• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

B. Kajian Pustaka

1. Pengertian Kebijakan

Pertama–tama kita perlu memahami konsep “Kebijakan” yang sering digunakan secara luas. Menurut Kamus Oxford, kebijakan berarti “rencana kegiatan” atau pernyataan tujuan-tujuan ideal. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kata kebijakan merupakan janji yang dibuat oleh kita sendiri, seperti kalimat “kita tidak akan meminjamkan uang kepada siapapun”. Arti itu bukan yang kita maksudkan disini. Kita membahas kebijakan bukan dalam arti pribadi, tetapi dalam arti organisasi. Fattah (2012: 131-132) menyatakan bahwa kebijakann disini terkait dengan kebijakan publik dan dibuat atas nama Negara (state) yang dibuat oleh instrument/alat-alat negara untuk mengatur perilaku tiap orang, seperti guru atau siswa dan organisasi, seperti sekolah dan universitas. Fokus perhatiannya pada kegiatan Negara bukan pada kegiatan perusahaan swasta yang sering hanya untuk kepentingannya sendiri.

Istilah kebijakan berasal dari Bahasa Inggris yaitu policy. Akan tetapi, kebanyakan orang berpandangan bahwa istilah kebijakan senantiasa disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Padahal apabila dicermati berdasarkan tata bahasa, istilah kebijaksanaan berasal dari kata wisdom. Menurut Ealau dan Penwitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss mendefenisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu.

Kebijakan menurut Titmuss senantiasa berorientasi kepada masalah (problemoriented) dan berorientasi kepada tindakan (actionoriented) dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan caracara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.

Bernandus Luankali (2007: 145) menyatakan bahwa kebijakan adalah Ilmu tentang hubungan pemerintah dengan warga negara atau apa yang sesungguhnya dibuat oleh pemerintah secara riil untuk warga negara. Hal ini berarti bahwa pemerintah dalam membuat suatu kebijakan tidak hanya untuk kepentingan pribadinya saja, namun berdasarkan kepentingan masyarakat. Sejalan dengan itu, Carl J. Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2006: 7) menyatakan bahwa kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan (tantangan) terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Tangkilisan (2003: 2) menyatakan bahwa kebijakan merupakan aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Winarno (2002: 5) menyatakan bahwa Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan

adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi Kebijakan pada dasarnya Kebijakan pada dasarnya suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan tertentu dan bukan hanya sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu. Kebijakan seyogyanya diarahkan pada apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah.

Abidin (2004: 31-33) menyatakan bahwa kebijakan secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan yaitu:

a. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.

b. Kebijakan pelaksanaan, yaitu kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum.

c. Kebijakan teknis, yaitu kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Brian W. Hogwood and Lewis A. Gunn (Tangkilisan, 2003: 5) secara umum kebijakan dikelompokan menjadi tiga, yaitu:

d. Proses pembuatan kebijakan merupakan kegiatan perumusan hingga dibuatnya suatu kebijakan.

e. Proses implementasi merupakan pelaksanaan kebijakan yang sudah dirumuskan.

f. Proses evaluasi kebijakan merupakan proses mengkaji kembali implementasi yang sudah dilaksanakan atau dengan kata lain mencari jawaban apa yang terjadi akibat implementasi kebijakan tertentu dan membahas antara cara yang digunakan dengan hasil yang dicapai.

Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif,

hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatankesempatan (tantangan) terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu. Melalui kebijakan, pemerintah ingin melakukan pengaturan dalam masyarakat untuk mencapai visi dari pemerintah itu sendiri dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat. Menyelesaikan masalahmasalah yang terjadi di masyarakat sehingga keikutsertaan masyarakat dalam menjalankan suatu kebijakan tersebut berakselerasi dengan pembangunan di daerah.

2. Model Implementasi Kebijakan

Dwidjowijoto (Nugroho, 2006: 126) memperkenalkan pemetaan impelementasi kebijakan dengan memperkenalkan model pemetaan top-downed versus bottom-upper terhadap mekanisme pasar versus mekanisme paksa. Mekanisme paksa adalah model yang mengedepankan arti penting lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanisme paksa dalam negara. Dalam hal ini tidak ada mekanisme insentif bagi yang menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak untuk melaksanakan atau melanggarnya. Mekanisme pasar adalah model yang mengedepankan mekanismen insentif bagi yang menjalani, bagi yang tidak menjalani tidak mendapatkan sanksi namun tidak mendapatkan insentif. Ada sanksi bagi yang menolak untuk melaksanakan atau melanggarnya.

