TAHUN PELAJARAN 2018/2019
SKRIPSI
Oleh:
Vika Fatimah NIM : T20151381
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
AGUSTUS 2019
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
[Q.S. Ali-Imran (3): 159].1
1 Al-Qur’an dan Terjemahnya, [Q.S. Ali-Imran (3): 159].
ucapan alhamdulillahhi rabbil ‘alamin, Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Ayah tercinta (Hosid), terimakasih atas semua bimbingan dan doa yang selalu menguatkan di saat aku berada di titik terendah dalam hidupku.
Ibu tersayang (Nur Hasanah) yang selalu menjadi motivasi terbesar dalam hidupku . Terima kasih selalu mengiringi langkahku dengan
doamu. Cinta dan kasih sayangmu menjadikan aku seseorag yang dewasa.
Suamiku (Abdi Puji Suwandaru), terimakasih atas doa, semangat, dan dukungan yang selalu kau berikan padaku. Hanya rasa syukur ku
ucapkan karena Tuhan telah mengirimmu untukku.
Saudariku (Fadilah) serta seluruh keluargaku yang selalu mendukungku dalam menuntut ilmu. Terimakasih untuk doa-doa yang selalu
dilantunkan untuk kesuksesanku
memberikan limpahan rahmat, taufik, hidayahnya serta serta semata-mata karena kehendak dan kuasa-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pola Asuh Orang Tua dalam Pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019”
dapat terselesaikan dengan baik. InsyaAllah. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Kekasih yang selalu dirindui umatnya, habibana Muhammad SAW, yang selalu mencintai dan mendoakan umatnya dan membawa kita dari jaman jahiliyah sampai jaman yang penuh dengan ilmu yakni dengan datangnya Islam.
Kesuksesan penulisan ini diperoleh karena dukungan banyak pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Babun Suharto, S.E, M.M., selaku Rektor IAIN Jember yang telah memberi fasilitas selama menuntut ilmu di IAIN Jember
2. Ibu Dr. Hj. Mukni’ah, M.Pd.I., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) yang selalu memberi izin untuk menyusun skripsi ini.
3. Bapak Drs. H. D. Fajar Ahwa, M.Pd.I., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) yang telah memberikan persetujuan kepada penulis untuk melaksanakan proses skripsi.
meluangkan waktu untuk memberikan arahan kepada penulis
5. Segenap dosen IAIN Jember yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
6. Bapak M. Ainun Na’im, A.Ma., selaku Kepala Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.
7. Ibu Arina Hidayati S.Pd., selaku guru di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in
8. Bapak Ahmad Sholihin., selaku guru di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in
9. Seluruh pihak yang terkait dalam keberhasilan proses penyelesaian skripsi ini.
Semoga segala bantuannya mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis telah mengupayakan segenap tenaga dan pikiran agar penyusunan menjadi baik, namun peneliti menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan dan membutuhkan penyempurnaan bahasa maupun teori yang tertuang di dalamnya.
Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan pada langkah yang selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin.
Jember, 07 Agustus 2019 Peneliti
Vika Fatimah NIM. T20151381
Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in atau yang dikenal dengan MTs Hidayatul Mubtadi’in merupakan salah satu madrasah yang berada di Desa Rowotamtu Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember yang memiliki tujuan untuk membentuk pribadi yang berakhlak mulia. Berdasarkan obsevasi yang dilakukan oleh peneliti di lingkungan madrasah, kurangnya peran orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak yang berdampak terhadap pendidikannya. Hal ini menjadi faktor penyebab kurang optimalnya perkembangan EQ anak yang disebabkan karena sebagian besar berasal dari orang tua yang kurang memperhatikan perkembangan anaknya dan menganggap maju tidaknya anak dalam belajar merupakan tugas guru.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini difokuskan pada;
1) Bagaimana pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019? 2) Bagaimana strategi orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian fenomenologi. Teknik pengumpulan data berupa obsevasi partisipasi pasif, wawancara tak berstruktur, dan dokumentasi dengan teknik penentuan subjek penelitian yang digunakan secara purposive. Analisis datanya menggunakan analisis deskriptif kualitatif model Miles, Huberman dan Saldana yaitu kondensasi data, penyajian data, dan verifikasi atau penarikan kesimpulan. Keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan metode.
Hasil penelitian ini yaitu; 1) Pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019 menggunakan tiga pola asuh yakni pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif. a) Pola asuh demokratis dilakukan oleh 12 orang tua dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda yakni petani, pedagang, guru, dan karyawan swasta dengan cara mengajarkan kedisiplinan, membimbing anak untuk mematuhi peraturan, mengapresiasi setiap keberhasilan anak, dan melatih tanggung jawab anak. b) Pola asuh otoriter yang cenderung keras dan disiplin, digunakan oleh 2 orang tua dengan latar belakang pekerjaan wiraswasta. c) Pola asuh permisif yang membiarkan anak untuk bertindak digunakan oleh 1 orang tua dengan latar belakang pekerjaan wiraswasta. 2) Strategi orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019 dilakukan dengan cara a) mengenali emosi anak b) membantu anak mengelola emosinya c) membantu anak untuk bisa memotivasi diri sendiri d) mengajarkan anak untuk dapat membina hubungan baik dengan orang lain e) mengajari anak agar memiliki sifat empati.
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus Penelitian ... 7
C. Tujuan Penelitian... 7
D. Manfaat Penelitian... 8
E. Definisi Istilah ... 9
F. Sistematika Pembahasan ... 11
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Kajian Terdahulu ... 12
B. Kajian Teori ... 16
1. Kajian Teori Tentang Pola Asuh Orang Tua... 16
a. Pengertian Pola Asuh Orang Tua ... 16
b. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua ... 18
a. Pengertian EQ (Emotional Quotient) anak ... 31
1) Emotional ... 31
2) Quotient ... 32
3) Emotional Quotient ... 32
4) Pengertian Anak ... 33
b. Ciri-ciri Kecerdasan Emosi ... 34
1) Mengenali emosi ... 34
2) Mengelola emosi ... 36
3) Motivasi diri sendiri ... 36
4) Mengenali emosi orang lain ... 37
5) Membina hubungan ... 38
c. Pengembangan Kecerdasan Emosi Anak ... 38
3. Kajian Teori Tentang Pola Asuh Orang Tua dalam Pengembangan EQ (Emotional Quotient) Anak ... 42
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 49
B. Lokasi Penelitian ... 49
C. Subyek Penelitian ... 50
D. Teknik Pengumpulan Data ... 51
E. Teknik Analisis Data ... 53
F. Keabsahan Data ... 54
G. Tahap-Tahap Penelitian ... 55
BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS A. Gambaran Obyek Penelitian ... 57
B. Penyajian Data dan Analisis... 62
A. Kesimpulan ... 86 B. Saran-saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA ... 89 DAFTAR LAMPIRAN
1. Matrik Penelitian 2. Pernyataan Keaslian 3. Pedoman Penelitian
4. Profil Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in 5. Data Siswa Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in 6. Surat Permohonan Izin Penelitian
7. Surat Keterangan Selesai Penelitian 8. Jurnal Penelitian
9. Dokumentasi 10. Biodata Peneliti
Tabel 2.1 Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu ... 15 Tabel 4.1 Daftar Sarana dan Prasarana Pendidikan MTs Hidayatul
Mubtadi’in Tahun Pelajaran 2018/2019 ... 59 Tabel 4.2 Keadaan Peserta Didik MTs Hidayatul Mubtadi’in Tahun
Pelajaran 2018/2019 ... 61 Tabel 4.3 Hasil Temuan ... 80
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara.1 Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang terencana secara terstruktur melalui proses dan tahapan-tahapan.
