• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA DALAM AL-QUR AN (KAJIAN TAFSIR MAUDHU I) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA DALAM AL-QUR AN (KAJIAN TAFSIR MAUDHU I) SKRIPSI"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA DALAM AL-QUR‟AN (KAJIAN TAFSIR MAUDHU’I)

SKRIPSI

Diajukan kepada Jurusan Pendidikan Agama Islam Sebagai Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh

VIVI KURNIA 13101164

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

VIVI KURNIA, NIM 13 101 164, Judul Skripsi: “AKHLAK ANAK TERHADAP ORANG TUA DALAM AL-QUR‟AN (Kajian Tafsir Maudhu‟i)” Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar. Jumlah halaman 108. Tahun 2018.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana akhlak anak terhadap orangtua yang terdapat dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir Maudhu‟i). Fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini dilatarbelakangi oleh jeritan dan rintihan para orangtua yang hidup dengan himpitan perasaan yang mencekam, tanpa cinta dan kasih sayang serta kebahagiaan yang seharusnya mereka nikmati sebagai orangtua. Namun dewasa ini betapa banyak anak-anak di zaman sekarang yang melalaikannya, apalagi membalas budi dan berbakti. Banyak dari mereka yang menduga bahwa keberadaan orangtuanya mengancam kebebasan dan kebahagiaan hidupnya. Na‟udzubillah.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana akhlak anak terhadap orang tua dalam al-Qur‟an. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca buku-buku/majalah dan sumber data lainnya di perpustakaan. Pembahasan tentang akhlak anak terhadap orang tua dalam al-Qur‟an dilakukan dengan pendekatan ilmu tafsir dengan menggunakan metode tafsir maudhu‟i. Sumber data primer penelitian ini adalah Al-Qur‟an nur Al-Karim dan sumber data sekunder kitab-kitab tafsir dan buku-buku pendidikan.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penghormatan kepada kedua orangtua berkali kali diungkapkan dalam Al-Qur‟an, diantaranya dalam beberapa surat yang diteliti yaitu QSIsra‟ [17]: 23, An-Nisa‟[4] : 36, Al-An‟am [6] : 151, dan Al-Ahqaf [46] : 15. Hal ini membuktikan betapa pentingnya menjaga perasaan kedua orangtua, apalagi sampai menghardik dan durhaka kepada mereka. Kepentingan menghormati ibu bapak dikaitkan juga dengan nasib seorang anak dikemudian hari, yaitu kehidupannya di akhirat, karena sesungguhnya keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan ibu bapak. Durhaka kepada ibu bapak akan menyisakan siksaan tidak hanya di akhirat saja, tetapi akan dirasakan sejak masih berada dikehidupan dunia.

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI... iv

BIODATA PENULIS ... v

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 10

C. Pertanyaan Penelitian ... 10

D. Tujuan Penelitian ... 11

E. Manfaat Penelitian ... 11

F. Defenisi Operasional ... 11

BAB II : KAJIAN TEORI A. Landasan Teori 1. Akhlak ... 15

a. Pengertian Akhlak ... 15

b. Macam-macam Akhlak ... 18

1) Akhlak Terpuji (Mahmudah) ... 18

2) Akhlak tercela (Mazmumah) ... 20

c. Prinsip Dasar Akhlak dalam Islam ... 23

d. Ruang Lingkup Akhlak ... 24

1) Akhlak terhadap Kholik 24 2) Akhlak terhadap makhluk Allah 27 3) Akhlak terhadap Lingkungan 30

(7)

f. Faktor-Faktor yang mempengaruhi

Pembentukan Akhlak ... 33

g. Implementasi Akhlak dalam Kehidupan Sehari-hari ... 36

2. Ihsan (Berbuat Baik) ... 45

a. Akhlak Anak Terhadap Orangtua 48 b. Keutamaan dan Ganjaran Berbakti Kepada Orangtua 48

c. Bentuk-bentuk Berbakti Kepada Orangtua 48 d. Haramnya Durhaka Kepada Orangtua 49 e. Bentuk-bentuk Durhaka („Uquq) Kepada Orangtua 49

3. Al-Qur‟an ... 50

a. Pengertian Al-Qur‟an ... 50

b. Fungsi Al-Qur‟an ... 51

c. Pokok Kandungan Al-Qur‟an ... 51

d. Ayat Makkiyyah dan Madaniyyah ... 52

e. Asbab Al-Nuzul Ayat ... 55

f. Munasabah Ayat... 57

B. Penelitian yang Relevan………... 59

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 61

B. Metode Penelitian ... 61

C. Sumber Data Penelitian ... 62

D. Teknik Pengumpulan Data ... 62

E. Langkah-langkah Penelitian ... 62

BAB IV : HASIL PENELITIAN A. QS Al-Isra‟ : 23 65

B. QS An-Nisa‟ : 36 77 C. QS Al-An‟am [6] : 151 86 D. QS Al-Ahqaaf [46] : 15 99

(8)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 107 DAFTAR KEPUSTAKAAN

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia dilahirkan di dunia ini tanpa pengetahuan apapun, tetapi dalam kelahirannya manusia dilengkapi dengan fitrah yang memungkinkannya menguasai berbagai pengetahuan. Dengan menfungsikan fitrah itu maka diharapkan manusia dapat belajar dari lingkungan dan masyarakat. (Manzier, 2003: 1)

Diantara tanda fitrah itu adalah Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dengan menganugerahkan berbagai potensi baik potensi jasmani (fisik), potensi spiritual (qalbu), maupun potensi akal fikiran. Allah berfirman dalam Qur‟an surah At-Thiin ayat 4, yaitu:

“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk” (QS At-Thiin : 4)

Maka dari potensi yang dimiliki itu manusia diposisikan sebagai makhluk yang istimewa dibandingkan dengan makhluk lainnya, agar potensi yang dimiliki itu tidak salah dalam penggunaan dan penerapan maka diperlukan ilmu dalam pengembangan potensi dan akal tersebut.

Ilmu menjadi sarana bagi setiap manusia untuk memperoleh kesejahteraan dunia maupun akhirat, maka mencari ilmu hukumnya wajib. Mengkaji ilmu itu merupakan pekerjaan mulia, karenanya banyak orang yang keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu dengan didasari iman kepada Allah SWT. Maka semua yang ada di bumi mendoakannya. Karena mencari ilmu itu pekerjaan yang memerlukan perjuangan fisik dan akal, maka nabi pernah bersabda bahwa orang yang keluar untuk mencari ilmu akan mendapatkan pertolongan dari Allah, karena Allah suka menolong orang yang mau bersusah payah dalam menjalankan kewajiban agama.

Ilmu akan diperoleh tentunya dengan melalui proses pembelajaran. Proses belajar mengajar merupakan interaksi edukatif yang dilakukan guru

(10)

dan murid dalam situasi tertentu. Mengajar bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan dapat begitu saja tanpa direncanakan sebelumnnya, akan tetapi mengajar itu merupakan suatu kegiatan yang semestinya direncanakan desain sedemikian rupa mengikuti langkah-langkah prosedur tertentu. Sehingga dengan demikian pelaksanaannya akan mencapai hasil yang diharapkan.