Berbagai pendekatan model dalam implementasi kebijakan publik dapat dipahami melalui beberapa model klasik yang diilhami dari berbagai fenomena di berbagai kawasan di belahan dunia ini, antara lain:

a. Implementasi Sistem Rasional (Top Down)

Parsons (Mulyadi, 2015) menyatakan bahwa model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan yang tercakup dalam Emile karya Rousseau: “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”. Masih menurut Parsons (Mulyadi, 2015:16) menyatakan bahwa model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apaapa yang telah diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan sebuah sistem.

b. Implementasi Kebijakan Bottom Up

Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (Mulyadi, 2015) menyatakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan konsensus. Masih menurut Parsons model pendekatan bottom up menekankan kepada fakta bahwa implementasi di lapangan masih memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam perspektif bottom up adalah Adam Smith.

Smith (Mulyadi, 2015) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini

memandang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.

Terdapat beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu:

a. Teori George C. Edward

Edward III (Subarsono, 2011: 90-92) menyatakan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu: 1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan

mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai atau digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu: a) Transmisi, penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan. b) Kejelasan, komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. c) Konsistensi, perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika perintah yang diberikan sering diimplementasikan berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

2) Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut

dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial.

3) Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

4) Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan 31 pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

b. Teori Merilee S. Grindle

Keberhasilan implementasi Merilee S. Grindle (Subarsono, 2011: 93) menyatakan bahwa dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel tersebut mencakup: sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak sebuah program sudah tepat, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Sedangkan Wibawa (Wibawa dkk, 1994: 22-23) menyatakan bahwa model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.

Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.

a. Isi Kebijakan, mencakup hal-hal berikut:

1) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan

Kepentingan yang dipengaruhi berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui.

2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan

Pada variabel ini berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.

3) Derajat perubahan yang diinginkan

Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Pada variabel ini yang ingin dijelaskan adalah seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.

4) Kedudukan pembuat kebijakan

Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.

5) Pelaksana program

Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan, ini harus sudah terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.

6) Sumber daya yang dihasilkan

Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumber daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik

b. Konteks implementasi sebagai berikut:

1) Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat. Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan.

2) Karakteristik lembaga dan penguasa

Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.

3) Kepatuhan dan daya tanggap

Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauh mana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.

Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

c. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Mazmanian dan Sabatier (Subarsono, 2011: 94) menyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni karakteristik dari masalah (tractability of the problems), karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation) dan variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).

Model implementasi yang ditawarkan mereka disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis. Kedua ahli kebijakan ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah dalam mengidentifikasikan

variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Dan variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu:

a. Mudah atau Tidaknya Masalah yang akan Digarap, meliputi 1) Kesukaran-kesukaran Teknis

Tercapai atau tidaknya tujuan suatu kebijakan akan tergantung pada sejumlah persyaratan teknis, termasuk diantaranya: kemampuan untuk mengembangkan indikatorindikator pengukur prestasi kerja yang tidak terlalu mahal serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausal yang mempengaruhi masalah. Disamping itu tingkat keberhasilan suatu kebijakan dipengaruhi juga oleh tersedianya atau telah dikembangkannya teknik-teknik tertentu.

2) Keberagaman Perilaku yang Diatur

3) Persentase Totalitas Penduduk yang Tercakup dalam Kelompok Sasaran.

Semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasaran yang perilakunya akan diubah (melalui implementasi kebijakan), maka semakin besar peluang memobilisasikan dukungan politik terhadap sebuah kebijakan dan dengannya akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan kebijakan.

4) Tingkat dan Ruang Lingkup Perubahan Perilaku yang Dikehendaki.

