• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM KELAS TUNTAS BERKELANJUTAN DI SD INPRES WATU-WATU KECAMATAN PALLANGGA KABUPATEN GOWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SISTEM KELAS TUNTAS BERKELANJUTAN DI SD INPRES WATU-WATU KECAMATAN PALLANGGA KABUPATEN GOWA"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

i

PALLANGGA KABUPATEN GOWA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan

Ilmu PendidikanUniversitas Muhammadiyah Makassar

Oleh Nurul Fadilah NIM 10540 9685 15

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(2)
(3)
(4)

iv Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : NURUL FADILAH

Nim : 10540 9685 15

Jurusan : Pendidikan Guru Sekolah Dasar S1 Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Judul Skripsi : Implementasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa.

Skripsi yang saya ajukan di depan tim penguji adalah asli hasil karya sendiri, bukan hasil ciplakan atau buatan oleh orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan saya bersedia menerima sanksi apabila pernyataan ini tidak benar.

Makassar, Agustus 2019

Yang Membuat Permohonan

NURUL FADILAH NIM : 10540 9685 15

(5)

v Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : NURUL FADILAH

Nim : 10540 9685 15

Jurusan : Pendidikan Guru Sekolah Dasar S1 Fakultas : Keguruan dan IlmuPendidikan

Judul Skripsi : Implementasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa.

Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:

1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi, saya akan menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun)

2. Dalam menyusun skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan pembimbing yang telah ditetapkan oleh pimpinan fakultas.

3. Saya tidak akan selalu melakukan (plagiat) dalam penyusunan skripsi. 4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1,2 dan 3, saya bersedia

menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Demikan Perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran

Makassar, Agustus 2019

Yang Membuat Perjanjian

NURUL FADILAH NIM : 10540 9685 15

(6)

vi Man Jadda Wa Jada

“Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia”

Kupersembahkan karya ini buat;

Kedua orang tuaku, saudaraku, dan sahabatku,

atas keikhlasan dan doanya dalam mendukung penulisan

(7)

vii

Nurul Fadilah, 2019. Implementasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing: Rosleny Babo, dan Kaharuddin.

Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan (SKTB) disosialisasikan pada tahun 2011. Pelaksanaan program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan pada tahun 2013 dilaksanakan secara keseluruhan di semua tingkatan sekolah SD, SMP, SMA/SMK di Kabupaten Gowa. Kebijakan ini diambil berdasarkan pertimbangan untuk memajukan kualitas pendidikan dan memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Namun, dalam implementasinya masih terdapat permasalahan yang terjadi seperti guru dalam memberikan penilaian kepada siswa yang malas ke sekolah, sarana dan prasarana yang kurang memadai dan adanya pro dan kontradiksi antara pelaksana. Oleh karena itu penulis hendak mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu, dan untuk mengetahui Faktor apa yang menghambat dan mendukung implementasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Jenis Penelitian deskriptif terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat mengungkapkan fakta dan memberikan gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diteliti.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada fokus penelitian yang penulis tentukan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu Kabupaten Gowa diimplementasi namun belum mampu diimplementasikan secara efektif karena tujuan dan sasaran belum ada yang tercapai secara maksimal. Pelaksanaan program ini masih ada beberapa masyarakat Gowa yang tidak mendukung kebijakan ini, selain itu juga terhambat pada siswa yang dapat menyebabkan kewalahan dalam memahami pembelajaran selanjutnya. Padahal dalam mencapai keberhasilan sebuah kebijakan dibutuhkan dukungan dari masyarakat dan semua pihak yang terlibat di dalam sebuah kebijakan.

Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Peraturan Daerah No.10 Tahun 2013, Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan.

(8)

viii

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, Untaian Zikir lewat kata yang indah terucap sebagai ungkapan rasa syukur penulis selaku hamba dalam balutan kerendahan hati dan jiwa yang tulus kepada Sang Khaliq, yang menciptakan manusia dari segumpal darah, Yang Maha Pemurah, mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya dengan perantaraan kalam. Tiada upaya, tiada kekuatan, dan tiada kuasa tanpa kehendak-Nya. Bingkisan salam dan salawat tercurah kepada Kekasih Allah, Nabiullah Muhammad SAW, Para sahabat dan keluarganya serta Umat yang senantiasa istiqomah dijalan-Nya.

Tiada jalan tanpa rintangan, tiada puncak tanpa tanjakan, tiada kesuksesan tanpa perjuangan. Dengan kesungguhan dan keyakinan untuk terus melangkah, akhirnya sampai di titik akhir penyelesaian Skripsi ini. Namun, semua itu tak lepas dari uluran tangan berbagai pihak lewat dukungan, arahan, bimbingan serta bantuan moril dan materil.

Terima kasih penulis ucapkan kepada beberapa pihak yang telah membantu selama penulis menyusun Skripsi penelitian yaitu diantaranya :

1. Ayahanda Zubair dan Ibunda Sittiara serta semua keluarga yang telah mencurahkan kasih sayang dan cintanya dalam membesarkan, mendidik dan membiayai penulis serta doa restu yang tak henti-hentinya untuk keberhasilan penulis.

2. Dr. Hj. Rosleny Babo, M.Si. Pembimbing I dan Bapak Kaharuddin, S.Pd., M.Pd., Ph.D. Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya disela kesibukan beliau untuk mengarahkan dan membimbing penulis dalam penyusunan Skripsi penelitian sampai tahap penyelesaian.

(9)

ix

4. Aliem Bahri, S.Pd., M.Pd. Ketua Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Muhammadiyah Makassar.

5. Dosen Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bimbingan, arahan, dan jasa-jasa yang tak ternilai harganya kepada penulis.

6. Saudaraku yang telah memberikan doa dan dukungan kepada adinda selama pendidikan baik berupa moril maupun materil selama penyusunan Skripsi ini. 7. Teman-teman terdekat yang telah bersama-sama berusaha keras dan penuh

semangat dalam menjalani studi dalam suka dan duka. Kebersamaan ini akan menjadi sebuah kenangan yang indah.

8. Semua pihak yang tidak bisa dituliskan namanya satu-persatu namun tak mengurangi rasa terima kasih penulis kepada mereka.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan sebagai bahan acuan untuk perbaikan dan penyempurnaan Skripsi ini. Hanya kepada Allah swt kita memohon semoga berkat dan rahmat serta limpahan pahala yang berlipat ganda selalu dicurahkan kepada kita semua.

