• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

B. Penyajian Data dan Analisis

Setelah mengalami program pengumpulan data dari berbagai sumber dan metode yang digunakan, mulai dari data yang bersifat umum hingga data yang bersifat khusus, selanjutnya data tersebut dianalisis. Dengan harapan data yang diperoleh menjadi data yang akurat. Secara sistematis, peneliti akan menyajikan data yang mengacu pada fokus penelitian. Data yang akan disajikan mengenai “Pola Asuh Orang Tua dalam Mengembangkan EQ (Emotional Quotient) Anak di MTs Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019”.

Sesuai dengan fokus penelitian, maka data-data yang telah diperoleh dari lapangan akan disajikan sebagai berikut:

1. Pola Asuh Orang Tua dalam Mengembangkan EQ (Emotional Quotient) Anak di MTs Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu

Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019

Di dalam suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, figur orang tua menjadi peran pertama dan utama yang memberikan sumbangan bagi perkembangan dan pertumbuhan mental mauun fisik pada kehidupan anak. Peran yang dimiliki oleh orang tua tersebut akan mempengaruhi perilaku anak, dimana sikap dan ucapan anak akan menyesuaikan dengan perilaku orang-orang disekitarnya. Oleh karena itu, setiap orang tua harus memberikan pola asuh yang sesuai dengan karakter anak sesuai dengan usianya guna untuk mengarahkan anak agar dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya.

Kecerdasan emosional sangatlah dibutuhkan oleh anak, karena dengan EQ anak akan memiliki akhlak yang terpuji. Kecerdasan emosional akan mempengaruhi anak dalam segala sikapnya, dimulai dari cara mengenali emosi diri sendiri kemudian mengelolanya, memotivasi diri, memiliki sifat empati dan dapat membina hubungan yang baik dengan sesama, baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Segala tujuan tersebut tidak akan dapat terwujud tanpa adanya peran dari orang tua. Karena dalam sehari, anak lebih banyak menghabiskan waktu dalam lingkungan keluarga, maka disini orang tua lah yang memiliki peran paling banyak yang harus dapat memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya, terutama pola asuh orang tua agar anak dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya

Pola asuh orang tua dalam mengembangkan EQ (Emotional Quotient) anak di MTs Hidayatul Mubtadi’in salah satunya yakni dengan pola asuh demokratis. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan Ibu Rohmani selaku orang tua yang memiliki dua anak kembar yang bernama Aditya Galih Maulana dan Anindya Galuh Maulina, yakni:

Pola asuh saya sebagai orang tua dengan cara mendisiplinkan anak. Saya sebagai orang tua yang memiliki anak pada usia remaja maka cara saya mendisiplinkan anak yaitu dengan menempatkan rasa hormat pada mereka seperti terbiasa mengucapkan minta tolong dan terimakasih ketika saya memberi tugas. Selanjutnya dengan menganggap mereka adalah teman dengan menanyakan apa yang menjadi keinginannya, mendukung apa yang menjadi hobi dia, mengingatkan schedule kegiatannya. Tapi terkadang masih ada sifat anak-anak yang belum hilang karena mengingat usia mereka yang merupakan

masa transisi anak-anak ke remaja yang sangat labil yang kadang berlawanan dengan keinginan orang tua. Oleh sebab itu, saya harus memakluminya dengan menghindari kata-kata kasar kepada mereka.92

Terlihat jelas, bahwa pola asuh demokratis dengan cara mendisiplinkan anak dapat menjadikan anak memiliki sifat disilpin yang akan mengarahkannya untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak. Hal tersebut juga selaras dengan yang dikatakan oleh Anisa Salsabila salah satu murid di MTs Hidayatul Mubtadi’in:

Pola asuh orang tua saya salah satunya dengan cara mendisiplinkan saya dalam segala hal, seperti mengingatkan saya ketika ada PR, meminta saya untuk membantu pekerjaan rumah, mewajibkan sholat lima waktunya tepat waktu, dan membiasakan saya untuk menghargai orang lain.93

Dari berbagai data wawancara di atas, dapat diketahui bahwa pola asuh demokratis dengan cara mendisiplinkan anak akan memberikan dampak yang baik bagi pembelajaran anak. Keluarga dengan komponen inti yaitu bapak dan ibu setidaknya dapat memberikan pola asuh yang sesuai dengan usia dan karakter anak, salah satu caranya yakni dengan mendisiplinkan anak sehingga anak dapat mengembangkan EQ nya.