Kebutuhan manusia terhadap pendidikan beragam seiring dengan beragamnya kebutuhan manusia. Manusia membutuhkan pendidikan fisik untuk menjaga kesehatan fisiknya; manusia juga membutuhkan pendidikan etika agar dapat menjaga tingkah lakunya; ia membutuhkan pendidikan agama untuk memnbimbing rohnya menuju Allah SWT; dan juga membutuhkan pula pendidikan akhlak agar perilakunya seirama dengan akhlak yang baik.2 Oleh karena itu, manusia membutuhkan olah fisik/jasmani dengan berolahraga, olah hati dengan berdzikir dan olah perilaku dengan beretika yang baik.
Menurut Ahmad Amin, akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada sesamanya, menjelaskan tujuan manusia melakukan sesuatu,
1 Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003) (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 3.
2 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 42.
dan menjelaskan apa yang harus diperbuat.3 Dengan demikian, menghadapi keburukan akhlak yang menggunakan sarana modern, harus juga memakai alat dan cara modern untuk mengatasinya. Tentu saja normanya tetap berdasarkan ajaran agama. Sedangkan teknik pendidikan dan penanggulangannya harus disesuaikan dengan bentuk penyimpangan yang dihadapinya.
Banyak media-media massa dan televisi yang memberitakan tentang rendahnya EQ yang dimiliki remaja-remaja kita saat ini, sehingga itu berimbas pada akhlak mereka. Seperti yang diberitakan di Kompas.com, Liputan6.com dan SuryaMalang.com yaitu sebagai berikut:
“Tawuran terjadi di Jalan Gunung Sahari, Sawah Besar pada Kamis (13/12/2018) sore. Akibatnya, satu remaja berinisial WR (15) meninggal dunia. Tawuran itu melibatkan dua sekolah yakni SMP 17 Jakarta dan Sekolah Tribuana Gunung Sahari. Dan pelajar yang tewas merupakan siswa dari SMP 17 Jakarta. Hingga saat ini, pihaknya akan memeriksa saksi dan memanggil kedua belah pihak sekolah untuk mengetahui penyebab tawuran.”4
“Seorang pelajar SMP diamankan aparat Polresta Sidoarjo, setelah terlibat duel dengan menggunakan senjata tajam hingga salah satunya tewas. Seperti ditayangkan Patroli Indosiar, Senin (25/06/2018), kasus pembunuhan di Simpang Lima Krian, Sidoarjo, Jawa Timur yang menewaskan R pemuda asal Desa Penambangan, berhasil diungkap Satreskrim Polresta Sidoarjo dengan menangkap pelaku berinisial FD.
FD yang masih duduk di bangku SMP ini, nekat menantang duel maut dengan korban, lantaran dituduh merebut pacar korban. Kemudian korban dan pelaku masing-masing berduel dengan senjata tajam, taka da warga yang berani melerai, hngga akhirnya salah seorang tumbang dan meregang nyawa. Korban mengalami luka sabetan dan tusukan senjata tajam.”5
“Satpol PP menangkap empat pelajar SMP yang diduga pesta minuman keras (miras) di Tempat Pembuangan Sampah di Desa Tambakrigadung, Kecamatan Tikung, Lamongan pada Kamis
3 Ibid., 15.
4 Rindi Nuris Velarosdela, Tawuran Antarpelajar di Sawah Besar, Satu Orang Tewas, Kompas, 14 Desember 2018.
5 Maria Flora, Rebutan Pacar, Pelajar SMP di Sidoarjo Tewas Usai Duel Maut, Liputan6, 25 Juni 2018.
(03/01/2019). Sedangkan 10 siswa lain yang ikut pesta berhasil kabur.
Saat pesta miras itu, belasan siswa SMP itu tidak masuk sekolah.
Satpol PP mengetahui pesta miras yang melibatkan belasan siswa SMP itu saat menggelar patrol di sekitar lokasi.”6
Dari tiga kasus kenakalan remaja tersebut, dapat dipahami bahwa perilaku para pelajar atau remaja saat ini sangatlah memprihatinkan, tingkah laku yang tidak mencerminkan sebagai seorang pelajar. Beberapa fenomena diatas merupakan akhlak pelajar yang ditemui di Indonesia saat ini.
Gangguan masa remaja dan anak-anak yang dapat menimbulkan penderitaan emosional serta gangguan kejiwaan lain pada pelakunya, di kemudian hari bisa berkembang jadi bentuk kejahatan remaja. Kejahatan anak remaja ini disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial.7
Dalam keadaan terganggu secara emosional itu mereka menjadi lupa daratan. Mereka menjadi tidak sadar atau setengah sadar, sehingga menjadi eksplosif meledak-ledak dan sangat agresif, untuk kemudian tanpa berpikir panjang melakukan bermacam-macam tindakan asusila. Dalam keadaan terganggu jiwanya ini hati nuraninya sering tidak berfungsi dengan baik.
Akibatnya mereka melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan lingkungannya.8
Emotional Quotient adalah hal yang penting. Semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi
6 Hanif Manshuri, Miris! Belasan Siswa SMP Pesta Minuman Keras di Tempat Pembuangan Sampah Lamongan, SuryaMalang, 3 Januari 2019.
7 Kartini Kartono, Kenakalan Remaja (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), 4.
8 Ibid., 19.
masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi.9. Seorang remaja ketika bergaul dengan teman sebayanya akan dibenci karena remaja tersebut berbicara kotor, kasar atau mengejek. Hal ini akan menjadi permasalahan tersendiri bagi anak karena tidak ada yg mau bergaul dengannya lagi.
Fenomena-fenomena tersebut adalah salah satu gambaran kurangnya pengetahuan tentang diri EQ tidak dimiliki peserta didik kita, akibatnya terjadi
“kekosongan” yang kemudian di isi oleh sentiment, kemarahan, kesombongan dan sifat-sifat buruk lainnya yang menggerakkan untu berbuat jahat. Dalam bahasa Al-Qur’an dikatakan, barang siapa menolak pengajaran Allah, maka syaitan akan mendudukinya untuk melakukan tindakan-tindakan jahat.10 Sebagaimana Allah berfirman (Q.S. Al-Fushilat: 53):
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.”11
Mengetahui diri sendiri berarti mengetahui potensi-potensi dan kemampuan yang dimiliki sendiri, mengetahui kelemahan-kelemahan dan juga perasaan dan emosi. Dengan mengetahui hal tersebut, seseorang mestinya juga
9 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Mengapa EI Lebih Penting Dari IQ Terj.Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 7.
