• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN

B. Kajian Teori

1) Da‟i dan Tugas Dakwah

Pada dasarnya dakwah diartikan sebagai setiap kegiatan dalam rangka mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan. Kebaikan bukan hanya yang bersifat ibadah saja, melainkan dapat bersifat kegiatan sosial yang dilakukan terhadap sesama manusia. Dakwah dalam Islam adalah semua aktifitas manusia muslim di dalam berusaha merubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT dengan disertai kesadaran dan tanggungjawab baik terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan terhadap Allah SWT.15 Objek utama dakwah adalah masyarakat pada umumnya, semua pernyataan, perintah dan larangan yang menjadi tanggung jawab sebagai umat Islam, yang dalam fitrahnya memiliki potensi yang dapat diarahkan dan diwujudnyatakan dalam tindakan nyata.16

Urgensi perjuangan dakwah Islam harus disosialisasikan ditengah-tengah umat Islam dan wajib dijadikan sebagai prioritas dalam pikiran mereka agar rela mengorbankan waktu, tenaga, harta dan bahkan jiwanya, serta mengerahkan segenap kesungguhannya demi keberlangsungan dakwah Islam.17 Kepentingan dalam menegakkan ajaran agama Islam inilah yang menjadi tanggung jawab moral bagi seorang da‟i.

15 Anshari Hafi, Pedoman Untuk Mujahid Dakwah, (Surabaya: Al-ikhlas, 1993), 11.

16 Murtadho Mutahari, Perspektif Al-Qur‟an Tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 23.

17 N. Faqih Syarif. H, Menjadi Da‟i yang Dicintai, (Jakarta: Anggota IKAPI, Gramedia Pustaka Utama, 2011), 4.

19

Pada dasarnya, tugas pokok seorang pendakwah adalah melanjutkan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kenabian dan tuntunan syari'‟at agama Islam berdasarkan al-Qur‟an. Tugas da‟i ialah menjaga umat menyi‟arkan dan menjaga umat Islam dari berbagai ajaran-ajaran yang bertentangan dengan syari‟at sebagaimana dibawa oleh Rosulullah dan para sahabatnya. Menyiarkan dan menjaga ini merupakan tanggung jawab yang sangat besar diemban oleh seorang pendakwah.

Terlepas dari itu, ganjaranya kelak diakhirat akan sangat terasa manfaatnya.

Ketika mengaca pada ketentuan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, maka tugas dan syarat da‟i ialah ṣiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan) dan faṭânah (cerdas).

Prof. Dr. H. Moh. Ardani dalam kitab Fikih Dakwah menggariskan dua sifat utama yang perlu ada pada da‟i yaitu:

1) Iman yang kuat

2) Memiliki pengetahuan yang luas atau setidaknya kedalaman dalam memahamai syari‟at agama Islam.18 Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Dakwah karya Dr. Abdul Karim Zaidan, beliau menambah sifat utama bagi da‟i itu ada tiga ditambah rasa ikhlas yang tinggi.

18 Muhammad Amirul Asyraf, “Sifat dan Kriteria Da‟i Menurut Islam”, 35.

Dr. Said al-Qaṭṭani sebagaimana dikutip oleh Amirul Asyraf menggariskan untuk menjadi da‟i yang sukses, da‟i harus memiliki beberapa sifat dan kriteria utama dalam memastikan kemantapan dakwahnya. Antara sifat utama yang harus dimiliki da‟i menurut beliau ialah:19

1) Memanfaatkan ilmu yang diperoleh 2) Sabar

3) Akhlakul karimah 4) Ikhlas

5) Jujur.

Allah Swt menjelaskan dasar dakwah dalam al-Qur‟an denagn sangat elegan berdasarkan kode etik begitu rapi. Dalam surat al-Nahl ayat 125 Allah berfirman:

هنِا ُُۗنَسْحَا َيِى ِْتِهلِبِ ْمُْلِْداَجَو ِةَنَسَْلْا ِةَظِعْوَمْلاَو ِةَمْكِْلِْبِ َكِّبَر ِلْيِبَس ىلَِا ُعْدُا وِلْيِبَس ْنَع هلَض ْنَِبِ ُمَلْعَا َوُى َكهبَر َوُىَو .

ُمَلْعَا َنْيِدَتْهُمْلِبِ

.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (al-Naẖl: 125) Imam Ibnu Kaṭsir dalam tafsirnya sebagaimana mengutip pendapat Ibnu Jarir menjelaskan bahwa yang diserukan kepada manusia ialah wahyu yang diturunkan kepadanya berupa Al-Qur'an, Sunnah, dan pelajaran yang baik; yakni semua yang terkandung di

19 Muhammad Amirul Asyraf, “Sifat dan Kriteria Da‟i Menurut Islam, 36.

21

dalamnya berupa larangan-larangan dan kejadian-kejadian yang menimpa manusia (di masa lalu). Pelajaran yang baik itu agar dijadikan peringatan buat mereka akan pembalasan Allah Swt.

