KAJIAN TEORI
A. Pembangunan Perkotaan dan Masalah Sosial
Pembangunan di Indonesia selama PJPT I telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Perubahan itu telah membawa pula perkembangan baru, tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tetapi juga terhadap sistem nilai dalam tatanan sosial kita. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak jarang kita merasa terjebak ke dalam sistem yang kita ciptakan sendiri. Salah satu contoh kongkrit mengenai hal ini adalah pembangunan perkotaan yang banyak menimbulkan perubahan dan dampak terhadap kehidupan masyarakat.
Pada masa Orde Baru, pendekatan pembangunan bersifat top-down dan sentralistik. Kewenangan dan kekuasaan perencanaan pembangunan sepenuhnya berada pada pemerintah pusat, pemerintah daerah tidak dilibatkan. Akibatnya, pelaksanaan pembangunan adalah lamban karena kelemahan birokrasi yang terlalu panjang dan tumpang tindih. Rencana-rencana pembangunan yang telah disusun dan dilaksanakan kerap kali tidak sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat. Konsentrasi geografis terjadi di kota-kota, sehingga kota memiliki iklim social yang menarik dan menunjang terhadap yang menyebabkan penyebaran penduduk tidak merata yaitu terkonsentrasi di daerah perkotaan dan sisanya di daerah pedesaan.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia telah mencapai lebih dari 85 juta jiwa yang tersusun kedalam beberapa hirarki kota, dengan laju kenaikan sebesar 4, 40 % per tahun selama kurun waktu 1990-2000. Laju kenaikan penduduk di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Semarang relatif rendah. Namun , laju kenaikan penduduk di kecamatan-kecamatan dan kabupaten sekitar kota besar relatif tinggi. Hal ini disebabkan adanya harga tanah yang cukup mahal di kota-kota besar (Suara Pembaharuan, 9 Juni 2004)
Sumber pertumbuhan penduduk kota dapat ditinjau secara demografis dan secara teori. Secara demografis, sumber pertumbuhan penduduk perkotaan ada tiga yaitu: pertambahan penduduk alamiah, migrasi dan reklasifikasi. Pertambahan penduduk alamiah memberikan kontribusi sekitar satu per tiga bagian, sedangkan migrasi dan reklasifikasi memberikan kontribusi sebesar dua per tiga kepada kenaikan jumlah penduduk perkotaan. Berdasarkan hasil penelitian oleh berbagai ahli, migrasi penduduk pedesaan ke perkotaan disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
1. Adanya peningkatan pada pendapatan masyarakat 2. Konsumsi dan produksi lebih berdaya guna di perkotaan 3. Perubahan teknologi yang lebih cepat diperkotaan 4. Kegiatan produksi untuk ekspor terpusat di perkotaan 5. Layanan pemerintah yang lebih berat pada perkotaan 6. meningkatnya beban hidup dipedesaan
7. adanya peluang di kota untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik, penghasilan yang lebih tinggi, pengembangan keterampilan, melanjutkan studi dan lainnya.
Secara teori, sumber pertumbuhan penduduk perkotaan dapat dijelaskan dengan teori basis perkotaan dan teori tempat sentral. Menurut teori basis perkotaan, pertumbuhan penduduk perkotaan disebabkan oleh adanya permintaan dari luar daerah perkotaan akan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah perkotan. Sedangkan menurut teori tempat sentral pertumbuhan penduduk perkotaan disebabkan oleh adanya permintaan dari wilayah pelayanan (wilayah pemasaran)
Fenomena setengah penduduk Indonesia telah menjadi penduduk perkotaan seperti dijelaskan di atas, sering diartikan sebagai masalah migrasi ke perkotaan dengan dampak sosial ekonomi yang begitu kompleks seperti kemelaratan, kriminalitas, pemukiman kotor dan padat, masalah lingkungan dan ketidak seimbangan kualitas kehidupan kota. Maka jelaslah bahwa masalah pembangunan perkotaan sangat luas aspek dan dimensinya. Kondisi seperti ini perlu dijadikan landasan dan pertimbangan dalam pembangunan perkotaan dimasa mendatang karena akan berdampak luas pada upaya perencanaan dan pengelolaan pembangunan wilayah perkotaan. Oleh karena itu, dalam kegiatan pembangunan perkotaan perlu dilakukan penatalaksana lahan secara harmonis dan dinamis dan dibutuhkan infrastruktur yang memadai. Hal lain yang harus diperhatikan dalam pembangunan perkotaan yaitu bahwa dalam pembangunan perkotaan tidak berarti pembangunan pedesaan harus dinomorduakan, karena keduanya sangat terkait
erat, bahkan dibutuhkan perencanaan pembangunan wilayah yang berfokus pada hubungan perkotaan dengan pedesaan.