10 Suharsono, Melejitkan IQ, EQ, SQ (Depok: Inisiasi Press, 2005), 116.
11 Al-Qur’an, 41:53
bisa mendayagunakan, mengekspresikan, mengendalikan dan juga mengomunikasikan dengan pihak lain.12
Semua permasalahan di atas merupakan sebuah realita yang mana EQ itu sangat berhubungan terhadap akhlak seseorang. Kemampuan berpikir seseorang itu berkaitan dengan emosinya, dan emosi itu berkaitan dengan kualitas tindakan atau akhlak seseorang tersebut. Jadi orang dikatakan cerdas emosionalnya ketika nalar seseorang tersebut sanggup mengarahkan ekspresi emosinya, yang mana nantinya akan berimbas pada tingkah laku seseorang tersebut.13
Dalam keluarga orang tua bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada anaknya dengan pendidikan yang baik berdasarkan nilai-nilai akhlak dan spiritual yang luhur. Namun sayangnya, tidak semua orang tua dapat melakukannya. Buktinya dalam kehidupan di masyarakat sering ditemukan anak-anak nakal dengan sikap dan perilaku jahiliyah yang tidak hanya terlibat dalam perkelahian, tetapi juga berlibat dalam pergaulan bebas, perjudian, pencurian, narkoba dan sebagainya.14
Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in atau yang lebih dikenal dengan MTs Hidayatul Mubtadi’in merupakan madrasah yang berada di desa Rowotamtu kecamatan Rambipuji kabupaten Jember. Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in mempunyai tujuan untuk membentuk akhlak siswa yang terpuji, di mana diharapkan siswanya dapat meningkatkan disiplin belajar,
12 Suharsono, Melejitkan IQ, 119.
13 Anthony Dio Martin, Smart Emosion. Membangun Kecerdasan Emosi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), 12.
14 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2004), 31.
rajin beribadah, dapat bersikap jujur dan bertanggung jawab, mempunyai toleransi di antara sesama temannya, serta mempunyai perilaku sosial yang tinggi, sehingga tujuanpendidikan visi madrasah bisa tercapai dengan baik.15
Berangkat dari fenomena yang penulis temukan di lingkungan Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in dan pemberitaan di media informasi baik cetak maupun televisi, tentang pola asuh orang tua terhadap anak dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) yang menimbulkan keprihatinan terhadap pendidikan di Indonesia yang jauh dari kata baik. Yang tidak lain faktor penyebabnya adalah sebagian besar berasal dari orang tua yang kurang memperhatikan perkembangan anaknya dan menganggap maju atau tidaknya anak dalam belajar merupakan tugas guru, tanpa menyadari sesungguhnya peran orang tua juga dapat mempengaruhi perkembangan EQ (Emotional Quotient) anak.16 Pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ sangat penting khususnya bagi para orang tua yang memiliki anak usia remaja.
Karena untuk menjaga mereka agar terhindar dari sifat-sifat buruk yang dapat menggerakkan mereka untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji.
Atas pemikiran di atas, penulis mencoba menuangkan permasalahan tersebut pada skripsi ini dengan judul “Pola Asuh Orang Tua dalam Pengembangan EQ (Emotional Quotient) Anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019”
15 Observasi di MTs Hidayatul Mubtadi’in Rambipuji Jember (9 Januari 2019)
16 Observasi di MTs Hidayatul Mubtadi’in Rambipuji Jember (9 Januari 2019)
B. Fokus Penelitian
Karena terlalu luasnya masalah, peneliti akan membatasi penelitian dalam satu atau lebih variabel. Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, maka dapat dikemukakan fokus masalah dalam penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019?
2. Bagaimana strategi orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019 ?
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan deskripsi di atas, maka peneliti memiliki tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019 2. Untuk mendeskripsikan strategi orang tua dalam pengembangan EQ
(Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Secara teorittis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan tentang pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019. Agar peserta didik menjadi pribadi yang mempunyai perilaku yang baik dan terpuji.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan akan memberikan pengalaman dan pengetahuan tentang konsep pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) terhadap anak.
b. Bagi Instansi
Bagi instansi, yaitu IAIN Jember, diharapkan penelitian ini dapat menambah literatur perpustakaan IAIN Jember khususnya pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, sebagai bahan informasi dan ilmu pengetahuan tentang konsep pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) terhadap anak.
c. Bagi Lembaga
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan atau sumbangsih pemikiran bagi lembaga Madarasah Tsanawiyah
Hidayatul Mubtadi’in khususnya mengenai pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) terhadap anak.
d. Bagi Masyarakat
Penelitian ini juga diharapakan dapat memberikan wawasan dan informasi baru yang sebelumnya belum pernah mereka ketahui dan memberikan kontribusi keilmuan terhadap masyarakat.
E. Definisi Istilah
Penelitian ini mengkaji tentang “Pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019” sehingga ada beberapa istilah pokok yang didefinisikan dan dijelaskan dalam penelitian ini agar tidak ada kesalah pahaman makna.
Definisi istilah dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Pola asuh Orang tua
Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata “pola” berarti model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur yang tetap), sedangkan kata asuh mengandung arti menjaga, merawat, mendidik anak agar dapat berdiri sendiri
Pola asuh orang tua adalah suatu cara yang digunakan oleh orang dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan
yang diinginkan. Dimana tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standar perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti 2. Pengembangan EQ (Emotional Quotient) Anak
Pengembangan EQ (Emotional Quotient) adalah serangkaian perubahan yang dilakukan untuk dapat mengendalikan diri yang merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi.
Anak adalah keturunan yang berada pada suatu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa dan yang menjadi fokus adalah anak usia remaja (12-21) tahun.
Jadi, pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak adalah serangkaian perubahan yang dilakukan untuk dapat mengendalikan diri, nafsu, emosi dan pengetahuan pada anak usia remaja (12-21 tahun).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di MTs Hidayatul Mubtadi’in adalah suatu cara yang digunakan oleh orang dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan untuk melakukan perubahan agar dapat mengendalikan diri, nafsu, emosi dan pengetahuan pada anak usia remaja (12-21 tahun) terutama yang bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Hidayatul Mubtadi’in.
F. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan dan agar lebih berarti susunannya, maka perlu memberikan gambaran sistematika pembahasan, antara lain:
Bab satu, yang berisi latar belakang, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan.
Bab dua, kajian kepustakaan, pada bab ini akan dipaparkan penelitian terdahulu dan kajian teori yang dijadikan sebagai pijakan dalam melakukan penelitian.
Bab tiga, metode penelitian yang terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, keabsahan data dan tahap penelitian.
Bab empat, berupa penyajian dan analisis data yang terdiri dari gambaran objek penelitian, penyajian, dan analisis, pembahasan temuan.
