• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

C. Kajian Teoritik Anak Usia Din

1. Hakekat Anak Usia Dini

Anak usia dini menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 ini adalah anak yang berumur 0-6 tahun. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) menerangkan bahwa upaya mengoptimalkan tumbuh kembang anak merupakan suatu pemikiran dan pandangan serta semangat yang harus tumbuh di masyarakat. Tiga tahun pertama usia anak merupakan periode emas atau masa kritis untuk optimalisasi proses tumbuh kembang dan merupakan masa yang tepat untuk menyiapkan seorang anak menjadi dewasa yang unggul di kemudian hari. Proses pembentukan karakter yang menjadi bahasan pada penelitian ini adalah bagian dari proses perkembangan, termasuk dalam hal ini diantaranya adalah perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku.30

30

Ikatan Dokter Anak Indoensia (IDAI) Jawa Timur, Deteksi Dini Tanda dan Gejala

Penyimpangan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak, Materi Pelatihan untuk Guru/Pendidik Anak Usia Dini, (UK Tumbuh Kembang Anak dan Remaja IDAI Jatim, t.t.), 10.

35

Selanjutnya IDAI31 menyatakan bahwa anak membutuhkan beberapa kebutuhan dasar untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pada masa awal kehidupannya dapat berdampak kegagalan mencapai tahapan pertumbuhan dan perkembangan berikutnya bahkan bisa menjadi sebuah kecacatan permanen seumur hidupnya. Kebutuhan dasar anak ini ada tiga, yaitu: asuh, asih dan asah. Asuh adalah kebutuhan fisik biomedis, meliputi nutrisi, imunisasi, hygiene, pengobatan, pakaian, tempat tinggal, sanitasi, lingkungan dan lain-lain. Asih adalah kebutuhan emosi atau kasih sayang, yang pada tahun-tahun pertama kehidupan hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu/pengganti ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang anak yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kekurangan kasih sayang ibu pada tahun-tahun pertama kehidupan mempunyai dampak negatif pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial emosi. Asah adalah kebutuhan akan stimulasi mental, yang merupakan awal proses belajar pada anak. Stimulasi mental ini mengembangkan perkembangan mental psikososial, kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreatifitas, agama, kepribadian, moral-etika, dan produktifitas. Pada penelitian ini memfokuskan dan menekankan pada proses asah yaitu memberikan stimulasi mental.

31

36

Berdasar studinya tentang riwayat pendidikan anak nakal, Glueck dalam Hurlock (1991) menarik kesimpulan bahwa remaja yang berpotensi nakal dapat diidentifikasi sejak dini pada usia dua atau tiga tahun terlihat dari perilaku antisosialnya. Begitu pula pada orang dewasa yang kreatif telah ditunjukkan pada masa anak dengan perhatiannya pada permainan imajinatif dan kreatif. Dengan demikian masa anak-anak terutama masa usia dini merupakan masa yang "kritis " dalam menanamkan berbagai kebiasaan anak. Berdasar pada karakteristik usia dini yang menurut DAP adalah 0-8 tahun, anak usia dini dibagi menjadi: 1) Usia 0-1 tahun merupakan masa bayi, 2) Usia 1-3 tahun merupakan masa Toddler (BATITA), 3) Usia 6 tahun merupakan masa pra sekolah, 4) usia 6-8 tahun merupakan masa SD kelas awal.32

Berdasarkan Permendikbud RI Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD33 pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak Usia Dini selanjutnya disebut STPPA adalah kriteria tentang kemampuan yang dicapai anak pada seluruh aspek perkembangan dan pertumbuhan, mencakup aspek nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, serta seni. Pada penelitian ini hanya aspek perkembangan nilai agama dan moral yang menjadi bahasan penelitian. Selanjutnya pada pasal 7 ayat 5 dinyatakan bahwa pencapaian

32

Farida Agus Setiawati, “ Pendidikan Moral dan Nilai-nilai Agama pada Anak Usia Dini……….., 42.

