• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KAJIAN TEORI

3. Al-Qur‟an

Muhammad SAW yang memiliki kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam

mushaf, dimulai dengan surat Fatihah dan diakhiri dengan surat Al-Anas. (Al-Munawar dkk, 2002: 5).

Al-Qur‟an merupakan kitab suci umat Islam, sekalipun tidak memberikan petunjuk langsung tentang suatu bentuk masyarakat yang dicita-citakan di masa mendatang, namun tetap memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dan kualitas suatu masyarakat yang baik, walaupun semua itu memerlukan upaya interpretasi dan pengembangan pemikiran.

Di samping itu Al-Qur‟an juga memerintahkan kepada umat manusia untuk memikirkan pembentukan suatu masyarakat dengan kualitas-kualitas tertentu. Dan sangat mungkin bagi umat Islam untuk merekonstruksikan suatu gambaran masyarakat ideal berdasarkan petunjuk Al-Qur‟an. (Al-Munawar, 2002: 233)

Adapun maksud dari judul dalam penelitian ini adalah menjelaskan tentang bagaimana akhlak anak terhadap orangtua dalam Al-Qur‟an dengan menggunakan term “Ihsan” kepada orangtua pada QS Al-Isra‟:23, An-Nisa‟:36, Al-An‟am: 151 dan Al-Ahqaf:15

4. Kajian Tafsir Maudhu‟i

Tafsir maudhu‟i merupakan sebuah metode yang dicetuskan oleh para ulama untuk memahami makna-makna dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Kata maudhu‟i dinisbatkan kepada kata al-maudhu‟ yang berarti topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Dalam bahasa arab (عوضوم), kata maudhu‟i berasal dari bahasa arab yang merupakan isim maf‟ul dari fi‟il madzi (عضو) yang berarti meletakkan, menjadikan, menghina, mendustakan dan membuat-buat. Secara semantik, tafsir maudhu‟i berarti menafsirkan al-Qur‟an menurut tema atau topik tertentu. Dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan tafsir tematik. Tafsir maudhu‟i menurut pendapat mayoritas ulama adalah menghimpun seluruh ayat al-Qur‟an yangmemiliki tujuan dan tema yang sama. (Al-Farmawi, 1997: 41)

5. ihsan

ialah berbuat baik dalam hal ketaatan terhadap Allah swt. Adapun secara kaifiyatnya adalah menyembah Allah seakan-akan melihatnya, atau jika tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kita. Jadi selain mengerjakan perintah-perintah yang wajib, ihsan juga mengamalkan hal-hal yang sunnah.

Berbuat baik (ihsan) adalah perbuatan terpuji. Berbuat ihsan juga akan dapat menciptakan suasana harmonis dalam hubungan dengan masyarakat. Hal ini sangat dianjurkan dalam akhlak islam. Manusia diciptakan dalam kondisi saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya. Interaksi antara manusia tidak akan berjalan efektif jika tidak ada rasa saling menghargai antar sesama. Al-Qur‟an dan sunnah telah menuntun kita bagaimana seharusnya bersikap saling menghargai.

Sikap ihsan hendaknya menjadi ciri akhlak kaum muslimin, karena dengan berbuat baik akan menciptakan susana hubungan yang harmonis di antara sesama masyarakat. Akhlak yang baik juga akan membimbing masyarakat untuk memiliki nilai-nilai kehidupan mulia. Berbuat baik atau ihsan dalam beribadah harus teratur, baik pada saat dilihat orang lain maupun di waktu sendirian. Sesungguhnya, di mana saja kita berada, Allah Maha Megetahui atas apa yang seorang hamba lakukan. (Amin, 2016: 209-212)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Landasan Teori 1. Akhlak

a. Pengertian Akhlak

Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia digandengkan dengan pembahasan taqwa, akhlak merupakan buah pohon Islam yang berakarkan aqidah, bercabang dan berdaun syari‟ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Di antaranya adalah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”(HR Ahmad); “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (HR Tarmidzi); Dan akhlak nabi Muhammad yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu disebut akhlak Islam atau akhlak Islami karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam al-Qur‟an yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam. (Ali, 2006: 346)

Ya‟qub dalam bukunya yang berjudul Etika Islam, terdapat perbedaan mengenai Akhlak, etika dan moral, yaitu: Perkataan akhlak berasal dari bahasa arab jama‟ dari “khuluqun” yang menurut loghat diartikan : budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi‟at. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “Khalqun” yang berarti : kejadian, serta erat kaitannya dengan “khaliq” yang berarti : pencipta, dan “makhluq” yang berarti : yang diciptakan.

Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq. Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam al-Qur‟an surah Al-Qalam ayat 4 :

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur”

Amin dalam bukunya “Al-Akhlak” merumuskan pengertian akhlak sebagai berikut:

“Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.”

Selain istilah “akhlak”, juga lazim dipergunakan istilah “etika”. Perkataan ini berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan. Ada orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.

Berdasarkan dua istilah di atas, dalam bahasa Indonesia juga menggunakan bahasa “moral”. Perkataan moral berasal dari bahasa latin “mores” kata jama‟ dari “mos” yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik

dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkaran tertentu. Dengan demikian, jelaslah persamaan antara etika dan moral. Namun ada pula perbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori sedangkan moral lebih bersifat praktis. (Ya‟qub, 1983: 11-14)

Perbedaan antara etika, moral dan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk itu adalah al-Qur‟an dan al-hadis.” (Nata, 2012: 97)

Jadi akhlak mengandung makna yang ideal, tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku yang mungkin positif, mungkin negatif, mungkin baik, mungkin buruk. Yang termasuk ke dalam pengertian positif (baik) adalah segala tingkah laku, tabi‟at, watak dan perangai yang sifatnya benar, amanah, sabar, jujur, pemaaf, pemurah, rendah hati dan lain-lain sifat yang baik. Sedang yang termasuk ke dalam pengertian akhlak atau budi pekerti yang buruk adalah semua tingkah laku, tabi‟at, watak, perangai sombong, dendam, dengki, khianat dan lain-lain sifat-sifat yang buruk. Yang menentukan suatu perbuatan atau tingkah laku itu baik atau buruk adalah nilai dan norma agama, juga kebiasaan atau adat istiadat.

Akhlak Islami adalah keadaan yang melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak jika memenuhi beberapa syarat. Syarat itu antara lain adalah (1) dilakukan berulang-ulang. Jika dilakukan sekali saja, atau jarang-jarang, tidak dapat dikatakan akhlak. (2) Timbul dengan sendirinya tanpa dipikir-pikir atau ditimbang

berulang-ulang karena perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya. (Ensiklopedi Islam Jilid 1, 1993: 102)

b. Macam-macam Akhlak

1) Akhlak Terpuji (Mahmudah)

Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan kebiasaan yang baik, melakukan dan mencintainya” (Nata, 2012: 165-166)

Jadi akhlak terpuji berarti sifat-sifat atau tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma atau ajaran Islam. Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain sebagai berikut:

a) Akhlak terpuji yang berhubungan dengan Allah SWT, yaitu mentauhidkan Allah, bertaqwa kepada Allah, selalu berdo‟a kepada Allah, selalu berdzikir kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya

b) Akhlak kepada diri sendiri. Contoh perilakunya: jujur, sabar, syukur, tawadhu‟, iffah yaitu menahan diri melakukan segala sesuatu yang terlarang, hilmun yaitu menahan diri dari marah, amanah dan sebagainya.

c) Akhlak terhadap keluarga, yakni berbakti kepada kedua orang tua, adil terhadap saudara, membina dan mendidik keluarga sesuai dengan yang terdapat dalam al-qur‟an dan sunnah Rasul dan memelihara keturunan

d) Akhlak terhadap masyarakat. Contohnya: menjalin tali persaudaraan dengan baik, tolong menolong antar sesama, adil, pemurah, penyantun dan selalu menepati janji.

Akhlak terpuji dibagi menjadi dua bagian, yaitu: a) Taat lahir

Taat lahir yaitu melakukan seluruh amal ibadah yang diwajibkan Tuhan, termasuk berbuat baik kepada sesama manusia

dan lingkungan, dan dikerjakan oleh anggota lahir. Contoh perbuatan yang termasuk kepada taat lahir adalah: tobat, amar ma‟ruf nahi munkar, syukur kepada Allah.