Bab lima, berupa penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Sebagai acuan dan data yang dihasilkan dalam penyusunan penelitian ini akan dicantumkan kepustakaan dan lampiran-lampiran.
Berangkat dari judul yang peneliti pilih, dalam hal ini terdapat beberapa penelitian terkait, diantaranya:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Salamatul Firdaus dengan judul
“Peranan Orang Tua dalam Mendidik Kecerdasan Emosional Anak Usia 6-12 tahun dalam Perspektif Pendidikan Islam”.17
Fokus penelitian skripsi ini adalah bagaimana peranan orang tua dalam mendidik kecerdasan emosional anak usia 6-12 tahun menurut perspektif pendidikan Islam?
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif kepustakaan yaitu penelitian yang menggunakan literatur-literatur yang relevan dan sesuai dengan masalah yang akan dibahas. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu terdiri dari empat buku acuan dan salah satunya yakni karya Daniel Goleman yang berjudul Kecerdasan Emosional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua harus memperhatikan lingkungan keluarga, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, serasi serta lingkungan yang sesuai dengan keadaan anak. Komunikasi yang dibangun oleh orang tua adalah komunikasi yang baik karena akan berpengaruh terhadap kepribadian anak-anaknya.
17 Salamatul Firdaus. Peranan Orang Tua dalam Mendidik Kecerdasan Emosional Anak Usia 6-12 Tahun dalam Perspektif Pendidikan Islam (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016)
2. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Nurbaiti dengan judul “Strategi Guru dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosi (Emotional Quotient) Melalui Pendidikan Agama Islam di SMP Negeri 2 Kecamatan Simpang Kiri Kota Subulussalam. 18
Fokus penelitian skripsi ini adalah a. Bagaimana strategi guru dalam meningkatkan kecerdasan emosi siswa SMA Negeri 2 Kecamatan Simpang Kiri Kota Subulussalam ?. b. Bagaimana dampak strategi guru terhadap peningkatan kecerdasan emosi siswa SMA Negeri 2 Kecamatan Simpang Kiri Kota Subulussalam ?.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan kegiatan secara jelas dan sistematis.
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi, interview, dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa a. strategi yang digunakan guru PAI di SMA Negeri 2 Simpang Kiri yaitu dengan strategi Pembelajaran Berorientasi Aktivitas Siswa (PBAS). b. dampak dari strategi tersebut yaitu dapat mengontrol diri atau emosi, saling menghargai, rasa empati yang tinggi, kelas lebih aktif, efektif, dan menyenangkan.
18 Siti Nurbaiti. Strategi Guru dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosi (Emotional Quotient) Melalui Pendidikan Agama Islam di SMP Negeri 2 Kecamatan Simpang Kiri Kota Subulussalam (Skripsi: UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, 2017)
3. Penelitian yang dilakukan oleh Fitriyah Indriani dengan judul “Pola Asuh Orang Tua terhadap Anak Berprestasi di Sekolah (Studi Kasus di SMP Negeri 1 Pandaan)”. 19
Fokus penelitian skripsi ini adalah a. bagaimanakah prestasi belajar siswa kelas VIII A sampai H di SMP Negeri 1 Pandaan ?, b.
bagaimanakah pola asuh orang tua siswa berprestasi kelas VIII A sampai H di SMP Negeri 1 Pandaan ?, c. bagaimanakah upaya orang tua siswa berprestasi kelas VIII A sampai H di SMP Negeri 1 Pandaan untuk menunjang prestasi belajar anak ?.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif studi kasus yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga dan gejala tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa a. prestasi siswa kelas VIII A-H dapat dikatakan baik, b. keberhasilan anak tersebut untuk meraih prestasi di sekolah tidak terlepas dari peran orang tua dalam menerapkan pola asuh yang sesuai bagi anaknya, c. upaya orang tua siswa berprestasi kelas VIII A-H di SMP Negeri 1 Pandaan dalam menunjang prestasi belajar anak dilakukan dengan Sembilan (9) cara.
19 Fitriyah Indriani, Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak Berprestasi di Sekolah (Studi Kasus di SMP Negeri 1 Pandaan) (Skripsi: UIN Malang, 2008)
Tabel 2.1
Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu
No. Nama dan Judul Penelitian Persamaan Perbedaan 1. Salamatul Firdaus, 2016
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Agama Islam
dengan judul “Peranan Orang Tua dalam Mendidik Kecerdasan Emosional Anak Usia 6-12 tahun dalam Perspektif Pendidikan Islam”.
a. Membahas tentang kecerdasan emosional b. Mendeskripsika
n kecerdasan emosional
a. Menggunakan pendekatan kualitatf kepustakaan b. Terdapat tiga
variabel yakni peran orang tua, kecerdasan
emosional, dan pendidikan
Islam.
2. Siti Nurbaiti, 2017 Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, Jurusan Pendidikan Agama Islam dengan judul “Strategi Guru dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosi
(Emotional Quotient) Melalui Pendidikan Agama Islam di SMP Negeri 2 Kecamatan Simpang Kiri Kota Subulussalam”.
a. Membahas tentang kecerdasan emosional b. Pendekatan
kualitatif deskriptif c. Mendeskripsika
n kecerdasan emosional
a. Terdapat dua variabel yakni strategi guru dan kecerdasan emosional.
3. Fitriyah Indriyani, 2008 Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dengan judul “Pola Asuh Terhadap Anak
Berprestasi di Sekolah (Studi Kasus di SMP Negeri 1 Pandaan)”.
a. Membahas tentang pola asuh orang tua b. Mendeskripsika
n pola asuh orang tua
a. Terdapat dua variabel yakni pola asuh orang tua dan prestasi belajar
b. Pendekatan kualitatif studi kasus
Dari beberapa penelitian terdahulu tersebut sudah jelas bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Fokus penelitian ini adalah bagaimana pola asuh orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional
Quotient) anak di MTs Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019? dan bagaimana strategi orang tua dalam pengembangan EQ (Emotional Quotient) anak di MTs Hidayatul Mubtadi’in Rowotamtu Rambipuji Jember Tahun Pelajaran 2018/2019 ?.
B. Kajian Teori
1. Kajian Teori Tentang Pola Asuh Orang Tua a. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Setiap orang tua mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus dipenuhi dalam mengasuh dan merawat anak-anaknya.
tugas dan tanggung jawab tersebut tidak berhenti tetapi akan berlangsung secara terus menerus hingga anak-anak tersebut tumbuh dewasa dan mandiri.
Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata “pola”
berarti model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur yang tetap)20, sedangkan kata asuh mengandung arti menjaga, merawat, mendidik anak agar dapat berdiri sendiri.21
Pola asuh adalah merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak-anaknya sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak-anaknya.22 Dalam kaitannya dengan pendidikan berarti orang tua mempunyai
20 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 884.
