• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanaman nilai-nilai karakter bagi anak usia dini fase moralitas heteronom dalam keluarga melalui peran keayahbundaan: studi kasus di PAUD Cahaya Tazkia Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penanaman nilai-nilai karakter bagi anak usia dini fase moralitas heteronom dalam keluarga melalui peran keayahbundaan: studi kasus di PAUD Cahaya Tazkia Surabaya."

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER BAGI ANAK USIA

DINI FASE MORALITAS HETERONOM DALAM

KELUARGA MELALUI PERAN

KEAYAHBUNDAAN

(Studi Kasus di PAUD Cahaya Tazkia Surabaya)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh Muhamad Noval NIM. F13213149

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER BAGI ANAK USIA DINI FASE MORALITAS HETERONOM DALAM KELUARGA MELALUI

PERAN KEAYAHBUNDAAN

(Studi Kasus di PAUD Cahaya Tazkia Surabaya)

Nama Mahasiswa/NIM: Muhamad Noval/ F13213149 Pembimbing: Dr. Husniyatus Salamah Zainiyati, M. Ag

ABSTRAK

`Tesis ini dilaksanakan berdasarkan masih adanya tindakan amoral di Indonesia, seperti: korupsi, perjudian, tawuran pelajar, kecurangan pelaksanaan ujian nasional, kejahatan seksual. Penelitian ini merupakan upaya melalui proses pendidikan yaitu proses penanaman karakter, yang diberikan pada anak usia dini fase moralitas heteronom yaitu umur 4-7 tahun dalam keluarga, melalui peran keayahbundaan.

Tujuan penelitian ini yaitu mendiskripsikan peran keayahbundaan untuk penanaman nilai-nilai karakter bagi anak usia dini fase moralitas heteronom dalam keluarga di PAUD Cahaya Tazkia Surabaya. Metode penelitian yang digunakan adalah deskripsi kualitatif, sumber data empiris yaitu 5 orang siswa TK Cahaya Tazkia Surabaya beserta ayah dan ibunya, Kepala dan pendidik TK Cahaya Tazkia Surabaya. Teknik pengumpulan data yaitu: wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Nilai karakter yang dieskplorasi yaitu cinta pada Allah, jujur, disiplin dan tanggung jawab. Teknik analisis data yaitu: reduksi data, paparan data, dan penyimpulan. Pengecekan keabsahan data yaitu: kredibiltas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran ayah dan ibu sangat besar pengaruhnya dalam proses penanaman karakter anak usia dini fase moralitas heteronom. Peran ini meliputi dalam memberikan pengertian suatu nilai karakter yang dijelaskan dalam bentuk simbol-simbol. Juga memberikan penghayatan dari suatu nilai karakter. Peran selanjutnya adalah memberikan keteladanan. Peran berikutnya yaitu mengkondisikan anak dapat membiasakan atau mengimplementasikan suatu nilai karakter. Pemberian sangsi yang tegas dan konsisten memberikan pengaruh nyata dalam proses penanaman karakter. Sangsi yang baik adalah sangsi yang demokratis yaitu sangsi yang dibicarakan bersama dengan anak, dan merupakan kesepakatan antara orang tua dan anak, dan bukan sangsi fisik yang menyakitkan.

(8)

DAFTAR ISI

Pernyataan Keaslian ii

Persetujuan iii

Pengesahan Tim Penguji iv

Pedoman Transliterasi v

Abstrak vii

Ucapan Terima Kasih viii

Daftar Isi ix

Daftar Gambar xi

Daftar Tabel xii

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah 10

C. Rumusan Masalah 12

D. Tujuan Penelitian 12

E. Kegunaan Penelitian 12

F. Penelitian Terdahulu 13

G. Sistematika Pembahasan 16

II. KAJIAN PUSTAKA 17

A. Kajian Teoritik Karakter 17

B. KajianTeoritik Penanaman Nilai Karakter 21

C. Kajian Teoritik Anak Usia Dini 34

D. KajianTeoritik Pendidikan Keluarga 42

E. Peran Ayah dan Bunda Terhadap Penanaman Nilai-nilai 45

Kakakter pada Fase Moralitas Heteronom

III. METODE PENELITIAN 47

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 47

(9)

C. Metode Pengumpulan Data 49

D. Teknik Analisis Data 53

E. Pengecekan Keabsahan Data 55

IV. HASIL PENELITIAN 58

A. Paparan Hasil Penelitian 58

B. Pembahasan 95

V. PENUTUP 111

A. Kesimpulan 111

B. Rekomendasi 111

DAFTAR KEPUSTAKAAN 113

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 Panduan Wawancara 116

Lampiran 2 Data Hasil Eksplorasi 127

Lampiran 3 Surat-surat/Keterangan Penelitian 155

a. Surat Keterangan Melakukan Penelitian

b. Daftar Nama-nama Santri TK Cahaya Tazkia

Kelompok TK B (Abu Bakar)

c. Data Guru/Pegawai dan Karyawan TK Cahaya Tazkia

d. Permohonan Izin Penelitian dari Direktur Pascasarjana

UINSA kepada Kepala PAUD Cahaya Tazkia Surabaya

e. Kartu Konsultasi Tesis

(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional telah terumuskan dalam

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (UU Sisdiknas). Pada pasal 3 UU Sisdiknas, disebutkan “Pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu

merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus

dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan

pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya

dan karakter bangsa.