Dengan menggunakan teknik observasi peneliti juga menemukan hasil bahwa salah satu orang tua saat meminta tolong kepada anaknya menggunakan bahasa yang sopan, agar nantinya juga akan ada timbal

92 Rohmani, Wawancara, Rambipuji, 04 Mei 2019.

93 Anisa Salsabila, Wawancara, Rambipuji, 15 April 2019.

balik kepada orang tuanya. Bahkan ketika mereka selesai melakukan tugas yang diberikan orang tuanya, orang tua tersebut mengucapkan terimakasih.94

Jadi pola asuh orang tua yang pertama yakni pola asuh demokratis dengan cara mendisiplinkan anak dengan melakukan berbagai cara misalnya, menempatkan rasa hormat pada mereka seperti terbiasa mengucapkan minta tolong dan terimakasih ketika memberi tugas. Selanjutnya dengan menganggap mereka adalah teman serta membiasakan anak untuk berperilaku sopan kepada siapapun.

Dalam mengembangkan EQ anak dengan memperhatikan pola asuh demokratis tidak cukup hanya dengan mendisiplinkan anak, terdapat cara selanjutnya yang dapat membimbing anak untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya yakni dengan membimbing anak untuk mematuhi peraturan dalam keluarga seperti yang dituturkan oleh Ibu Sutialis selaku orang tua dari siswa yang bernama Dewi Ningtyas, yakni:

Saya sebagai orang tua akan melakukan yang terbaik bagi anak, agar anak itu dapat berperilaku yang baik terutama ya akhlak karena jika anak sudah tidak berakhlak, maka walau bagaimanapun cantiknya bagaimanapun pandainya tidaka akan dihargai oleh orang lain. Maka saya memiliki cara untuk mengajarkan akhlak pada anak, salah satunya dengan memberikan nasehat kepada anak bahwa kita hidup di lingkungan yang pastinya mempunyai banyak aturan, terutama aturan dalam keluarga misalnya, tidak boleh keluar tanpa izin dan harus jelas alasannya, tidak boleh pacaran, main hp hanya

94 Observasi, Rambipuji, 29 April 2019.

seperlunya, sholat berjamaah, sopan terhadap seluruh anggota keluarga terutama yang lebih tua. Apabila anak tidak mematuhinya, kami sebagai orang tua akan mengajaknya duduk bersama dan menanyakan penyebab dia tidak mematuhi peraturan tersebut dan mencari solusi bersama. Itu beberapa contohnya, jadi anak itu sejak dini sudah diberikan pembelajaran yang baik yang dimulai dari lingkungan keluarga.95

Hasil penjelasan wawancara di atas adalah orang tua yang baik yakni yang memberikan pola asuh yang baik kepada anaknya. Dengan cara membimbing anak untuk mematuhi peraturan dalam keluarga, maka anak akan terbiasa berperilaku sesuai dengan aturan yang ada, baik di sekolah maupun di masyarakat.

Salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan agama Islam adalah menjadikan keluarga sebagai wadah yang strategis, karena di dalam keluargalah anak belajar belajar untuk hidup sebagai makhluk sosial. Jadi, keluarga yang terdiri dari bapak dan ibu merupakan pendidik pertama bagi anak untuk mempelajari bagaimana dirinya yang merupakan suatu pribadi yang tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan sosial dimana anak tersebut tinggal dan belajar, seperti penuturan Ibu Siti Rodiyah selaku orang tua dari siswa bernama Silatul Fitriyah, yakni:

Salah satu pola asuh saya sebagai orang tua yang paling saya utamakan terhadap anak yaitu beretika yang baik kepada siapapun, baik itu miskin atau kaya, baik itu pandai atau tidak, baik itu cantik atau tidak, semuanya sama. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut harus ada cara yang dilakukan orang tua yakni dengan mengajarkan anak sedini mungkin untuk mengerti aturan terutama aturan dalam keluarga karena awal anak mendapat pendidikan itu dari orang tua. Jadi ketika anak dari kecil sudah diajarkan mengerti aturan, maka ketika mereka