21 Ibid, 73.
22 Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 350.
tanggung jawab yang harus dilaksanakan, kalau tidak maka anak- ananknya akan mengalami kebodohan dan lemah dalam menghadapi kehidupan pada zamannya.23
Pola asuh orang tua adalah suatu cara yang digunakan oleh orang dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Dimana tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standar perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti.24
Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan kepribadian anak. Sejak kecil anak sudah mendapat pendidikan dari kedua orang tuanya melalui keteladanan kebiasaan hidup sehari-hari dalam keluarga. Baik tidaknya keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan hidup orang tua sehari-hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
Keteladanan dan kebiasaan yang orang tua tampilkan dalam bersikap dan berperilaku tidak terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Meniru kebiasaan hidup orang tua adalah suatu hal yang sering anak lakukan, karena memang pada masa perkembangannya, anak selalu ingin menuruti apa yang orang tua lakukan.25
Agama dan pendidikan juga dapat berpengaruh terhadap kelakuan seseorang. Semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh
23 Mansur, Pendidikan, 350.
24 Museen, Perkembangan dan Kepribadian Anak (Jakarta: Arcan, 2002), 395.
25 Djamarah, Pola, 24.
norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka secara turun-temurun. Tidak mengherankan jika nilai-nilai yang dianut oleh orang tua akhirnya juga dianut oleh anaknya.
Tidak mengherankan kalau ada pendapat bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak sebenarnya ada pula pada orang tuanya. Hal itu bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan melainkan karena proses pendidikan atau proses sosialisasi.26
Tanggung jawab orang tua terhadap anaknya adalah bergembira menyambut kelahiran anak, memberi nama yang baik, memperlakukan dengan lembut dan kasih sayang, menanamkan rasa cinta sesama anak, memberikan pendidikan akhlak, menanamkan akidah tauhid, melatih anak mengerjakan salat, berlaku adil, memperhatikan teman anak, menghormati anak, memberi hiburan, mencegah perbuatan bebas, manjauhkan anak- anak dari hal porno, menempatkan dalam lingkungan yang baik, memperkenalkan kerabat kepada anak, mendidik bertetangga dan masyarakat.27
b. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua 1) Otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan
26 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), 114.
27 Djamarah, Pola, 28.
ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi.28
Pola asuh otoriter ditandai dengan keputusan dan kebijakan yang seluruhnya ditentukan oleh orang tua.29 Anak jarang diajak berkomunikasi dan orang tua menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan itu dianggap sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas semua yang menyangkut anak-anaknya.30
Adapun ciri-ciri pola asuh otoriter adalah sebagai berikut:
a) Anak diminta untuk patuh kepada semua perintah dan keinginan orang tua
b) Anak kurang mendapat kepercayaan dari orang tua c) Kontrol yang sangat ketat terhadap perilaku anak d) Anak sering dihukum
e) Apabila anak mendapat prestasi jarang diberi pujian atau hadiah31
Pola asuh otoriter cenderung ingin menguasai anak.
Perintahnya harus selalu dituruti dan tidak boleh dibantah.
Anak kurang diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan dalam bentuk penjelasan, pandangan, pendapat atau
28 Mansur, Pendidikan, 354.
29 Djamarah, Pola, 68.
30 Mansur, Pendidikan, 354.
31 Qurrotu Ayun, Pola Asuh Orang Tua dan Metode Pengasuhan dalam Membentuk Kepribadian Anak (IAIN Salatiga, Vol. 5 No. 1, 2017), 103.
saran-saran. Tanpa melihat kepentingan pribadi anak, yang penting intruksi orang tua harus dituruti.32
2) Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak- anaknya, dan kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua.
Pola asuh demokratis menampilkan pola asuh yang mendorong dan membantu anggota keluarga untuk membicarakan dan memutuskan semua kebijakan. 33 Dalam pola asuh seperti ini orang tua memberi sedikit kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang terbaik bagi dirinya.34
Adapun ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut:
a) Memberi kesempatan anak untuk tidak bergantung pada orang tua
b) Memberikan kebebasan pada anak untuk memilih c) Mendengarkan pendapat anak
d) Melibatkan anak dalam pembicaraan yang menyangkut kehidupan anak
e) Memberi kesempatan anak untuk mengembangkan control internal
f) Melatih anak untuk bertanggung jawab pada diri sendiri35
32 Djamarah, Pola, 70.
33 Ibid, 68.
34 Mansur, Pendidikan, 355.
35 Ayun, Pola, 108
3) Temporizer
Temporizer ini merupakan pola asuh yang sangat tidak konsisten. Dimana orang tua tidak mempunyai pendirian.36 Contoh dari pola asuh ini seperti, ketika dirumah sudah diberikan jadwal untuk aktivitas membaca dan anak tidak melakukannya anda marah besar dan memberikan sanksi. Tapi kadang ketika anak tidak melakukan aktivitas membaca, maka Anda diam saja. Hal ini membuat anak menjadi bingung.
“Sebenarnya yang boleh seperti apa?”, “sebenarnya yang benar seperti apa?”, sehingga akan muncul berbagai banyak tanda tanya dalam diri anak, oleh karena itu diperlukan ketegasan dari orangtua kepada anaknya.
4) Appeasers
Appeasers ini merupakan pola asuh dari orangtua yang sangat khawatir pada anaknya, takut sesuatu yang tidak baik akan pada anaknya (overprotective).37 Contoh pola asuh seperti ini, misalnya orangtua memarahi anaknya jika pergi ke toko buku dengan temannya, atau orangtua melarang jika anak ingin membeli buku sesuai keinginannya. Orangtua khawatir pada anaknya memang perlu, namun jika terlalu berlebihan akan membuat anak menjadi tidak bebas sehingga terhambat perkembangannya termasuk dalam hal membaca.
36 Christina SP, Mengajar Membaca Itu Mudah (Yogyakarta: AlafMedia, 2019), 136.
37 Ibid, 137.
5) Permisif
Pola asuh permisif adalah membiarkan anak bertindak sesuai dengan keinginannya, orang tua tidak memberikan hukuman dan pengendalian.
Adapun ciri-ciri pola asuh permisif adalah sebagai berikut:
a) Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya
b) Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh
c) Mengutamakan kebutuhan material saja
d) Membiarkan apa saja yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan orang tua
e) Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga38
Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, orang tua tidak pernah memberikan aturan dan pengarahan kepada anak, sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri walaupun terkadang bertentangan dengan norma sosial.39
6) Otoritatif
Pola asuh otoritatif yaitu pola asuh yang mendorong anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batasan-batasan dan pengendalian atas tindakan mereka. Adanya musyawarah,
38 Irma Rostiana, Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Motivasi Anak untuk Bersekolah di Kelurahan Sukagalih Kecamatan Sukajadi Kota Bandung (Bandung: edisi kedua ,Vol. 5), 5.
