan peringatan kepada aparat penegak hukum yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

Dengan demikian, Penulis memilih judul ini karena polisi merupakan aparat penegak hukum yang pertama langsung menangani suatu perkara pidana sebelum ke kejaksaan ataupun ke pengadilan, dimana dalam menjalankan tugas dan wewenangnya itu polisi telah disorot apakah telah melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang.

Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mencoba menguraikan masalah tindak pidana menggunakan dan mnegedarkan narkoba, khususnya yang dilakukan oknum polri dengan judul skripsi “PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA PENGGUNA DAN PENGEDAR NARKOBA YANG

(6)

B. PERMASALAHAN

Dengan adanya penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh polisi seperti yang telah disebutkan pada latar belakang, muncul beberapa pertanyaan yang dijadikan sebagai perumusan masalah yaitu :

1. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan atau tindak pidana narkoba yang dilakukan oleh oknum Polri?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana oleh oknum Polri yang menggunakan dan mengedarkan narkoba?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh Polri.

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana oleh oknum Polri yang menyakahgunakan narkoba serta sanksi yang diberikan baik sanksi pidana maupun sanksi administrative dari instansi yang bersangkutan.

2. Manfaat Penulisan

(7)

a. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap anggota polri yang menyalahgunakan narkoba. Selain itu juga untuk memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai sanksi yang diberikan kepada oknum polri tersebut.

b. Manfaat Praktis

(1) Bagi Penulis : Penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan dilapangan, serta menambah wacana Ilmu Hukum Pidana tentang penanganan atau pertanggungungjawaban pidana terhadap anggota polri yang menyalahgunakan narkoba.

(2) Bagi Kepolisian : Khususnya bagi Kepolisian Daerah Sumatera Utara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam hal penanganan terhadap anggota Kepolisian yang menyalahgunakan narkoba sehingga dapat lebih meningkatkan profesionalisme para anggotanya. (3) Bagi Masyarakat : Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan

(8)

D. Keaslian Penulisan

Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, belum ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang akan diangkat yaitu tentang “Pertanggungjawaban pidana pengguna dan pengedar narkoba yang dilakukan oleh oknum Polri”. Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiri tanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana 1.1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, demikian juga pada WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.3

3

(9)

Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam bernagai literature hukum sebagai terjemahan dari istilah

starfbaar feit adalah sebagai berikut:4

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam

perundang-undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, (diganti dengan UU No.19/2002), UU No.11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. (lihat buku Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia).

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R.

Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, Mr. Drs. H.J. van Schravendijk dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin, S.H. dalam buku beliau Hukum Pidana. Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (baca Pasal 14 ayat 1).

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan

untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit.

4

(10)

Istilah ini dapat dijumpai dalam beberapa literature, misalnya Prof. Drs. E. Utrecht, S.H., walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum Pidana I. Prof. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku beliau Delik-Delik

Percobaan Delik-Delik Penyertaan walaupun menurut beliau lebih tepat

dengan istilah perbuatan pidana.

4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum

Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni

dalam buku beliau Ringkasan tentang Hukum Pidana. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana

Indonesia.

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk

Undang-Undang dalam Undang-Undang-Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (baca Pasal 3).

7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai

tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum Pidana.

(11)

Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa didalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana

(strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “starfbaar feit” tidak

dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (stafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana.5

Simons merumuskan tindak pidana “sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah disengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.6

Dapat disimpulkan bahwa Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dimana apabila peraturan tersebut dilanggar, maka ada ancaman hukuman bagi mereka yang melanggar. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan yang ditetapkan oleh suatu peraturan perundang-undangan, apakah si pelanggar aturan telah melakukan tindak pidana sehingga harus dijatuhi hukuman berupa sanksi atau tidak. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya si pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan.

5

Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2010, hal.75

6

(12)

1.2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang yang melakukan suatu perbuatan kemudian dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan kepadanya, tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan tersebut dia mempunyai kesalahan atau tidak. Kesalahan (schuld) pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana.

Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap bathin yang dapat dicela, ternyata pula dalam azas hukum yang tidak tertulis : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. (Geen straf zonder

schuld, ohne Schuld keine Strafe).7

Dapat pula dikatakan : Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi hukuman kalau tidak melakukan perbuatan pidana, ia tidak selalu dapat dipidana. Tetapi meskipun ia melakukan perbuatan pidana ia tidak selalu dapat dipidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Kapankah orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan. Hal inilah yang dibicarakan dalam masalah pertanggungjawaban pidana ini.8

Di bawah ini beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang kesalahan (schuld) yang pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana.9

7

Djoko Prakoso, Hukum Penitensier Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1988 hal. 98

8Ibid 9

(13)

a. Metzger:

Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana.

b. Simons:

Kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan adannya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Berdasarkan pendapat ini dapat disimpulkan adanya dua hal disamping melakukan tindak pidana, yaitu:

1. keadaan psikis tertentu;

2. hubungan tertentu antara keadaan psikis dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan.

c. Van Hamel:

Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis, berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.

(14)

menjatuhkan hukuman dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Pertanggungjawaban itu adalah pertanggungjawaban pidana. 10

Selain pengertian dari kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, perlu juga diketahui mengenai unsur-unsur dari kesalahan. Dimana dari unsur-unsur tersebut dapat diketahui pula apakah suatu perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum atau tidak. Apabila perbuatan tersebut tidak melawan hukum, maka tidak perlu menetapkan kesalahan kepada si pembuat atau sebaliknya apabila perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, maka perbuatan tersebut dapat dijatuhkan pidana.

Orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dipidana jika memenuhi semua unsur yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana. Sedangkan jika orang tersebut tidak memenuhi salah satu unsur-unsur mengenai pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dipidana dari segala tuntutan hukum.

Dalam buku Hukum Pidana edisi I Karya Sudarto, disebutkan ada dua golongan yang memandang mengenai pemidanaan yakni pandangan monistis dan dualistis. Bagi golongan yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedang bagi yang berpandangan dualistis/dualism sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana kerana masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.11

10

Djoko Prakoso, op.cit, hal. 105

11

(15)

Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah :12

1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana. 2. Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan.

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum atau wederrechtelijkheid sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal ini harus dilepas dari segala tuntutan (onslag van recht-vervolging). Menurut Vos, perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan.13

Batasan mengenai perbuatan pidana yang dianggap tidak mampu bertanggung jawab menurut KUHP adalah :

“ Kurang sempurnanya akan atau adanya sakit yang berubah akalnya” (pasal 44 ayat (1) KUHP).

Dengan dasar adanya ketentuan KUHP diatas, maka pembuat perbuatan pidana tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana.

Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidananya jika tidak ada kesalahan.

12Ibid

, hal. 164

13

(16)

Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakatnya dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna yang tidak baik dari perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan yang sedemikian itu.

Bentuk perbuatan manusia yang dianggap mempunyai kesalahan mengandung dua sifat dalam melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Menurut Willems dan Werens, yang dimaksud perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Sedangkan bentuk dari kesengajaan menurut teori ini terdiri dari tiga corak yaitu:14

(a) Kesengajaan sebagai maksud ( Dolus Derictus) (b) Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan

(c) Kesengajaan sebagai kemungkinan ( Dolus Eventualis)

Pertanggungjawaban pidana seorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alas an pemaaf. Yang dimaksud alas an pemaaf menurut teori hukum adalah alas an yang menghapuskan kesalahan. Kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan).15

14Ibid

. hal. 165

Dampak yang terjadi dengan adanya alasan pemaaf yang terjadi pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut tetaplah merupakan perbuatan yang melawan

15

(17)

hukum, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan.

Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya seseorang adalah:16

(a) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak dalam orang itu (inwendig), misalnya hilangnya akal, dll.

(b) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan, dll.

Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut:

(a) Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu. (b) Pasal 48 mengenai daya memaksa.

(c) Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa.

(d) Pasal 51 ayat (2) mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah. Jika seseorang melakukan tindak pidana namun memenuhi ketentuan diatas, maka harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dimintai pertanggungjawaban pidana meskipun perbuatan tersebut merupakam perbuatan atau tindak pidana.

Berdasarkan hukum pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana pada diri seseorang pelaku tindak pidana, harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut:17

16Ibid

.

17

(18)

1. Ada suatu tindakan (commission atau omission) oleh si pelaku. 2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang. 3. Dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta 4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana negara-negara yang menganut “common law system” pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan yang fundamental dengan “civil law system”. Hukum pidana Inggris mensyaratkan bahwa pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab-sebab yang meniadakan penghapusan pertanggungjawaban pidana yang bersangkutan atau “exemptions from liability”.18

Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika:19 a. Ia memperoleh tekanan (physic atau psikologis) sedemikian rupa sehingga

mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya, seperti: gila atau daya paksa atau

b. Pelaku termasuk golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan khusus, seperti: diplomat asing atau anak di bawah umur.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.