95 Sutialis, Wawancara, Rambipuji, 09 Mei 2019.

sudah berinteraksi dengan lingkungannya dia akan paham seperti apa aturan yang harus dipatuhi. Dan jika dia berbuat salah atau melanggar aturan dan norma masyarakat, maka saya akan memilih untuk menasehatinya dan selanjutnya saya sebagai orang tua akan terus mengingatkan sampai dia benar-benar tidak mengulanginya lagi. Semua peraturan harus ditaati, tanpa ada bantahan dari anak. Karena pergaulan jaman sekarang itu sudah sangat bebas. Maka dari itu anak saya harus patuh terhadap semua peraturan dalam keluarga.96

Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Anisa Safira Maulida salah satu murid di MTs Hidayatul Mubtadi’in, yakni:

Ketika saya melakukan kesalahan atau melanggar aturan dalam keluarga, orang tua saya lebih memilih menasehati daripada memarahi, karena saya akan jauh lebih mengerti dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.97

Dalam wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh demokratis yang penting dan utama bagi mereka dengan mengajari mereka untuk mematuhi peraturan dalam keluarga, karena jika mereka sudah mengerti aturan dalam keluarga, maka mereka akan terbiasa melakukannya, baik mereka berada di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Dan pola asuh orang tua yang demokratis akan membantu anak untuk mengambangkan EQ anak.

96 Siti Rodiyah, Wawancara, Rambipuji, 23 April 2019.

97 Anisa Safira Maulida, Wawancara, Rambipuji, 13 April 2019.

Demikian juga halnya dengan yang disampaikan Ibu Siti Aisyah, yakni:

Sebagai orang tua yang memiliki anak remaja, saya harus menerapkan peraturan dalam keluarga, agar anak tidak menjadi anak yang nakal. Caranya dengan memberikan pengarahan terlebih dahulu, apa saja hal yang harus dijauhi dan dikerjakan.

Dan ketika mereka melakukan kesalahan, saya memilih untuk membicarakan bersama.98

Di lain pihak, pola asuh demokratis untuk mengembangkan EQ anak yakni dengan memberikan apresiasi kepada anak ketika mereka mendapat suatu keberhasilan, seperti yang dinyatakan oleh Ibu Ika Nur Fitriyah selaku orang tua dari siswa bernama Dita Olivia Fitriyana, yakni:

Pola asuh saya sebagai orang tua seperti memberikan hadiah kepada anak ketika dia menjuarai lomba atau dapat peringkat di kelas, tapi jika saya punya rezeki, kalau sedang tidak pegang uang setidaknya memberikan ucapan selamat dan memberikan semangat untuk bisa meningkatkan prestasinya. Semua orang tua pasti ingin melihat anaknya berhasil dan ketika anak meraihnya tidak ada salahnya kami sebagai orang tua memberikan penghargaan agar anak merasa bahwa perjuangannya itu dapat dihargai oleh orang tuanya dan anak juga akan lebih memiliki semangat untuk terus mengejar impiannya untuk sukses.99

Dari wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh demokratis dengan cara mengapresiasi keberhasilan anak, karena jika orang tua menghargai kerja keras anak, maka anak juga akan lebih menghargai orang tuanya. Anak yang sudah memiliki sifat menghargai orang lain merupakan langkah awal untuk bisa mengembangkan EQ nya.

98 Siti Aisyah, Wawancara, Rambipuji, 12 April 2019.

99 Ika Nur Fitriya, Wawancara, Rambipuji, 17 April 2019.

Berdasarkan observasi yang peneliti sudah lakukan, beberapa orang tua lebih memilih untuk memberikan hadiah ketika anak mendapat suatu keberhasilan, karena selain sebagai penyemangat, hadiah dan ucapan selamat juga akan membuat anak memiliki semangat untuk memotivasi diri sendiri. Dan hadiah yang diberikan juga beragam misalnya, memberikan seperangkat alat tulis, memberikan makanan dan ada juga yang cukup memberikan kecupan di kening anak, seraya mendoakan yang terbaik untuk kedepannya.100

Jadi dari hasil wawancara dan observasi dapat disimpulkan bahwa pola asuh demokratis dengan mengapresiasi keberhasilan anak akan sangat membantu anak agar lebih meningkatkan prestasinya dan tentunya anak dapat memotivasi diri sendiri karena ketika anak mulai merasa malas, mereka akan teringat seberapa bangga kedua orang tuanya saat mereka mendapat keberhasilan. Dan salah satu ciri anak memiliki kecerdasan emosional yakni dapat memotivasi diri sendiri.