Semakin besar jumlah perubahan perilaku yang dikehendaki oleh kebijakan, maka semakin sukar/sulit para pelaksana memperoleh implementasi yang berhasil. Artinya ada sejumlah masalah yang jauh lebih dapat kita kendalikan bila tingkat dan ruang lingkup perubahan yang dikehendaki tidaklah terlalu besar.

b. Kemampuan Kebijakan Menstruktur Proses Implementasi Secara Tepat.

Para pembuat kebijakan mendayagunakan wewenang yang dimilikinya untuk menstruktur proses secara tepat melalui beberapa cara:

1) Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai.

Semakin mampu suatu peraturan memberikan petunjukpetunjuk yang cermat dan disusun secara jelas skala prioritas/urutan kepentingan bagi para pejabat pelaksana dan aktor lainnya, maka semakin besar pula

kemungkinan bahwa ouput kebijakan dari badan-badan pelaksana akan sejalan dengan petunjuk tersebut.

2) Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan.

Memuat suatu teori kausalitas yang menjelaskan bagaimana kira-kira tujuan usaha pembaharuan yang akan dicapai melalui implementasi kebijakan.

3) Ketetapan alokasi sumberdana.

Tersedianya dana pada tingkat batas ambang tertentu sangat diperlukan agar terbuka peluang untuk mencapai tujuan-tujuan formal.

4) Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembagalembaga atau instansi-instansi pelaksan.

Salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan perundangan yang baik ialah kemampuannya untuk memadukan hirarki badan-badan pelaksana. Ketika kemampuan untuk menyatu padukan dinas, badan, dan lembaga sukar dilaksanakan, maka koordinasi antar instansi yang bertujuan mempermudah jalannya implementasi kebijakan justru akan membuyarkan tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan.

5) Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana.

Selain dapat memberikan kejelasan dan konsistensi tujuan, memperkecil jumlah titik-titik veto, dan intensif yang memadai bagi kepatuhan kelompok sasaran, suatu undang-undang harus pula dapat mempengaruhi lebih lanjut proses implementasi kebijakan dengan cara menggariskan secara formal aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana.

6) Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaksud dalam undang-undang.

Para pejabat pelaksana memiliki kesepakatan yang diisyaratkan demi tercapainya tujuan. Hal ini sangat signifikan halnya, oleh karena, top down policy bukanlah perkara yang mudah untuk diimplementasikan pada para pejabat pelaksana di level lokal.

7) Akses formal pihak-pihak luar

Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi implementasi kebijakan adalah sejauh mana peluang- peluang yang terbuka bagi partisipasi para aktor diluar badan pelaksana dapat mendukung tujuan resmi. Ini maksudnya agar kontrol pada para pejabat pelaksanaan yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dapat berjalan sebagaimana mestinya.

c. Variabel-variabel diluar Undang-undang yang Mempengaruhi Implementasi

1) Kondisi sosial ekonomi dan teknologi.

Perbedaan waktu dan perbedaan diantara wilayah-wilayah hukum pemerintah dalam hal kondisi sosial, ekonomi, dan teknologi sangat signifikan berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu undang-undang. Karena itu, eksternal faktor juga menjadi hal penting untuk diperhatikan guna keberhasilan suatu upaya pengejawantahan suatu kebijakan publik. 2) Dukungan publik

Hakekat perhatian publik yang bersifat sesaat menimbulkan kesukaran-kesukaran tertentu, karena untuk mendorong tingkat keberhasilan implementasi kebijakan sangat dibutuhkan adanya sentuhan dukungan dari warga. Karena itu, mekanisme partisipasi publik sangat penting artinya dalam proses pelaksanaan kebijakan publik di lapangan.

3) Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat.

Perubahan-perubahan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan publik akan sangat berhasil apabila di tingkat masyarakat, warga memiliki sumber-sumber dan sikap-sikap masyarakat yang kondusif terhadap kebijakan yang ditawarkan pada mereka. Ada semacam local genius (kearifan lokal) yang dimiliki oleh warga yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau Ketidak berhasilan implementasi kebijakan publik. Dan, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sikap dan sumber yang dimiliki oleh warga masyarakat.

4) Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.