Manusia dan pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena dalam kehidupan, manusia akan selalu berupaya untuk menyempurnakan dan mengembangkan serta membina kepribadiannya. Untuk dapat melakukuan proses tersebut setiap individu dituntut untuk dapat belajar dan membelajarkan dirinya dalam berbagai aspek kehidupan dengan tatanan nilai yang ada dan berlaku ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian pendidikan pada prinsipnya adalah penanaman nilai dalam diri tiap individu dan pada akhirnya nilai-nilai tersebut dapat mengkristalisasi serta dialokasikan dalam kehidupan sehari-hari. (Adripen, 1999: 5)

Keberadaan manusia dari sejak kelahirannya terus mengalami perubahan-perubahan, baik secara fisik maupun psikologis. Manusia yang merupakan makhluk hidup dengan akal budi memiliki potensi untuk terus melakukan pengembangan. Sifat pengembangan manusia menunjukkan sisi dinamisnya, artinya perubahan terjadi terus menerus pada manusia. Tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Salah satu pengembangan manusia, yaitu melalui pendidikan.

Melalui pendidikan manusia berharap nilai-nilai kemanusiaan diwariskan, bukan sekedar diwariskan melainkan menginternalisasi dalam watak dan kepribadian. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi penuntun manusia untuk hidup berdampingan dengan manusia lain. Upaya pendidikan melalui internalisasi nilai-nilai kemanusiaan menuntun untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu, pendidikan menjadi kebutuhan manusia.

Kebutuhan akan pendidikan menjadi satu hal yang tidak terelakkan pada setiap fase sejarah peradaban manusia. Pendapat yang menyatakan

(11)

bahwa pendidikan sangat dibutuhkan menjadi pendapat setiap individu dan masyarakat disetiap bangsa atau negara beradab. Melalui pemikiran dan perubahan peradaban, manusia sepakat bahwa pendidikan itu penting, walaupun dengan latar belakang dan cara pandang berbeda dalam melihat keutamaannya. (Triwiyanto, 2014: 1-2)

Meskipun sebagian diantara kita mengetahui apa itu pendidikan, tetapi ketika pendidikan tersebut diartikan dalam satu batasan tertentu, maka terdapatlah bermacam-macam pengertian yang diberikan. (Hasbullah, 2009: 1)

Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan:Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Setiap bangsa tentu akan menyatakan tujuan pendidikannya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang sedang diperjuangkan untuk kemajuan bangsanya. Walaupun masing-masing bangsa memiliki tujuan hidup berbeda, namun secara garis besar, ada beberapa kesamaan dalam berbagai aspeknya. Pendidikan bagi setiap individu merupakan pengaruh dinamis, dalam perkembangan jasmani, jiwa, rasa sosial, susila, dan sebagainya. (Suwarno, 2008: 21-22)

Pendidikan adalah suatu proses upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk meningkatkan nilai perilaku seseorang atau masyarakat, dari keadaan tertentu ke suatu keadaan yang lebih baik. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa pendidikan merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, terutama bagi anak-anak yang belum dewasa. Kewajiban ini harus dipenuhi oleh setiap manusia, lantaran sejak ia dilahirkan memiliki berbagai ketidakberdayaan dan ia tidak serta merta langsung menjadi orang dewasa. Lantaran ketidakberdayaan, sehingga ia harus ditolong, dibantu, dibimbing dan diarahkan agar dapat mencapai kedewasaan. Kesemua

(12)

bentuk pertolongan, bantuan, pembimbingan dan pengarahan itulah disebut sebagai kegiatan kependidikan.

Oleh karena setiap manusia dilahirkan di lingkungan keluarga, maka kegiatan kependidikan dimulai dari lingkungan keluarga di mana ayah atau ibu sebagai pendidiknya. Di lingkungan keluarga, kegiatan kependidikan berlangsung secara alamiah dalam arti tidak direncanakan secara sistematik.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat dirumuskan bahwa pendidikan bisa diartikan sebagai berikut:

1. Pendidikan mengandung pembinaan kepribadian, pengembangan kemampuan, atau potensi yang perlu dikembangkan; peningkatan pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu, serta tujuan ke arah mana peserta didik dapat mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin. 2. Dalam pendidikan, terdapat hubungan antara pendidik dan peserta didik.

Di dalam hubungan itu, mereka memiliki kedudukan dan perasaan yang berbeda. Tetapi keduanya memiliki daya yang sama, yaitu saling memengaruhi guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan yang tertuju kepada tujuan yang diinginkan).

3. Pendidikan adalah proses sepanjang hayat sebagai perwujudan pembentukan diri secara utuh. Maksudnya, pengembangan segenap potensi dalam rangka penentuan semua komitmen manusia sebagai individu, sekaligus sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan.

4. Aktivitas pendidikan berlangsung di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.

5. Pendidikan merupakan suatu proses pengalaman yang sedang dialami yang memberikan pengertian, pandangan (insight), dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkannya berkembang.

Pengertian pendidikan sangat erat kaitannya dengan pengertian pengajaran, sehingga sulit untuk dipisahkan dan dibedakan. Pendidikan tidak dapat dilaksanakan tanpa ada pengajaran, dan pegajaran tidak akan berarti jika tanpa diarahkan ke tujuan pendidikan. Selain itu, pendidikan

(13)

merupakan usaha pembinaan pribadi secara utuh dan lebih menyangkut masalah citra dan nilai. Sedangkan pengajaran merupakan usaha mengembangkan kapasitas intelektual dan berbagai keterampilan fisik. (Suwarno, 2008: 22-23)

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa pendidikan tidak dapat dilaksanakan tanpa ada pengajaran yang merupakan usaha mengembangkan kapasitas intelektual dan berbagai keterampilan fisik. Jika demikian dalam pembelajaran tentu melibatkan aspek yang ada pada diri siswa itu sendiri, seperti penglihatan, pendengaran, perasaan dan sebagainya yang jika dilihat dalam konteks religiusnya semua itu pasti akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, karena manusia saat dilahirkan tidak mengetahui sesuatu apapun, sebagaimana firman Allah di dalam Al-Qur‟an. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan. Bagaimana sederhana komunitas manusia memerlukan pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan tersebut akan ditentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia. (Ramayulis,2002: 28)

Menurut Marimba menjelaskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang muslim. Marimba menekankan pengertian pendidikan pada pengembangan jasmani dan rohani menuju kesempurnaannya, sehingga terbina kepribadian yang utama, serta kepribadian yang seluruh aspeknya sempurna dan seimbang untuk mewujudkan kesempurnaan tersebut dibutuhkan bimbingan yang serius dan

sistematis dari pendidik. (Marimba, 1962: 31)

Dalam proses pendidikan tersebut meliputi yang namanya akhlak, karena akhlak sangat mempengaruhi sekali kepada diri siswa baik dari cara berbicaranya, cara bergaulnya maupun pengaruh terhadap hasil belajarnya.

(14)

Untuk lebih jelasnya, berikut penulis akan memaparkan pengertian aklak terlebih dahulu. Secara etimologis (lughatan), perkatan akhlak berasal dari bahasa arab jama‟ dari bentuk mufradnya “khuluqun” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan khaliq yang berarti Pencipta, makhluk yang berarti yang diciptakan dan khalqun yang berarti penciptaan, kejadian.

Pola bentukan definisi akhlak di atas muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antara Khaliq (pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan) secara timbal balik yang kemudian disebut dengan hablum minallah. Dari produk hablumminallah yang verbal biasanya lahirlah pola hubungan antar sesama manusia yang disebut dengan hablum minannas (pola hubungan antar sesama makhluk)

Adapun demikian, Ya‟qub dalam bukunya yang berjudul Etika Islam, yaitu: Perkataan akhlak berasal dari bahasa arab jama‟ dari “khuluqun” yang menurut loghat diartikan : budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi‟at. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “Khalqun” yang berarti : kejadian, serta erat kaitannya dengan “Khaliq” yang berarti : pencipta, dan “makhluq” yang berarti : yang diciptakan.

Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq. Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam al-Qur‟an surah Al-Qalam ayat 4 :

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (QS Al-Qalam : 4)

Amin dalam bukunya “Al-Akhlaq” merumuskan pengertian akhlak sebagai berikut:

(15)

Akhlaq ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam prerbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.

Dalam kaitannya dengan pendidikan, akhlak mempunyai posisi yang sangat signifikan. Akhlak menjadi patokan implementasi dari ilmu yang di peroleh dalam proses pembelajaran. Posisi penting akhlak sebagai pendidikan dasar adalah dijadikannya sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada proses pembelajaan di sekolah, sehingga pendidikan akhlak menjadi sebuah pedoman bagi para peserta didik dalam melakukan berbagai tindakan, baik dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini, teori tentang pendidikan akhlak yang dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku, seharusnya membentuk kondisi peserta didik dalam dunia pendidikan menjadi generasi yang beradab lagi islami. Namun dewasa ini, hal tersebut malah menjadi suatu

kajian yang sangat membutuhkan perhatian khusus, sehingga

diperlukannya sebuah solusi yang tepat untuk mengembalikan makna pendidikan akhlak dan kedudukannya dalam dunia pendidikan.

Sebagai dasar hukum Islam, al-Qur‟an dan hadits bukan hanya memberikan aturan tentang hubungan vertikal (hablum minallah), namun juga memberikan arahan dan tuntunan bagi manusia berkaitan dengan hubungan horizontal (hablum minannas). Salah satu hubungan horizontal yang sangat ditekankan dalam al-Qur‟an dan hadits Rasulullah saw adalah hubungan atau interaksi terhadap kedua orangtua. Dalam banyak ayat al-Qur‟an banyak sekali yang berbicara tentang akhlak kepada orangtua, baik orangtua seiman ataupun orangtua yang tidak seiman, baik orangtua yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.

(16)

Adapun ayat-ayat dalam al-Qur‟an yang berbicara tentang akhlak adalah:

1. Ayat tentang akhlak kepada Allah a. QS Al-a‟raf ayat 143

b. QS Thahaa ayat 12 dan 84 c. QS An-naml ayat 19 d. QS Huud ayat 45 dan 47 e. QS Al-kahf ayat 24

2. Ayat tentang akhlak kepada Nabi a. QS Al-Baqarah ayat 104 b. QS An-Nuur ayat 62 dan 63 c. QS Al-Mujadillah ayat 12 dan 13 d. QS Al-Hujurat ayat 1-5

3. Ayat tentang akhlak kepada orangtua a. QS Al-Isra‟ ayat 23

b. QS Al-ahqaaf ayat 15 dan 17 c. QS Al-An‟am ayat 151 d. QS Al-Ankabut ayat 8 e. QS Luqman ayat 13-15 f. QS An-Nisa‟ ayat 36

4. Ayat tentang akhlak kepada orang lain a. QS Al-A‟raf ayat 199

b. QS Al-Furqan ayat 63 c. QS Luqman ayat 18-19 d. QS Al-Anfal ayat 27 e. QS Ali Imran ayat 134

f. QS Al-Hujurat ayat 9-10 (Khalid, 2006: 68)

Berdasarkan ayat di atas, penulis lebih menfokuskan penelitian kepada akhlak terhadap orangtua, yaitu QS QS Al-Isra‟:23, An-Nisa‟:36, Al-An‟am: 151 dan Al-Ahqaf:15

(17)

Jika dilihat dalam beberapa surat, al-Qur‟an menggunakan kata ihsana pada konteks kewajiban anak kepada orangtuanya, dan ayat-ayat tersebut memberikan makna arahan secara mendalam tentang bagaimana akhlak seorang anak kepada kedua orangtuanya. Untuk memahami hal tersebut, maka kajian tafsir maudhu‟i tentang berbakti kepada kedua orangtua ini sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya menggali dan memahami bagaimana Islam mengajarkan tentang akhlak kepada kedua orangtua dengan memperhatikan bagaimana para ulama tafsir (mufassir) menjelaskan tentang kandungan ayat tersebut.

Sebelum mengkaji lebih jauh berdasarkan Al-Qur‟an, penulis akan memaparkan fenomena sebagai bukti dari pemikiran penulis akan adanya kemerosotan akhlak pada generasi seorang anak. Dalam hal ini sering dilihat anak yang sudah hilang rasa hormat, sopan santun, lemah lembut dan kepatuhan terhadap kedua orangtuanya. anak seakan merasa sudah mampu mengatur dirinya sendiri tanpa pengawasan dan didikan orangtua, terlebih jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan pola pikirnya, si anak mudah sekali mengeluarkan kata-kata yang tidak wajar di ucapkan, mirisnya kata-kata yang keluar itu tidak lagi memandang kepada siapa tertuju. Contoh yang sering kita lihat ialah anak dengan mudahnya berbicara kepada orangtua dengan nada tinggi, berkata kasar, hilang rasa hormat bahkan tidak jarang kita mendengar anak tega membunuh orangtuanya sendiri, na‟udzubillah.

Adapun contoh dari bakti yang paling ringan yang tidak boleh dilengahkan atau diremehkan oleh setiap anak adalah dengan berkata kepada keduanya dengan perkataan yang baik dan mulia dan menampakkan raut wajah yang tersenyum senang.

Adapun akhlak yang tertanam dalam diri seorang anak, memang diajarkan oleh guru dalam lingkungan sekolah. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa orangtua lebih memiliki andil yang lebih besar dalam pembentukan akhlak anak dalam kehidupan sehari-hari. Karena orangtua lah yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, dan di lingkungan

(18)

keluargalah anak pertama kali memperoleh nilai-nilai yang akan membentuk kepribadiannya, apakah akan berakhlak baik atau malah berakhlak buruk.

Sebagai seorang muslim yang baik, perlu diketahui bahwa akhlak terhadap orangtua merupakan sesuatu hal yang sangat penting, karena orangtua adalah orang yang mengenalkan pada dunia dari kecil hingga dewasa. Dan setiap orangtua pun pasti mempunyai harapan terhadap anaknya agar kelak menjadi anak yang sukses, berbakti kepada orangtua, serta menjadi lebih baik dan sholeh.

Maka dari itu, sebagai seorang muslim yang baik, hendaknya selalu berbakti kepada kedua orang tua, melakukan apa yang telah diperintahkan oleh orangtua, dan pantang untuk membangkang kepada orangtua.

