BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Kerangka teori
1. Kajian Shalat Dhuha
a. Pengertian Shalat Dhuha
Makna kata dhuha dalam kamus bahasa Arab, dhuha diartikan sebagai
“forenoon”, yakni pagi hari atau sebelum tengah hari, atau diartikan dalam bentuk kata kerjanya sebagai become appear/visible, “menjadi tampak atau terlihat”. Shalat dhuha adalah shalat sunah yang dilakukan setelah terbit matahari sampai menjelang waktu zuhur. Afdhalnya di lakukan pada pagi hari disaat matahari sedang naik.1
Jadi shalat sunnah itu sebagai penambal dari shalat yang wajib. Dengan adanya shalat sunnah manusia dapat menambal amal ibadahnya. Tidak hanya shalat sunnah yang mampu menambal amal-amal wajib, seperti yang dijelaskan diatas bahwa puasa sunnah pun dapat menambal puasa wajib. Manusia diharapkan memperbanyak amalannya. Selain amalam yang wajib yang sunnah pun diharapkan dilakukannya.
1 Zezen Zainal Alim, The Ultimate Power Of Shalat Dhuha, Jakarta selatan :jagakarsa, 2012,hal 1
Setiap shalat sunnah mempunyai manfaat sendiri-sendiri. Seperti shalat dhuha, shalat dhuha mempunyai keistimewaan sebagaimana yang disebutkan oleh hadits, barang siapa yang melakukan shalat dhuha 4 raka‟at maka Allah akan mencukupi kebutuhannya pada hari itu. Tetapi sebagai seorang muslim hendaknya kita tidak mengharap hal seperti itu, kita cukup berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah, barang siapa yang dekat dengan Allah maka segala apapun akan dimudahkan-Nya.
b. Dasar Hukum Shalat Dhuha
Dalam agama Islam, sumber rujukan utama penetapan hukum suatu amalan adalah Al-Qur‟an.Berkaitan dengan persoalan status hukum shalat dhuha, Al-Qur‟an sendiri sebenarnya tidak mengemukakan secara eksplisit perintah atau anjuran yang tegas atau jelas berkenaan dengan pelaksanaan shalat tersebut. Ada beberapa kata dhuha yang bisa kita temukan dalam Al-Qur‟an, tetapi kata-kata itu tampaknya tidak berkaitan dengan penetapan hukum shalat dhuha.2
Oleh karena itu, kita tidak dapat menemukan dasar hukum yang tegas dan jelas dalam Al-Qur‟an berkenaan dengan shalat dhuha tersebut. Namun, hal itu tidak mengurangi arti penting shalat dhuha. Karena penjelasan yang tegas dan jelas tentang anjuran pengamalan shalat ini dapat ditemukan dalam beberapa hadits Rasulullah.
Berdasarkan hadits-hadits itulah kita dapat mempertimbangkan status dasar hukum shalat dhuha. Di sinilah tepatnya kita menemukan posisi hadits yang berkaitan
2 Ibid, The Ultimate Power Of Shalat Dhuha, hal 20
9
dengan Al-Qur‟an, seperti terungkap dalam kajian Ulum Al-Qur’an. Hadits-hadits berfungsi sebagai penjelas, penjabar, dan pendamping Al-Qur‟an.
Hadits di atas menyebutkan bahwa salah satu di antara tiga amalan sunnah yang diwasiatkan Rasulullah kepada umatnya, melalui tuturan kata-kata Abu Hurairah adalah amalan shalat dhuha. Dalam hal ini, seruan Rasulullah kepada sahabatnya untuk melaksanakan shalat dhuha adalah seruan untuk melakukan sebuah amalan sunnah. Sebab, dalam hadits tersebut tidak ditemukan adanya perkataan atau pernyataan yang menekankan atau menyebutkan isyarat wajibnya amalan shalat dhuha. Dalam kaidah-kaidah ilmu Ushul Fiqh- yakni aturan-aturan dasar metodologis dalam menetapkan suatu hukum-disebutkan bahwa jika ungkapan perintah atau kalimat berita yang mengandung makna perintah tidak mengandung indikasi wajibnya pelaksanaan perintah tersebut, perintah tersebut hanya berstatus hukum sunnah.
c. Tata Cara Shalat Dhuha
Sebelum kamu shalat dhuha, berwudhu terlebih dahulu. Manfaatnya untuk menyegarkan dan menbersihkan kotoran yang menempel ditubuhmu. Setelah itu, kamu ucapkan niat menunaikan shalat dhuha hanya untuk Allah SWT, semata. Pada rakaat pertama, setelah kamu membaca surah alfatiha, disunahkan membaca surah Al-syams. Kenapa disunahkan membaca surah Al-syams? Sesuai dengan artinya, yakni matahari,kamu mesti seperti matahari yang setiap hari menyinari dunia.