33

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini.

37

pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal membutuhkan keterlibatan orang tua dan orang dewasa serta akses layanan PAUD yang bermutu. Pada klausul ini jelas dinyatakan bahwa proses pencapaian tumbuh kembang seorang anak usia dini agar optimal, tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga PAUD saja, tetapi juga tanggung jawab orang tua. Adapun pembagian tahapan anak usia dini dijelaskan pada pasal 8 yaitu bahwa pentahapan usia dalam STPPA terdiri dari: a). Tahap usia lahir - 2 tahun, terdiri atas kelompok usia: Lahir - 3 bulan, 3- 6 bulan, 6 - 9 bulan, 9 -12 bulan, 12 - 18 bulan, 18 - 24 bulan; b). Tahap usia 2 - 4 tahun, terdiri atas kelompok usia: 2 - 3 tahun dan 3 - 4 tahun; dan c). Tahap usia 4 - 6 tahun, terdiri atas kelompok usia: 4 - 5 tahun dan 5 - 6 tahun.

2. Perkembangan Moral pada Anak Usia Dini

Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar atau salah. Perkembangan moral memiliki dua dimensi yaitu intrapersonal, yang mengatur aktivitas

seseorang ketika dia tidak terlibat dalam interaksi sosial dan interpersonal

yang mengatur interaksi social dan penyelesaian konflik (Gibbs, 2003; Power, 2004; Walker & Pitts, 1998) dalam Santrock34.

Usia dini adalah usia yang kritis dalam proses perkembangan. Seperti dinyatakan oleh Hurlock35 bahwa sikap, kebiasaan, dan pola perilaku yang

34

John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi Kesebelas Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 117.

35

Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980), 5.

38

dibentuk selama tahun-tahun pertama, sangat menentukan seberapa jauh individu-individu berhasil menyesuaikan diri dalam kehidupan ketika mereka bertambah tua.

Piaget dalam Santrock36 membagi perkembangan moral pada anak menjadi dua tahap, yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom.

a. Moralitas heteronom, dialami anak berusia 4-7 tahun. Pada tahap ini anak berpikir bahwa keadilan dan properti dunia yang tidak bisa diubah, dan tidak dikontrol oleh orang. Anak menilai kebenaran atau kebaikan perilaku berdasarkan konsekuensinya, bukan niat pelaku. Ketika anak berkembang ke tahap moral otonom, niat mulai lebih dipertimbangkan. Pemikir heteronom mempercayai bahwa aturan tidak bisa diubah. Hal ini berdasarkan pengalaman ketika Piaget menyarankan pada anak-anak agar membuat peraturan baru dalam bermain kelereng mereka menolak. Sebaliknya anak yang lebih tua (moral otonom) menerima perubahan dan menyadari bahwa peraturan adalah konvensi yang disepakati dan dapat diubah. Pemikir heteronom juga percaya akan adanya immanent justice,

sebuah konsep bahwa ketika peraturan dilanggar, maka hukuman akan langsung mengiringi pelanggaran tersebut.

b. Tahap transisi, dialami anak yang berusia 7-10 tahun. Pada tahap ini anak menunjukkan sebagian ciri-ciri moralitas heteronom dan sebagian ciri moralitas otonom.

36

39

c. Moralitas otonom, dialami anak berusia di atas 10 tahun. Pada tahap ini anak sadar bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh manusia, dan ketika menilai sebuah perbuatan dengan mempertimbangkan niat dan juga konsekuensinya.

Berdasar karakteristik tahap perkembangan moral tersebut diatas, perkembangan moral anak usia dini termasuk dalam tahap perkembangan moral heteronom dengan berbagai karakteristik seperti tersebut di atas. Pada penelitian ini, berdasarkan pentahapan Piaget, penanaman nilai-nilai karakter dilakukan pada tahap moral heteronom, sehingga diharapkan ketika anak menginjak tahap moral otonomi, ia menggunakan sisi kebaikannya dalam bertindak atau memutuskan sikap yang mengandung kebenaran dalam menghadapi tantangan atau masalah. Jadi penanaman nilai pada tahap moral heteronom adalah untuk mempersiapkan seorang anak ketika memasuki moral otonomi.