Melalui fenomena yang bermunculan tersebut, Perlu sekiranya untuk mengkaji serta meneliti berbagai hal yang berkaitan dengan akhlak anak dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban yang relevan bagi persoalan dengan fenomena kemerosotan akhlak anak terhadap orangtua. Sehingga jawaban itu dapat dipahami secara teoritis maupun praktisnya. Oleh sebab itu, maka penulis tertarik untuk menjawab dan mengkajinya dengan menggunakan data yang lebih valid dalam mengembalikan konsep akhlak itu melalui media al-qur‟an sebagai sumber utamanya, sehingga penulis ingin menuangkannya dalam sebuah tulisan karya ilmiah skripsi dengan judul “Akhlak Anak terhadap Orangtua dalam Al-Qur‟an

(Kajian Tafsir Al-Maudhu‟i)”. B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah kajian tentang “Akhlak anak terhadap Orangtua dalam Al-Qur‟an dengan Term “Ihsan” kepada orangtua pada QS Al-Isra‟:23, An-Nisa‟:36, Al-An‟am: 151 dan Al-Ahqaf:15”

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang penulis bahas dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah akhlak anak terhadap orangtua yang terkandung dalam

(19)

Qur‟an dengan menggunakan term “Ihsan” kepada orangtua pada QS Al-Isra‟:23, An-Nisa‟:36, Al-An‟am: 151 dan Al-Ahqaf:15?”

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana akhlak anak terhadap orangtua yang terkandung dalam Al-Qur‟an dengan term “Ihsan” kepada orangtua pada QS Al-Isra‟:23, An-Nisa‟:36, Al-An‟am: 151 dan Al-Ahqaf:15

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah:

a. Untuk memperdalam pengetahuan penulis tentang akhlak anak terhadap orangtua yang terkandung dalam Al-Qur‟an dengan term “Ihsan” kepada orangtua pada QS Isra‟:23, An-Nisa‟:36, Al-An‟am: 151 dan Al-Ahqaf:15.

b. Sebagai bahan bacaan di Perpustakaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar

c. Sebagai bahan bacaan bagi masyarakat tentang akhlak anak seperti yang terkandung dalam Al-Qur‟an

d. Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa yang meneliti permasalahan yang berkaitan dengan judul ini

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap judul maka penulis merasa perlu menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul.

1. Akhlak anak.

Akhlak berasal dari bahasa arab yaitu al-Khulq yang mempunyai arti watak, tabi‟at. Secara istilah, akhlak menurut Ibnu Maskawi adalah sesuatu keadaan bagi jiwa yang mendorong ia melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa melaluipikiran dana pertimbangan.

Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam

(20)

perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.

Menurut KBBI, anak secara etimologis diartikan dengan manusiayang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa. (Poerwadarminta, 1984: 25)

Anak merupakan manusia yang unik dan berkembang sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Perkembangan anak sendiri merupakan perkembangan seluruh aspek dari kepribadiannya. Akan tetapi dengan tempo dan irama dari perkembangan masing-masing anak kepada setiap aspek tidaklah selalu sama.

Jadi akhlak anak adalah perbuatan yang menunjukkan baik dan buruknya sesuatu berdasarkan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat berdasarkan perkembangan masing-masing anak.

Akhlak terhadap orangtua adalah akhlak yang sangat penting, hingga dosa dari berbuat durhaka kepada kedua orangtua berada ditingkat kedua setelah dosa menyekutukan Allah. Penerapan dalam akhlak menghormati orangtua sangat diperlukan karena itu merupakan kewajiban kita sebagai seorang muslim, cara menghormati orangtua dapat dimulai dari hal-hal kecil, contohnya: berbakti dengan melaksanakan nasehat dan perintah yang baik dari keduanya, selalu mendo‟akan orangtua dan masih banyak yang lainnya. Macam-macam akhlak sangat banyak, yang akan penulis lakukan kajian lebih dalam adalah akhlak anak terhadap orangtua dalam al-Qur‟an dengan term “ihsan”.

2. Orangtua adalah bapak ibu baik itu dari keturunan (nasab) atau susuan,

baik keduanya orang muslim ataupun kafir, termasuk juga kedua orangtua adalah nenek dan kakek dari kedua belah pihak.

3. Al-Qur‟an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW yang memiliki kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis dalam

(21)

mushaf, dimulai dengan surat Fatihah dan diakhiri dengan surat Al-Anas. (Al-Munawar dkk, 2002: 5).

Al-Qur‟an merupakan kitab suci umat Islam, sekalipun tidak memberikan petunjuk langsung tentang suatu bentuk masyarakat yang dicita-citakan di masa mendatang, namun tetap memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dan kualitas suatu masyarakat yang baik, walaupun semua itu memerlukan upaya interpretasi dan pengembangan pemikiran.

Di samping itu Al-Qur‟an juga memerintahkan kepada umat manusia untuk memikirkan pembentukan suatu masyarakat dengan kualitas-kualitas tertentu. Dan sangat mungkin bagi umat Islam untuk merekonstruksikan suatu gambaran masyarakat ideal berdasarkan petunjuk Al-Qur‟an. (Al-Munawar, 2002: 233)

Adapun maksud dari judul dalam penelitian ini adalah menjelaskan tentang bagaimana akhlak anak terhadap orangtua dalam Al-Qur‟an dengan menggunakan term “Ihsan” kepada orangtua pada QS Al-Isra‟:23, An-Nisa‟:36, Al-An‟am: 151 dan Al-Ahqaf:15

4. Kajian Tafsir Maudhu‟i

Tafsir maudhu‟i merupakan sebuah metode yang dicetuskan oleh para ulama untuk memahami makna-makna dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Kata maudhu‟i dinisbatkan kepada kata al-maudhu‟ yang berarti topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Dalam bahasa arab (عوضوم), kata maudhu‟i berasal dari bahasa arab yang merupakan isim maf‟ul dari fi‟il madzi (عضو) yang berarti meletakkan, menjadikan, menghina, mendustakan dan membuat-buat. Secara semantik, tafsir maudhu‟i berarti menafsirkan al-Qur‟an menurut tema atau topik tertentu. Dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan tafsir tematik. Tafsir maudhu‟i menurut pendapat mayoritas ulama adalah menghimpun seluruh ayat al-Qur‟an yangmemiliki tujuan dan tema yang sama. (Al-Farmawi, 1997: 41)

(22)

5. ihsan

ialah berbuat baik dalam hal ketaatan terhadap Allah swt. Adapun secara kaifiyatnya adalah menyembah Allah seakan-akan melihatnya, atau jika tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kita. Jadi selain mengerjakan perintah-perintah yang wajib, ihsan juga mengamalkan hal-hal yang sunnah.

Berbuat baik (ihsan) adalah perbuatan terpuji. Berbuat ihsan juga akan dapat menciptakan suasana harmonis dalam hubungan dengan masyarakat. Hal ini sangat dianjurkan dalam akhlak islam. Manusia diciptakan dalam kondisi saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya. Interaksi antara manusia tidak akan berjalan efektif jika tidak ada rasa saling menghargai antar sesama. Al-Qur‟an dan sunnah telah menuntun kita bagaimana seharusnya bersikap saling menghargai.

Sikap ihsan hendaknya menjadi ciri akhlak kaum muslimin, karena dengan berbuat baik akan menciptakan susana hubungan yang harmonis di antara sesama masyarakat. Akhlak yang baik juga akan membimbing masyarakat untuk memiliki nilai-nilai kehidupan mulia. Berbuat baik atau ihsan dalam beribadah harus teratur, baik pada saat dilihat orang lain maupun di waktu sendirian. Sesungguhnya, di mana saja kita berada, Allah Maha Megetahui atas apa yang seorang hamba lakukan. (Amin, 2016: 209-212)

(23)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Landasan Teori 1. Akhlak

a. Pengertian Akhlak

Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia digandengkan dengan pembahasan taqwa, akhlak merupakan buah pohon Islam yang berakarkan aqidah, bercabang dan berdaun syari‟ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Di antaranya adalah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”(HR Ahmad); “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (HR Tarmidzi); Dan akhlak nabi Muhammad yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu disebut akhlak Islam atau akhlak Islami karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam al-Qur‟an yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam. (Ali, 2006: 346)

Ya‟qub dalam bukunya yang berjudul Etika Islam, terdapat perbedaan mengenai Akhlak, etika dan moral, yaitu: Perkataan akhlak berasal dari bahasa arab jama‟ dari “khuluqun” yang menurut loghat diartikan : budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi‟at. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “Khalqun” yang berarti : kejadian, serta erat kaitannya dengan “khaliq” yang berarti : pencipta, dan “makhluq” yang berarti : yang diciptakan.

Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq. Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam al-Qur‟an surah Al-Qalam ayat 4 :

(24)

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur”

Amin dalam bukunya “Al-Akhlak” merumuskan pengertian akhlak sebagai berikut:

“Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.”

Selain istilah “akhlak”, juga lazim dipergunakan istilah “etika”. Perkataan ini berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan. Ada orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.

Berdasarkan dua istilah di atas, dalam bahasa Indonesia juga menggunakan bahasa “moral”. Perkataan moral berasal dari bahasa latin “mores” kata jama‟ dari “mos” yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik

(25)

dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkaran tertentu. Dengan demikian, jelaslah persamaan antara etika dan moral. Namun ada pula perbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori sedangkan moral lebih bersifat praktis. (Ya‟qub, 1983: 11-14)

Perbedaan antara etika, moral dan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk itu adalah al-Qur‟an dan al-hadis.” (Nata, 2012: 97)

Jadi akhlak mengandung makna yang ideal, tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku yang mungkin positif, mungkin negatif, mungkin baik, mungkin buruk. Yang termasuk ke dalam pengertian positif (baik) adalah segala tingkah laku, tabi‟at, watak dan perangai yang sifatnya benar, amanah, sabar, jujur, pemaaf, pemurah, rendah hati dan lain-lain sifat yang baik. Sedang yang termasuk ke dalam pengertian akhlak atau budi pekerti yang buruk adalah semua tingkah laku, tabi‟at, watak, perangai sombong, dendam, dengki, khianat dan lain-lain sifat-sifat yang buruk. Yang menentukan suatu perbuatan atau tingkah laku itu baik atau buruk adalah nilai dan norma agama, juga kebiasaan atau adat istiadat.

Akhlak Islami adalah keadaan yang melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak jika memenuhi beberapa syarat. Syarat itu antara lain adalah (1) dilakukan berulang-ulang. Jika dilakukan sekali saja, atau jarang-jarang, tidak dapat dikatakan akhlak. (2) Timbul dengan sendirinya tanpa dipikir-pikir atau ditimbang

(26)

berulang-ulang karena perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya. (Ensiklopedi Islam Jilid 1, 1993: 102)

b. Macam-macam Akhlak

1) Akhlak Terpuji (Mahmudah)

Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan kebiasaan yang baik, melakukan dan mencintainya” (Nata, 2012: 165-166)

Jadi akhlak terpuji berarti sifat-sifat atau tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma atau ajaran Islam. Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain sebagai berikut:

a) Akhlak terpuji yang berhubungan dengan Allah SWT, yaitu mentauhidkan Allah, bertaqwa kepada Allah, selalu berdo‟a kepada Allah, selalu berdzikir kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya

b) Akhlak kepada diri sendiri. Contoh perilakunya: jujur, sabar, syukur, tawadhu‟, iffah yaitu menahan diri melakukan segala sesuatu yang terlarang, hilmun yaitu menahan diri dari marah, amanah dan sebagainya.

c) Akhlak terhadap keluarga, yakni berbakti kepada kedua orang tua, adil terhadap saudara, membina dan mendidik keluarga sesuai dengan yang terdapat dalam al-qur‟an dan sunnah Rasul dan memelihara keturunan

d) Akhlak terhadap masyarakat. Contohnya: menjalin tali persaudaraan dengan baik, tolong menolong antar sesama, adil, pemurah, penyantun dan selalu menepati janji.

Akhlak terpuji dibagi menjadi dua bagian, yaitu: a) Taat lahir

Taat lahir yaitu melakukan seluruh amal ibadah yang diwajibkan Tuhan, termasuk berbuat baik kepada sesama manusia

(27)

dan lingkungan, dan dikerjakan oleh anggota lahir. Contoh perbuatan yang termasuk kepada taat lahir adalah: tobat, amar ma‟ruf nahi munkar, syukur kepada Allah.

Mengenai taat lahir, Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 104:







































“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Sedangkan cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan Akhlak terpuji adalah:

a) Pendidikan, menjadikan cara pandang seseorang akan bertambah luas, tentunya dengan mengenal akhlak terpuji dan akhlak tercela.

b) Menaati dan mengikuti peraturan dan undang-undang yang ada di masyarakat dan negara

c) Akhlak terpuji dapat ditingkatkan melalui kehendak atau kegiatan baik yang dibiasakan

d) Memilih pergaulan yang baik b) Taat Bathin

Taat bathin adalah segala sifat baik, terpuji yang dilakukan oleh anggota bathin. Contoh yang termasuk kepada taat bathin ini adalah: tawakkal, jujur, sabar, dan qan‟ah. Taat bathin memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari taat lahir, karena bathin merupakan penggerak dan sebab bagi terciptanya taat lahir. Dengan terciptanya ketaatan bathin, maka pendekatan diri kepada Tuhan melalui perjalanan rohani akan dapat terlaksana.

(28)

2) Akhlak tercela (Mazmumah)

Akhlak mazmumah adalah akhlak yang buruk yang harus dihindari dan dijauhi oleh setiap orang. Menurut Al-Ghazali akhlak yang tercela itu dikenal dengan sebutan mukhlihat yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawa kepada kebinasaan dan kehancuran diri yang tentu saja bertentangan dengan fithrahnya untuk selalu mengarahkan kepada kebaikan.

Jadi dapat dipahami bahwa akhlak mazmumah adalah akhlak yang buruk dan tercela yang dapat menjerumuskan seseorang kepada jurang kebinasaan, dan akhlak tercela ini mengundang dosa dan menyebabkan seseorang masuk neraka. Lebih lanjut Al-Ghazali merumuskan hal-hal yang mendorong manusia melakukan perbuatan tercela, yaitu:

a) Dunia dan isinya, yaitu berbagai hal yang bersifat material yang ingin dimiliki manusia sebagai kebutuhan dalam melangsungkan hidupnya.

b) Manusia, selain mendatangkan kebaikan, juga dapat

mengakibatkan keburukan, seperti istri, anak. Karena kecintaan kepada mereka. Misalnya dapat melalaikan manusia dari kewajiban terhadap Allah dan sesama manusia.

c) Syetan. Syetan adalah musuh manusia yang paling nyata, ia menggoda manusia melalui bathinnya untuk berbuat jahat dan menjauhi Tuhan

d) Nafsu. Nafsu ada kalanya baik dan buruk, akan tetapi nafsu cenderung mengarah kepada keburukan.

Akhlak tercela juga dibagi kepada dua bagian, yaitu: 1) Maksiat lahir

Maksiat berasal dari bahasa arab, ma‟siyah yang artinya pelanggaran oleh orang yang berakal baligh karena melakukan perbuatan yang dilarang, dan meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh syari‟at Islam. Maksiat lahir

(29)

ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: maksiat lisan, maksiat telinga, maksiat mata dan maksiat tangan.