39 Ayun, Pola, 108.
memperlihatkan kehangatan atau kasih sayang.40 Pola asuh otoritatif dianggap memiliki nilai yang tinggi pada penerimaan orang tua dan ketegasan pada anak. Pola asuh otoritatif akan membentuk anak dengan perilaku yang ramah, memiliki harga diri dan percaya diri tinggi, memiliki tujuan, cita-cita serta berprestasi.41
Jadi pola asuh otoritatif merupakan salah satu pola asuh yang terbaik yaitu kombinasi antara tuntutan dan membolehkan atau mengijinkan serta memiliki pengaruh yang baik terhadap perkembangan anak. Adapun karakteristik pola asuh otoritatif adalah:42
a) Orang tua menerapkan standar aturan dengan jelas dan mengharapkan tingkah laku yang matang dari anak
b) Orang tua menekankan peraturan dengan menggunakan sanksi apabila diperlukan
c) Orang tua mendorong anak untuk bebas dan mendorong secara individual
d) Orang tua mendengarkan pendapat anak, meninjau pendapatnya kemudian memberikan pandangan atau saran.
Adanya saling memberi dan menerima dalam pembicaraan diantara keduanya dan berkomunikasi secara terbuka e) Hak kedua belah pihak baik orang tua maupun anak diakui c. Orang Tua dan Anak dalam Keluarga
Kehadiran keluarga sebagai komunitas masyarakat terkecil memiliki arti penting dan strategis dalam pembangungan
40 Ani Siti Anisah, Pola Asuh Orang Tua dan Implikasinya terhadap Pembentukan Karakter Anak (Jurnal Pendidikan Universitas Garut, Vol. 5, No.1, 2011), 74.
41 Devita Cahya Permata, Ratih Arruum Listiyandini, Peranan Pola Asuh Orang Tua dalam Memprediksi Resiliensi Mahasiswa Tahun Pertama yang Merantau di Jakarta (Depok:
UniversitasGunadarma, Vol. 6 2015), 8.
42 Anisah, Pola, 74.
komunitas masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, kehidupan keluarga yang harmonis perlu dibangun di atas dasar sistem interkasi yang kondusif. Pendidikan dasar yang baik harus diberikan kepada anggota keluarga sedini mungkin dalam upaya memerankan fungsi pendidikan dalam keluarga, yaitu menumbuhkembangkan potensi anak, sebagai wahana untuk mentransfer nilai-nilai dan sebagai agen transformasi kebudayaan.43
Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, tentu akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut.44 Keutuhan keluarga bisa dipelihara dengan memperkokoh ikatan keluarga terutama dengan mengabadikan kesatuan suami isteri atau ayah-ibu sebagai pemeran utama.45
Dalam keluarga, orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak. Mendidik anak berarti mempersiapkan anak untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Orang tua yang akan mempersiapkan anak-anak untuk kehidupan yang akan datang
43 Djamarah, Pola, 49.
44 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Jakarta: Ruhama, 1995), 47.
45 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 197.
harus mengajarkan kepada mereka bagaimana mengembangkan sikap yang menarik sebagai cara hidup.46
Orang tua dan anak adalah satu ikatan dalam jiwa. Dalam keterpisahan raga, jiwa mereka bersatu dalam ikatan keabadian.
Tak seorang pun dapat mencerai-beraikannya. Ikatan itu dalam bentuk hubungan emosional antara anak dan orang tua yang tercermin dalam perilaku. Meskipun suatu saat misalnya, ayah dan ibu mereka sudah bercerai karena suatu sebab, tetapi hubungan emosional antara orang tua dan anak tidak pernah terputus.
Sejahat-jahatnya ayah adalah tetap orang tua yang harus dihormati.
Lebih-lebih lagi terhadap ibu yang telah melahirkan dan membesarkan. Bahkan dalam perbedaan keyakinan agama sekalipun antara orang tua dan anak, maka seorang anak tetap diwajibkan menghormati orang tua sampai kapanpun.47
Setiap orang tua yang memiliki anak selalu ingin memelihara, membesarkan dan mendidiknya. Seorang ibu yang melahirkan anak tanpa ayah pun memiliki naluri untuk memelihara, membesarkan dan mendidiknya, meski terkadang harus menanggung beban malu yang berkepanjangan. Sebab kehormatan keluarga salah satunya juga ditentukan oleh bagaimana
46 Djamarah, Pola, 55.
47 Ibid., 27.
sikap dan perilaku anak dalam menjaga nama baik keluarga. Lewat sikap dan perilaku anak nama baik keluarga dipertaruhkan.48
Orang tua dan dalam suatu keluarga memiliki kedudukan yang berbeda. Dalam pandangan orang tua, anak adalah buah hati dan tumpuan di masa depan yang harus dipelihara dan dididik.
Memeliharanya dari segala marabahaya dan mendidiknya agar menjadi anak yang cerdas. Itulah sifat fitrah orang tua. Sedangkan sifat-sifat fitrah orang tua yang lainnya adalah senang mempuyai anak, senang anak-anaknya salih, berusaha menempatkan anak di tempat yang baik, sedih melihat anaknya lemah atau hidup miskin, memohin kepada Allah bagi kebaikan anaknya, lebih memikirkan keselamatan anak daripada dirinya pada saat terjadi bencana, senang mempunyai anak yang bisa dibanggakan, cenderung lebih mencintai anak tertentu, menghendaki anaknya berbakti kepadanya, bersabar menghadapi perilaku buruk anaknya.49
Secara rinci fungsi keluarga adalah:
a) Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak
b) Memberikan afeksi atau kasih sayang, dukungan dan keakraban
c) Mengembangkan kepribadian
d) Mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan tanggung jawab
e) Mengajarkan dan meneruskan adat istiadat, kebudayaan, agama, sistem nilai moral kepada anak50
48 Djamarah, Pola, 27.
49 Ibid., 28.
50 Gunarsa, Psikologi Praktis, 30.
Sebagai syarat utama bagi kelancaran terlaksananya fungsi keluarga adalah terciptanya suasana keluarga yang baik. Suasana keluarga dimana setiap anak bisa mengembangkan dirinyadengan bantuan orang tua dan saudara-saudaranya.
Suasana keluarga meliputi hubungan antar anggota keluarga. Hubungan antar anggota keluarga seyogyanya memperlihatkan adanya saling memperhatikan, bantu membantu antara yang seorang dengan orang lainnya. Sikap-sikap dan usaha- usaha apa saja yang dilakukan dengan kasih sayang akan memberikan kehangatan dan rasa aman dan terlindung yang diperlukan anak agar menjadi orang dewasa yang sejahtera. Bila anak merasa kecewa dan gagal, anak harus yakin masih ada orang tua yang akan menampung, menghibur dan memberi dukungan moral untuk usaha selanjutnya.51
Hubungan antar anggota keluarga yang baik juga tercermin dari kebersamaan dalam melaukukan kegiatan-kegiatan pekerjaan rumah tangga, hobi, rekreasi, dan lainnya. Bahkan keprihatinan yang dirasakan bersama antar anggota keluarga merupakan salah satu ciri hubungan keluarga yang mewarnai suasana keluarga.