(terhadap mereka yang durhaka). Allah Swt. memerintahkan Nabi Saw. untuk bersikap lemah lembut, seperti halnya yang telah Dia perintahkan kepada Musa dan Harun, ketika keduanya diutus oleh Allah SWT. kepada Fir'aun, yang kisahnya disebutkan oleh Allah SWT. Selanjutnya mengajak umat manusia dengan tutur kata yang lemah lembut, dengan harapan mudah-mudahan mereka ingat dan takut kepada Allah SWT.20.

Ayat di atas memberikan tiga point utama yang menjadi harus dipahami oleh seorang da‟i sebagai kode etik dan pedoman dalam melaksakan dakwahnya, yaitu pertama, berdakwah dengan hikmah, yakni memberikan pelajaran yang memuat pelajaran dan bentuk evaluasi diri terhadap sasaran dakwahnya. Kedua, mauidzah hasanah yakni memberikan nasihat-nasihat baik dengan sikap dan tutur kata yang lembut agar mudah diterima, dan ketiga, berdakwah dengan sitem musyawarah dengan cara yang santun atas pertimbangan maslahat kolektif demi menghasilkan keputusan yang mampu dirasakan semua kalangan.

20 Abu Fida Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Qur‟an Adhim, IV (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah), 526.

2) Fenomena Da‟i Bertarif

Pemberian imbalan dalam dunia dakwah sebenarnya bukan hal yang baru, sudah banyak terjadi dan sudah berlangsung lama, bahkan fenomena ini terjadi hampir di semua elemen masyarakat dan aktivitas keagamaan. Hal ini sangat tampak dalam fenomena pengisian ceramah agama, baik itu dalam forum akademik maupun dalam forum pengajian umum di masyarakat, di dalamnya dapat ditemui banyak terjadi aktivitas pemberian imbalan dari pembuat acara kepada tokoh da‟i atau da‟iyah yang mengisi ceramah tersebut. Hal ini menarik jika kita amati dalam perspektif sosiologi, jika fenomena ini telah berlangsung lama dan dilakukan secara terus menerus tidaklah menutup kemungkinan adanya proses komodifikasi dalam aktifitas dakwah agama Islam.

Banyak ditemui pada sebagian orang yang diminta untuk ceramah agama di suatu tempat lalu ia meminta (tawar menawar) upahnya, kalau setuju maka jadilah ceramah itu. Kalau tidak, maka disuruh mencari penceramah lain yang harganya cocok. Tentu saja perbuatan seperti itu sangat tidak etis dilakukan oleh seorang juru dakwah. Sebab dakwah tidak boleh dikaitkan dengan upah dan honor.

Dakwah adalah kewajiban yang ada di pundak setiap muslim, baik dalam bentuk ceramah maupun bentuk lainnya. Seorang penceramah yang memasang tarif tertentu kepada pengundangnya, tentu bisa mengurangi keberkahan nilainya. Apalagi sampai menolak undangan

23

ceramah hanya dikarenakan honornya tidak sesuai, maka hal tersebut sangat terasa betapa semua itu dikomersilkan. Seolah jasa seorang penceramah agama disamakan dengan penghibur, penyanyi, artis, atau lain sejenisnya. Lucunya lagi, terkadang ada semacam pentarifan nilai amplop di kalangan mereka. Jika ustadznya yang diundang lumayan ngetop, karena sering muncul di TV misalnya, maka amplopnya harus lebih besar, tapi jika ustadnya “anonim”, tidak terkenal, maka amplopnya bisa jadi ala kadarnya. Terkadang ukuran dakwah bukan lagi level ilmu dan kemampuannya, tetapi populer atau tidaknya si penceramah. Dan bisa jadi penceramah itu malah dari kalangan mereka yang dari segi ilmunya sangat sedikit, tapi masyarakat terkadang tidak mempedulikan semua itu. Karena semangatnya mungkin bukan lagi menimba ilmu, tapi semangat popularitas, gengsi dan sejenisnya.

Mengenai mahar da‟i seperti ini, terdapat beberapa tanggapan para ulama tentang pemberian upah kepada seorang da‟i dalam menjalankan dakwahnya. Terdapat ulama yang mengaharamkan, memperbolehkan dan ketiga adanya kesepakan di awal sebelum berdakwah. Maksud pendapat ketiga ini ialah ketika pendakwah menentukan tarif tertentu sebelum melaksanakan dakwahnya, maka hukumnya haram, namun ketika mendapat upah setelah melaksakan

dakwah tanpa adanya kesepakatan di awal, maka diperbolehkan.21 Berikut deskripsi tabel yang menjelaskan mengenai itu:

Tabel Pendapat Ulama terkait Pemberian Upah pada Da‟i.