18Ibid

hal. 71

19

(19)

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggung jawaban harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka dalam praktek dipakai faksi yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggungjawaban kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain. Maka dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggung jawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

2. Narkoba dan penggolongannya

2.1Pengertian Narkoba, Pengguna dan Pengedar

(20)

peraturan lainnya. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 diatur bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat serta saksama.20

Pada UU Narkotika dan UU Psikotropika secara eksplisit tidak dijelaskan pengertian “pengedar Narkotika/Psikotropika”. Secara implisit dan sempit dapat dikatakan bahwa, “Pengedar Narkotika/Psikotropika” adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan Narkotika/Psikotropika. Akan tetapi, secara luas pengertian “pengedar” tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada dimensi penjual, pembeli untuk diedarkan, mengangkut, menyimpan, menguasai, menyediakan, melakukan perbuatan mengekspor dan mengimpor “Narkotika/Psikotropika”. Dalam ketentuan UU Narkotika maka “pengedar” diatur dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125 dan dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a, c, Pasal 60 ayat (1) huruf b, c, ayat (2), (3), (4), (5), Pasal 61 dan Pasal 63 ayat (1) huruf a UU Psikotropika. Begitu pula halnya terhadap “pengguna Narkotika/Psikotropika”. Hakikatnya “pengguna” adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan

20

(21)

dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU Narkotika/Psikotropika. Dalam ketentuan UU Narkotika maka “pengguna” diatur dalam Pasal 116, 121, 126, 127, 128, 134, dan dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36, 37, 38, 39, 40, 41, 59 ayat (1) huruf a, b dan Pasal 62 UU Psikotropika.21

2.2 Penggolongan Narkoba

1) Narkotika

Pengertian yang paling umum dari narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari alam atau sintesis maupun semi sintesis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Efek narkotika disamping membius dan menurunkan kesadaran, adalah mengakibatkan daya khayal/halusinasi (ganja), seta menimbulkan daya rangsang/stimulant (cocaine). Narkotika tersebut dapat menimbulkan ketergantungan (depence).22

Narkotika menurut Soedjono Dirdjosisworo adalah sejenis zat yang bila dipergunakan (dimasukkan dalam tubuh) akan membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai, pengaruh tersebut berupa menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan-khayalan (halusinasi).23

Pengertian Narkotika dalam Pasal 1 angka 1 dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 yaitu :

21

Ibid

22

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 35

23

(22)

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Penggolongan narkotika dalam penjelasan pasal 6 Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika adalah, sebagai berikut :

a. Narkotika Golongan I

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b. Narkotika Golongan II

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. c. Narkotika Golongan III

(23)

M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua macam yaitu narkotika alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk dalam kategori narkotika alam adalah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit sedangkan narkotika sintetis adalah pengertian narkotika secara luas dan termasuk didalamnya adalah Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.24

2) Psikotropika

narkotika dan berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Pada prinsipnya psikotropika bermanfaar dan sangat diperlukan dalam pelayanan kesehatan, seperti pada pelayanan penderita gangguan jiwa dan saraf, maupun tujuan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian, penggunaan psikotropika yang tidak dilakukan oleh dan/atau dibawah pengawasan tenaga yang diberikan wewenang dapat merugikan kesehatan, dan dapat menimbulkan sindrom ketergantungan yang merugikan perseorangan, keluarga, masyarakat, generasi sekarang dan generasi yang akan datang serta merusak nilai-nilai budaya bangsa.25

24Op.cit

hal. 34

25

(24)

ketergantungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Psikotropika digolongkan menjadi:26

• Golongan I, psikotropika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta memiliki potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.

• Golongan II, psikotropika yang berkhasiat sebagai obat dan dapat digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.

• Golongan III, psikotropika yang berkhasiat sebagai obat dan banyak digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan.

• Golongan IV, psikotropika yang berkhasiat sebagai obat dan sangat luas digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Zat adiktif hampir semuanya termasuk ke dalam psikotropika, tetapi tidak semua psikotropika menimbulkan ketergantungan.