Agar hubungan keluarga bisa diterima dan dipelihara terus maka masing-masing anggota keluarga sebaiknya tahu perannya dan menjalankannya. Setiap anggota keluarga harus aktif menciptakan
51 Gunarsa, Psikologi Praktis, 30.
hubungan dalam keluarga agar terasa suasana sejahtera yang kemudian memberi rasa aman bagi anggota keluarga.52
Pengaruh keluarga besar cukup banyak. Peranan anggota- anggota dalam keluarga besar untuk menciptakan suasana keluarga kuat sekali. Hubungan antar pribadi dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh peranan suami-istri, sebagai ayah-ibu dalam pandangan dan arah pendidikan yang akan mewujudkan suasana keluarga. Masing-masing pribadi diharapkan tahu peranannya didalam keluarga dan memerankannya dengan baik agar keluarga menjadi wadah yang memungkinkan perkembangan secara wajar.53
Untuk mendukung ke arah pengembangan diri anak yang baik salah satu upayanya adalah pendidikan disiplin. Pendidikan disiplin dapat diberikan dalam bentuk keteladanan dalam rumah tangga. Ayah dan ibu harus memberikan teladan dalam hal disiplin yang baik dengan bijaksana dan dengan menggunakan pujian, bukan selalu dengan kritik atau hukuman. Sebab anak yang tumbuh dalam suasana pujian dan persetujuan akan tumbuh lebih bahagia, lebih produktif dan lebih patuh daripada anak yang terus-menerus dikritik.54
d. Strategi Orang Tua dalam Melatih Emosi Anak
Para orang tua mempunyai harapan agar anak-anak mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, tahu
52 Gunarsa, Psikologi Praktis, 31.
53 Ibid., 31.
54 Djamarah, Pola, 55.
membedakan apa yang baik dan yang tidak baik, tidak mudah terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun merugikan orang lain. Harapan-harapan ini kiranya akan lebih mudah terwujud apabila sejak semula, orang tua telah menyadari akan peranan mereka sebagai orang tua yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak.55
Orang tua yang bijak adalah orang tua yang pandai menumbuhkembangkan perasaan senang, gembira, bahagia, kasih sayang dan sebagainya pada anak. Perasaan sedih, cemas, takut, marah, dan sebagainya meski masih diperlukan dalam konteks peristiwa atau keadaan tertentu, tetapi tidak harus dimunculkan oleh orang tua upaya membangun hubungan yang baik dengan anak. Sikap permusuhan, penghinaan, kebencian, pencelaan, cemoohan, penghardikan, kedengkian dan sebagainya harus dihapus dari dalam jiwa anak. Sebab semua yang disebutkan terakhir ini merupakan sikap yang tidak terpuji. Kedua emosi itu selalu hadir silih berganti dalam keluarga.56
Kemampuan mengenal emosi diri merupakan dasar kecerdasan emosional bagi anak. Disini anak dituntut untuk tahu diri dalam menempatkan luapan emosi secara tepat. Kapan perlu menangis, kapan harus gembira, atau kapan harus bersedih? Upaya orang tua mengarahkan anak untuk mengenali emosinya akan
55 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: Gunung Mulia, 1986), 60
56 Djamarah, Pola, 135.
membantu anak mengenal situasi-situasi apa saja yang bisa menumbuhkan reaksi emosi tertentu pada anak.57
Ketika anak telah memiliki kemampuan untuk menganal emosinya, orang tua dapat memberikan pendidikan bagaimana cara mengelola emosi. Kemampuan ini sangat penting bagi anak sebagai bekal dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Sebab kemampuan mengelola emosi merupakan dasar bagi anak untuk dapat menangani dan mengungkapkan perasaan-perasaannya secara tepat, baik secara verbal (kominikasi suara) maupun perilaku (komunikasi tubuh). Melatiha anak mengelola emosi berarti mengarahkan anak untuk mampu menyatakan emosinya dengan kata-kata (senang, takut, marah, cemas, gembira, bahagia, dan lain-lain) dan memilih tindakan-tindakan positif untuk merefleksikannya.58
Pengelolaan emosi pada anak membawa dampak secara sosiologis. Pengelolaan emosi pada anak itu sesungguhnya sama dengan pengendalian diri yang harus selalu dilakukan oleh anak, kapan dan di manapun berada, baik pengendalian diri dalam konteks pengelolaan emosi pribadi maupun pengelolaan emosi sosial. Pengendalian diri yang dilakukan oleh anak ini
57 Djamarah, Pola, 137.
58 Ibid, 137.
berimplikasi secara luas dalam kehidupan sosial keluarga dan masyarakat.59
2. Kajian Teori Tentang Pengembangan EQ (Emotional Quotient) Anak a. Pengertian EQ (Emotional Quotient) anak
Emotional Quotient terdiri dari dua kata, yaitu Emotional (emosi) dan Quotient (kecerdasan). Dengan demikian penulis akan menjelaskan satu persatu.
1) Emotional
Kata pertama adalah emotional. Asal kata emotional adalah emotion (emosi) yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “emosi adalah keadaan perasaan yang meluap dan berkembang lalu surut dalam waktu singkat”.60
Menurut Daniel Goleman emosi merujuk pada “suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis, serangkaian kecenderungan untuk bertindak.61
Dari kedua definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu keadaan atau luapan perasaan yang berkembang dan mengakibatkan kecenderungan untuk bertindak pada diri manusia.
2) Quotient
Sedangkan kata kedua adalah quotient (kecerdasan).
Kecerdasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
59 Djamarah, Pola,138.
60 Bahasa, Kamus, 298.
61 Goleman, Emotional, 411.
“kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal (kepandaian)”.62
3) Emotional Quotient
EQ atau Emotional Quotient merupakan kemampuan pengendalian diri, nafsu, dan emosi dan pengetahuan tentang diri sendiri. Mengetahui diri sendiri yang dimaksud di sini bukanlah diri yang bersifat fisik, seperti tinggi badan, warna kulit, dan sebagainya, tetapi berkenaan dengan fenomena- fenomena kedirian. Mengetahui diri sendiri berarti mengetahui potensi-potensi dan kemampuan yang dimiliki sendiri, mengetahui kelemahan-kelemahan dan juga perasaan dan emosi. Dengan pengetahuan itu seseorang mestinya bisa mendayagunakan, mengekspresikan, mengendalikan dan juga mengkomunikasikan dengan pihak lain.63
Dalam khazanah disiplin ilmu pengetahuan, teruatama psikologi istilah “kecerdasan emosional” (Emotional Quotient), merupakan sebuah istilah yang relatif baru. Istilah dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
62 Bahasa, Kamus, 209.
63 Goleman, Emotional, 132.
diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. 64
Kecedasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan- kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ.
Meskipun IQ tinggi, tetapi bila kecerdasan emosi rendah tidak banyak membantu. Banyak orang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang IQ-nya lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi.65
Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah pengendalian diri yang merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi.
4) Pengertian Anak
Anak merupakan rahmat Allah yang diamanatkan kepada orang tuanya yang membutuhkan pemeliharaan, penjagaan, kasih sayang dan perhatian. Semua itu menjadi
64 Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 170.