Aamiin Ya Rabbal Alamiin.

Makassar, September 2019

(10)

x

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

SURAT PERJANJIAN ... v

MOTO DAN PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Relevan ... 12

B. Kajian Pustaka ... 14

C. Kerangka Pikir ... 35

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 38

(11)

xi

E. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 42

F. Instrumen Penelitian ... 43

G. Teknik Pengumpulan Data ... 43

H. Teknik Analisis Data ... 44

I. Teknik Keabsahan Data ... 45

J. Etika Penelitian ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. PENYAJIAN HASIL PENELITIAN ... 47

B. PEMBAHASAN ... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 90

B. SARAN ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(12)

xii

Nomor Judul Halaman

(13)

xiii

Nomor Judul Halaman

2.1 Kerangka Pikir ... 37 3.1 langkah-langkah Analisis Data ... 45 4.1 Struktur pembelajaran Kelas Tuntas Berkelanjutan ... 78

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peranan pendidikan menjadi sangat penting dalam menjamin kelangsungan hidup negara, karena pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa, ”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Dengan pendidikan kehidupan manusia menjadi terarah.

Pasal 31 UUD 1945 ayat (1) menyatakan bahwa, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Hal ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat (1) disebutkan "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu". Maka dari landasan tersebut, pembangunan di bidang pendidikan harus menjadi prioritas utama untuk memajukan sebuah bangsa. Perubahan, kemajuan, dan peradaban sebuah bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan

(15)

harus dijadikan landasan dan paradigma utama dalam mempercepat pembangunan bangsa.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Bab VI Pasal 13 Ayat 1 jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang saling melengkapi dan memperkaya. “Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga”.

Dalam jalur pendidikan terdapat jenjang pendidikan yang merupakan tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan (UU No 20 Tahun 2003 Bab I, Pasal 1 Ayat 8). Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pada jenjang pendidikan yang telah disebutkan dalam UU No 20 Tahun 2003, terdapat tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Yang pertama pendidikan dasar yakni berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Kedua, pendidikan menengah yakni berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah

(16)

Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Ketiga, pendidikan tinggi yakni jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Sekolah merupakan sebuah lembaga yang dirancang untuk menyelenggarakan pendidikan di bawah pengawasan pendidik atau guru. Untuk menjadi sebuah sekolah, ada beberapa sarana dan prasarana yang harus dipenuhi, seperti ruang belajar, perpustakaan, kantor dan lain sebagainya. Selain itu, kriteria sekolah yang bermutu di Indonesia masih menjadi polemik. Belum ada kesepakatan bersama yang pasti untuk menentukan status unggulan pada sebuah lembaga pendidikan ini.

Pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di daerahnya dan merumuskan serta menetapkan kebijakan daerah bidang pendidikan sesuai kewenangannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana yang tertera

(17)

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang kemudian direvisi kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 yang selanjutnya di undangundangkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 12 menegaskan urusan wajib pemerintah daerah meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat dan sosial menjadi tanggungjawab daerah yang harus mengurusinya.

Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 2, “Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan”, “Pemerintah Daerah Provinsi melakukan koordinasi penyelenggaraan pendidikan dan evaluasinya”. Dari penjelasan diatas, kebijakan pendidikan dapat dijadikan skala prioritas dalam pembangunan suatu daerah yang nantinya akan mampu mencetak SDM yang berkualitas. Maka dalam menghadapi perkembangan zaman di era globalisasi ini sangat diperlukan sebuah inovasi pendidikan yang diatur dalam sebuah kebijakan pemerintah di suatu daerah.

Menurut Suratman (2017: 9) domain kebijakan publik sering kali dibedakan dalam tiga fokus bahasan, yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Satu hal yang paling penting adalah bahwa sebaik apapun kebijakan jika tidak diimplementasikan dengan baik maka kebijakan tersebut menjadi sia-sia atau hanya menjadi sebuah rencana yang baik. Untuk memahami dimensi kebijakan publik

(18)

diperlukan langkah untuk mengidentifikasi karakteristik dari kebijakan publik tersebut. Beberapa karakteristik kebijakan publik yang dapat diidentifikasikan adalah adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai, yaitu pemecahan masalah publik (public problem solving), adanya tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan, merupakan fungsi pemerintas sebagai pelayanan publik, adakalanya berbentuk ketetapan pemerintah yang bersifat negatif, yaitu ketetapan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa.

Salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik adalah implementasi kebijakan. Implementasi sering dianggap hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambil keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan tidak akan ada artinya jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.

Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa memiliki sebuah program unggulan yakni kebijakan inovasi pendidikan. Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa berkomitmen untuk menjadikan Kabupaten Gowa sebagai daerah yang memprioritaskan pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan. Komitmen tersebut merupakan wujud dari pelaksanaan program prioritas Pemerintah Kabupaten Gowa dalam bidang Pendidikan. Salah satu kebijakan program di bidang pendidikan yaitu Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan.

(19)

Pelaksanaan program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan pada tahun 2013 dilaksanakan secara keseluruhan di semua tingkatan sekolah SD, SMP, SMA/SMK di Kabupaten Gowa. Sisitem Kelas Tuntas Berkelanjutan sebuah kebijakan yang ditempuh Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa yang menekankan pada pelayanan pendidikan yang berkualitas dan komprehensif kepada peserta didik yang memposisikan peserta didik sebagai subjek dalam belajar sehingga mampu mengembangkan potensi dirinya secara maksimal. Kebijakan ini diambil berdasarkan pertimbangan untuk memajukan kualitas pendidikan dan memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 10 Tahun 2013 menjelaskan bahwa “Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan adalah kebijakan program pendidikan yang berupaya memberikan pelayanan pendidikan secara optimal kepada peserta didik melalui strategi penuntasan semua tagihan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran secara berkelanjutan. Sisitem Kelas Tuntas Berkelanjutan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan menggunakan Sistem Promosi Otomatis (System Outomatic Promotion) yaitu sistem tidak mengenal tinggal kelas bagi peserta didik yang tidak berhasil menuntaskan kompetensi sesuai alokasi waktu yang tersedia. Metode pembelajaran yang digunakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan adalah metode remedial. Metode pembelajaran remedial yang dimaksud adalah pemberian pembelajaran

(20)

ulang secara berkesinambungan bagi peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar pada mata pelajaran tertentu tanpa mengulang semua kompetensi yang telah dituntaskan.