Berikut ini termasuk ke dalam golonga Acid Diethylamide) dan amfetamin. Penyalahgunaan kedua golongan psikotropika ini sudah meluas di dunia.27

26

Penjelasan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Psikotropika

27

(25)

a. LSD (Lysergic Acid Diethylamide)

LSD merupakan zat psikotropika yang dapat menimbulkan halusinasi (persepsi semu mengenai sesuatu benda yang sebenarnya tidak ada). Zat ini dipakai untuk membantu pengobatan bagi orang-orang yang mengalami gangguan jiwa atau sakit ingatan. semula tegang menjadi rileks. Penyalahgunaan zat ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang menderita frustasi dan ketegangan jiwa.

b. Amfetamin

(26)

3. Pengertian Kepolisian, Fungsi dan Tugas Pokok POLRI

3.1 Pengertian Polisi

Istilah Polisi sepanjang sejarah ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda. Pengertian polisi yang sekarang misalnya adalah berbeda dengan pengertian polisi pada awal ditemukannya istilah itu sendiri. Ada pun pengertian polisi diantaranya:28

a. Pertama kali ditemukannya polisi dari perkataan Yunani “politea” yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Pada masa itu yaitu abad sebelum masehi negara yunani terdiri dari kota-kota tidak saja menyangkut mengenai pemerintahan negara kota saja, tapi juga termasuk urusan-urusan keagamaan. Baru setelah timbul agama Nasrani, maka pengertian polisi sebagai pemerintahan negara kota dikurangi urusan agama.

b. Di negara Belanda pada zaman dahulu istilah polisi dikenal melalui konsep Catur Praja dan van Hollenhoven yang membagi pemerintahanmenjadi 4 (empat) bagian, yaitu bestuur, politie,

rechtspraack dan regeling.

c. Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of History mengemukakan pengertian polisi dalam bahasa inggris: “Police Indonesia the English Language came mean of planning for improving ordering communal

existence”, yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau

menertibkan susunan kehidupan masyarakat. Pengertian ini berpangkal

28

(27)

dari pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang berkelompok, membuat aturan-aturan yang disepakati bersama. Ternyata didalam kelompok itu terdapat anggota yang tidak mau mematuhi aturan bersama sehingga timbul masalah siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan menertibkan kembali anggota kelompok yang telah melanggar. Dari pemikiran ini kemudian diperlukan polisi baik orangnya maupun tugasnya untuk memperbaiki dan menertibkan tata susunan kehidupan masyarakat tersebut.

d. Di dalam Encyclopediaand Social Scince di kemukakan bahwa pengertian polisi meliputi bidang fungsi, tugas yang luas yang digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek daripada pengawasan keseharian umum. Kemudian dalam arti yang sangat khusus dipakai dalam hubungannya dengan penindasan pelanggaran-pelanggaran politik, yang selanjutnya meliputi semua bentuk kepentingan dari ketertiban umum. Dengan kata lain polisi diberikan pengertian sebagai hal-hal yang berhubungan dengan pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum.

e. Dalam kamus bahasa Indonesia W.J.S. Poerwodarmita dikemukakan bahwa istilah polisi menduduki pengertian:

1. Badan pemerintah sekelompok pegawai negeri yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum.

(28)

f. Analog dalam penerbitan diatas untuk jelasnya dapat disimak pengertian yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 pada Pasal (5) yang menyatakan bahwa:

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Kemudian dalam Pasal 13, Kepolisian Negara mempunyai tugas:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat 2. Menegakkan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dari pengertian-pengertian polisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa istilah polisi mengandung 4 (empat) pengertian, yaitu:

1. Sebagai tugas 2. Sebagai organ 3. Sebagai petugas

4. Sebagai ilmu pengetahuan kepolisian

(29)

bertugas dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Sebagai petugas dalam arti orang yang dibebani tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat itu, sedangkan sebagai ilmu pengetahuan kepolisian berarti ilmu yang mempelajari segala hal ikhwal kepolisian.

3.2 Fungsi POLRI

Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai fungsi melaksanakan salah satu tugas fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penertiban hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Memperhatikan fungsi kepolisian tersebut diatas jelas bahwa tugas kepolisian tersebut hanya sampai pada keamanan dan ketertiban masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Kepolisian mempunyai dua fungsi utama, menurut C.H Niew Huis untuk melaksanakan tugas pokok polisi itu mempunyai dua fungsi utama yaitu:29

1. Fungsi Preventif untuk pencegahan, yang berarti bahwa polisi itu berkewajiban melindungi negara serta lembaga-lembaganya, ketertiban dan ketaatan umum, orang-orang dan harta bendanya, dengan jalan mencegah dilakukannya perbuatan-perbuatan pada hakikatnya dapat mengancam dan membahayakan ketertiban dan ketenteraman umum.

29

(30)

2. Fungsi Represif atau pengendalian, yang berarti bahwa polisi itu berkewajiban menyidik perkara-perkara tindak pidana dan menangkap pelaku-pelakunya dan kepada penyidik (yustisi) untuk penghukuman.