Maksiat lahir karena dilakukan dengan menggunakan alat-alat lahiriyah, akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat, dan tentu saja amat berbahaya bagi keamanan dan keturunan masyarakat, seperti pencurian, perampokan, pembunuhan dan perkelahian.

Maksiat lahir dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: a. Maksiat lisan, seperti berkata-kata yang tidak

memberikan manfaat, berlebih-lebihan dalam

percakapan, berbicara hal yang bathil, berdebat dan berbantah yang hanya mencari menang sendiri tanpa menghormati orang lain. Berkata kotor, mencacci maki atau mengucapkan kata laknat kepada manusia, menghina, berdusta dan lain sebagainya.

b. Maksiat telinga, seperti mendengarkan pembicaraan orang lain, mendengarkan orang yang sedang mengumpat, mendengarkan orang yang sedang namimah, mendengarkan nyanyian-nyanyian atau bunyi-bunyian yang dapat melalaikan ibadah kepada Allah.

c. Maksiat mata, seperti melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya, melihat aurat laki-laki yang bukan muhrimnya, melihat orang lain dengan gaya menghina ,melihat kemungkaran tanpa beramar ma‟ruf nahy munkar.

d. Maksiat tangan, seperti menggunakan tangan untuk mencuri, mencopet, menggunakan tangan untuk merampas, menggunakan tangan untuk mengurangi timbangan.

(30)

Maksiat lahir akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat dan tentu saja amat berbahaya bagi keamanan

dan ketentraman masyarakat, seperti pencurian,

perampokan, pembunuhan, perkelahian (akibat fitnah dan adu domba). (Deswita, 2012: 33-34)

2) Maksiat bathin

Maksiat bathin lebih berbahaya dibandingkan dengan maksiat lahir, karena tidak terlihat, dan lebih sulit dihilangkan. Selama maksiat bathin belum dilenyapkan, maka maksiat lahir tidak bisa dihindarkan dari manusia. Contoh dari maksiat bathin ini adalah: marah, dengki, dongkol dan sombong. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-mu‟min :60





























“dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina".

Maksiat bathin berasal dari dalam hati manusia, atau digerakkan oleh tabiat hati. Sedangkan hati manusia memiliki sifat yang tidak tetap, bolak-balik, berubah-ubah,

sesuai dengan keadaan atau sesuatu yang

mempengaruhinya. Hati terkadang baik, simpati dan kasih sayang, tetapi disaat lainnya hati terkadang jahat, pendendam, syirik dan sebagainya.

Beberapa contoh penyakit bathin (akhlak tercela) adalah:

a. Marah (ghadab) dapat dikatakan sebagai nyala api yang terpendam di dalam hati, sebagai salah satu godaan

(31)

syetan terhadap manusia. Islam menganjurkan orang yang lagi marah agar berwudhu (menyiram api kemarahan dengan air wudhu)

b. Dongkol (hiqd) perasaan jengkel yang ada dalam hati, atau kemarahan yang tidak tersalurkan

c. Dengki (hasad), penyakit hati yang ditimbulkan kebencian, iri, dan ambisi

d. Sombong (takabbur), perasaan hebat yang terdapat dalam hati seseorang, bahwa dirinya hebat dan mempunyai kelebihan. (Deswita. 2012: 35)

c. Prinsip Dasar Akhlak dalam Islam

Islam adalah agama yang sangat mementingkan akhlak dari pada masalah-masalah lain. Karena misi Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. Hal itu dapat dilihat pada zaman jahiliyyah kondisi akhlak yang sangat semrawut tidak karuan mereka melakukan hal-hal yang menyimpang seperti minum khamar dan berjudi. Hal-hal tersebut mereka lakukan dengan biasa, bahkan menjadi adat yang diturunkan untuk generasi setelah mereka. Karena kebiasaan itu telah turun temurun, pada masa awal-awal Nabi mengalami kesulitan.

Prinsip akhlak dalam Islam terletak pada moral force. Moral force akhlak Islam adalah terletak pada iman sebagai internal power yang dimiliki oleh setiap orang mukmin yang berfungsi sebagai motor penggerak dan motivasi terbentuknya kehendak untuk merefleksikan dalam tata rasa, tata karsa, dan tata karya yang konkret. Dalam hubungan ini, Abu Hurairah meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw., “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya. Dan sebaik-baik akhlak diantara kamu adalah yang paling baik kepada isterinya.” Al-Qur‟anmenggambarkan bahwa setiap orang yang beriman itu niscaya memiliki akhlak yang mulia yang diandaikan

(32)

seperti pohon iman yang indah. Hal ini dapat dilihat pada QS Ibrahim ayat 24 sebagai berikut:

































“tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”

Dari ayat di atas dapat diambil contoh bahwa ciri khas orang yang beriman ialah indah perangainya dan santun tutur katanya, tegar dan teguh pendirian (tidak terombang ambing), mengayomi atau melindungi sesama, dan mengerjakan buah amal yang dapat dinikmati oleh lingkungan. (Mukni‟ah, 2011: 111-112)

d. Ruang Lingkup Akhlak

Berdasarkan uraian sebelumnya dijelaskan bahwa dalam garis besarnya, akhlak mahmudah terbagi dua yaitu taat lahir dan taat bathin. Adapun ruang lingkup akhlak mahmudah menurut Sahidin, terbagi dalam beberapa bagian, yaitu:

4) Akhlak terhadap Kholik

Akhlak kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Khalik. Allah telah menciptakan manusia hanya untuk menyembah dan mengabdi pada Allah SWT dan berstatus sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Dengan demikian Allah bernama Al-Khaliq (Maha Pencipta) dan manusia adalah makhluk (yang diciptakan). Manusia wajib tunduk kepada peraturan Allah. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur‟an surah Adz-Dzariyat ayat 56:















(33)

dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT, manusia harus tunduk dan patuh menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya dan beribadah hanya semata-mata untuk Allah. Untuk itu ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah, yaitu:

a) Karena Allahlah yang menciptakan manusia

b) Karena Allah telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hatisanubari, di samping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.

c) Karena Allah telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia

d) Karena Allah telah memuliakan manusia dengan

diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan. Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kenapa manusia harus beribadah kepada Allah SWT yaitunya karena Allah telah menciptakan manusia dan tujuan manusia diciptakan Allah adalah untuk menyembah dan mengabdi kepada Allah.

Akhlak kepada Allah SWT secara garis besar adalah dengan melaksanakan perintah dan menghentikan segala larangan-Nya, dengan kata lain menta‟ati segala aturan yang telah disampaikan melalui Rasul-Nya yang diutus untuk menyampaikan risalah. Adapun yang lebih terperinci lagi bentuk akhlak kepada Allah adalah sebagai berikut:

a) Mencintai Allah melebihi cinta kepada apapun dan siapapun juga dengan mempergunakan fithrahnya dalam al-Qur‟an sebagai pedoman hidup dan kehidupan.