Adanya program tersebut memberikan dampak positif bagi peserta didik dapat lebih cepat menyelesaikan sistem kredit semester sehingga biaya yang dikeluarkan orang tua tidak banyak. Sedangkan program tersebut tidak lepas dari kekurangan yaitu dampak negatif dengan adanya penerapan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan dalam hal program tidak mengenal tinggal kelas bagi siswa dapat menyebabkan minat belajar siswa menjadi menurun terlebih pada siswa yang dasarnya sudah malas belajar dan keinginan untuk rajin ke Sekolah juga akan berpengaruh karena telah tertanam pemikiran adanya jaminan untuk naik kelas (Silfitriana, 2016).

Dalam penerapannya ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan pelaksaan kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan yang belum terlaksana dengan baik. Beberapa guru dan orang tua para siswa kurang paham akan program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan, sehingga kemampuan dalam mengembangkan media dan bahan ajar menjadi lemah, selain itu beberapa siswa yang belum mampu mencapai standar kompetensi tetap diupayakan untuk naik kelas. Hal ini menyebabkan para siswa tersebutkewalahan pada materi pembelajaran selanjutnya, terlebih dengan adanya perubahan pada kurikulum yang menuntut siswa lebih kritis lagi dalam memahami pembelajaran (Silfitriana, 2016). Beberapa guru sering terhambat dalam penyusunan Rencana Penyusunan Pembelajaran (RPP),

(21)

sehingga kemampuan dalam mengembangkan media dan bahan ajar menjadi lemah. Selain itu beberapa guru memiliki sifat malas dan kurangnya motivasi terkadang menyebabkan kurang maksimalnya persiapan dalam proses belajar (Mulya, 2015).

Hasil penelitian Silfitriana juga ditemukan beberapa kesamaan dari hasil observasi yang penulis lakukan yaitu beberapa guru dan orang tua kurang paham akan kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan terlebih para siswa yang masih banyak tidak mengetahui tentang adanya kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan ini. Sehingga masih ditemukannya siswa yang tinggal kelas karena tidak mampunya mereka untuk menuntaskan mata pelajaran yang telah ditetapkan. Hal ini mendorong para orang tua untuk memindahkan anaknya yang tinggal kelas ke sekolah lain yang dapat menerimanya dengan ketentuan naik kelas.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari observasi penulis, beberapa pihak guru dan kepala sekolah mengalami dilematis berkaitan dengan penilaian hasil belajar para siswa. Penilaian tersebut dilakukan secara terencana dan berkelanjutan, artinya semua indikator diukur, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dan yang belum dikuasai peserta didik, serta untuk mengetahui kesulitan belajar peserta didik. Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut, berupa program remedial atau pengayaan. Model pembelajaran tersebut merupakan strategi penuntasan semua tagihan standar kompetensi sehingga tidak adanya siswa yang tinggal kelas.

(22)

Selain dari penilaian formatif (tes bentuk esai, proyek, laporan, tugas kinerja, demonstrasi keterampilan, dan presentasi lisan) juga terdapat penilaian aspek sikap serta kehadiran siswa di Sekolah. Dari penilaian tersebut guru dan kepala sekolah dapat mengambil keputusan berkaitan kenaikan kelas para siswa. Jika penilaian tersebut tidak dapat dipenuhi oleh para siswa sesuai yang telah ditetapkan maka siswa tersebut tidak dapat melanjutkan tingkatan kelasnya dengan kata lain tinggal kelas. Namun yang menjadi permasalahan guru yaitu dalam memberikan penilaian kepada siswa yang malas ke Sekolah atau tingkat kehadirannya kurang dalam mengikuti proses pembelajaran. Sehingga guru mengalami kesulitan untuk mengupayakan siswa tersebut untuk mencapai standar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).

Bentuk peranan pemerintah dalam Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan yaitu dengan melakukan sosialisasi dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga sekolah. Namun dalam pelaksanaan sosialisasi tidak semua guru mengikuti kegiatan tersebut tetapi hanya ada perwakilan. Hal ini menyebabkan sosialisasi Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan tidak sampai ke seluruh guru sebagai salah satu sumber daya manusia penunjang program ini.

Sedangkan peran para guru dalam penerapan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan telah mengupayakan pembelajaran ulang atau remedial dengan menurunkan tingkat kesukaran soal yang akan diberikan. Hal ini memberikan pengaruh terhadap ketuntasan belajar siswa, karena guru memiliki peran yang sangat besar terhadap perkembangan kemampuan

(23)

seorang siswa dalam mencapai keberhasilan program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengambil judul “Implementasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD

Inpres Watu-watu Kecamatan Pallangga Kbupaten Gowa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana implementasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa?

2. Faktor apa yang menghambat dan mendukung implementasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa.

2. Untuk mengetahui faktor apa yang menghambat dan mendukung implementasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-watu Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa.

D. Manfaat Penelitian

(24)

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan khususnya dalam kajian-kajian tentang kebijakan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi yang berguna bagi masyarakat dan sebagai bahan masukan yang dapat mendukung bagi peneliti maupun pihak lain yang tertarik dalam bidang penelitian yang sama yaitu kebijakan pendidikan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih positif bagi pemerintah daerah Kabupaten Gowa dan para implementator kebijakan dalam menentukan dan menjalankan kebijakan untuk meningkatkan peran dan partisipasi aktif dalam pengimplementasian kebijakan program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan ini.

3. Manfaat metodologis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberi nilai tambah yang selanjutnya dapat dikombinasikan dengan penelitian-penelitian ilmiah lainnya, khususnya yang mengkaji tentang kebijakan pendidikan.

(25)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Relevan

Berikut ini dikemukakan penelitian yang relevan dengan membahas permasalahan yang sesuai dengan penelitian ini yaitu: Meti Silfitriana, 2016: Evaluasi Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan (SKTB) di Kabupaten Gowa. Skripsi. Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pelaksanaan kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan telah dilakukan pada semua tingkatan sekolah baik SD, SMP, dan SMA. Pada pelaksanaanya kebijakan ini masih belum berjalan secara optimal masih terdapat kekeliruan berkaitan dengan pemahaman mengenai kebijakan ini dimana peserta didik tidak mengenal lagi adanya tinggal kelas, selain itu masih terdapat beberapa guru yang belum memahami mengenai pelaksanaan teknisnya di lapangan. Dampak dari adanya kebijakan ini, dari dampak positifnya yaitu guru dituntut semakin memberikan perhatian yang lebih terhadap siswanya, sedangkan dari dampak negatifnya dengan adanya kebijakan ini membuat beberapa siswa tidak serius dalam belajar karena merasa kebijakan ini menguntungkan bagi mereka yaitu mereka tidak harus tinggal kelas.