Kesepakatan para pejabat instansi merupakan fungsi dari kemampuan undang-undang untuk melembagakan pengaruhnya pada badan-badan pelaksana melalui penyeleksian institusi-institusi dan pejabat-pejabat terasnya. Selain itu pula, kemampuan berinteraksi antarlembaga atau individu di dalam lembaga untuk menyukseskan implementasi kebijakan menjadi hal indikasi penting keberhasilan kinerja kebijakan publik.

d. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

Donal Van Meter dan Carl Van Horn (Suratman, 2017: 83) mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijkan.

Meter dan Horn (Subarsono, 2011: 99) menyatakan bahwa ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana dan kondisi sosial, ekonomi dan politik.

3. Pendekatan Kebijakan dalam Pendidikan

a. Pendekatan Empirik

Sagala (2013: 100-101) menyatakan bahwa pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan tertentu dalam bidang pendidikan bersifat factual atau fakta dan macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif dan prediktif. Oleh karena itu analisa kebijakan pendidikan secara empiris diharapkan dapat menghasilkan dan memindahkan informasi-informasi penting mengenai nilai-nilai, fakta-fakta, dan tindakan-tindakan pendidikan. Karena itu pengetahuan mengenai apakah (fakta), mana yang benar (nilai), dan apa yang harus dilakukan (tindakan) memerlukan penggunaan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi maslah alternatif, tindakan, hasil, dan hasil guan kebijakan. Analisis pendekatan kebijakan empiris ini telah dilakukan melalui penelitian oleh para ahli berasal dari permulaan abad ke 19 dari karya para demograf, statistisi, dan penelitian survei.

Penelitian kebijakan publik bersifat empiris dan kuantitatif pada suatu organisasi dilakukan seperti masalah-masalah kemiskinan,

pemberantasan buta huruf, gelandangan di kota, penyakit masyarakat, dan control politik berlawanan dengan tradisi yang lebih tua seperti spekulasi filosofis, mistik, takhayul, dan otoritas agama terutama (tidak sepenuhnya) mengandalkan observasi yang didasarkan pada pengalaman indrawi (spekulatif) untuk membenarkan pernyataan dan pengetahuan. Kebijaksanaan merupakan proses rasional dimana analisis menghasilkan informasi dan argumen yang masuk akal mengenai pemecahan-pemecahan potensial atas masalah kebijaksanaan.

Dengan demikian informasi kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pendekatan empiris akan menghasilkan informasi penyelenggaraan pembelajaran yang aktual yang dibutuhkan dilapangan pada akhirnya dapat mengarah kepernyataan kebijakan yang biasa saja sama sekali berbeda dengan kondisi objektif di lapangan. Karena hal ini akan sangat tergantung pada asumsi para pengambil kebijakan yang terkandug dalam suatu argumen kebijakan yang ditetapkan bagi suatu organisasi atas dasar hasil analisis yang telah dilakukan. Argumen kebijakan pendidikan itu antara lain mengapa kurikulum harus direvisi, mengapa sistem evaluasi hasil belajar diubah, mengapa kalender akademik diubah dari caturwulan menjadi semester, mengapa anggaran pendidikan tidak sesuai kebutuhan pembelajaran, dan sebagainya.

b. Pendekatan Evaluatif

Sagala (2013: 101) menyatakan bahwa evaluasi kebijakan bukan sekedar mengumpulkan fakta tentang sesuatu katakanlah mengenai manajemen pendidikan yang dapat menjamin mutu, tetapi menunjukkan bahwa sesuatu itu mempunyai nilai jika dibandingkan dengan kriteria atau acuan yang menjadi pedoman.

Sejalan dengan berbagai pendapat tersebut Anderson mempertegas bahwa evaluasi kebijakan terdiri dari:

1) Evaluasi impresionistik yaitu apakah kebijakan memenuhi kepentingan diri, ideologi, atau criteria penilaian lain yang didasarkan pada fakta fragmentaris atau anekdot;

2) Evaluasi operasional yaitu bagaimana masalah pelaksanaan kebijakan apakah dijalankan dengan jujur, berapa besar biayanya, apakah tidak ada duplikasi dengan program lain, apakah aspek hokum dipenuhi, dan siapakah yang diuntungkan: dan (3) evaluasi sistemik yaitu mengacu pada masalah pokoknya seperti dampak dan efektifitas program: apakah kebijakan itu mencapai tujuannya,

Dokumen terkait