NO PENDAPAT ULAMA

1. Haram Ibnu Katsir

2. Boleh Ulama Mutaakhirin

3. Adanya kesepakatan

Munas ke-4 Ittihadul Muballighin

3) Hermeneutika Double Movement

Banyak metode dan teori yang diusung oleh para ulama dan pemikir Islam dalam memaham teks al-Qur‟an. Semuanya mengarah pada pemahaman makna teks dan tujuan dari teks tertulis di dalamnya.

Namun pada kajian ini penulis menggunakan teori hermeneutika double movement sebagaimana diusung oleh Fazlur Rahman.

Rahman mendasarkan bangunan hermeneutikanya pada konsepsi teoritik bahwa yang ingin dicari dan diaplikasikan dari al-Quran di tengah-tengah kehidupan manusia adalah bukan pada kandungan makna literalnya tetapi lebih pada konsepsi pandangan dunianya (weltanschaung). Dalam perspektif inilah Rahman secara tegas membedakan antara legal spesifik al-Quran yang memunculkan

21 Fathimatuz Zahro, “Pendapatan Da‟i dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Studi Qur‟an:

Studi Qur‟anika, Vol. 5, No.1 Juli 2020, 14-17.

http://dx.doi.org/10.21111/studiquran.v5i1.4258

25

aturan, norma, hukum sebab-akibat pemaknaan literal al-Quran dengan ideal moral yakni ide dasar atau basic ideas al-Quran yang diturunkan sebagai rahmat bagi alam, yang mengedepankan nilai-nilai keadilan („âdalah), persaudaraan (ukhuwah), dan kesetaraan (musâwah). Menurut Rahman bahwa memahami kandungan al-Quran haruslah mengedepankan nilai-nilai moralitas atau bervisi etis. Nilai-nilai moralitas dalam Islam harus berdiri kokoh berdasar ideal moral al-Qur‟an di atas. Nilai-nilai dimaksud adalah monoteisme dan keadilan. 22

Kritik Rahman sebenarnya juga diarahkan kepada para penulis tafsir al-Qur‟an. Menurutnya, dalam membahas al-Qur‟an sebagian besar para penulis muslim mengambil dan menerangkan ayat demi ayat. Di samping kenyataan bahwa hampir semua penulisan itu dilakukan untuk membela sudut pandang tertentu, prosedur penulisan itu sendiri tidak dapat mengemukakan pandangan al-Qur‟an yang kohesif terhadap alam semesta dan kehidupan. Di waktu-waktu terakhir ini para penulis muslim maupun non-muslim telah menciptakan aransemen-aransemen yang topikal terhadap ayat-ayat al-Qur‟an. Walaupun dalam berbagai hal, terutama sewaktu Rahman masih hidup tidak ada manfaatnya bagi orangorang yang ingin memahami pandangan al-Qur‟an mengenai Tuhan, manusia, dan masyarakat. Oleh karena itu, Rahman berusaha memenuhi kebutuhan

22 Ulya, “Hermeneutika Double Movement Farlur Rahman: Menuju Penetapan Hukum Bervisi Etis”, Jurnal Ulul Albab, Vol. 12, No. 2 2011, 117. Dalam Fazlur Rahman, Islam (New York: Anchor Books, 1966) 28.

tersebut dengan memperkenalkan tema-tema pokok dalam al Quran dalam karyanya Major Themes of The Quran.23

Selanjutnya, kritiknya diarahkan kepada keterpisahan antara disiplin teologi, hukum, dan etika Islam. Dalam pandangannya, sekalipun teologi atau kalam mengklaim dirinya sebagai pembela hukum, dalam kenyataannya kalam berkembang terlepas dari hukum, dan dalam aspek tertentu bertentangan dengan dasar-dasarnya.

Penyebab utama kurangnya hubungan organis antara dua disiplin di atas adalah kurang berkembangnya disiplin etika dalam Islam, yang bisa menjembatani antara dan mempengaruhi keduanya. Padahal ini yakni menjadikan al-Qur‟an sebagai sumber utama etika Islam, akan melengkapi wacana hukum, politik, dan diskursus penting lainnya dengan konsisten. Dalam rangka mengatasi masalah di atas, Rahman menawarkan cara baru dalam penafsiran agama yang menekankan perlunya tujuan atau ideal moral atau etika al-Qur‟an karena pada dasarnya semangat dasar diturunkan al-Qur‟an adalah semangat moral. Berangkat dari kritik yang ia lontarkan ini kemudian dijawabnya sendiri dengan menawarkan metode penafsiran al-Qur‟an yang bervisi etis, dengan mengedepankan weltanschaung al-Qur‟an.