Febryanto Yugistiadi Putra, 2018. Analisis Keterlaksanaan Kebijakan Program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan (SKTB) Di Sman Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 10 Tahun 2013 Pada Kecamatan Bajeng, Pattalassang Dan Bontomarannu. Skripsi. Fakultas

(26)

Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. Berdasarkan hasil penelitian Analisis data respon guru terhadap keterlaksanaan kebijakan program system kelas tuntas berkelanjutan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 10 Tahun 2013 secara umum berada pada ketegori Baik. Dan hasil observasi yang dilakukan terkait keterlaksanaan kebijakan program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 10 Tahun 2013 menunjukan pada Kecamatan Bajeng memiliki skor yang berada dalam kategori baik, sedangkan pada Kecamatan Pattalassang memiliki skor yang berada dalam kategori kurang, dan pada Kecamatan Bontomarannu memiliki skor yang berada dalam kategori cukup.

dari penelitian ini adalah meneliti tentang Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan sesuai dengan Perda Kabupaten Gowa no 10 tahun 2013. Selain itu perbedaan antara peneliti sebelumnya dan yang akan diteliti adalah menggunakan penelitian yang berbeda peneliti terdahulu meneliti beberapa tingkat Stauan Pendidikan di Kabupaten Gowa berupa SD, SMP, dan SMA dengan pendekatan penelitian kualitatif. maka penulis akan meneliti secara khusus efektivitas Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di salah satu SD yang ada di kabupaten Gowa yang belum pernah diteliti sebelumnya. Oleh karena itu, penulis ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang “Implementas Kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di SD Inpres Watu-Watu Kecatamatan Pallangga Kabupaten Gowa”.

(27)

B. Kajian Pustaka

1. Pengertian Kebijakan

Pertama–tama kita perlu memahami konsep “Kebijakan” yang sering digunakan secara luas. Menurut Kamus Oxford, kebijakan berarti “rencana kegiatan” atau pernyataan tujuan-tujuan ideal. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kata kebijakan merupakan janji yang dibuat oleh kita sendiri, seperti kalimat “kita tidak akan meminjamkan uang kepada siapapun”. Arti itu bukan yang kita maksudkan disini. Kita membahas kebijakan bukan dalam arti pribadi, tetapi dalam arti organisasi. Fattah (2012: 131-132) menyatakan bahwa kebijakann disini terkait dengan kebijakan publik dan dibuat atas nama Negara (state) yang dibuat oleh instrument/alat-alat negara untuk mengatur perilaku tiap orang, seperti guru atau siswa dan organisasi, seperti sekolah dan universitas. Fokus perhatiannya pada kegiatan Negara bukan pada kegiatan perusahaan swasta yang sering hanya untuk kepentingannya sendiri.

Istilah kebijakan berasal dari Bahasa Inggris yaitu policy. Akan tetapi, kebanyakan orang berpandangan bahwa istilah kebijakan senantiasa disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Padahal apabila dicermati berdasarkan tata bahasa, istilah kebijaksanaan berasal dari kata wisdom. Menurut Ealau dan Penwitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss mendefenisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu.

(28)

Kebijakan menurut Titmuss senantiasa berorientasi kepada masalah (problemoriented) dan berorientasi kepada tindakan (actionoriented) dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan caracara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.

Bernandus Luankali (2007: 145) menyatakan bahwa kebijakan adalah Ilmu tentang hubungan pemerintah dengan warga negara atau apa yang sesungguhnya dibuat oleh pemerintah secara riil untuk warga negara. Hal ini berarti bahwa pemerintah dalam membuat suatu kebijakan tidak hanya untuk kepentingan pribadinya saja, namun berdasarkan kepentingan masyarakat. Sejalan dengan itu, Carl J. Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2006: 7) menyatakan bahwa kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan (tantangan) terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Tangkilisan (2003: 2) menyatakan bahwa kebijakan merupakan aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Winarno (2002: 5) menyatakan bahwa Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan

(29)

adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi Kebijakan pada dasarnya Kebijakan pada dasarnya suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan tertentu dan bukan hanya sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu. Kebijakan seyogyanya diarahkan pada apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah.

Abidin (2004: 31-33) menyatakan bahwa kebijakan secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan yaitu:

a. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.

b. Kebijakan pelaksanaan, yaitu kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum.

c. Kebijakan teknis, yaitu kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Brian W. Hogwood and Lewis A. Gunn (Tangkilisan, 2003: 5) secara umum kebijakan dikelompokan menjadi tiga, yaitu:

d. Proses pembuatan kebijakan merupakan kegiatan perumusan hingga dibuatnya suatu kebijakan.

e. Proses implementasi merupakan pelaksanaan kebijakan yang sudah dirumuskan.

f. Proses evaluasi kebijakan merupakan proses mengkaji kembali implementasi yang sudah dilaksanakan atau dengan kata lain mencari jawaban apa yang terjadi akibat implementasi kebijakan tertentu dan membahas antara cara yang digunakan dengan hasil yang dicapai.

Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif,

(30)

hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatankesempatan (tantangan) terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu. Melalui kebijakan, pemerintah ingin melakukan pengaturan dalam masyarakat untuk mencapai visi dari pemerintah itu sendiri dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat. Menyelesaikan masalahmasalah yang terjadi di masyarakat sehingga keikutsertaan masyarakat dalam menjalankan suatu kebijakan tersebut berakselerasi dengan pembangunan di daerah.

2. Model Implementasi Kebijakan

Dwidjowijoto (Nugroho, 2006: 126) memperkenalkan pemetaan impelementasi kebijakan dengan memperkenalkan model pemetaan top-downed versus bottom-upper terhadap mekanisme pasar versus mekanisme paksa. Mekanisme paksa adalah model yang mengedepankan arti penting lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanisme paksa dalam negara. Dalam hal ini tidak ada mekanisme insentif bagi yang menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak untuk melaksanakan atau melanggarnya. Mekanisme pasar adalah model yang mengedepankan mekanismen insentif bagi yang menjalani, bagi yang tidak menjalani tidak mendapatkan sanksi namun tidak mendapatkan insentif. Ada sanksi bagi yang menolak untuk melaksanakan atau melanggarnya.