B. Hubungan Usaha Besar dengan Usaha Kecil
Dalam mendukung kegiatan pembangunan yang digalakan pemerintah, dibutuhkan peran serta masyarakat, baik pengusaha besar, menengah maupun pengusaha kecil. Menurut Badan Pusat Statitik, pengusaha besar adalah mereka yang memiliki usaha dengan melibatkan tenaga kerja ≥ 100 orang karyawan. Pengusaha menengah adalah mereka yang memiliki usaha dan melibatkan tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang. Sedangkan pengusaha kecil adalah mereka yang memiliki usaha dan melibatkan tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang.
Dilihat dari jumlah tenaga kerja, usaha baru umumnya berangkat dari usaha kecil. Berkaitan dengan usaha kecil, terdapat cirri-ciri khusus usaha kecil seperti dikemukakan oleh Sutojo (Baswir, 1998):
a. lebih dari setengah perusahaan kecil didirikan sebagai pengembangan usaha kecil-kecilan
b. selain masalah permodalan, masalah lain yang dihadapi usaha kecil bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan usaha
c. sebagian besar usaha kecil tidak mampu memenuhi persyaratan administratif guna memperoleh bantuan bank
d. hampir 60 % usaha kecil masih menggunakan teknologi tradisional
e. hampir setengah perusahaan kecil hanya mempergunakan kapasitas terpasang kurang dari 60 %
f. pangsa pasar usaha kecil cenderung menurun baik karena factor kekurangan modal, kelemahan tegnologi maupun karena kelemahan manajerial
g. hampir 70 % usaha kecil melakukan pemasaran langsung kepada konsumen. Batasan kelompok usaha yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada batasan yang dikemukakan oleh Sutojo dkk, karena menurut Sutojo ini diperuntukan bagi usaha secara umum (Baswir, 1998).
Keterlibatan usaha besar dan UKM dalam pembangunan tidak terlepas dari potensi dan kontribusi mereka terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Peranan usaha besar dalam perekonomian nasional sudah cukup jelas. Selain memberikan kontribusi terhadap PDB nasional melalui pajak yang diberikan, perusahaan besar mampu menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Sedangkan peranan UKM yang selama masa orde baru tidak begitu diperhatikan pemerintah teryata tidak kalah penting dalam mendukung perekonomian nasional. Argumen ini didasarkan pada fakta empiris yang menunjukan bahwa, ditinjau dari segi jumlah usaha dan dari segi penciptaan lapangan pekerjaan, UKM mampu mempekerjakan lebih banyak orang dibandingkan usaha besar. UKM diharapkan bisa tetap menciptakan banyak kesempatan kerja baru lewat pendirian usaha- usaha baru. Tahun 2000, lebih dari 66 juta orang bekerja di usaha kecil atau sekitar 99, 44 % dari jumlah kesempatan kerja. Di usaha menengah tahun 1999 ada sekitar 7,1 juta orang bekerja dikelompok usaha ini, tahun 2000 naik menjadi 7,5 juta orang. Pada tahun 2000 usaha kecil menyumbang sekitar 40 % terhadap pembentukan PDB nasional.