Selain mengapresiasi keberhasilan anak, terdapat juga orang tua yang memiliki pola asuh demokratis dengan melatih mereka untuk bertanggung jawab dalam segala hal, seperti penuturan Ibu Umi Sa’adah selaku orang tua dari Risty Aini Alvy Hayya, yakni:

Mengajarkan tanggung jawab terhadap anak sejak kecil itu adalah hal yang penting. Jadi saya pikir hal utama untuk mengasuh anak yakni dengan cara melatih tanggung jawab anak.

Contohnya, ketika anak sengaja atau tidak sengaja merusak

100 Observasi, Rambipuji, 15 April 2019

barang temannya, maka dia harus menggantinya, kemudian ketika pak guru atau ibu guru memberikan tugas sekolah, maka dia sebagai pelajar memiliki tanggung jawab untuk mengerjakannya, dan ketika dia diberi amanah untuk membeli sesuatu di toko atau warung, maka uangnya jangan dibuat beli makanan atau mainan. Jadi ketika anak sudah dilatih tanggung jawab, maka hal-hal baik yang lain juga akan mengikuti. Oleh karenanya tanggung jawab itu sangat penting dan harus dilatih sejak kecil pada anak.101

Hasil penjelasan wawancara diatas adalah pola asuh demokratis yang paling penting adalah dengan melatih anak untuk tanggung jawab.

Karena jika anak sudah dilatih tanggung jawab, maka hal-hal yang baik lainnya juga akan dilakukannya. Maka ketika anak sudah memiliki sifat tanggung jawab, anak akan lebih mudah untuk mengembangkan EQ nya.

Berdasarkan observasi yang peneliti sudah lakukan, orang tua akan senantiasa mengingatkan anak ketika anak memiliki tugas sekolah serta mendampingi ketika anak mengerjakannya. Hal tersebut merupakan salah satu pola asuh orang tua untuk melatih anak bertanggung jawab atas tugasnya sebagai pelajar yakni belajar.102

Jadi, pola asuh orang tua yang dapat mengembangkan kecerdasan emosional anak yakni pola asuh demokratis dengan cara melatih tanggung jawab anak sejak kecil sehingga anak terbiasa bertanggung jawab atas semua tugas-tugasnya sebagai pelajar. Tidak

101 Umi Sa’adah, Wawancara, Rambipuji, 14 Mei 2019

102 Observasi, Rambipuji, 19 April 2019

hanya sebagai pelajar, ketika anak berada di lingkungan masyarakat maupun keluarga, anak juga harus mengerti akan tanggung jawabnya.

Selanjutnya, pola asuh otoriter yang cenderung ingin menguasai anak. Perintah orang tua harus selalu dituruti dan tidak boleh dibantah.

Anak kurang diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan atau pendapat. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan Ibu Siti Asiyah selaku orang tua dari murid bernama Muhammad Abd Salam beliau mengatakan:

Salah satu pola asuh orang tua yakni mendisiplinkan anak. Cara saya sebagai orang tua dalam mendisiplinkan anak yakni dengan memberikan pengarahan kepada anak untuk tidak terlalu sering menggunakan handphone dan televisi, cukup digunakan untuk hal yang penting saja. Selanjutnya dengan membiasakan anak untuk berjamaah di Masjid dan melatihnya mulai sejak kecil.