(34)

b) Melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya

c) Mengharapkan dan berusaha memperoleh keridhoan-Nya d) Mensyukuri nikmat Allah

e) Menerima dengan ikhlas qadha dan qadhar ilahi setelah berikhtiar semaksimal mungkin

f) Memohon ampun hanya kepada Allah g) Bertaubat kepada Allah

h) Tawakkal (berserah diri) kepada Allah. (Ali, 2004: 353) Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa akhlak kepada Allah dapat dilakukan dengan cara mencintai Allah SWT dengan melebihi cinta dari apapun juga, sebagaima dijelaskan dalam al-Qur‟an surah An-Nahl ayat 72 sebagai berikut:













































“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"

Selain itu cara berakhlak kepada Allah SWT adalah dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya, berusaha memperoleh keridhoan-Nya dan selalu mensyukuri terhadap apa yang diberikan oleh Allah SWT, dan berusaha untuk bertobat serta berserah diri kepada Allah SWT, dan meyakini akan qadha dan qadhar Allah yang telah ditentukan atas umat manusia.

(35)

5) Akhlak terhadap makhluk Allah

Selain akhlak kepada Allah SWT juga ada akhlak kepada sesama manusia dan akhlak bukan kepada manusia. Akhlak kepada manusia dapat dibagi lagi kepada beberapa bentuk yaitu akhlak kepada Rasulullah, akhlak kepada orang tua, akhlak kepada diri sendiri, akhlak terhadap keluarga,karib kerabat, akhlak terhadap tetangga, dan akhlak dalam masyarakat. Akhlak terhadap makhluk Allah terbagi dua: biotik dan abiotik. Untuk lebih jelasnya, tentang hal di atas, maka penulis akan menguraikan satu persatu sebagai berikut:

a) Akhlak terhadap Rasulullah

Rasulullah adalah rasul terakhir yang diwarisi Al-Qur‟an sebagai mu‟jizat yang dapat dijadikan sebagai pedoman oleh manusia dalam menempuh kehidupan di dunia dan di akhirat, Rasulullah merupakan pemimpin dan suri tauladan bagi umatnya dan sebagai pemimpin bagi umatnya, untuk itu, sebagai umat manusia wajib berakhlak mulia kepadanya karena misi utama Rasulullah dalam berdakwah adalah untuk membentuk akhlak manusia sehingga manusia memiliki akhlak yang mulia sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam, adapun bentuk-bentuk akhlak kepada Rasulullah yaitu: mencintai rasul secara tulus dan mengikuti semua sunnahnya, menjadikan rasul sebagai idola, suri tauladan dalam hidup dan

kehidupan,menjalankan apa yang disuruh-Nyadan

meninggalkan apa yang dilarang-Nya. (Ali, 2004: 352) Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa akhlak kepada Rasulullah dapat dilakukan dengan cara mencintai dengan tulus dan sepenuh hati dan mengikuti sunnah Rasulullah danmenjadikan rasul sebagai idola dan

(36)

suri tauladan dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

b) Akhlak terhadap orang tua

Orang tua adalah orang yang paling berharga dalam hidup kita, karena mereka sudah bersusah payah mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan, sehingga tumbuh menjadi dewasa. Orang tua harus

dihormati karena mereka sudah bersusah payah

membesarkan. Sebagai seorang anak harus berbakti kepada keduanya dengan cara berakhlak mulia kepada keduanya. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah QS Luqman ayat 14 sebagai berikut:                  

“dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa seorang anak harus berbuat baik kepada kedua orang tuanya karena mereka sudah bersusah payah merawat dan membesarkan anaknya. Adapun bentuk-bentuk akhlak terhadap kedua orang tua adalah, sebagai berikut:

a) Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya

b) Merendahkan diri kepada keduanya diiringi dengan perasaan kasih dan sayang

c) Berkomunikasi dengan orang tua dengan khidmat,

mempergunakan kata-kata yang lembut

(37)

e) Mendo‟akan keselamatan dan keampunan bagi mereka kendatipun seseorang atau kedua duanya telah meninggal dunia. (Ali, 2004: 357)

Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa seseorang harus berakhlak mulia kepada kedua orang tuanya dengan cara mencintai mereka melebihi cinta kepada apapun, merendahkan diri kepada keduanya dengan penuh rasa kasih sayang, karena mereka sudah memberikan kasih sayangnya mulai dari dalam kandungan sampai tumbuh dan dewasa seperti sekarang.

Sebagai seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tua wajib berbuat baik dan selalu mendo‟akannya walaupun orang tua telah tiada.

c) Akhlak terhadap diri sendiri

Sebagai seorang muslim harus mempunyai akhlak terutama kepada diri sendiri. Adapun bentuk-bentuk akhlak kepada diri sendiri adalah sebagai berikut:

Memelihara kesucian diri, menutup aurat, jujur dalam perkataan maupun perbuatan, ikhlas, sabar, rendah hati, malu melakukan perbuatan jahat, menjauhi dengki, menjauhi dendam, berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain, menjauhi segala perbuatan sia-sia.

Dari uraian di atas dijelaskan bahwa sebagai manusia juga harus berakhlak kepada diri sendiri supaya diri tidak kehilangan harga diri dimata manusia terutama dalam pandangan Allah. Dalam berakhlak kepada diri sendiri dapat dilakukan dengan cara memelihara kesucian diri dengan cara berusaha selalu mendekatkan diri kepada Allah, memakai pakaian yang menutup aurat, karena pakaian yang menutup aurat melambangkan kepribadian seorang muslim. Selain itu cara berakhlak kepada manusia juga dapat dilaksanakan dengan jujur dalam bertutur kata dan berbuat, ikhlas, sabar, menjauhi

(38)

perbuatan dendam dan perbuatan yang sia-sia dan selalu berbuat adil terhadap diri sendiri.

d) Akhlak terhadap keluarga dan karib kerabat

Keluarga dan karib kerabat adalah orang yang selalu berada di dekat kita dikala kita senang dan dikala kita sedih, untuk itu kita harus selalu berakhlak baik kepada mereka, adapun bentuk-bentuk akhlak terhadap keluarga dan karib kerabat yaitu sebagai berikut: saling membina kasih sayang dalam keluarga, saling memperoleh kewajiban untuk memperoleh hak , mendidik anak-anak dengan kasih sayang, memelihara hubungan silaturrahmi yang dibina orang tua yang telah meninggal.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa bahwa kita sebagai seorang muslim harus berakhlak yang baik, karena tanpa mereka kita tidak akan bisa hidup sendiri.

6) Akhlak terhadap Lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda tak bernyawa.

Contohnya adalah memelihara tumbuh-tumbuhan, tidak buang sampah sembarangan, dan tidak menebang pohon secara ilegal. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-maidah : 2















































































(39)





























“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum..”

Terkait pembahasan tentang ruang lingkup akhlak ini. Mukni‟ah dalam bukunya “Materi Pendidikan Agama Islam” menjelaskan ruang lingkup akhlak itu ada lima, yaitu:

a) Akhlak terhadap diri sendiri meliputi kewajiban terhadap dirinya disertai dengan larangan merusak, membinasakan dan menganiaya diri baik secara jasmani (memotong dan merusak badan) maupun secara rohani (membiarkan larut dalam kesedihan)

b) Akhlak dalam keluarga meliputi segala sikap dan perilaku dalam keluarga, contohnya berbakti kepada orangtua, menghormati orangtua dan tidak berkata-kata menyakitkan kepada mereka.

c) Akhlak dalam masyarakat meliputi sikap kita dalam menjalani kehidupan sosial, menolong sesama, menciptakan masyarakat yang adil yang berlandaskan al-Qur‟an dan hadits.

d) Akhlak dalam bernegara meliputi kepatuhan terhadapUlil Amri selama tidak bermaksiat kepada agama, ikut serta dalam membangun negara dalam bentuk lisan maupun pikiran. e) Akhlak terhadap agama meliputi beriman kepada Allah, tidak

(40)

Rasul saw serta meniru segala tingkah lakunya. (Mukni‟ah, 2011: 112-113)

e. Faktor-Faktor yang Membentuk Akhlak

Ada dua sisi yang menyatakan asal mula pembentukan akhlak. Sisi pertama menyatakan bahwa akhlak merupakan hasil dari usaha pendidikan, latihan, kerja keras, dan pembinaan (muktasabah), bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi ruhaniah yang ada dalam diri manusia termasuk di dalamnya akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani dan intuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.