Meskipun UKM mampu memberi sumbangan yang cukup besar dalam perekonomian nasional, akan tetapi dalam kenyataannya UKM belum mampu menunjukan peranannya secara optimal. Hal ini disebabkan adanya masalah dan kelemahan-kelemahan yang ada pada UKM. Masalah-masalah yang dihadapi UKM antara lain masalah penyediaan dana untuk modal kerja, masalah pemasaran, masalah penyediaan teknologi, manajemen dan kualitas tenaga kerja dan masalah kewirausahaan. Sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada pada UKM antara lain kelemahan dalam memperoleh peluang dan memperbesar pangsa pasar, kelemahan dalam struktur permodalan, kelemahan dalam bidang organisasi dan manajemen, keterbatasan dalam jaringan usaha dan kerja sama usaha kecil.
Dengan adanya masalah dan kelemahan yang dihadapi UKM maka, peran pemerintah dalam hal ini sangatlah dibutuhkan. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan sektor perekonomian yang semakin seimbang dan kuat. Untuk saat ini, upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah menciptakan kerjasama antara UKM dengan perusahaan besar. Sebagai alat kebijakan dalam mengatur kerjasama, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah no 44 tahun 1997 tentang kemitraan. Adapun mekanisme pelaksanaan kemitraan perusahaan besar dengan perusahan kecil adalah sebagai berikut :
a. Kemitraan yang diatur dalam peraturan pemerintah no 44 tahun 1997 melibatkan pengusaha besar, pengusaha menengah dan pengusaha kecil. b. Yang dimaksud kemitraan disini adalah kerjasama antara usaha besar,
menengah dan usaha kecil yang disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha besar terhadap usaha kecil.
c. Tujuan diadakannya kemitaraan antara perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil adalah menciptakan iklim yang mampu merangsang terselenggaranya kemitraan usaha yang kokoh diantara semua pelaku kehidupan ekonomi berdasarkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dengan adanya kemitraan ini, diharapkan bisa memberdayakan usaha kecil agar dapat tumbuh dan berkembang semakin kuat.
d. Kemitraan diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan memberikan peluang seluas-luasnya kepada usaha kecil oleh pemerintah dan dunia usaha.
e. Dalam kemitraan, usaha besar dan usaha menengah berperan sebagai inti dalam membina dan mengembangkan usaha kecil dalam hal penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha, peningkatan teknoligi, pembiayaan dan pemberian bantuan lain.
f. Kemitraan berlangsung dalam rangka sub kontrak untuk memproduksi barang atau jasa.
g. Kemitraan antara usaha besar dan usaha kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerja sama pemasaran, penyediaan lokasi usaha atau penerimaan pasokan dari usaha kecil untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan usaha besar.
h. Usaha besar atau usaha menengah yang bermaksud memperluas usahanya dengan cara memberi waralaba, memberikan kesempatan dan
mendahulukan usaha kecil yang memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai penerima waralaba.
i. Pola-pola kemitraan dikembangkan lebih lanjut oleh menteri dan menteri teknis sehingga menjangkau bidang-bidang usaha dalam arti seluas-luasnya.
j. Menteri adalah Menteri koperasi dan pembinaan pengusaha kecil. Menteri teknis adalah Menteri yang secara teknis bertanggung jawab untuk membina dan mengembangkan pelaksanaan kemitraan.
Sejauh ini, peran peraturan pemerintah no 44 tahun 1997 sebagai alat pengontrol kemitraan perusahaan besar dengan UKM belum berjalan dengan baik. Argument ini didasarkan pada fakta bahwa pada kenyataanya perusahaan besar enggan bekerja sama dengan UKM karena merasa terbebani. Jika ada perusahaan besar mau bekerjasama dengan perusahaan kecil itu dikarenakan adanya keuntungan besar yang diperoleh perusahan besar dari perusahaan kecil bukan karena kesadaran akan pentingnya kerjasama untuk mendukung perekonomian nasional.
C. Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Kawasan Perkotaan
Telah dijelaskan diatas bahwa masalah pembangunan perkotaan sangat luas aspek dan dimensinya. Oleh sebab itu, dalam upaya menghindari kerusakan lingkungan, masalah perumahan, lalu-lintas orang dan barang, tempat-tempat rekreasi dan bangunan-bangunan fisik yang dibutuhkan masyarakat perkotaan dibutuhkan kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan yang lebih efektif.
Kebijakan nasional yang dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan kawasan perkotaan akan berbeda antara kota yang satu dengan kota yang lainya, (El. Shakhs, 1985). Kebijakan mana yang tepat untuk setiap daerah ditentukan oleh pola tata ruang dan lingkungan ekonomi dan politik negara bersangkutan dan kedudukannya dalam system tata ekonomi internasional.
Untuk mencapai hasil yang optimal, pembahasan tentang kebujakan dan strategi pembangunan perkotaan harus diawali dengan ungkapan tentang visi dan misi pembangunan perkotaan. Visi pembangunan perkotaan mengandung pengertian cita-cita mengenai kondisi ideal perkotan di masa depan. Sedangkan misi pembangunan perkotaan mengandung pengertian tugas-tugas yang telah ditetapkan dan harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Langkah selanjutnya, dalam merumuskan kebijakan dan strategi pembangunan harus didasarkan pada kondisi dan kinerja prasarana dan sarana yang dimiliki saat itu.
Banyaknya faktor pembangunan, berbedanya intensitas faktor-faktor pembangunan dan berbedanya arti faktor-faktor pembangunan dalam kaitannya satu dengan yang lain menyebabkan kesulitan pemerintah kota dalam menyusun kebijakan. Faktor-faktor yang menyulitkan pemerintah dalam menyusun kebijakan tersebut antara lain:
1. Tantangan dan tugas yang dihadapi kota besar tidak mengenal garis-garis batas politik, administrasi dan kelembagaan tradisional. Pergaulan internasional , yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kota besar, berkaitan dengan kebijakan pemerintah.
2. Pemerintah setempat umumnya tidak memiliki kekuasaan dan sumber yang memadai untuk mewujudkan perubahan-perubahan di dalam wilayah wewenangnya sendiri.
3. Pengaruh kota besar atas perkembangan kota-kota yang lain sulit diperhitungkan oleh pemerintah
4. kebijakan nasional dalam kaitannya dengan pengembangan kota sebagian besar masih terpencar di berbagai departemen dan lembaga.
5. tujuan social politik yang dirumuskan dari segi startegi pengembangan tata ruang kota acap kali terbentur pada kekuatan yang ditimbulkan oleh kebijakan perekonomian nasional. Rencana perekonomian yang umumnya menekankan pada segi efisiensi cenderung melupakan tata ruang kotadan strategi pengembangan tata ruang cenderung mengabaikan kekuatan berbagai kaitan ekonomi dan kekuatan psiko sosial atau tidak memperhitungkan batas-batasnya sendiri.
6. Kebijakan yang direncanakan untuk memperbaiki kepincangan dalam suatu system kerap kali memperbesar kepincangan itu, atau dalam jangka panjang menimbulkan berbagai tuntutan baru yang lebih sulit atau lebih mahal untuk dipenuhi.
7. Adanya kemampuan yang kurang memadai mengenai proses tata ruang kota mengurangi kemampuan kita meramalkan pola jangka panjang proses tersebut dengan tepat dan mengurangi kapasiotas kepastian.
8. Pola perkembangan tata ruang dalam setiap sistem, peka akan perkembangan teknologi dan politik yang tidak menentu dari dalam maupun dari luar.