Mengenai taat lahir, Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 104:







































“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Sedangkan cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan Akhlak terpuji adalah:

a) Pendidikan, menjadikan cara pandang seseorang akan bertambah luas, tentunya dengan mengenal akhlak terpuji dan akhlak tercela.

b) Menaati dan mengikuti peraturan dan undang-undang yang ada di masyarakat dan negara

c) Akhlak terpuji dapat ditingkatkan melalui kehendak atau kegiatan baik yang dibiasakan

d) Memilih pergaulan yang baik b) Taat Bathin

Taat bathin adalah segala sifat baik, terpuji yang dilakukan oleh anggota bathin. Contoh yang termasuk kepada taat bathin ini adalah: tawakkal, jujur, sabar, dan qan‟ah. Taat bathin memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari taat lahir, karena bathin merupakan penggerak dan sebab bagi terciptanya taat lahir. Dengan terciptanya ketaatan bathin, maka pendekatan diri kepada Tuhan melalui perjalanan rohani akan dapat terlaksana.

2) Akhlak tercela (Mazmumah)

Akhlak mazmumah adalah akhlak yang buruk yang harus dihindari dan dijauhi oleh setiap orang. Menurut Al-Ghazali akhlak yang tercela itu dikenal dengan sebutan mukhlihat yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawa kepada kebinasaan dan kehancuran diri yang tentu saja bertentangan dengan fithrahnya untuk selalu mengarahkan kepada kebaikan.

Jadi dapat dipahami bahwa akhlak mazmumah adalah akhlak yang buruk dan tercela yang dapat menjerumuskan seseorang kepada jurang kebinasaan, dan akhlak tercela ini mengundang dosa dan menyebabkan seseorang masuk neraka. Lebih lanjut Al-Ghazali merumuskan hal-hal yang mendorong manusia melakukan perbuatan tercela, yaitu:

a) Dunia dan isinya, yaitu berbagai hal yang bersifat material yang ingin dimiliki manusia sebagai kebutuhan dalam melangsungkan hidupnya.

b) Manusia, selain mendatangkan kebaikan, juga dapat

mengakibatkan keburukan, seperti istri, anak. Karena kecintaan kepada mereka. Misalnya dapat melalaikan manusia dari kewajiban terhadap Allah dan sesama manusia.

c) Syetan. Syetan adalah musuh manusia yang paling nyata, ia menggoda manusia melalui bathinnya untuk berbuat jahat dan menjauhi Tuhan

d) Nafsu. Nafsu ada kalanya baik dan buruk, akan tetapi nafsu cenderung mengarah kepada keburukan.

Akhlak tercela juga dibagi kepada dua bagian, yaitu: 1) Maksiat lahir

Maksiat berasal dari bahasa arab, ma‟siyah yang artinya pelanggaran oleh orang yang berakal baligh karena melakukan perbuatan yang dilarang, dan meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh syari‟at Islam. Maksiat lahir

ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: maksiat lisan, maksiat telinga, maksiat mata dan maksiat tangan.

Maksiat lahir karena dilakukan dengan menggunakan alat-alat lahiriyah, akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat, dan tentu saja amat berbahaya bagi keamanan dan keturunan masyarakat, seperti pencurian, perampokan, pembunuhan dan perkelahian.

Maksiat lahir dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: a. Maksiat lisan, seperti berkata-kata yang tidak

memberikan manfaat, berlebih-lebihan dalam

percakapan, berbicara hal yang bathil, berdebat dan berbantah yang hanya mencari menang sendiri tanpa menghormati orang lain. Berkata kotor, mencacci maki atau mengucapkan kata laknat kepada manusia, menghina, berdusta dan lain sebagainya.

b. Maksiat telinga, seperti mendengarkan pembicaraan orang lain, mendengarkan orang yang sedang mengumpat, mendengarkan orang yang sedang namimah, mendengarkan nyanyian-nyanyian atau bunyi-bunyian yang dapat melalaikan ibadah kepada Allah.

c. Maksiat mata, seperti melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya, melihat aurat laki-laki yang bukan muhrimnya, melihat orang lain dengan gaya menghina ,melihat kemungkaran tanpa beramar ma‟ruf nahy munkar.

d. Maksiat tangan, seperti menggunakan tangan untuk mencuri, mencopet, menggunakan tangan untuk merampas, menggunakan tangan untuk mengurangi timbangan.