Berbagai kasus yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kejahatan,

kenakalan remaja, kejahatan seksual, perjudian dan kasus-kasus lain sering kali

menjadi berita hangat di media cetak dan media elektronik. Seperti yang

diungkapkan oleh Nurcholis Madjid tentang perjudian yang merebak dan

merajalela di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

(12)

2

judi dilarang, berilah jalan lain untuk mendapatkan sumber dana bagi

pembangunan ibukota!” Pernyataan ini membuat sebagian agamawan bersikap

tidak mau tahu lagi, dan hati nuraninya mengatakan: “Biarlah pengalaman

nyata memberi pelajaran sendiri apakah judi itu lebih banyak gunanya atau

kerusakannya.” 1 Dalam konteks pembangunan ekonomi, kegiatan judi

bukanlah kegiatan yang produktif, bahkan terkait dengan tindakan asusila yang

lain seperti minuman keras, dan eksploitasi seks. Maka efek negatif ini bisa

menimbulkan kerugian moral yang jauh lebih besar dibanding pemasukan

ekonomi dari pajak perjudian, karena masih bisa dicari sumber-sumber

pemasukan ekonomi yang lain.

Begitu pula kasus pencurangan Unas seperti ditulis Harian Kompas2

bahwa beberapa guru dan kepala sekolah di Kabupaten Lamongan diduga

sebagai pangkal kebocoran jawaban ujian nasional tingkat SMA tahun 2014 di

Jawa Timur. Modus operandinya guru pengawal soal Unas mencuri naskah

soal ujian, dalam berita acara tetap dituliskan lengkap, meskipun naskah tidak

lengkap karena ada sebagian yang diambil. Naskah yang diambil ini nantinya

dikembalikan saat Unas berlangsung, bersekongkol dengan guru pengawas

ujian. Soal yang dicuri ini kemudian dikerjakan oleh para guru, hingga semua

jawaban bisa diperoleh. Dalih persekongkolan guru pengawal soal dan guru

pengawas ujian ini adalah untuk menyukseskan hasil ujian anak didik.

Kumpulan kunci soal yang disimpan dalam bentuk file-file ini diperjualbelikan

1

Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), 35-36.

2

(13)

3

di Surabaya dan tertangkap. Kasus ini menggambarkan tentang nilai kejujuran

yang masih belum diterapkan oleh sebagian insan pendidikan di Indonesia.

Ada juga fenomena mengharukan di negara kita Indonesia yang

menggambarkan krisis moral adalah adanya tawuran pelajar. Dikatakan krisis,

karena Islam mengajarkan kasih sayang pada semua mahluk ciptaan Allah,

tidak terkecuali terhadap binatang dan tumbuhan, apalagi terhadap sesama

manusia. Perkelahian pelajar terjadi hampir di seluruh kota-kota besar di

Indonesia seperti Ujungpandang, Jakarta, Medan dan Surabaya. Sebagai contoh

data perkelahian pelajar yang terjadi di DKI Jakarta, berdasarkan data yang

dikumpulkan oleh Polda Metro Jaya, disajikan pada tabel berikut ini.3

Tabel 1.1 Perkelahian Pelajar di DKI Jakarta

Tahun Kasus Ditangkap Tewas

1991 260 1.505 6

1992 167 987 11

1993 80 375 10

1994 183 1.261 10

1995 194 1.245 13

1996 150 1.842 19

1997(Jan-Peb) 10 150 0

1998 230 1.866 15

1999 193 2.083 32

2000 197 1.505 28

2001 123 503 23

2002 sampai Okt

113 493 13

3

(14)

4

Bila dilihat data di atas, sungguh merupakan angka yang fantastik, dalam

satu tahun untuk satu propinsi DKI Jakarta bisa terjadi ratusan kasus kekerasan

pelajar yang melibatkan ribuan pelajar secara umum, dan mengakibatkan

puluhan pelajar tewas. Pelajar yang mestinya fokus belajar menuntut ilmu,

bersosialisasi sesama teman pelajar dalam rangka belajar saling tukar menukar,

saling melengkapi ilmu yang diserap, bisa berubah perilaku menjadi pelajar

yang brutal, tidak memiliki rasa kasih sayang, tidak berperikemanusiaan,

berlaku seperti binatang.

Tiga data kasus amoral di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus

amoral yang terjadi di negara kita Indonesia, yang tentunya memerlukan

penanganan serius agar bisa terkurangi. Upaya pemerintah mengatasi hal

tersebut dilakukan melalui penegakan hukum dengan menghukum para pelaku

pelanggaran. Upaya tersebut merupakan upaya top down dan belum menyentuh

ke akar penyebab mengapa si pelaku sanggup melakukan tindakan kurang

terpuji tersebut. Seperti diberitakan Harian Jawa Pos4 bahwa sekeluarga

mendirikan home industry sabu-sabu dengan kapasitas produksi 1 kg senilai Rp

1.000.000.000,00, setelah salah satu anggota keluarga tersebut mendekam di

penjara dan mempelajari cara membuat sabu-sabu dari sesama tahanan.