Kemudian mengajarkan anak untuk berbicara sopan dan santun kepada yang lebih tua, menegur anak saat berbicara kotor sesuai dengan ayat Al-Qur’an surah Al-Humazah ayat pertama yakni celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, serta kewajibannya menghormati orang tua terutama ibu. Selanjutnya dengan mengawasi anak dalam hal pergaulan dengan temannya terutama pergaulan bebas, anak dibiasakan untuk memiliki sifat saling tolong-menolong dan saling menghargai kepada sesama dan lingkungannya. Kemudian membiasakan anak untuk menghemat uang dan mengajarinya agar tidak membeli makanan yang mengandung bahan berbahaya. Pernah ketika dia melanggar aturan, maka saya hokum dengan berdiri di pojok kamar selama beberapa jam agar dia tidak mengulanginya lagi.103

Terlihat jelas, bahwa pola asuh otoriter dapat menjadikan anak memiliki sifat disiplin namun pola asuh tersebut kurang efektif jika digunakan untuk mengembangkan EQ anak.

103 Siti Asiyah, Wawancara, Rambipuji, 06 Mei 2019.

Selanjutnya, pola asuh permisif yang membiarkan anak bertindak sesuai dengan keinginannya, orang tua tidak memberikan hukuman dan pengendalian. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan Ibu Ita Nurul Nikmah, yakni:

Orang tua itu memang seharusnya selalu berada dirumah untuk memberikan pengajaran atau contoh yang baik untuk anaknya demi berkembangnya si anak menjadi orang yang lebih baik lagi. Tapi mau gimana pendapatan ayahnya kurang, jadinya saya juga ikut bekerja yang kebanyakan waktu saya itu diluar.

Jadinya untuk peraturan dirumah itu hampir tidak ada. Karena saat saya datang, anak saya sudah tidur, waktu berbicara pun kadang tidak ada.104

Hasil penjelasan wawancara di atas adalah orang tua dengan pola asuh permisif cenderung tidak dapat membantu anak untuk mengembangkan EQ anak, dikarenakan orang tua adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya. Baik atau tidaknya anak tergantung bagaimana cara orang tua mendidiknya. Oleh karenanya, pola asuh permisif tidak dianjurkan bagi para orang tua guna untuk mengembangkan EQ anak.

Dengan berbagai teknik pengumpulan diatas, maka peneliti dapat menganalisis, dari keseluruhan orang tua yang menjadi subyek penelitian terdapat tiga pola asuh yang digunakan yakni pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif. Pola asuh demokratis untuk mengembangkan EQ anak adalah dengan mengajarkan kedisiplinan,

104 Ita Nurul Nikmah, Wawancara, Rambipuji, 01 Mei 2019.

membimbing anak untuk mematuhi peraturan, mengapresiasi setiap keberhasilan anak, dan melatih tanggung jawab anak. Pola asuh demokratis digunakan oleh 12 orang tua dengan latar belakang orang tua yang bekerja sebagai petani, pedagang, guru, dan karyawan swasta.

Selanjutnya pola asuh otoriter yang cenderung ingin menguasi anak dengan mengutamakan kedisiplinan anak, digunakan oleh 2 orang tua dengan latar belakang pekerjaan wiraswasta. Dan pola asuh permisif yang membiarkan anak untuk bertindak digunakan oleh 1 orang tua dengan latar belakang pekerjaan wiraswasta.

2. Strategi Orang Tua dalam Mengembangkan EQ (Emotional Quotient) Anak di MTs Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu

Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019

Dari uraian di atas, menjadi jelas jika keluarga yang sejahtera merupakan gambaran dari keluarga yang ideal yang diharapkan dapat memberikan pola asuh yang baik dan sesuai dengan karakter dan usia anak. Sebagai komunitas sosial terkecil, tentunya keluarga memiliki arti yang sangat penting. Oleh karena itu, kehidupan keluarga yang harmonis perlu dibangun atas dasar hubungan yang baik. Upaya yang dilakukan orang tua agar anak dapat memiliki kecerdasan emosional yakni dengan menggunakan strategi yang bertujuan untuk dapat mengembangkannya.

Kecerdasan emosional juga terkait dengan potensi manusia sebagai makhluk sosial, maka harus mampu menempatkan diri dan berperan sesuai dengan statusnya di masyarakat dan lingkungan

sekitarnya. Kehidupan sosial itu diawali dari komunitas sosial terkecil, yaitu keluarga yang terdiri dari orang tua.