Sesulit apapun pemerintah kota mengambil kebijakan dalam penataan tata ruang kota, namun kebijakan dari pemerintah tetap dibutuhkan untuk menciptakan keserasian dan mengurangi masalah-masalah yang mungkin timbul akibat adanya perkembangan jumlah penduduk perkotaan. Sebagai acuan dalam membuat kebijakan pembangunan tata ruang kota, berikut dikemukakan strategi dan alat kebijakan yang mungkin bisa ditempuh oleh pemerintah (Hauser, 1985:178):
a. Pemusatan penduduk dan kegiatan ekonomi yang berlebihan untuk mengurangi merosotnya pertumbuhan daerah inti. Alat kebijakan yang bisa digunakan adalahmenetapkan pajak perangsang dan penjera, pengerahan masyarakat dan peran serta masyarakat, pembatasan migrasi. b. Pembaharuan daerah inti untuk mengurangi tekanan yang sangat besar atas
sistem layanan dan kemampuan menyediakan lapangan pekerjaan di daerah inti. Alat kebijakan yang bisa ditempuh adalah kebijakan dan perencanaan angkutan.
c. Pembatasan tingkat pengembangan industri dan kegiatan ekonomi lainnya. Alat kebijakan yang bisa digunakan berupapeningkatan tunjangan pendapatan dan dan program kesejahteraan masyarakat.
d. Pengembangan program dekonsentari daerah atau pengembangan daerah pada suatu kawasan tertentu. Cara yang bisa ditempuh adalah
memindahkan kantor-kantor pemerintah, penertiban administrasi, penyesuaian dan perluasan batas-batas politik dan administrasi.
e. Meningkatkan keusangan fisik dan tenologi dengan meningkatkan program pendidikan dan pembangunan masyarakat.
f. Mengurangi jurang harga tanah. Cara yang bisa ditempuh adalah memberikan subsidi dan bantuan-bantuan untuk meningkatkan kemampuan daya beli tanah, pengendalian tanah kota dan penyediaan lapangan pekerjaan
g. Revitalasi kota. Revitalasi kota adalah upaya peningkatan kembali fungsi dan kegiatan perkotaan untuk meningkatkan pemanfaatan lahan perkotaan agar pendapatan kota meningkat.
h. Tata ruang kota. Tata ruang kota adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang kota baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan. Perencanaan tata ruang kota dilakukan oleh pemerintah kota.
i. Pembangunan kelembagaan. Pembangunan kelembagaan mempunyai peranan penting untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah dan pembangunaan.
Setelah semua kebijakan pembangunan perkotaan secara menyeluruh dilaksanakan, langkah selanjutnya adalah mengevaluasi perkembangan pembangunan . indikator yang bisa digunakan untuk mengevaluasi perkembangan pembangunan antara lain :
b. Tingkat kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat perkotaan c. Tingkat kelestarian lingkungan hidup daerah perkotaan
d. Tingkat keseimbangan pembangunan daerah perkotaan e. Tingkat optimalisasi pemanfaatan ruang perkotaan
Setelah indikator diatas terlaksana, maka langkah selanjutnya mengukur kinerja dari masing-masing indikator yang dilihat dari pencapaian secara kuantitas dan kualitas.
D. Penelitian Terdahulu
Penelitian dilakukan oleh Eka Bhakti Suprihastiningsih pada bulan juni sampai bulan september 1996 yang berjudul “ Pengaruh Keberadaan Matahari Departement Store Terhadap Pendapatan Pedagang di Pasar Tradisional Klaten I dan di Pasar Srago Kecamatan Klaten Tengah Kabupaten Klaten”. Sebagai subjek penelitian adalah para pedagang di pasar tradisional “ Klaten I” dan pasar tradisional “Srago” kecamatan Klaten tengah. Hipotesis penelitian yang diperoleh (1) Ada perbedaan kuantitas barang yang dijual antara pedagang tradisional yang berdekatan dan tidak berdekatan dengan pasar swalayan. Kuantitas barang yang dijual oleh para pedagang yang berdekatan dengan pasar swalayan mengalami penurunan setelah adanya pasar swalayan karena banyak konsumen yang beralih berbelanja pada pasar swalayan. Sedangkan kuantitas barang yang dijual oleh para pedagang tradisional yang jauh dari pasar swalayan tidak mengalami perubahan karena konsumen tetap berbelanja di pasar tradisional atas pertimbangan lokasi pasar dekat dan mudah dijangkau (2) Ada
perbedaan pendapatan bulanan antara pedagang tradisional yang berdekatan dan tidak berdekatan dengan pasar swalayan. Pendapatan para pedagang yang berada dipasar tradisional yang berdekatan dengan pasar swalayan mengalami penurunan setelah adanya pasar swalayan. Faktor penyebab menurunnya pendapatan adalah adanya penurunan kuantitas barang yang dijual akibat penurunan jumlah konsumen. Sedangkan jumlah pendapatan para pedagang yang berada dipasar tradisional yang jauh dari pasar swalayan tidak mengalami perubahan setelah adanya pembangunan swalayan. (3) Tidak ada perbedaan Permodalan antara pedagang tradisional yang berdekatan dan tidak berdekatan dengan pasar swalayan.