Berbagai pendekatan model dalam implementasi kebijakan publik dapat dipahami melalui beberapa model klasik yang diilhami dari berbagai fenomena di berbagai kawasan di belahan dunia ini, antara lain:

(31)

a. Implementasi Sistem Rasional (Top Down)

Parsons (Mulyadi, 2015) menyatakan bahwa model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan yang tercakup dalam Emile karya Rousseau: “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”. Masih menurut Parsons (Mulyadi, 2015:16) menyatakan bahwa model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apaapa yang telah diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan sebuah sistem.

b. Implementasi Kebijakan Bottom Up

Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (Mulyadi, 2015) menyatakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan konsensus. Masih menurut Parsons model pendekatan bottom up menekankan kepada fakta bahwa implementasi di lapangan masih memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam perspektif bottom up adalah Adam Smith.

Smith (Mulyadi, 2015) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini

(32)

memandang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.

Terdapat beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu:

a. Teori George C. Edward

Edward III (Subarsono, 2011: 90-92) menyatakan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu: 1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan

mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai atau digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu: a) Transmisi, penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan. b) Kejelasan, komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. c) Konsistensi, perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika perintah yang diberikan sering diimplementasikan berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

2) Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut

(33)

dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial.

3) Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

4) Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan 31 pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

b. Teori Merilee S. Grindle

Keberhasilan implementasi Merilee S. Grindle (Subarsono, 2011: 93) menyatakan bahwa dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel tersebut mencakup: sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak sebuah program sudah tepat, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Sedangkan Wibawa (Wibawa dkk, 1994: 22-23) menyatakan bahwa model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.

(34)

Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.

a. Isi Kebijakan, mencakup hal-hal berikut:

1) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan

Kepentingan yang dipengaruhi berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui.

2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan

Pada variabel ini berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.

3) Derajat perubahan yang diinginkan

Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Pada variabel ini yang ingin dijelaskan adalah seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.

4) Kedudukan pembuat kebijakan

Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.

5) Pelaksana program

Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan, ini harus sudah terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.

6) Sumber daya yang dihasilkan

Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumber daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik

b. Konteks implementasi sebagai berikut:

1) Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat. Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan.

(35)

2) Karakteristik lembaga dan penguasa

Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.

3) Kepatuhan dan daya tanggap

Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauh mana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.

Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

c. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Mazmanian dan Sabatier (Subarsono, 2011: 94) menyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni karakteristik dari masalah (tractability of the problems), karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation) dan variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).

Model implementasi yang ditawarkan mereka disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis. Kedua ahli kebijakan ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah dalam mengidentifikasikan

(36)

variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Dan variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu:

a. Mudah atau Tidaknya Masalah yang akan Digarap, meliputi 1) Kesukaran-kesukaran Teknis

Tercapai atau tidaknya tujuan suatu kebijakan akan tergantung pada sejumlah persyaratan teknis, termasuk diantaranya: kemampuan untuk mengembangkan indikatorindikator pengukur prestasi kerja yang tidak terlalu mahal serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausal yang mempengaruhi masalah. Disamping itu tingkat keberhasilan suatu kebijakan dipengaruhi juga oleh tersedianya atau telah dikembangkannya teknik-teknik tertentu.

2) Keberagaman Perilaku yang Diatur

3) Persentase Totalitas Penduduk yang Tercakup dalam Kelompok Sasaran.

Semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasaran yang perilakunya akan diubah (melalui implementasi kebijakan), maka semakin besar peluang memobilisasikan dukungan politik terhadap sebuah kebijakan dan dengannya akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan kebijakan.

4) Tingkat dan Ruang Lingkup Perubahan Perilaku yang Dikehendaki.

Semakin besar jumlah perubahan perilaku yang dikehendaki oleh kebijakan, maka semakin sukar/sulit para pelaksana memperoleh implementasi yang berhasil. Artinya ada sejumlah masalah yang jauh lebih dapat kita kendalikan bila tingkat dan ruang lingkup perubahan yang dikehendaki tidaklah terlalu besar.

b. Kemampuan Kebijakan Menstruktur Proses Implementasi Secara Tepat.

Para pembuat kebijakan mendayagunakan wewenang yang dimilikinya untuk menstruktur proses secara tepat melalui beberapa cara:

1) Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai.

Semakin mampu suatu peraturan memberikan petunjukpetunjuk yang cermat dan disusun secara jelas skala prioritas/urutan kepentingan bagi para pejabat pelaksana dan aktor lainnya, maka semakin besar pula

(37)

kemungkinan bahwa ouput kebijakan dari badan-badan pelaksana akan sejalan dengan petunjuk tersebut.

2) Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan.

Memuat suatu teori kausalitas yang menjelaskan bagaimana kira-kira tujuan usaha pembaharuan yang akan dicapai melalui implementasi kebijakan.

3) Ketetapan alokasi sumberdana.

Tersedianya dana pada tingkat batas ambang tertentu sangat diperlukan agar terbuka peluang untuk mencapai tujuan-tujuan formal.

4) Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembagalembaga atau instansi-instansi pelaksan.

Salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan perundangan yang baik ialah kemampuannya untuk memadukan hirarki badan-badan pelaksana. Ketika kemampuan untuk menyatu padukan dinas, badan, dan lembaga sukar dilaksanakan, maka koordinasi antar instansi yang bertujuan mempermudah jalannya implementasi kebijakan justru akan membuyarkan tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan.

5) Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana.

Selain dapat memberikan kejelasan dan konsistensi tujuan, memperkecil jumlah titik-titik veto, dan intensif yang memadai bagi kepatuhan kelompok sasaran, suatu undang-undang harus pula dapat mempengaruhi lebih lanjut proses implementasi kebijakan dengan cara menggariskan secara formal aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana.

6) Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaksud dalam undang-undang.

Para pejabat pelaksana memiliki kesepakatan yang diisyaratkan demi tercapainya tujuan. Hal ini sangat signifikan halnya, oleh karena, top down policy bukanlah perkara yang mudah untuk diimplementasikan pada para pejabat pelaksana di level lokal.

7) Akses formal pihak-pihak luar

Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi implementasi kebijakan adalah sejauh mana peluang- peluang yang terbuka bagi partisipasi para aktor diluar badan pelaksana dapat mendukung tujuan resmi. Ini maksudnya agar kontrol pada para pejabat pelaksanaan yang ditunjuk oleh pemerintah pusat dapat berjalan sebagaimana mestinya.

