• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA,

A. Kajian Teori

Pembelian merupakan fungsi dari dua determinan niat dan pengaruh lingkungan dan atau perbedaan individu. Seringkali pembelian direncanakan sepenuhnya dalam pengertian ada niat untuk membeli baik produk maupun merek. Tetapi pada kenyataannya konsumen seringkali tidak menggunakan pikiran rasionalnya dalam menentukan barang-barang yang benar-benar dibutuhkannya dan pembelian ini juga tidak direncanakan secara khusus. Pembelian inilah yang dikenal dengan istilah pembelian impulsif atau impulse

buying (Wathani, 2009).

Engel dan Blackwell dalam Japariyanto dan Sugiyono (2012) mendefinisikan pembelian yang tidak direncanakan atau unplanned buying adalah suatu tindakan pembelian yang di buat tanpa direncanakan sebelumnya atau kepuasan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko. Loudon dan Bitta (1993) mengatakan pembelian impulsif adalah pembelian yang tidak direncanakan secara khusus. Pembelian impulsif seringkali diasosiasikan dengan pembelian yang dilakukan tiba-tiba dan tidak direncanakan, dilakukan ditempat kejadian dan disertai dengan dorongan yang besar serta perasaan senang dan bergairah (Rook dalam Rahmawati,

2009). Perilaku pembelian impulsif juga terlihat tiba-tiba, berupa aksi spontan yang mencegah banyak pikiran, pertimbangan dari semua informasi yang tersedia dan alternatif pilihan (Bayler dan Naorrow dalam Kacen,2002).

Pembelian impulsif yang dimaksud adalah pembelian yang tidak direncanakan, yang terjadi secara kebetulan dan segera tanpa tujuan terlebih dahulu. Hal tersebut cenderung secara spontan dan menggabungkan pemikiran yang tidak sungguh-sungguh (Cobb dan Hoyer dalam Veronica Rahmawati, 2009). Pembelian impulsif didefinisikan sebagai pembelian yang tidak direncana dan dikarakteristikkan dengan pengambilan keputusan yang relatif cepat dan prasangka subyektif terhadap keinginan segera memiliki (Rook dan Gordner dalam Rahmawati, 2009). Sehubungan dengan hal itu, Solomon (2004) menyatakan bahwa pembelian impulsif merupakan suatu aksi yang tidak direncanakan yang dipacu oleh waktu dan dipengaruhi oleh produk yang dipamerkan.

Betty dan Ferell (1993) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian yang terjadi secara tiba-tiba atau segera dengan tidak adanya tujuan untuk membeli produk yang dikategorikan secara khusus sebelum berbelanja atau tidak adanya perilaku yang memenuhi tugas-tugas dalam perilaku membeli secara khusus. Thomson dalam Samuel (2006) mengemukakan bahwa ketika terjadi pembelian impulsif akan memberikan pengalaman emosional lebih dari pada rasional, sehingga tidak dilihat sebagai suatu sugesti, dengan dasar ini maka pembelian impulsif lebih dipandang sebagai keputusan rasional dibanding irasional.

Keputusan pembelian dilakukan belum tentu direncanakan, terdapat pembelian yang tidak direncanakan (impulsive buying) akibat adanya rangsangan lingkungan belanja. Implikasi rangsangan lingkungan belanja terhadap perilaku pembelian mendukung perilaku konsumen, di hubungkan dengan karakteristik lingkungan konsumsi fisik (Bitner dalam Rahmawati, 2009). Sesuai dengan pendapat Mowen dan Minor (2002) impulse buying di definisikan sebagai tindakan membeli yang sebelumnya tidak diakui secara sadar sebagai hasil dari suatu pertimbangan, atau niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko. Mowen dan Minor menambahkan pembelian impulsif bisa dikatakan suatu desakan hati secara tiba-tiba dengan penuh kekuatan, bertahan dan tidak direncanakan untuk membeli sesuatu secara langsung, tanpa banyak mempertimbangkan akibatnya.