Sehubungan dengan kedua fungsi tersebut, maka dalam organisasi kepolisian dibagi dua macam kepolisian dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing yaitu:

a. Polisi Administratif

Polisi keamanan yang disebut juga dengan “Service Publik”, polisi tertib, polisi berseragam. Tugas polisi ini pada umumnya memberikan pelayanan umum, bantuan atau penolongan kepada masyarakat, menegakkan hukum yang bersifat mengatur baik dari pusat maupun daerah dan menjaga ketertiban. Mengingat tugasnya yang sangat luas maka tindakannya tidak selalu berdasar wetdelijk, tetapi cukup dengan rectdelijk. Sedangkan orientasinya adalah pelayanan dan kesetaraan, oleh karena itu pengawasannya ada pada pejabat-pejabat pemerintah baik dari pusat maupun daerah.

b. Polisi Peradilan atau Reserse

(31)

tidak beruniform. Karena dalam tugasnya selalu menggunakan pakaian preman, di Indonesia polisi ini disebut dengan reserse (reserse kriminal, reserse narkotika).

Polisi peradilan berbeda tugasnya dengan polisi administratif. Polisi yudicial ini tindakannya selalu berdasarkan undang-undang (ketentuan-ketentuan hukum pidana dan kitab undang-undang hukum acara pidana). Polisi ini ditujukan untuk menegakkan hukum pidana. Namun demikian polisi mempunyai satu tujuan yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dimaksud dengan keamanan dan ketertiban masyarakat telah diatur jelas dalam pasal 1 angka 5 UU Nomor tahun 2002 adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu syarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan nasional yang ditandai oleh terjaganya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina dan mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menyangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk pelanggaran lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

3.3Tugas Pokok POLRI

(32)

Agar supaya fungsi kepolisian itu dapat terwujud maka polisi harus dilengkapi dengan tugas dan wewenang. Dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 diatur mengenai tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas kepolisian adalah:30

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat b. Menegakkan hukum

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

4. Pengaturan Tindak Pidana yang dilakukan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tahun 2002 mengalami suatu perubahan yang mendasar dalam kelembagaan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perubahan tersebut membawa konsekuensi, khususnya mengenai pertanggungjawaban anggota Kepolisian Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana, bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana setelah Peraturan Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003 dinyatakan berlaku, maka anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana mulai dari tingkat penyidikan maupun penyelidikan diberlakukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilingkungan peradilan umum.

30

(33)

Untuk menjaga keteraturan pelaksanaan, maka pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tujuan pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut agar ada kepastian hukum, hal ini senada dengan bahwa sebenarnya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya, tidak saja hanya kepastian hukum, tetapi juga keadilan dan kegunaan dan oleh Radbruch ketiga-tiganya disebut sebagai mulai dasar dari hukum.31

Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan anggota Kepolisian Republik Indonesia, yaitu :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, Pasal 28 D ayat (1), yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : VI / MPR / 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

31

(34)

5) Peraturan Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

5. Proses Peradilan terhadap anggota kepolisian yang melakukan Tindak Pidana.

Proses peradilan terhadap anggota kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003 tunduk pada kekuasaan peradilan umum, mulai dari tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di Pengadilan.

Sesuai ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003, bahwa proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum dilakukan menurut hukum acara yang berlaku dilingkungan Peradilan umum. Proses penanganannya dilakukan menurut hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

(35)

1) Bagi tersangka anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, tempat penahanan dapat dipisahkan dari ruang tahanan tersangka lainnya.

2) Bagi terdakwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tempat penahanan dapat dipisahkan dari ruangan terdakwa lainnya.

Sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003, yaitu :

1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijadikan tersangka / terdakwa dapat diberhentikan sementara dari jabatan dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia, sejak dilakukan proses penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

2) Pemberhentian sementara dari jabatan dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia untu kepentingan penyidikan dapat dilakukan secara langsung. 3) Ketentuan tentang tata cara pelaksanaan pemberhentian sementara

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur Keputusan Kapolri.

(36)

dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pembinaan narapidana anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilaksanan di lembaga Permasyarakatan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti yang tercantum pada Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003.