Akan tetapi menurut sebagian ahli menyampaikan bahwa akhlak tidak perlu dibentukkarena akhlak adalah insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Dengan pandangan seperti ini, akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa bentuk atau diusahakan (ghair muktasabah). (Mustofa, 1999: 82)

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran sebagai berikut:

1) Aliran Nativisme

Menurut aliran ini, faktor yang paling berpengaruh terhadap diri seseorang adalah faktor bawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, dan akal. Jika seseorang telah memiliki bawaan kepada yang baik, dengan sendirinya orang tersebut lebih baik. Aliran ini begitu yakin terhadap potensi bathin dan tampak kurang menghargai peranan pembinaan dan pendidikan.

2) Aliran Empirisme

Menurut aliran ini, faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan kepada

(41)

anak itu baik, baiklah anak. Demikian juga sebaliknya, aliran ini begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan penjajahan. (Mustofa, 1999: 91)

3) Aliran Konvergensi

Menurut aliran ini, faktor yang paling mempengaruhi pembentukan akhlak adalah faktor internal (pembawaan) dan faktor dari luar (lingkungan sosial). Fitrah dan kecenderungan ke arah yang lebih baik yang dibina secara intensif secara metodis. Aliran ini sesuai dengan ajaran Islam. (Mukni‟ah, 2011: 130-131). Hal ini dapat dipahami dari ayat QS An-Nahl : 78

































“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Sedangkan, haditsnya adalah, “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fithrah (rasa ke-Tuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran). Maka kedus orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi”

Jadi, berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi akhlak secara garis besar dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu aliran nativisme yang menyatakan akhlak dipengaruhi oleh faktor bawaan; aliran empirisme menyatakan akhlak dipengaruhi oleh faktor luar; dan aliran konvergensi menyatakan akhlak dipengaruhi oleh faktor luar sekaligus faktor pembawaan. Dari ketiga aliran tersebut, aliran konvergensilah yang paling diakui karena terdapat dalilnya dalam al-Qur‟an.

f. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pembentukan Akhlak

Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan Akhlak antara lain sebagai berikut:

(42)

1) Insting (Naluri)

Aneka corak refleksi sikap, tindakan, dan perbuatan manusia dimotivasi oleh kehendak yang dimotori oleh insting seseorang (gharizah). Insting merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak lahir. Para psikolog menjelaskan bahwa insting berfungsi sebagai motivator penggerak yang mendorong lahirnya tingkah laku sebagai berikut:

a) Naluri makan (nutrive instinct). Manusia lahir telah membawa suatu hasrat makan tanpa didorong oleh orang lain. b) Naluri berjodoh (seksual instinct). Dalam QS Ali Imran : 14 diterangkan “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak.”

c) Naluri keibuan (peternal instinct). Tabiat kecintaan orangtua kepada anaknya dan sebaliknya kecintaan anak kepada orang tuanya.

d) Naluri berjuang (combative instinct). Tabiat manusia untuk mempertahankan diri dari gangguan dan tantangan

e) Naluri bertuhan. Tabiat manusia mencari dan merindukan penciptanya. Naluri manusia itu merupakan paket yang secara fithrah sudah ada dan tanpa perlu dipelajari terlebih dahulu

2) Adat atau kebiasaan

Adat atau kebiasaan adalah setiap tindakan dan perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Abu bakar Zikir berpendapat bahwa perbuatan manusia, apabila dikerjakan secara berulang-ulang sehingga mudah melakukannya, itu dinamakan adat kebiasaan.

(43)

3) Wiratsah (Keturunan)

Adapun warisan adalah berpindahnya sifat-sifat tertentu dan pokok (orangtua) kepada cabang (anak keturunan). Sifat-sifat asasi anak yang merupakan pantulan sifat-sifat asasi orang tuanya. Kadang-kadang anak itu mewarisi sebagian besar dari salah satu sifat orang tuanya.

4) Milieu

Artinya suatu yang melingkupi tubuh yang hidup meliputi tanah dan udara, sedangkan lingkungan manusia ialah apa yang mengelilinginya, seperti negeri, lautan, udara, dan masyarakat. Milieu ada 2 macam, yaitu sebagai berikut:

(a) Lingkungan alam

Alam yang melingkupi manusia merupakan faktor yang memengaruhi dan menentukan tingkah laku seseorang.

Lingkungan alam mematahkan atau mematangkan

pertumbuhan bakat yang dibawa oleh seseorang. Pada zaman nabi Muhammad, pernah terjadi seorang Badui yang kencing di serambi mesjid, seorang sahabat membentaknya namun nabi melarangnya. Kejadian di atas dapat menjadi contoh bahwa Badui yang menempati lingkungan yang jauh dari masyarakat luas tidak akan tahu norma-norma yang berlaku. (b) Lingkungan pergaulan/rohani/sosial

Manusia hidup selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Itulah sebabnya kenapa manusia harus bergaul. Oleh karena itu, dalam pergaulan akan saling mempengaruhi dalam pikiran, sifat dan tingkah laku. Contohnya, akhlak orang tua di rumah dapat mempengaruhi akhlak anaknya. Begitu juga, akhlak anak sekolah dapat terbina dan terbentuk menurut pendidikan yang diberikan oleh guru-guru di sekolah. (Mukni‟ah, 2011: 113-115)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Simpulan penelitian adalah ada pengaruh metode bercerita terhadap peningkatan kosa kata bahasa Indonesia anak tunagrahita ringan di SDLB Purworejo Pasuruan.. Hal

1. Tidak melampirkan spesifikasi teknis barang X-RAY MULTIMETER. Tidak Melampirkan/tidak memiliki Dukungan Pabrikan/Distributor/Agen resmi untuk barang X-RAY

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 29-31 Mei 2012, maka penulis menyimpulkan bahwa gambaran pengetahuan remaja putri tentang dampak pernikahan dini pada

Berdasar poin pemikiran di atas maka jika dikaitkan dengan domain disiplin arsitektur memunculkan beberapa asumsi yang harus ditetapkan; (1) wujud fisik ruang (space) dan

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pembelajaran melalui Active Learning In Higher Education (ALIHE) pada mata kuliah pendidikan IPA SD di jurusan PGSD FIP UNJ dapat

Perbedaan yang signifikan pada pemberian ekstrak buah merah (EBM) dosis 0,05 ml dan 0,1 ml terhadap tingkat fertilisasi karena terciptanya lingkungan yang

Hasil dari penelitian ini kepuasan pada pimpinan tidak berpengaruh pada kinerja tenaga penjual, sehingga dapat disimpulkan meskipun kinerja tenaga penjual meningkat

Materi Dakwah yang disampaikan para Ulama di Kecamatan Anjir Pasar tentang zakat pertanian tidak terlepas dari hukum-hukumnya serta bagian- bagiannya, seperti