Pembelian tidak terencana, berarti kegiatan untuk menghabiskan uang yang tidak terkontrol, kebanyakan pada barang-barang yang tidak diperlukan. Barang-barang yang di beli secara tidak terencana (produk impulsif) lebih banyak pada barang-barang yang diinginkan untuk dibeli, dan kebanyakan dari barang itu tidak diperlukan oleh pelanggan. Rook dan Fisher (1995) menyatakan bahwa konsumen yang memiliki reaksi impulsif yang tinggi biasanya akan membeli produk secara impulsif. Reaksi impulsif merupakan kecenderungan konsumen untuk membeli secara spontan, mendadak, segera dan cenderung terjadi secara tiba-tiba (Peck and Childers dalam Veronica Rahmawati, 2009). Kecenderungan pembelian impulsif merupakan sifat perseorangan yang muncul sebagai respon atas stimuli lingkungan (Park and

Lennon,2006). Park dan Lennon (2006) juga mengemukakan bahwa perilaku

impulse buying secara exclusive dikendalikan oleh rangsangan.

Menurut penelitian Engel dalam Japariyanto dan Sugiyono (2012), pembelian berdasarkan impulse mungkin memiliki satu atau lebih karakter: a. Spontanitas

Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang, sering sebagai respon terhadap stimulasi visual yang langsung di tempat penjualan.

b. Kekuatan, kompulasi, dan intensitas

Mungkin ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika.

c. Kegairahan dan stimulasi

Desakan mendadak untuk membeli sering disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan”, “menggetarkan” atau “liar”

d. Ketidakpedulian akan akibat

Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan.

Produk impulsif kebanyakan adalah produk-produk baru, produk dangan harga murah yang tidak terduga. Beberapa macam dari barang-barang pelanggan yang merupakan pembelian tidak terencana paling sering adalah pakaian, perhiasan, ornamen-ornamen, yang dekat dengan diri sendiri serta penampilan. Sehingga setiap toko di desain untuk mengatur kegiatan dan belanja pelanggan. Dengan demikian dapat membuat pelanggan melakukan

pembelian tidak terencana dan menghabiskan lebih dari perkiraan belanjanya (Wathani, 2009).

a. Elemen-elemen Kecenderungan Impulse Buying

Loudon dan Bitta (1993) mengemukakan 5 elemen untuk membedakan antara perilaku konsumen yang impulsif dengan perilaku konsumen yang bukan impulsif. Elemen-elemen tersebut adalah:

1) Konsumen memiliki keinginan atau dorongan yang datang secara tiba-tiba dan spontan dalam melakukan tindakannya, yang berbeda dari perilaku sebelumnya.

2) Keinginan atau dorongan konsumen yang datang secara tiba-tiba untuk membeli yang ditandai dengan adanya ketidakseimbangan psikologis dimana individu merasa diluar kendali yang bersifat sementara.

3) Konsumen mengalami konflik psikologis dan berusaha untuk menimbang antara melawan kepuasan dengan segera dengan konsekuensi jangka panjang dari pembelian.

4) Konsumen mengurangi evaluasi kognitif (proses berfikir) mereka terhadap fitur produk tertentu.

5) Konsumen sering kali melakukan pembelian impulsif (menurutkan kata hati) tanpa menghiraukan konsekuensi dimasa yang akan datang.

b. Tipe-tipe Impulse Buying

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, pembelian yang tidak terencana (impulse buying) dapat diklasifikasikan dalam empat tipe yaitu planned impulse buying, reminded impulse buying, suggestion

impulse buying, dan pure impulse buying (Japariyanto dan Sugiyono,

2011).

1) Pure impulse buying

Merupakan pembelian yang dilakukan karena adanya luapan emosi dari konsumen sehingga melakukan pembelian terhadap produk diluar kebiasaan pembeliannya. Misalnya, konsumen yang jarang membeli majalah melihat majalah X dipajang ditempat dia sedang menunggu antrian dan ingin membeli majalah tersebut karena melihat gambar dan cover story majalah. Dalam hal ini pembelian majalah tersebut di kategorikan sebagai pembelian pure impulse karena diluar perilaku pembelian normal dan hanya memuaskan keinginan yang berdasarkan pada luapan emosi.

2) Reminder impulse buying

Merupakan pembelian yang terjadi karena konsumen tiba-tiba teringat untuk melakukan pembelian produk tersebut. Dengan demikian konsumen telah pernah melakukan pembelian sebelumnya atau telah pernah melihat produk tersebut dalam iklan.

3) Suggestion impulse buying

Merupakan pembelian yang terjadi pada saat konsumen melihat produk, melihat tata cara pemakaian atau kegunaanya, dan memutuskan untuk melakukan pembelian. Suggestion impulse buying dilakukan oleh konsumen meskipun konsumen tidak benar-benar membutuhkannya dan pemakaiannya masih akan digunakan pada masa yang akan datang.