(38)

c. Variabel-variabel diluar Undang-undang yang Mempengaruhi Implementasi

1) Kondisi sosial ekonomi dan teknologi.

Perbedaan waktu dan perbedaan diantara wilayah-wilayah hukum pemerintah dalam hal kondisi sosial, ekonomi, dan teknologi sangat signifikan berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu undang-undang. Karena itu, eksternal faktor juga menjadi hal penting untuk diperhatikan guna keberhasilan suatu upaya pengejawantahan suatu kebijakan publik. 2) Dukungan publik

Hakekat perhatian publik yang bersifat sesaat menimbulkan kesukaran-kesukaran tertentu, karena untuk mendorong tingkat keberhasilan implementasi kebijakan sangat dibutuhkan adanya sentuhan dukungan dari warga. Karena itu, mekanisme partisipasi publik sangat penting artinya dalam proses pelaksanaan kebijakan publik di lapangan.

3) Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat.

Perubahan-perubahan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan publik akan sangat berhasil apabila di tingkat masyarakat, warga memiliki sumber-sumber dan sikap-sikap masyarakat yang kondusif terhadap kebijakan yang ditawarkan pada mereka. Ada semacam local genius (kearifan lokal) yang dimiliki oleh warga yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau Ketidak berhasilan implementasi kebijakan publik. Dan, hal tersebut sangat dipengaruhi oleh sikap dan sumber yang dimiliki oleh warga masyarakat.

4) Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.

Kesepakatan para pejabat instansi merupakan fungsi dari kemampuan undang-undang untuk melembagakan pengaruhnya pada badan-badan pelaksana melalui penyeleksian institusi-institusi dan pejabat-pejabat terasnya. Selain itu pula, kemampuan berinteraksi antarlembaga atau individu di dalam lembaga untuk menyukseskan implementasi kebijakan menjadi hal indikasi penting keberhasilan kinerja kebijakan publik.

d. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

Donal Van Meter dan Carl Van Horn (Suratman, 2017: 83) mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijkan.

(39)

Meter dan Horn (Subarsono, 2011: 99) menyatakan bahwa ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana dan kondisi sosial, ekonomi dan politik.

3. Pendekatan Kebijakan dalam Pendidikan

a. Pendekatan Empirik

Sagala (2013: 100-101) menyatakan bahwa pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan tertentu dalam bidang pendidikan bersifat factual atau fakta dan macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif dan prediktif. Oleh karena itu analisa kebijakan pendidikan secara empiris diharapkan dapat menghasilkan dan memindahkan informasi-informasi penting mengenai nilai-nilai, fakta-fakta, dan tindakan-tindakan pendidikan. Karena itu pengetahuan mengenai apakah (fakta), mana yang benar (nilai), dan apa yang harus dilakukan (tindakan) memerlukan penggunaan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi maslah alternatif, tindakan, hasil, dan hasil guan kebijakan. Analisis pendekatan kebijakan empiris ini telah dilakukan melalui penelitian oleh para ahli berasal dari permulaan abad ke 19 dari karya para demograf, statistisi, dan penelitian survei.

Penelitian kebijakan publik bersifat empiris dan kuantitatif pada suatu organisasi dilakukan seperti masalah-masalah kemiskinan,

(40)

pemberantasan buta huruf, gelandangan di kota, penyakit masyarakat, dan control politik berlawanan dengan tradisi yang lebih tua seperti spekulasi filosofis, mistik, takhayul, dan otoritas agama terutama (tidak sepenuhnya) mengandalkan observasi yang didasarkan pada pengalaman indrawi (spekulatif) untuk membenarkan pernyataan dan pengetahuan. Kebijaksanaan merupakan proses rasional dimana analisis menghasilkan informasi dan argumen yang masuk akal mengenai pemecahan-pemecahan potensial atas masalah kebijaksanaan.

Dengan demikian informasi kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pendekatan empiris akan menghasilkan informasi penyelenggaraan pembelajaran yang aktual yang dibutuhkan dilapangan pada akhirnya dapat mengarah kepernyataan kebijakan yang biasa saja sama sekali berbeda dengan kondisi objektif di lapangan. Karena hal ini akan sangat tergantung pada asumsi para pengambil kebijakan yang terkandug dalam suatu argumen kebijakan yang ditetapkan bagi suatu organisasi atas dasar hasil analisis yang telah dilakukan. Argumen kebijakan pendidikan itu antara lain mengapa kurikulum harus direvisi, mengapa sistem evaluasi hasil belajar diubah, mengapa kalender akademik diubah dari caturwulan menjadi semester, mengapa anggaran pendidikan tidak sesuai kebutuhan pembelajaran, dan sebagainya.

(41)

b. Pendekatan Evaluatif

Sagala (2013: 101) menyatakan bahwa evaluasi kebijakan bukan sekedar mengumpulkan fakta tentang sesuatu katakanlah mengenai manajemen pendidikan yang dapat menjamin mutu, tetapi menunjukkan bahwa sesuatu itu mempunyai nilai jika dibandingkan dengan kriteria atau acuan yang menjadi pedoman.

Sejalan dengan berbagai pendapat tersebut Anderson mempertegas bahwa evaluasi kebijakan terdiri dari:

1) Evaluasi impresionistik yaitu apakah kebijakan memenuhi kepentingan diri, ideologi, atau criteria penilaian lain yang didasarkan pada fakta fragmentaris atau anekdot;

2) Evaluasi operasional yaitu bagaimana masalah pelaksanaan kebijakan apakah dijalankan dengan jujur, berapa besar biayanya, apakah tidak ada duplikasi dengan program lain, apakah aspek hokum dipenuhi, dan siapakah yang diuntungkan: dan (3) evaluasi sistemik yaitu mengacu pada masalah pokoknya seperti dampak dan efektifitas program: apakah kebijakan itu mencapai tujuannya, apakah untung ruginya, siapakah yang memperoleh keuntungan, dan apa yang akan terjadi jika kebijakan itu tidak ada.

Oleh karena itu, penekanan pendekatan evaluatif ini terutama pada penentuan bobot atau manfaatnya (nilai) beberapa kebijakan menghasilkan informasi yang bersifat evalatif. Evaluasi terhadap kebijakan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan evaluatif yaitu bagaimana nilai suatu kebijakan dan menurut nilai yang mana

(42)

kebijakan itu ditentukan. Dengan demikian akan ditegaskan bahwa evaluasi kebijakan organisasi adalah suatu aktifitas untuk mengetahui seberapa jauh kebijakan benar-benar dapat diterapkan dan dilaksanakan serta seberapa besar dapat memberikan dampak nyata memenuhi harapan terhadap khalayak sesuai direncanakan.