Kohlberg dalam Santrock 37 menguraikan perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yang masing-masing tingkatan dikelompokkan dalam dua tahap.

a. Penalaran prakonvensional

Adalah tingkat terendah dalam penalaran moral. Pada tingkat ini baik dan buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment

(hukuman) eksternal.

37

40

1) Tahap 1. Moralitas heteronom

Pada tahap ini penalaran moral terkait dengan punishment. Sebagai

contoh, anak berpikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut hukuman terhadap perilaku membangkang.

2) Tahap 2. Individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran

Pada tahap ini penalaran individu yang memikirkan kepentingan diri sendiri dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Mereka berpikir jika mereka baik terhadap orang lain, orang lain juga akan baik terhadap mereka.

b. Penalaran konvensional

Pada tingkatan ini, individu memberlakukan standar tertentu, tetapi standar ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua atau pemerintah.

1) Tahap 3. Ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang lain, dan konformitas interpersonal

Pada tahap ini, individu menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar penilaian moral. Anak dan remaja sering kali mengadopsi standar moral orang tua agar dianggap oleh orang tua sebagai anak yang baik.

2) Tahap 4. Moralitas sistem sosial

Pada tahap ini, penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang keteraturan di masyarakat, hukum, keadilan dan kewajiban. Sebagai

41

contoh, remaja mungkin berpikir, supaya komunitas dapat bekerja dengan efektif perlu dilindungi oleh hukum yang diberlakukan terhadap anggotanya.

c. Penalaran pascakonvensional

Pada tingkatan ini, individu menyadari adanya jalur moral alternatif, mengeksplorasi pilihan ini, lalu memutuskan berdasarkan kode moral personal.

Pada anak usia dini, perkembangan moral anak menurut Kohlberg ini termasuk pada tingkat perkembangan moral yang pertama, yaitu moralitas pra konvensional. Karakteristik khas pada tingkat ini tingkah laku anak tunduk pada peraturan dari luar. Pada tahap pertama perilaku anak dikendalikan oleh akibat fisik yang ditimbulkan dari perbuatannya yang biasanya muncul dalam bentuk hadiah dan hukuman. Misalnya anak tidak memukul adiknya ketika marah disebabkan karena takut apabila dimarahi atau dihukum orang tuanya. Pada tahap kedua anak berperilaku moral untuk mendapatkan penghargaan, misalnya anak senang membantu orang tua karena ingin mendapatkan hadiah, pujian ataupun perlakuan baik yang diberikan orang tua atau orang dewasa lain di sekitarnya.

Setelah tingkat pertama dilalui, perilaku anak akan meningkat pada tingkat kedua yaitu tahap konvensional. Pada tingkat kedua ini perilaku

42

moral anak dikendalikan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang sudah ditetapkan atau disepakati.

Pada tingkat ketiga disebut juga tahap pasca konvensional. Pada tahap terakhir ini perilaku anak sudah dikendalikan oleh nilai atau prinsip-prinsip yang dipegangnya, sehingga memungkinkan memegang nilai-nilai atau aturan secara luwes. Mendasarkan pada pentahapan Kohlberg, penanaman nilai-nilai karakter pada penelitian ini dilakukan pada tahap pra konvensional, sehingga diharapkan ketika anak menginjak tahap konvensional dan pasca konvesional, ia mampu menangkal keburukan dalam bertindak atau bisa menghindari memutuskan sikap yang salah dalam menghadapi tantangan atau masalah. Jadi penanaman nilai pada tahap pra konvensional adalah untuk mempersiapkan seorang anak ketika memasuki tahap konvensional dan pasca konvensional.

Dokumen terkait