4) Planned impulse buying

Merupakan pembelian yang terjadi ketika konsumen membeli produk berdasarkan harga spesial dan produk-produk tertentu. Konsumen juga membeli produk lain yang saat itu dijual dengan harga khusus (discount, cuci gudang) karena mengingat kebiasaan mengkonsumsi produk tersebut. Misalnya, seorang konsumen merencanakan membeli telur, susu dan roti. Namun ketika melihat selai tengah di discount maka konsumen tersebut membeli selai tersebut karena teringat bahwa setiap pagi pada anak anaknya sarapan dengan menggunakan selai tersebut.

Planned impulse buying berbeda dari ketiga jenis impulse buying

karena tipe ini tidak didasarkan pada luapan emosi, tapi didasarkan pada harga dan konsumen telah terbiasa melakukan pembelian produk tersebut. Tipe ini juga berbeda dari tipe reminder impulse buying karena konsumen tidak melakukan pembelian karena semata-mata teringat untuk membelinya, tetapi konsumen melakukan pembelian karena tengah ada

discount, padahal saat itu konsumen tidak tengah membutuhkannya. Tipe

ini juga tidak sama dengan suggestion impulse buying karena konsumen telah mengetahui bagaimana menggunakannya.

Dengan demikian planned impulse buying merupakan pembelian yang dilakukan tanpa direncanakan dan tidak tengah memerlukannya dengan segera, tetapi konsumen membeli produk tersebut secara teratur dan mengetahui bahwa suatu saat akan membutuhkannya jika persediaan dirumah telah habis, sedangkan pada saat itu tengah ada program on sale

(discount). Dalam penelitian ini, pembelian secara impulsif yang dipakai

adalah pure impulse buying, dan reminder impulse buying.

c. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Impulse Buying

Jumlah yang terbatas dari penelitian tentang pembelian yang tidak direncanakan menunjukkan bahwa ada beberapa karakteristik produk, karakteristik pemasaran dan karakteristik-karakteristik konsumen yang muncul sehubungan dengan proses pembelian (Loudon dan Bitta dalam Watani, 2009).

1) Karakteristik yang mempengaruhi impulse buying adalah:

a) Memiliki harga yang rendah

b) Adanya sedikit kebutuhan terhadap produk tersebut c) Siklus kehidupan produk yang pendek

d) Ukurannya kecil atau ringan e) Mudah disimpan

2) Pada faktor marketing, hal-hal yang mempengaruhi pembelian

impulsif adalah:

a) Distribusi massa pada self-service outlet terhadap pemasangan iklan besar-besaran dan material yang akan di diskon. Hawkins (2004) juga menambahkan mengenai ketersediaan informasi dimana hal ini meliputi suatu format, yang secara langsung berhubungan dengan penggunaan informasi-informasi yang berlebihan dan penggunaan informasi-informasi yang kurang, pemasangan iklan, pembelian barang-barang yang dipamerkan, website, penjaga toko, paket-paket, konsumen lain dan sumber yang bebas seperti laporan konsumen adalah sumber utama dari informasi konsumen.

b) Posisi barang yang dipamerkan dan lokasi toko yang menonjol turut mempengaruhi pembelian impulsif. Hawkins (2004) juga menambahkan bahwa jumlah, lokasi dan jarak antara toko barang eceran dipasar mempengaruhi jumlah kunjungan konsumen ke toko sebelum pembelian. Karena kunjungan ke toko membutuhkan waktu, energi dan uang, jarak kedekatan dari toko seringkali akan meningkatkan aspek ini dari pencarian diluar.

3) Karakteristik konsumen yang mempengaruhi pembelian impulsif

adalah:

b) Demografis

Karakteristik demograsif terdiri dari gender, usia, status perkawinan, pekerjaan dan pendidikan

c) Karakteristik-karakteristik sosio-ekonomi yang dihubungkan dengan tingkat pembelian impulsif.