Maksiat lahir akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat dan tentu saja amat berbahaya bagi keamanan

dan ketentraman masyarakat, seperti pencurian,

perampokan, pembunuhan, perkelahian (akibat fitnah dan adu domba). (Deswita, 2012: 33-34)

2) Maksiat bathin

Maksiat bathin lebih berbahaya dibandingkan dengan maksiat lahir, karena tidak terlihat, dan lebih sulit dihilangkan. Selama maksiat bathin belum dilenyapkan, maka maksiat lahir tidak bisa dihindarkan dari manusia. Contoh dari maksiat bathin ini adalah: marah, dengki, dongkol dan sombong. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-mu‟min :60





























“dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina".

Maksiat bathin berasal dari dalam hati manusia, atau digerakkan oleh tabiat hati. Sedangkan hati manusia memiliki sifat yang tidak tetap, bolak-balik, berubah-ubah,

sesuai dengan keadaan atau sesuatu yang

mempengaruhinya. Hati terkadang baik, simpati dan kasih sayang, tetapi disaat lainnya hati terkadang jahat, pendendam, syirik dan sebagainya.

Beberapa contoh penyakit bathin (akhlak tercela) adalah:

a. Marah (ghadab) dapat dikatakan sebagai nyala api yang terpendam di dalam hati, sebagai salah satu godaan

syetan terhadap manusia. Islam menganjurkan orang yang lagi marah agar berwudhu (menyiram api kemarahan dengan air wudhu)

b. Dongkol (hiqd) perasaan jengkel yang ada dalam hati, atau kemarahan yang tidak tersalurkan

c. Dengki (hasad), penyakit hati yang ditimbulkan kebencian, iri, dan ambisi

d. Sombong (takabbur), perasaan hebat yang terdapat dalam hati seseorang, bahwa dirinya hebat dan mempunyai kelebihan. (Deswita. 2012: 35)

c. Prinsip Dasar Akhlak dalam Islam

Islam adalah agama yang sangat mementingkan akhlak dari pada masalah-masalah lain. Karena misi Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Hal itu dapat dilihat pada zaman jahiliyyah kondisi akhlak yang sangat semrawut tidak karuan mereka melakukan hal-hal yang menyimpang seperti minum khamar dan berjudi. Hal-hal tersebut mereka lakukan dengan biasa, bahkan menjadi adat yang diturunkan untuk generasi setelah mereka. Karena kebiasaan itu telah turun temurun, pada masa awal-awal Nabi mengalami kesulitan.

Prinsip akhlak dalam Islam terletak pada moral force. Moral force akhlak Islam adalah terletak pada iman sebagai internal power yang dimiliki oleh setiap orang mukmin yang berfungsi sebagai motor penggerak dan motivasi terbentuknya kehendak untuk merefleksikan dalam tata rasa, tata karsa, dan tata karya yang konkret. Dalam hubungan ini, Abu Hurairah meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw., “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya. Dan sebaik-baik akhlak diantara kamu adalah yang paling baik kepada isterinya.” Al-Qur‟anmenggambarkan bahwa setiap orang yang beriman itu niscaya memiliki akhlak yang mulia yang diandaikan

seperti pohon iman yang indah. Hal ini dapat dilihat pada QS Ibrahim ayat 24 sebagai berikut:

































“tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”

Dari ayat di atas dapat diambil contoh bahwa ciri khas orang yang beriman ialah indah perangainya dan santun tutur katanya, tegar dan teguh pendirian (tidak terombang ambing), mengayomi atau melindungi sesama, dan mengerjakan buah amal yang dapat dinikmati oleh lingkungan. (Mukni‟ah, 2011: 111-112)

d. Ruang Lingkup Akhlak

Berdasarkan uraian sebelumnya dijelaskan bahwa dalam garis besarnya, akhlak mahmudah terbagi dua yaitu taat lahir dan taat bathin. Adapun ruang lingkup akhlak mahmudah menurut Sahidin, terbagi dalam beberapa bagian, yaitu:

4) Akhlak terhadap Kholik

Akhlak kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Khalik. Allah telah menciptakan manusia hanya untuk menyembah dan mengabdi pada Allah SWT dan berstatus sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Dengan demikian Allah bernama Al-Khaliq (Maha Pencipta) dan manusia adalah makhluk (yang diciptakan). Manusia wajib tunduk kepada peraturan Allah. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur‟an surah Adz-Dzariyat ayat 56:















dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT, manusia harus tunduk dan patuh menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya dan beribadah hanya semata-mata untuk Allah. Untuk itu ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah, yaitu:

a) Karena Allahlah yang menciptakan manusia

b) Karena Allah telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hatisanubari, di samping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.

c) Karena Allah telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia

d) Karena Allah telah memuliakan manusia dengan

diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan. Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kenapa manusia harus beribadah kepada Allah SWT yaitunya karena Allah telah menciptakan manusia dan tujuan manusia diciptakan Allah adalah untuk menyembah dan mengabdi kepada Allah.

Akhlak kepada Allah SWT secara garis besar adalah dengan melaksanakan perintah dan menghentikan segala larangan-Nya, dengan kata lain menta‟ati segala aturan yang telah disampaikan melalui Rasul-Nya yang diutus untuk menyampaikan risalah. Adapun yang lebih terperinci lagi bentuk akhlak kepada Allah adalah sebagai berikut:

a) Mencintai Allah melebihi cinta kepada apapun dan siapapun juga dengan mempergunakan fithrahnya dalam al-Qur‟an sebagai pedoman hidup dan kehidupan.

b) Melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya

c) Mengharapkan dan berusaha memperoleh keridhoan-Nya d) Mensyukuri nikmat Allah

e) Menerima dengan ikhlas qadha dan qadhar ilahi setelah berikhtiar semaksimal mungkin

f) Memohon ampun hanya kepada Allah g) Bertaubat kepada Allah

h) Tawakkal (berserah diri) kepada Allah. (Ali, 2004: 353) Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa akhlak kepada Allah dapat dilakukan dengan cara mencintai Allah SWT dengan melebihi cinta dari apapun juga, sebagaima dijelaskan dalam al-Qur‟an surah An-Nahl ayat 72 sebagai berikut:













































“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"

Selain itu cara berakhlak kepada Allah SWT adalah dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya, berusaha memperoleh keridhoan-Nya dan selalu mensyukuri terhadap apa yang diberikan oleh Allah SWT, dan berusaha untuk bertobat serta berserah diri kepada Allah SWT, dan meyakini akan qadha dan qadhar Allah yang telah ditentukan atas umat manusia.

5) Akhlak terhadap makhluk Allah

Selain akhlak kepada Allah SWT juga ada akhlak kepada sesama manusia dan akhlak bukan kepada manusia. Akhlak kepada manusia dapat dibagi lagi kepada beberapa bentuk yaitu akhlak kepada Rasulullah, akhlak kepada orang tua, akhlak kepada diri sendiri, akhlak terhadap keluarga,karib kerabat, akhlak terhadap tetangga, dan akhlak dalam masyarakat. Akhlak terhadap makhluk Allah terbagi dua: biotik dan abiotik. Untuk lebih jelasnya, tentang hal di atas, maka penulis akan menguraikan satu persatu sebagai berikut:

a) Akhlak terhadap Rasulullah

Rasulullah adalah rasul terakhir yang diwarisi Al-Qur‟an sebagai mu‟jizat yang dapat dijadikan sebagai pedoman oleh manusia dalam menempuh kehidupan di dunia dan di akhirat, Rasulullah merupakan pemimpin dan suri tauladan bagi umatnya dan sebagai pemimpin bagi umatnya, untuk itu, sebagai umat manusia wajib berakhlak mulia kepadanya karena misi utama Rasulullah dalam berdakwah adalah untuk membentuk akhlak manusia sehingga manusia memiliki akhlak yang mulia sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam, adapun bentuk-bentuk akhlak kepada Rasulullah yaitu: mencintai rasul secara tulus dan mengikuti semua sunnahnya, menjadikan rasul sebagai idola, suri tauladan dalam hidup dan

kehidupan,menjalankan apa yang disuruh-Nyadan

Dokumen terkait