Sedangkan kesimpulan mengenai tanggapan para pedagang pasar tradisional yang berdekatan dengan pasar swalayan adalah negative setelah adanya pembangunan swalayan. Keberadaan pasar swalayan menghambat usaha. Faktor-faktor yang menyebabkan adalah banyak pedagang kehilangan konsumen karena beralih berbelanja ke pasar swalayan. Akibatnya kuantitas barang yang diminta konsumen terhadap pedagang trdisional mengalami penurunan dan ini berdampak juga pada penurunan pendapatan para pedagang. Sedangkan tanggapan pedagang yang jauh dari pasar swalayan adalah netral. Fakto penyebabnya adalah konsumen tetap berbelanja di pasar tradisional karena mereka mempertimbangkan lokasi pasar yang dekat dan mudah dijangkau.
E. Kerangka Pemikiran
Munculnya pusat pembelanjaan modern seperti Mall dan Swalayan diharapkan akan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mencari barang-barang kebutuhannya dan juga dapat di jadikan sebagai sarana rekreasi. Namun, kehadiran Mall ataupun swalayan tetap perlu diwaspadai apalagi jika lokasi perbelanjaan berada disekitar UKM yang memiliki barang dagangan yang identik dengan barang-barang yang dijual di Mall atau swalayan. Keberadaan Mall dan swalayan akan menjadi pesaing yang cukup kuat bagi para pemilik UKM karena Mall dan swalayan memiliki kekuatan yang cukup besar baik dalam hal modal, manajeman ataupun dalam menarik konsumen. Keberadaan Mall dan swalayan akan mempengaruhi pendapatan, keuntungan, jumlah pembeli dan jumlah barang yang dijual para pemilik UKM.
Begitu pula dengan kehadiran Laris Mall dikecamatan Muntilan diduga mempengaruhi Jumlah pembeli, pendapatan, dan jumlah keuntungan yang diperoleh para pemilik UKM disekitarnya, terutama para pemilik UKM yang berada disekitar Jl Pemuda, JL Sayangan dan pasar Muntilan. Merekalah yang memiliki lokasi paling dekat dan memiliki barang dagangan yang identik dengan barang-barng yang dijual di Laris Mall. Dampak yang timbul akibat pembangunan Laris Mall dapat dilihat dari adanya perubahan jumlah pembeli, pendapatan dan keuntungan yang diperoleh para pemilik UKM setelah adanya Laris Mall tersebut.
F. Hipotesis Penelitian
Dari tinjauan pustaka di atas, maka dapat diambil suatu hipotesisi sebagai berikut :
1. Jumlah biaya usaha para pemilik UKM dalam radius 1Km dari Laris Mall sesudah pembangunan Laris Mall mengalami perubahan yaitu tidak sama dengan jumlah pembeli sebelum pembangunan Laris Mall.
2. Jumlah pendapatan para pemilik UKM dalam radius 1Km dari Laris Mall sesudah pembangunan Laris Mall mengalami perubahan yaitu tidak sama dengan jumlah pendapatan sebelum pembangunan Laris Mall.
3. Keuntungan para pemilik UKM disekitar dalam radius 1Km dari Laris Mall sesudah pembangunan Laris Mall mengalami perubahan yaitu tidak sama dengan keuntungan sebelum pembangunan Laris Mall.