Rakaat kedua lantas kenapa pada rakaat kedua kita disunnahkan membaca surah Al-lail? Malam hari adalah sebuah gambaran yang bisa kamu ambil pelajaranya. Karena gelap, malam harus dijadikan waktu untuk beristirahat dan mengefaluasi apa yang telah kamu lakukan pada siang harinya. Jadi, ada kesinambungan yang terus menerus antara siang dan malam atau antara matahari dan bulan. Hal ini mengajarka kepada kita bahwa hidup itu mesti diseimbangkan menurut ketentuan darinya.3
Jumlah rakaat shalat dhuha, minimal 2 rakataat dan maksimal 12 rakaat.
Shalat dhuha dilakukan secara mumfarid (tidak berjamaah atau sendiri-sendiri) caranya sebagai berikut:
a. Berniat dalam hati dengan takbir ratul ikhram seperti ini,:” aku berniat shalat dhuha karna Allah”
b. Membaca doa iftitah c. Membaca surah Al-fatiha
d. Membaca salah satu surah Al-quran(lebih utama membaca surah Al-syams) e. Ruku dan membaca tasbih tiga kali
f. I‟tidal dan membaca bacaanya
g. Sujud pertama dan membaca tasbih tiga kali h. Duduk diantara dua sujud dan membaca bacaanya
3 Ahmad Sultoni, Tuntunan shalat (wajib dan sunnah), (Bandung: nuansa Aulia,2007), hal 147-148
11
i. Sujud kedua dan membaca tasbih tiga kali4
Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu.Sesungguhnya pada pagi hari terdapat berkah dan keberuntungan.
(HR. At-Thabrani)
Dalam hadits tersebut kita diwajibkan untuk senantiasa mencari rezeki di pagi hari. Bisa pula berarti waktu dimulainya aktivitas seseorang. Secara fisik maupun psikis, waktu pagi ketika matahari sudah muncul itulah merupakan saat yang tepat untuk memulai kegiatan karena istirahatnya seseorang pada malam harinya.
Jadi, tubuh dan pikiran masih segar-segarnya. Oleh karena itu, mencari reeki atau beraktivitas apa pun akan sangat maksimal dilakukan di pagi hari.
Dalam bahasa Arab, kata Dhuha diartikan forenoon, yaitu pagi hari sebelum tengah hari. Maksudnya, ketika matahari mulai tampak terlihat jelas sebelum tengah hari. Dhuha merupakan saat-saat yang penting karena Allah seringkali menunjukkannya dalam Al-Qur‟an.Para penerjemah Al-Qur‟an sepakat bahwa Dhuha diartikan waktu matahari sepenggelahan naik atau pagi hari yang panas. Mengenai kata dhuha diartikan sebagai “matahari sepenggalan naik” terdapat dalam Al-Qur‟an surat ad-Dhuha ayat 1, asy-Syams ayat 1, dan al-A‟raf ayat 98.
Dalam Surat ad-Dhuha, kata Dhuha diartikan sebagai “waktu matahari sepenggalahan naik”, dapat berarti matahari sedang naik sedikit. Dengan kata lain, di pagi hari saat matahari sudah tampak jelas dengan sinarnya yang hangat seperti dalam
4 Sabil El-ma‟rufie,Dahsyat Shalat Dhuha, Bandung : Dari Mizan, 2007, hal 141
Surat asy-Syams. Sementara itu, pada Surat al-A‟raf kata bermain merupakan saat manusia sedang sibuk-sibuknya dengan urusan dunianya dan merasa aman dari datangnya malapetaka, yakni ketika bekerja, belajar, olahraga, atau mengurus rumah.
Berarti juga pada saat itulah manusia dituntut untuk selalu waspada dan berhati-hati.