Dengan metode ini, ia sangat berkepentingan untuk membangun kesadaran dunia Islam akan tanggung jawab sejarahnya dengan

23 Ulya, “Hermeneutika Double Movement Farlur Rahman: Menuju Penetapan Hukum Bervisi Etis”, Jurnal Ulul Albab, Vol. 12, No. 2 2011, 118.

27

fondasi moral yang kokoh berbasis al-Quran sebagai sumber ajaran moral yang paling sempurna harus dipahami secara utuh dan padu.24

Secara makna literal, double movement sendiri berarti gerakan ganda. Pada teorinya, Rahman menawarkan proses penafsiran al-Qur‟an dengan melibatkan dua pergerakan yang saling mengisi dan berdialektika: from the present situation to al-Qur‟an times, then back to present, yakni melalui situasi sekarang ke periode al-Qur‟an diturunkan kemudian kembali lagi ke situasi saat ini. Gerakan pertama berupaya menelusuri seluruh situasi yang melingkari ketika al-Qur‟an diturunkan. Sebab bagi Rahman, al-Qur‟an merupakan respon Ilahi melalui pikiran Nabi Muhammad SAW kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi tersebut, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat Makkah pada masanya. Sedangkan gerakan kedua mengkaji seluruh situasi kontemporer dewasa ini dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, norma, politik, nilai, institusi, dan lain-lain.25

Metode yang ditawarkan Fazlur Rahman adalah metode tematik atau dikenal dengan metode maudhu‟i. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan terkait dengan penggunaan metode ini. Pertama, sedikitnya usaha para mufassir untuk memahami al-Qur'an sebagai satu kesatuan, kemudian terdapat kesalahan umum dalam memahami keterpaduan sehingga ia sering dipahami secara atomistik dan parsial.

24 Ulya, “Hermeneutika Double Movement Farlur Rahman: Menuju Penetapan Hukum Bervisi Etis”, Jurnal Ulul Albab, Vol. 12, No. 2 2011, 119.

25 Dr. Zaprulkhan, “Teori Hermeneutika al-Qur‟an Fazlur Rahman”. Jurnal Noura, Vo. 1, No. 1.

Juni 2017. 27.

Kedua, dengan pemikiran dan sudut pandang yang berbeda dengan muafasir sebelumnya, hal ini lebih dijadikan objek pemahaman yang baru daripada menjadikannya bantuan untuk memahami al-Qur‟an secara terus menerus.26 Fazlur Rahman menjelaskan secara tegas langkah kerja operasional dari double movement (gerakan ganda).

Satu hal yang harus dipahami, ialah metode hermeneutika double movoment hanya efektif diterapkan dalam ayat-ayat hukum, bukan ayat-ayat yang metafisik, seperti konsep Tuhan, malaikat, jin dan sebagainya. Rahman tidak mengunakan hermeneutika double movement, tetapi mengunakan metode tematik dengan prinsip analisis sintesis logis, dimana ayat-ayat itu dipahami malalui metode intertekstual untuk kemudian dicari hubungan logisnya.27

Pada penelitian, hermeneutika double movement akan dibawa pada kajian mahar da‟i dalam Islam berdasarkan surat Yâsin ayat 21 dan didukung pendapat para ulama dan tokoh tentang peran dan kode etik seseorang dalam melaksakan dakwah Islam.

26 Susanti Vera, “Aktualisasi Nilai Ideal Moral dalam Kehidupan Kontemporer Perspektif al-Qur‟an: Studi Interpretasi Surah al-Alaq denfan Metode Double Movement”. Al-Taddabbur: Jurnal Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, P-ISSN: 2406-9582 E-ISSN: 2581-2564, 395.

27 Susanti Vera, “Aktualisasi Nilai Ideal Moral dalam Kehidupan Kontemporer Perspektif al-Qur‟an: Studi Interpretasi Surah al-Alaq denfan Metode Double Movement”, 396.

29

Skema Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman.28

28 Ulya, “Hermeneutika Double Movement Farlur Rahman: Menuju Penetapan Hukum Bervisi Etis”, Jurnal Ulul Albab, Vol. 12, No. 2 2011, 120.

Situasi Historis Respon al-Qur‟an

Generalisasi Hal-hal Khusus

Menentukan Tujuan Moral Sosial al-Qur‟an

Situasi saat ini Nilai-nilai al-Qur‟an

Umat Islam

30

Dokumen terkait