2. Shopping Lifestyle

Lifestyle merupakan pola hidup seseorang di dunia yang terungkap

pada aktivitas, minat, opininya. Minat manusia dalam berbagai barang yang dipengaruhi oleh gaya hidupnya dan barang yang mereka beli mencerminkan gaya hidup tersebut. Gaya hidup seseorang adalah pola hidup seseorang yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opininya. Memahami sikap konsumen tidak lah lengkap jika tidak memahami konsep gaya hidup. (Kotler,2007:224-225)

Gaya hidup menurut Sutisna (2003:145) yaitu “cara hidup yang diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktifitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungan nya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya (pendapat)”

Gaya hidup mempengaruhi seseorang dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang (Kasali,1988:225). Hal senada dikatakan oleh Kotler &Amstrong (2004:175) yang menjelaskan bahwa“ lifestyle captures something more than the person’s social class or personality. It profiles a person’s whole pattern of acting and interacting in the world.

Costumer don’t just buy products they buy values and lifestyle those product represent” artinya, gaya hidup menangkap sesuatu yang lebih dari kelas sosial seseorang dan berinteraksi di dunia. Pelanggan tidak hanya membeli produk, mereka membeli nilai-nilai dan gaya hidup produk yang mewakili.

Sedangkan shopping lifestyle mengacu pada pola konsumsi yang mencerminkan pilihan seseorang tentang bagaimana cara menghabiskan waktu dan uang. Dalam arti ekonomi, shopping lifestyle menunjukkan cara yang dipilih oleh seseorang untuk mengalokasikan pendapatan baik dari segi alokasi dana untuk berbagai produk dan layanan serta alternatif-alternatif tertentu dalam pembedaan kategori serupa (Zablocki dan Kanter dalam Japariyanto dan Sugiyono, 2012). Hal tersebut telah menggambarkan pola konsumsi konsumen yang luas, seperti membedakan konsumen dalam pengertian mereka yang melakukan pengeluaran untuk makanan, elektronik,

fashion, hiburan dan pendidikan (Douglas dan Isherwood dalam Veronica

Rahmawati, 2009). Sebuah marketing shopping lifestyle mengakui bahwa masyarakat masuk ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan hal hal yang meraka inginkan, bagaimana cara menghabiskan waktu luang dan bagaimana memilih cara untuk menghabiskan uang (Zablocki dan Kanter dalam Japariyanto dan Sugiyono, 2012).

Cathy J.Cobb dan Wayne D. Hoyer dalam Japariyanto dan Sugiyono (2012) mengungkapkan bahwa konsumen di minta untuk menunjukkan sejauh mana mereka sepakat atau tidak sepakat dengan pernyataan yang berkaitan dengan shopping lifestyle (misalnya sikap terhadap merk nasional,

dirasakan pengaruh iklan, harga kesadaran). Konsumen biasanya menghabiskan waktu lebih banyak untuk melakukan seleksi merk, mereka akan membeli merk berbeda ketika ada merk lain yang dapat memberikan kepuasan akan kebutuhan karena konsumen membeli produk berdasarkan kinerja.

Dari perspektif konsumen (Shimp,2000:9) bahwa merk yang terpercaya merupakan jaminan atas konsistensi kinerja suatu produk dan menyediakan manfaat apapun (dalam bentuk status atau gengsi) yang di cari konsumen ketika membeli produk tertentu. Lebih lanjut merk adalah sebuah janji dengan konsumen bahwa dengan hanya menyebut namanya akan timbul harapan bahwa merk tersebut akan memberikan kualitas yang terbaik, kenyamanan, status dan lain lain yang menjadi pertimbangan ketika melakukan pembelian (Shimp,2000:8)

Betty Jacson dalan Japarianto dan Sugiyono (2011) mengatakan

shopping lifestyle merupakan ekspresi tentang lifestyle dalam belanja yang

mencerminkan perbedaan status sosial. Cara kita berbelanja mencerminkan status, martabat, dan kebiasaan. Betty Jacson juga mengatakan bahwa “seseorang akan rela membeli merk yang disenangi meskipun orang tersebut orang tersebut tidak punya cukup uang”. Menurut Samuel (2005) sebagian orang menganggap kegiatan berbelanja dapat menjadikan alat untuk menghilangkan stress, menghabiskan uang dapat mengubah suasana hati seseorang berubah secara signifikan, dengan kata lain uang adalah sumber kekuatan. Kemampuan untuk menghabiskan uang membuat seseorang merasa

berkuasa. Hal ini jelas bahwa shopping telah menjadi lifestyle bagi setiap orang di dunia dan telah menjadi hal yang sangat penting bagi setiap orang.