4. Model-model Kebijakan dalam Pendidikan

a. Model Deskriptif

Chon (Sagala, 2013: 105) menyatakan bahwa model deskriptif adalah pendekatan positif yang diwujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan menyajikan sesuatu “state of the art” atau keadaan apa adanya dari suatu gejala yang sedang diteliti dan perlu diketahui para pemakai. Jadi model deskripsi ini dapat menerangkan apakah fasilitas pembelajaran sudah memadai, kualifikasi pendidikan guru memenuhi persyaratan, anggaran utuk pembelajaran, dan sebagainya.

b. Model Normatif

Sagala (2013: 105) menyatakan bahwa diantara beberapa jenis model normatif yang digunakan analis kebijakan adalah model normatif yang membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum (model antri), pengaturan volume dan waktu yang optimum (model inventaris) dan keuntungan yang optimum pada investasi publik (model biaya manfaat). Karenanya masalah-masalah keputusan normatif adalah mencari nilai-nilai variabel terkontrol (kebijakan) akan menghasilkan manfaat terbesar (nilai), sebagaimana

(43)

terukur dalam variabel keluaran yang hendak diubah oleh para pembuat kebijakan.

c. Model Verbal

Sagala (2013: 106) menyatakan bahwa Model verbal (verbals models) dalam kebijakan didekspessikan dalam bahasa sehari-hari, bukannya bahasa logika simbolis dan matematika sebagai masalah substantif. Dalam menggunakan model verbal, analisis bersandar pada nilai nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan argumen kebijakan, bukan berbentuk nilai-nilai angka pasti. Model verbal secara relatif mudah dikomunikasikan diantara para ahli dan orang awam, dan biayanya murah. Keterbatasan model verbal adalah masalah-masalah yang dipakai untuk memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat Implicit atau tersembunyi, sehingga sulit untuk memahami dan memeriksa secara kritis argumen-argumen tersebut sebagai keseluruhan, karena tidak didukung informasi atau fakta yang mendasarinya.

d. Model Prosedural

Sagala (2013: 107) menyatakan bahwa model prosedural menampilkan hubungan yang dinamis antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prediksi-pediksi dan solusi-solusi optimal diperoleh dengan mensimulasikan dan meneliti seperangkat hubungan yang mungkin, sebagai contoh: Pertumbuhan ekonomi, konsumsi energi, angkatan kerja terdidik, penuntasan wajib belajar 9 tahun, alokasi anggaran pemerintah untuk pembelajaran, dan

(44)

suplai makanan dalam tahun-tahun mendatang yang tidak dapat diterangkan secara baik, karena data-data dan informasi yang diperlukan tidak tersedia. Prosedur simulasi dan penelitian pada umumnya (meskipun tidak harus) diperoleh dengan bantuan komputer, yang diprogramkan untuk menghasilkan prediksi-prediksi alternatif dibawah serangkaian asumsi yang berbeda-beda.

5. Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan

a. Pengertian Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan

Perda Kabupaten Gowa No.10 Tahun 2013 menyatakan bahwa Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan adalah kebijakan program pendidikan Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa yang berupaya memberikan pelayanan pendidikan secara optimal kepada peserta didik melalui strategi penuntasan semua tagihan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran secara berkelanjutan dengan berdsar kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Dasar, Fungsi, dan Tujuan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan Perda Kabupaten Gowa no. 10 Tahun 2013 BAB II pasal 2 menyatakan bahwa Sistem kelas tuntas berkelanjutan berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kemudian Perda Kabupaten Gowa no. 10 Tahun 2013 BAB II pasal 3 menyatkan bahwa Sistem Kelas Tuntas berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

(45)

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kemudian selanjutnya Perda Kabupaten Gowa no. 10 Tahun 2013 BAB II pasal 4 menyatakan bahwa Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan bertujuan untuk:

a. Mengembangkan kompetensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. b. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menguasai

semua kompetensi sebagaimana dinyatakan dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta dirumuskan dalam nilai. c. Memberikan pelayanan secara maksimal pada anak didik dalam

suasana pembelajaran yang kondusif, dan

d. Membantu dan menfasilitasi pengembangan potensi peserta didik secara utuh (kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan kinestetik) sejak awaal agar terbentuk kepribadian yang utuh.

c. Ruang Lingkup Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan

Ruang lingkup Program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan menurut meliputi:

a. Model Pembelajaran

Perda Kabupaten Gowa Nomor 10 Tahun 2013 BAB III Pasal 6 menyatakan bahwa model pembelajaran Sistem Kelas

(46)

Tuntas Berkelanjutan menekankan pada proses pembelajaran untuk membantu peserta didik belajar dalam kondisi psikologis yang positif, percaya diri, jujur dan mampu mengembangkan kreatifitas.

b. Model Manajemen Sekolah

Perda Kabupaten Gowa Nomor 10 Tahun 2013 BAB III Pasal 7 menyatakan bahwa model manajemen sekolah Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan meliputi: rencana kerja sekolah (RKS), pengelolaan keuangan sekolah, kegiatan produksi dan jasa sekolah, pengelolaan kuriikulum, sepervisi akademik, pengelolaan peserta didik, pengelolaan sarana prasarana sekolah, pembinaan tenaga administrasi sekolah, pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan, teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran dan monitoring evaluasi.

d. Hak dan Kewajiban Pemerintah Daerah dan Peserta Didik

Perda Kabupaten Gowa No.10 Tahun 2013 BAB IV Pasal 8 menyatakan bahwa Program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan merupakan suatu kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa, dalam pelaksanaannya pemerintah memiliki hak dan kewajiban meliputi.

a. Pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan.

(47)

b. Pemerintah daerah sesuai kewenangannya berhak dan berkewajiban mengatur, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi setiap penyelenggaraan pendidikan.

c. Dalam penyelenggaraan pendidikan yang diprogramkan oleh pemerintah wajib diketahui dan mendapat persetujuan dari Bupati. d. Mutasi dan penempatan guru diatur dan ditetapkan dengan

keputusan Bupati selaku Pejabat Pembina Kepegawaian.