65 Agus Nggermanto, Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum): Cara Cepat Melejitkan IQ, EQ, dan SQ Secara Harmonis (Bandung: Nuansa, 2001), 98.
tanggung jawab orang tua, guru dan masyarakat sebagai penanggung jawab pendidikan.66
Islam juga memandang bahwa anak merupakan berita gembira sebagai penenang hati atau hiburan bagi orang tua, merupakan perhiasan hidup di dunia. Anak yang baru lahir yang disertai dengan tangisannya disambut dengan gembira dan suka cita.67
Semua onak duri yang terkadang hadir dalam kehidupan berumah tangga sirna seketika dengan lahirnya seorang anak yang telah lama dinanti dengan harap-harap cemas. Tawa dan canda seorang anak merupakan hiburan setelah letih bekerja. Ketika kesepian anak dijadikan teman untuk bersenda gurau. Anak adalah tumpuan dan perhiasan hidup di masa depan.68
2. Ciri-ciri Kecerdasan Emosi
Daniel Goleman mengklasifikasikan kecerdasan emosional atas lima komponen penting, yaitu:69
1) Mengenali emosi
Mengenali emosi adalah kesadaran diri untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi dan ini
66 Djamarah, Pola, 95.
67 Ibid, 95.
68 Djamarah, Pola, 96.
69 Desmita, Psikologi, 170.
merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu.70
Ada ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi, dan nuansanya. Emosi dikelompokkan menjadi beberapa golongan-golongan besar:71
a) Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan dan barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan.
b) Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
c) Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir, waspada. Sedih, tidak tenang, ngeri, fobia, dan panik.
d) Kenikmatan: bahagia, gembira, puas, riang, senang, terhibur, bangga, takjub, dan batas ujungnya mania.
e) Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.
f) Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana.
g) Jengkel: hina, jijik, muak, benci, tidak suka.
h) Malu: rasa salah, malu hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam diri kita terdapat emosi positif dan emosi negatif. Untuk emosi positif tentu akan berdampak baik bagi diri kita. Namun, tidak untuk emosi negatif yang akan memberikan dampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain apabila kita tidak pandai mengendalikannya.
Oleh karena itu, kemampuan untuk mengenali diri sangat penting di dalam kecerdasan emosional, karena
70 Goleman, Emotional, 58.
71 Ibid., 412.
seseorang akan dapat memahami emosi tersebut dan dapat terhindar dari hal negatif yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
2) Mengelola emosi
Mengelola emosi yaitu menangani emosi sendiri agar berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya satu tujuan, serta mampu menetralisir tekanan emosi. Orang yang memiliki kecerdasan emosional adalah orang yang mampu menguasai, mengelola dan mengarahkan emosinya dengan baik. Pengendalian emosi tidak hanya berarti meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi, melainkan juga bisa berarti dengan sengaja menghayati suatu emosi, melainkan juga bisa berarti dengan sengaja menghayati suatu emosi, termasuk emosi yang tidak menyenangkan.72
Jadi manusia yang mempunyai kemampuan dalam mengelola emosi, maka dia akan mampu menguasai emosinya serta dapat mengontrol perasaan marah, takut, sedih, dan lain- lain.
3) Motivasi diri sendiri
Yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun manusia menuju sasaran. Kunci
72 Desmita, Psikologi, 171.
motivasi adalah memanfaatkan emosi, sehingga dapat mendukung kesuksesan hidup seseorang. Ini berarti bahwa antara motivasi dan emosi mempunyai hubungan yang sangat erat.73
Menata emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam kaitan untuk memotivasi diri sendiri. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.74
4) Mengenali emosi orang lain
Mengenali emosi orang lain salah satunya dalam bentuk empati. Empati adalah kemampuan yang bergantung pada kecerdasan diri emosional, merupakan keterampilan dasar bergaul. Orang yang berempati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.75
Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, kita arus dapat membuka diri untuk dapat membaca perasaan orang lain.
Orang yang tidak paham mengenai perasaan sendiri, maka akan sulit memahami perasaan orang lain yang dapat mengabaikan seseorang yang tertimpa musibah.
73 Goleman, Emotional, 171.
74 Ibid, 58.
75 Ibid, 59.
5) Membina hubungan
Seni membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.76
Oleh karena itu membina hubungan dengan orang lain sangatlah penting terutama membina hubungan dengan dengan yang seagama maupun yang beda agama. Dan keterampilan ini juga dapat mempererat tali silaturrahmi antara sesama manusia sehingga dapat membentuk kerukunan antar umat beragama.
3. Pengembangan Kecerdasan Emosi Anak
Istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi secara serempak selama kehidupan.77 Perkembangan tidak terbatas yang berarti semakin membesar, melainkan di dalamnya juga terkandung serangkaian perubahan yang berlangsung secara terus-menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ke tahap kematangan dan pengalaman.78
Adapun masa hidup seseorang dibagi dalam beberapa tahap perkembangan dengan tingkat kematangan tertentu yakni, masa
76 Goleman, Emotional, 59.
77 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta:Erlangga, 1980), 2.
78 Desmita, Psikologi, 4.
kanak-kanak (2-12 tahun), masa remaja (12-21 tahun), dan masa dewasa (21-60 tahun).79 Namun dalam pembahasan perkembangan emosi ini, penulis hanya membahas mengenai perkembangan emosi anak pada usia remaja. Karena penelitian yang dilakukan di Madrasah Tsanawiyah yang para siswanya dikategorikan sebagai remaja.
Remaja yang sedang mengalami perubahan cepat dalam tubuhnya, di mana ia harus mampu pula menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, sangat memerlukan perhatian dan bantuan dari berbagai pihak, baik dari pihak tuanya, guru, maupun orang dewasa lainnya. Orang tua yang memahami keadaan anaknya yang sedang berjuang menghadapi dirinya yang berubah cepat dengan kadar yang tidak seimbang itu, akan membantu menenangkan perasaan anaknya yang goncang itu dengan jalan tidak banyak mengkritiknya. Sebaliknya, orang tua harus lebih banyak menghargai usahanya dan menyatakan bahwa semua orang melalui gelombang pertumbuhan dan perkembangan seperti itu dalam umur-umur remaja tersebut.80
Masa remaja adalah masa pertumbuhan jasmani cepat, dengan puncak perkembangan kecerdasan, yang disertai dengan
79 Gunarsa, Psikologi, 6.
80 Darajat, Pendidikan, 89.
kegoncangan emosi, ketidak-pastian diri dan masa memuncaknya kebutuhan kepada agama.81
Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.82
Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu: 12-15 tahun = masa remaja awal, 15-18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun = masa remaja akhir. Remaja awal hingga remaja akhir inilah yang disebut masa adolesen.
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode
“badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Pertumbuhan pada awal-awal masa puber terus berlangsung tetapi berjalan agak lambat.
Pola emosi masa remaja terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, khusunya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka. Misalnya, perlakuan sebagai “anak kecil” atau secara “tidak adil” membuat remaja sangat marah dibandingkan dengan hal-hal lain.
81 Darajat, Pendidikan, 90.
82 Hurlock, Psikologi, 206.