3. Fashion Involvement

Menurut O’Cass (2004) involvement adalah minat atau bagian motivasional yang ditimbulkan oleh stimulus atau situasi tertentu, dan di tunjukkan melalui ciri penampilan (O’Cass, 2004 dalam Park 2005). Sedangkan menurut Zaichkowsky dalam Japariyanto dan Sugiyono (2011)

involvement didefinisikan sebagai hubungan seseorang terhadap sebuah objek

berdasarkan kebutuhan, nilai, dan ketertarikan. Kata “objek” memberikan pengertian umum dan mengacu pada suatu produk atau brand, iklan, situasi pembelian. Konsumen dapat menemukan involvement disemua “objek”, karena involvement membangun motivasi.

Gambar 1

Faktor-faktor dan hasil dari involvement

Hasil dari involvement Pendatangan kontra Efektivitas iklan untuk mendorong pembelian Kepentingan realtif dari kelas produk

Merasakan perbedaan dalam atribut produk Pilihan untuk merk tertentu

Pengaruh harga pada

merk

Jumlah informasi yang dicari

Waktu yang dihabiskan untuk alternatif

berunding

Jenis aturan keputusan yang digunakan dalam pilihan Faktor-faktor yang menentukan involvement Faktor Manusia  Kebutuhan  Kepentingan  Ketertarikan  Nilai

Faktor Objek atau Faktor Pendorong

 Pilihan yang berbeda  Sumber komunikasi  Komunikasi yang menyenangkan Faktor Situasi  Pembelian/Penggunaan  Kesempatan Involvement Dengan iklan Dengan produk Dengan keputusan pembelian

Faktor-faktor yang menentukan involvement terdiri dari tiga faktor yaitu manusia, faktor obyek atau pendorong keterlibatan itu sendiri dan faktor situasi. Faktor manusia berasal dari diri manusia itu sendiri terdiri dari kebutuhan, kepentingan, ketertarikan serta nilai. Faktor obyek atau pendorong merupakan faktor yang memicu manusia untuk melakukan keterlibatan. Terdiri dari beragamnya pilihan, adanya sumber komunikasi yang menyenangkan. Faktor situasi merupakan faktor pendukung bagi manusia untuk melakukan keterlibatan terdiri dari adanya kesempatan atau tidak untuk apa pembelian atau penggunaan itu dilakukan (Zaichkowsky dalam Alen, 2012).

Ketiga faktor di atas akan mempengaruhi keterlibatan jika berinteraksi dengan iklan, produk dan keputuan pembelian. Hasil keterlibatan dari iklan yaitu kesetujuan atau ketidaksetujuan atas iklan tersebut, efektivitas iklan untuk mendorong pembelian. Hasil keterlibatan terhadap produk yaitu kepentingan terhadap produk tersebut, merasakan adanya perbedaan dalam atribut produk dan mempunyai pilihan untuk menggunakan produk merk tertentu. Keterlibatan dengan keputusan pembelian akan memberikan hasil pengaruh harga pada pilihan merk (semakin merek terkenal semakin mahal harganya). Sebelum melakukan keputusan pembelian perlu mencari sejumlah informasi agar tidak keliru dalam mengambil keputusan pembelian. Keputusan pembelian tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa, namun diperlukan waktu untuk berunding misalnya dengan pihak keluarga. Konsekuensi dari hasil pengambilan keputusan pembelian tersebut juga

dipertimbangkan, misalnya berapa dana yang mesti disediakan atau apakah produk tersebut benar-benar dibutuhkan atau tidak (Zaichkwosky dalam Alen, 2012).

Involvement dapat dipandang sebagai motivasi untuk memproses

informasi (Mitchell dalam Japariyanto dan Sugiono, 2012). Untuk tingkat tersebut terdapat hubungan antara kebutuhan konsumen, tujuan, atau nilai dan pengetahuan produk, konsumen akan termotivasi untuk memperhatikan informasi produk yang memotivasi untuk mendorong perilaku. Selama