Perda Kabupaten Gowa No.10 Tahun 2013 BAB IV Pasal 10 menyatakan bahwa di samping pemerintah yang memiliki hak dan kewajiban, peserta didik juga memiliki hak dan kewajiban meliputi. a. Mendapatkan pelayanan pendidikan secara maksimal agar dapat

belajar secara optimal dalam menuntaskan semua tagihan kompetensi pada seluruh mata pelajaran disetiap satuan pendidikan.

b. Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar setiap siswa dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

c. Seluruh peserta didik berkewajiban mengikuti seluruh proses pembelajaran dan menjaga norma-norma pendidikan.

e. Komponen Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan

Kebijakan program sistem kelas tuntas berkelanjutan memiliki beberapa komponen diantaranya

(48)

a. Deteksi Dini

Perda Kabupaten Gowa Nomor 10 Tahun 2013 BAB V Pasal 13 menyatakan bahwa deteksi dini merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru diawal pembelajaran setiap kali pertemuan dengan tujuan mendapatkan data dan informasi tentang minat, bakat, kompetensi dan kreatifitas setiap siswa terhadap setiap mata pelajaran.

b. Satuan Kredit Semester (SKS)

Perda Kabupaten Gowa Nomor 10 Tahun 2013 BAB V Pasal 14 menyatakan bahwa satuan kredit semester merupakan sistem penyelenggaraan program pendidikan dimana peserta didik menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan.

Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan ini menggunakan Sistem Promosi Otomatis (System Outomatic Promotion) yang merupakan sistem yang tidak mengenal tinggal kelas bagi para peserta didik yang tidak berhasil menuntaskan kompetensi sesuai alokasi waktu yang tersedia. Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan terdapat pula yang dinamakan pembelajaran remedial, pembelajaran remedial yang dimaksud adalah beberapa kompetensi yang belum dituntaskan dapat diulang tanpa harus mengulang semua kompetensi yang telah dituntaskan.

C. Kerangka Pikir

Berdasarkan hal di atas , Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan adalah sebuah kebijakan yang menekankan pada pelayanan pendidikan yang

(49)

berkualitas dan komprehensif kepada peserta didik yang memposisikan peserta didik sebagai subjek dalam belajar sehingga mampu mengembangkan potensi dirinya secara maksimal. Model pembelajaran Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan menggunakan strategi penuntasan semua tagihan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran secara berkelanjutan. Kebijakan ini diambil berdasarkan pertimbangan untuk memajukan kualitas pendidikan dan memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Kebijakan program Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan sebagai sebuah model pembelajaran yang baru tentunya masih banyak hambatan atau keterbatasan sehingga perlu ditelusuri secara lebih mendalam terhadap hambatan atau keterbatasan dalam implementasinya. Implementasi kebijakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan di Kabupaten Gowa akan dilihat berdasarkan kesesuaian dengan Perda No 10 Tahun 2013. Kerangka pikir pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut ini.

(50)

Gambar 2.1 Kerangka pikir

PERATURAN DAERAH KABUPATEN GOWA

NO 10 TAHUN 2013

TENTANG SISTEM KELAS TUNTAS BERKELANJUTAN (SKTB)

Faktor Pendukung

a. Adanya Perda

b. Respon yang baik

dari stakholder

pendidikan

c. Dukungan

Faktor Penghambat

a. Kurangnya

pemahaman guru

b. Kurangnya

kesadaran siswa

c. Kurangnya sarana

Implementasi SKTB

Sistem promosi otomatis (system automatic promotion) dan remedial

Hasil/Temuan

SD INPRES WATU-WATU KECAMATAN PALLANGGA KABUPATEN GOWA

(51)

38 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian 1) Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa penelitian kualitatif deskriptif. Jenis Penelitian deskriptif terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat mengungkapkan fakta dan memberikan gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diteliti.

Dari definisi tersebut mendorong saya ingin melakukan penelitian kualitatif. Alasan saya mengambil jenis penelitian tersebut karena dengan metode ini saya akan mengetahui cara pandang objek penelitian lebih mendalam dan tidak bisa diwakili dengan angka-angka statistik. Jika subjek kita ubah dengan angka-angka statistik saya akan kehilangan sifat subjektif dari perilaku manusia. Melalui metode ini saya akan mengenal orang (subjek) secara pribadi dan melihat mereka mengembangkan definisi mereka sendiri tentang dunia ini saya dapat merasakan apa yang mereka rasakan dalam pergulatan masyarakat sehari-hari. Saya juga dapat mempelajari kelompok dan pengalaman-pengalaman yang belum pernah saya ketahui sama sekali. Dalam metode kualitatif ini saya menyelidiki konsep-konsep yang dalam pendekatan penelitian lainnya intinya akan hilang sehingga dalam penelitian ini saling berhubungan dengan menggunakan pendekatan secara studi kasus karena berinteraksi langsung dengan objek yang akan diteliti.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka pikir
Gambar 3.1. Langkah-langkah Analisis Data (Kaharuddin, 2015)
Tabel 4.1 Daftar nama guru dan staf sekolah
Gambar 4.1 Struktur pembelajaran Kelas Tuntas Berkelanjutan  2) Model Manajemen Sekolah

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Faktor yang mendukung perilaku membolos yaitu (1) faktor internal meliputi persepsi positif mengenai perilaku membolos, tidak ada rasa bersalah, malas, impulsif,

Pemakai penting lain meliputi pemasok, pelanggan, organisasi perdagangan, analis keuangan, calon investor, penjamin, ahli statistik, ahli ekonomi, dan pihak yang

TIGA PULUH TTK KOMBES POL DRS MARSAULI SIREGAR SH NRP 61010818 DIRRESKRIMUM POLDA SUMUT DIANGKAT DLM JBTN BARU SBG PENYIDIK UTAMA TK I ROWASSIDIK BARESKRIM POLRI TTK. TIGA PULUH

Comparison of xylem growth ring widths of pine and beech saplings in 2010 and 2011 under different regimes showed that widths in 2010 were wider in pines under all three

Hasil pengamatan guru (peneliti) pada pertemuan kedua ini terhadap aktivitas siswa menunjukkan bahwa masih ada siswa yang malu-malu tampil didepan teman-temannya

Hasil kajian menunjukkkan bahawa responden mempunyai masalah dari aspek beban kerja, pengurusan masa, peranan pensyarah dan kewangan pada tahap sederhana manakala

Oleh itu, pihak kerajaan dan Institusi Pengajian Tinggi perlu mengambil perhatian yang serius mengenai masalah tiada jaminan kedapatan makanan dalam kalangan