Berdasarkan hadits, Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Rasulullah Saw, keluar menemui penduduk Quba di saat mereka melaksanakan shalat dhuha, lalu Rasulullah Saw, bersabda, “Shalat dhuha dilakukan apabila anak-anak unta telah merasa kepanasan (karena tersengat matahri),” “(HR. Muslim dan Ahmad bin Hanbali) maka waktu dhuha adalah matahari sedang terasa hangat-hangatnya dan berakhir ketika sebelum waktu Dzuhur.5
Waktu sepenggalahan itu kira-kira 18 derajat ketinggian waktu di ufuk timur karena waktu tersebut bersamaan hilangnya waktu karahah (makruh mengerjakan shalat). Waktu karahah yang dimaksud di sini adalah rentang waktu yang memisahkan antara selesai shalat Subuh dengan terbitnya matahari karena haram hukumnya melakukan shalat pada saat tepat matahari terbit. Sementara itu, waktu yang paling utama untuk menunaikannya adalah ketika terik matahari makin menyengat. Agar lebih aman, shalat dhuha sebaiknya dilaksanakan mulai terbitnya matahari dari seperempat jam setelah terbitnya matahari sampai kurang seperempat sebelum waktu shalat Dzuhur tiba. Waktu disesuaikan dengan perbedaan arah matahari di masing-masing wilayah.
5 Muhammad Khalid, Shalat Subuh dan Shalat Dhuha, Jakarta : PT Buku Kita, 2009, hal 58
13
Tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah rakaat shalat dhuha. Dari beberapa hadis diketahui bahwa rakaat shalat dhuha berbeda-beda di setiap kesempatan Rasulullah melaksanakannya. Tak hanya itu, jumlah batasan maksimal shalat dhuha juga tidak ditentukan.Yang pasti, batas minimal shalat dhuha itu adalah 2 rakaat, sedangkan rakaatnya adalah kelipatannya (dalam bilangan genap), yakni 4, 6, 8, atau malah 12.6
Shalat dhuha dua rakaat terdapat dalam hadis “Abu Hurairah ra.berkata,
“Kekasihku, Rasulullah saw, berpesan tiga hal kepadaku puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat dhuha, dan agar aku melakukan shalat Witir sebelum tidur.” (HR. Muslim) Adapun Rasulullah biasa pula melakukannya empat rakaat ketika Aisyah menjawab pertanyaan Mu‟adzah.Aisyah ra.berkata, “Rasulullah biasa melakukan shalat dhuha empat rakaat, dan Beliau menambahnya menurut kemampuan, atas kehendak Allah." (HR. Muslim). Dua belas rakaat maka niscaya Allah Swt akan membina sebuah istana di dalam surge kelak.” (HR. al-Tirmidzi)
Shalat dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadis Abud Darda Radhiyallahu’anhu, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mengerjakan shalat dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barang siapa shalat empat rakaat, dia ditetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barang siapa menegerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barang siapa mengerjakan
6 Ibid, Shalat Subuh dan Shalat Dhuha, hal 59
delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barang siapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang dianugerahkan kepada hamba-hamba nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik dari pada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya.”
(HR. at-Thabrani)
Dalam hadis disebutkan, “Abu Umranah berkata kepada Abu Dzar, “Wahai paman, berwasiatlah kepadaku” Kemudian, dia (Abu Dzar) berkata, “Wahai keponakanku, aku pernah meminta kepada Rasulullah sebagaimana engkau memintanya kepadaku. Beliau bersabda, “Jika engkau shlat Dhuha dua rakaat, engkau dicatat tidak termasuk orang-orang yang lalai. Jika engkau shalat dhuha enam rakaat, engkau tidak akan berbuat dosa pada hari itu. Jika engkau shalat dhuha delapan rakaat, engkau dicatat sebagai orang yang taat. Jika engkau shalat dhuha dua belas rakaat, Allah akan membuatkan untukmu sebuah rumah di surga.” (HR. al-Syaibani)
d. Keutamaan Shalat Dhuha
Shalat dhuha sebagai shalat sunnah memiliki banyak sekali faedah keutamaannya, sehingga sangatlah baik apabila shalat ini dilaksanakan secara istiqomah yakni dengan membiasakan setiap hari dalam melaksanakannya. Dalam hadist Nabi SAW telah banyak disinggung tentang manfaat serta keutamaannya.