Dapat dijelaskan bahwa mulai dari penyidikan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila disangka melakukan tindak pidana dilakukan oleh pejabat penyidik yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya tingkat penuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang mendasarkan pada Hukum Acara Pidana yang berlaku di Peradilan Umum. Apabila jaksa penuntut umum telah menerima perlimpahan berkas dari penyidik Kepolisian dan tidak ada perubahan dan dinyatakan secara lengkap, maka jaksa akan melimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk dilakukan penuntutan. Hal ini sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan pemerintah Nomor 3 Tahun 2003.

F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan

(37)

dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini alasan memilih dan menentukan lokasi penelitian merupakan yang sifatnya ilmiah, dalam hal ini penulis memilih lokasi penelitian di KAPOLDA SUMUT Direktorat Reserse Narkoba yang beralamat di JL. SM. Raja KM. 10,5 No. 60 Medan.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan diambil didalam penelitian ini adalah : a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari informan yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji tentang penanganan bagi Polri yang menyalahgunakan narkoba. Informan tersebut adalah Bapak Kompol J. Silaban Kasubag Minopsnal di Reserse Narkoba Polda Sumut.

b. Data Sekunder

Data kepustakaan yang mendukung data primer yang merupakan pedoman dalam melanjutkan penelitian terhadap data primer yang ada dilapangan. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber dan literatur yang berkaitan dengan narkoba.

4. Teknik Pengumpulan Data

(38)

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.32

b. Untuk data sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka.

Wawancara yang dilakukan sebagai upaya mendapatkan data yang lebih lengkap dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lisan yang berhubungan dengan permasalahan. Jenis wawancara yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan data adalah dengan cara wawancara bebas terpimpin yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dan masih dimungkinkan didalamnya ada variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara.

Studi pustaka adalah mencari data tersedia yang pernah ditulis peneliti sebelumnya dimana ada hubungan dengan masalah yang akan dipecahkan dan informasi lain yang bersifat umum.33

5. Analisis Data

Studi pustaka ini dilakukan dengan mengumpulkan data melalui penelusuran bahan pustaka yang dipelajari dan dikutip dari data sumber yang ada, berupa catatan literatur yang berhubungan dengan narkoba.

Teknik analisa data ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis dengan memperlihatkan kualitas dari data yang diperoleh. Penulis melakukan analisis dari semua data yang dianggap relevan diperoleh dilapangan, dan kemudian data tersebut dipaparkan sesuai dengan realitanya. Kemudian

32

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 95

33

(39)

berdasarkan data yang diperoleh akan dilakukan analisis untuk membuat suatu kesimpulan dan dapat memberikan suatu pemecahan dari masalah yang dikaji.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini oleh penulis dimaksudkan untuk memberi perincian secara garis besar isi dari skripsi ini. Dalam penyusunannya skripsi ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan susunan sebagai berikut :

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini akan diuraikan tentang hal-hal apa yang menjadi penanggulangan pemakaian dan pengedaran narkoba yang dilakukan oleh oknum Polri seperti faktor-faktor penyebab oknum POLRI menjadi pengguna dan pengedar narkoba, modus operandi yang dilakukan dalam menyalahgunakan narkoba serta upaya penanggulangan dan hal-hal yang menjadi kendala dalam penanggulangan tersebut

BAB III : Bab ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana oleh oknum POLRI yang menyalahgunakan narkoba. Dalam bab ini dijelaskan pula pemberian sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi administratif terhadap oknum POLRI yang terbukti melakukan pelanggaran seperti menggunakan atau mengedarkan narkoba.

Referensi

Dokumen terkait

nabati diantaranya ada yang menggunakan metode merendam seperti penelitian yang dilakukan oleh Habu (2015), yaitu merendam buah cengkeh dan meletakkannya di samping

Dari variabel-variabel yang diduga mempengaruhi penerimaan pajak daerah yang dikemukakan di atas, penulis hanya membatasi tiga variabel saja yang diduga

ndonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau Insiatif Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Kementerian Pertanian dengan

Salah satu bagian dari dukungan sistem informasi dan teknologi dalam proses bisnis Perseroan adalah menyampaikan informasi secara periodik kepada setiap fungsi terkait dengan

The initial aim of the DKP system was to make it easier to obtain guarantee for timber legality for cultivation timbers from forest rights, both the logs and timbers processed

Pri potencijalima koji se nalaze između potencijala pitinga i potencijala repasivacije, piting korozija i korozija u procjepu će se razvijati (ukoliko je počela), ali novi

3) Kegiatan Keagamaan adalah bentuk usaha yang dilaksanakan untuk mewujudkan atau mengaplikasikan iman ke dalam suatu bentuk perilaku keagamaan. Suryobroto

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkah, rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini dengan baik