Begitu pentingnya peran orang tua, apabila orang tua dapat menjalankan perannya dengan baik yaitu dengan menggunakan strategi-strategi yang dapat mengembangkan EQ anak. EQ adalah hal yang sangat penting yang harus dikembangkan pada diri anak sejak dini, karena mengembangkan EQ merupakan salah satu tugas pendidikan sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki anak, sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Terkait dengan strategi orang tua untuk dapat mengembangkan EQ anak, Bapak Ainun Na’im selaku Kepala Madrasah menyatakan:

Pengembangan kecerdasan emosional merupakan hal yang urgen, karena dengan kecerdasan emosional anak dapat tau tentang bagaimana dirinya harus memposisikan diri sebagai anggota keluarga, anggota di sekolah, dan anggota masyarakat.

Jadi anak itu paham akan aturan dan norma yang ada dimanapun dia berada. Dan menurut saya selaku Kepala Sekolah disini, sudah sedikit banyak paham akan kondisi kecerdasan emosional siswa disini, kadang ada yang jika ditergur sekali langsung tidak mengulangi lagi tapi ada juga sampai ditegur tiga kali masih tetap gak berubah, maka jalan terakhir dengan memanggil orang tuanya. Karena memang yang memiliki peran paling penting untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak ya orang tua, karena anak lebih banyak menghabiskan waktu dirumah. Kalau untuk strategi atau program khusus untuk pengembangan kecerdasan emosional anak di sini masih belum ada. 105

Pernyataan diatas menggambarkan, bahwa pengembangan kecerdasan emosional juga sangat penting untuk dikembangkan. Namun, yang memiliki peran paling penting untuk mengembangkannya yakni

105 Ainun Na’im, Wawancara, Rambipuji, 25 Mei 2019.

keluarga terutama orang tua, karena dalam sehari anak akan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah daripada di sekolah karena memang sekolah yang masih belum menerapkan sistem fullday.

Hal senada juga disampaikan oleh Bapak Ahmad Solihin sebagai salah satu guru pengajar yang sangat dekat dengan murid-muridnya

Untuk mengembangkan kecerdasan emosional juga merupakan tanggung jawab kami sebagai guru yang menjadi orang tua kedua ketika anak berada di sekolah. Salah satu caranya dengan lebih dekat dengan siswa, lebih terbuka, karena saya juga termasuk guru muda disini, jadi anak-anak lebih terbuka pada saya daripada guru-guru yang sudah sepuh, tapi meskipun dekat dengan siswa, kita sebagi guru harus bisa memposisikan diri bahwa kita bukan temannya melainkan guru yang harus dihormati, seperti saat di dalam kelas, ketika anak-anak ramai saya harus bisa tegas pada mereka bahwa saya ini juga gurunya yang seharusnya dihormati. Strategi selanjutnya bisa juga dengan memberikan motivasi pada anak ketika di akhir pembelajaran seperti dengan menceritakan pengalaman pribadi, bahwa meskipun sekolahnya di desa, kita juga bisa menjadi sarjana dan contohnya saya. Namun, ketika ada siswa yang melanggar aturan sekolah misalnya, saya sebagai guru akan coba menasehatinya di kelas, tapi jika masih saja siswa tersebut mengulanginya lagi, maka saya akan serahkan ke BK.106

Sekolah merupakan rumah kedua bagi anak, peran guru juga tidak terlepas untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak.

Namun, peran orang tua masih mendominasi untuk perkembangan EQ anak. Seperti halnya yang dituturkan oleh Ibu Khozinatul Asror selaku orang tua dari siswa bernama Dwi Maulidia, yakni:

Orang tua adalah tempat pertama bagi anak untuk belajar, oleh karenanya saya harus bisa mendidiknya sebaik mungkin dari kecil. Terutama mengenai sifat, Ulid itu anaknya keras dan mudah marah, jadi yang tau sifat anak saya seperti apa itu orang tuanya, mungkin saja ketika anak di sekolah bisa menghilangkan

106 Ahmad Solihin, Wawancara, Rambipuji, 25 Mei 2019.

Dokumen terkait