15
Tentang pengaruh shalat terhadap jiwa rohani manusia sangat banyak disinggung serta dialami sendiri oleh banyak pakar ilmu, sebagaimana yang dijelaskan bahwa shalat dapat membantu menghilangkan perasaan gelisah dan duka.
Sebenarnya manusia adalah sebuah entitas makhluk sempurna, yang diciptakan oleh Sang Maha pemilik kesempurnaan dan ia juga sebagai khalifah bumi, sehingga hal tersebut seharusnya mampu dirasakan serta disyukuri lewat aktifitas shalat, yaitu aktifitas yang mengajak manusia untuk menuju dimensi murni yang begitu suci, menuju ke perbendaharaan tersembunyi untuk menyatu dengan dirinya.7
Dalam shalat manusia mengalami proses mi‟raj (naik) ke hadirat Ilahi Rabbi sehingga dengan mi‟raj tersebut manusia telah melupakan semua beban yan telah menimpanya dan dengan demikian dia akan menghasilkan sebuah ketenangan dan kedamaian dalam hatinya.
Thomas Heslof mengatakan bahwa “Sesungguhnya unsur-unsur pokok terpenting yang saya ketahui diantara tahun-tahun yang panjang yang saya habiskan dalam pengalaman dan eksperimen-eksperimen adalah shalat. Saya kemukakan pendapat ini dengan resep dokter, yakni bahwa sesungguhnya shalat merupakan sarana terpenting yang saya ketahui sampai sekarang menanamkan ketentraman dalam jiwa dan menanamkan ketentraman dalam syaraf.8
7 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual WSQ;
Emosional Spiritual Quotient berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta, Arta Wijaya Persada) 2001, hal. 280.
8 M. Ustman Najati, Jiwa Manusia dalam Sorotan Al-Qur’an (Jakarta, Cendekia Sentra Muslim, 1993) hal. 313.
Shalat juga mempunyai pengaruh yang sangat besar dan efektif dalam menyembuhkan manusia dari dukacita dan gelisah. Sikap berdiri pada waktu shalat di hadapan Tuhannya dalam keadaan khusuk, berserah diri dan pengosongan diri dari kesibukan dan permasalahan hidup dapat menimbulkan perasaan tenang, damai dalam jiwa manusia serta dapat mengatasi rasa gelisah dan ketenangan yang ditimbulkan oleh tekanan jiwa dan masalah kehidupan.9
Menurut Ustman Najati, bahwa kedamaian jiwa dan ketenangan akal, serta untuk kondisi ini dari kelonggaran dan kedamaian jiwa yang diciptakan shalat memberi pengaruh pengobatan yang cukup penting dalam mengurangi tajamnya ketegangan-ketegangan syaraf yang tumbuh karena tekanan-tekanan hidup sehari-hari, dan dalam meringankan kegelisahan yang di derita sebagian orang.10
Menurut Ary Ginanjar Agustian, shalat adalah metode yang jauh lebih sempurna, karena ia tidak hanya bersifat duniawi namun juga bermuatan nilai-nilai spiritual. Didalamnya terdapat sebuah totalitas yang terangkan secara dinamis kombinasi gerak (fisik), emosi (rasa), dan hati (spiritual).11
Seseorang yang telah berhasil dalam mendirikan shalat akan dapat menjaga diri dari sebuah perbuatan yang tidak pantas dilakukan menurut hatinya yang mana dengan perbuatan tersebut apabila didasarkan pada kata hatinya (hati nurani), dalam
9 M. Ustman Najati, Jiwa Manusia, hal. 106.
10 M. Ustman Najati, Jiwa Manusia, hal. 313.
11 Ary Ginanjar, Rahasia Sukses, hal. 278.
17
dirinya akan timbul sebuah perasaan berdosa yang selanjutnya akan menumbuhkan sebuah kegundahan dalam dirinya.
Energi rohani shalat juga dapat membantu membangkitkan harapan, menguatkan tekad, meninggikan cita-cita dan juga melepaskan kemampuan luar biasa yang menjadikannya lebih siap menerima ilmu pengetahuan dan hikmah serta sanggup melakukan tugas-tugas kepahlawanan yang hebat.12
Shalat berfungsi sebagai metode pengulangan dimana potensi spiritual yang berisikan elemen-elemen karakter atau sifat-sifat mulia agung itu diasah dan diulang-ulang, sehingga akan terjadi proses behaviorisme yang mengarah pada internalisasi karakter.13