involvement meningkatkan produk, konsumen akan memperhatikan iklan

yang berhubungan dengan produk tersebut, memberikan lebih banyak upaya untuk memahami iklan tersebut dan memfokuskan perhatian pada informasi produk yang terkait di dalamnya, disisi lain seseorang mungkin tidak akan mau repot untuk memperhatikan informasi yang diberikan (Celsi dan Olson dalam Veronica Rahmawati, 2009). Begitu pula dengan fashion, banyak orang terlibat dengan fashion, menghabiskan waktu dan uang untuk gaya terbaru. O’Cass (2004) mengatakan bahwa fashion chlothing involvement (mode pakaian) merupakan setiap item pakaian, bermerek atau tidak bermerek yang konsumen miliki atau kagumi atau bahkan yang tidak pernah dapat dibelinya. Dan hal tersebut berkaitan dengan filosofi tentang pandangan konsumen terhadap mode pakaian sebagai bagian yang penting dalam kehidupan mereka.

Dalam pemasaran fashion, fashion involvement mengacu pada ketertarikan perhatian dengan kategori produk fashion. O’Cass dalam

Japariyanto dan Sugiyono (2012) menemukan bahwa fashion involvement pada pakaian berhubungan sangat erat dengan karakteristik pribadi (yaitu wanita dan muda) dan pengetahuan fashion, yang mana pada gilirannya mempengaruhi kepercayaan konsumen di dalam membuat keputusan pembelian. Juga hubungan yang positif antara tingkatan fashion involvement dan membeli pakaian (Fairhurst 1989;Seo 2001 dalam Park). Mc Father (2005) mengatakan bahwa konsumen yang keterlibatannya penuh (high

involvement) terhadap mode pakaian, maka ia akan membeli pakaian lebih

dahulu daripada teman-temannya dan akan mendorong temen-temannya untuk membeli pakaian itu juga. Pakaian yang merupakan bagian dari produk

fashion adalah kategori produk yang digunakan untuk mencerminkan

kehidupan sosial konsumen, fantasi dan keanggotaannya (Solomon,2004). Konsumen dengan fashion involvement lebih tinggi mungkin terlibat dalam

impulse buying yang berorientasi fashion.

4. Hubungan Antara Shopping Lifestyle dan Impulse Buying Behavior

Shopping dari masa ke masa telah menjadi salah satu lifestyle yang

paling digemari, untuk memenuhi lifetyle ini masyarakat rela mengorbankan sesuatu demi mencapainya dan hal tersebut cenderung mengakibatkan

impulse buying. Ketika terjadi pembelian impulsif akan memberikan

pengalaman emosional lebih daripada rasional, sehingga tidak dilihat sebagai suatu sugesti, dengan dasar ini maka pembelian impulsif lebih dipandang sebagai keputusan rasional daripada irasional dan hubungan sembilan karakteristik produk yang mungkin dapat mempengaruhi pembelian impulsif,

yaitu harga rendah, kebutuhan tambahan produk atau merk, distribusi massa,

self service, iklan massa, display produk yang menonjol, umur produk yang

pendek, ukuran kecil, dan mudah disimpan (Japarianto dan Sugiyono, 2011:35).

5. Hubungan Antara Fashion Involvement dan Impulse Buying Behavior

Menurut Gregory Stone dalam Savitrie Dian (2008) pakaian adalah instrument seseorang dalam mengekspresikan identitasnya. Pakaian bisa memvalidisasi dan membantu mengkokohkan identitas. Seseorang akan memperhatikan cara berpakaian yang dia pilih demi mendapatkan validasi dari audiens yang nantinya akan memperkuat self concept orang tersebut. Pakaian juga dikategorikan sebagai barang high involvement karena karena konsumen membelinya dengan alasan arti simboliknya, image yang ditimbulkan dan kepuasan psikologis. Menurut Kaiser (1990) pakaian dapat memperlihatkan status sosial pemakainya, image dan karakteristik pribadi mereka. Pakaian sangat erat keterlibatannya dengan karakteristik pribadi dan pengetahuan tentang fashion, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh keyakinan konsumen dalam membuat keputusan pembelian. Kecenderungan seseorang untuk memiliki penampilan yang menarik menyebabkan orang tersebut sering melakukan pembelian tanpa direncanakan untuk produk pakaian. Selain itu, hubungan hubungan positif antara tingkat keterlibatan dan mode pembelian pakaian adalah konsumen dengan high involvement lebih menyukai kepada pembelian pakaian. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa konsumen dengan higher fashion involvement lebih menyukai

menggunakan fashion oriented impulse buying (Japariyanto dan Sugiyono, 2011:35).

Dokumen terkait