Berdasarkan kenyataan ini perlu dilengkapi upaya bottom up yakni secara

personal, orang enggan melakukan tindak kejahatan karena ia meyakini hal

4

(15)

5

tersebut tidak sesuai dengan tata nilai yang dianutnya. Upaya bottom up

dilakukan melalui proses pendidikan, khususnya pendidikan karakter.

Pendidikan karakter adalah tanggung jawab bersama bagi semua pihak

baik guru, orang tua dan masyarakat. Seorang anak belajar dari tiga

lingkungan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan keluarga

adalah tempat awal seorang anak belajar, yaitu mulai dalam kandungan dan

masa bayi. Baru mulai usia dua tahun disamping belajar di keluarga, seorang

anak mulai belajar di sekolah jika dimasukkan ke Kelompok Bermain (play

group), dan mulai belajar di masyarakat ketika seorang anak berinteraksi

dengan tetangga dan lingkungan masyarakat lainnya. Maka dalam penelitian

ini mencoba menguak bagaimana penanaman nilai-nilai karakter dalam

lingkungan keluarga, dimana seorang anak usia dini memulai proses belajar.

Mengingat keluarga adalah fondasi utama dalam pendidikan anak, maka

penulis memandang, bahwa pendidikan karakter dalam keluarga memiliki

posisi yang sangat strategis dalam menyiapkan karakter anak agar dihasilkan

generasi dengan karakter yang mulia sesuai dengan amanat undang-undang

tentang sistem pendidikan nasional.

Keluarga menjadi tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak.

Marzuki 5 menyatakan keluarga adalah komponen pembentuk (“building

block”) masyarakat. Keluarga yang tangguh akan menciptakan masyarakat

yang tangguh pula. Lebih luas lagi, masyarakat adalah komponen pembentuk

5

(16)

6

negara, sehingga keluarga yang harmoni menjadi modal yang sangat berarti

dalam pembentukan negara yang kuat dan maju. Sebaliknya, keluarga yang

carut marut menjadi ancaman serius bagi kemajuan dan kekuatan suatu negara.

Fachrudin6 menuliskan bahwa mendidik anak dalam keluarga merupakan

kewajiban paling utama. Memberi ketauladanan adalah salah satu hal penting

dalam proses pendidikan anak.

Selanjutnya, mengapa penelitian ini mengambil segmen anak usia dini?

DAP (Developmentally Aprropriate Practices) yaitu acuan Pendidikan Anak

Usia Dini (PAUD) yang diterbitkan oleh asaosiasi PAUD di Amerika,

menjelaskan bahwa anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia

sejak lahir hingga 8 tahun. Masa anak usia dini atau usia 0-8 tahun ini sering

disebut sebagai the golden year, karena pada masa ini berbagai kemampuan

anak tumbuh dan berkembang sangat pesat. 7 Benjamin S. Bloom dalam Munif

Chatib8 menyatakan bahwa pada saat anak berusia 4 tahun, separuh potensi

intelektualnya sudah terbentuk sehingga apabila pada usia 0-4 tahun seorang

anak tidak mendapat rangsangan otak yang tepat, kinerja otaknya tidak dapat

berkembang secara maksimal. Pada usia 8 tahun kinerja otak berkembang

mencapai 80% dan selanjutnya akan mencapai 100% pada usia 18 tahun. Hal

ini tergambar pada diagram berikut.

6

Fachrudin,” Peranan Pendidikan Agama dalam Keluarga”, Jurnal Pendidikan Agama Islam- Ta’lim, Vol. 9 No.1-2011.

7

Farida Agus Setiawati, “ Pendidikan Moral dan Nilai-nilai Agama pada Anak Usia Dini: Bukan Sekedar Rutinitas”, Paradigma, No. 02 Th. I ISSN-297X, (Juli, 2006), 42.

8

(17)

7

Gambar 1.1 Diagram Tahapan Golden Age pada Anak

Piaget dalam Santrock9 membagi perkembangan moral pada anak menjadi

dua tahap, yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom. Tahap moralitas

heteronom terjadi pada anak usia 4-7 tahun. Sedangkan tahap moralitas otonom

terjadi pada anak usia di atas 10 tahun. Diantara dua tahap ini ada tahap transisi

yaitu usia 7-10 tahun. Pada tahap moralitas heteronom ini anak menilai

kebenaran atau kebaikan perilaku berdasarkan konsekuensinya, bukan niat

pelaku. Ketika anak berkembang ke tahap moral otonom, niat mulai lebih

dipertimbangkan. Berdasarkan tahapan Piaget ini maka penanaman nilai-nilai

karakter pada tahap moralitas heteronom lebih mudah dibanding tahap moral

otonom, karena pada tahap moralitas heteronom anak masih memiliki rasa

takut akan konsekuensi dari perbuatannya, sehingga memudahkan penanaman

nilai-nilai karakter. Sedangkan pada tahap moral otonom sudah ada niat

terhadap suatu tindakan yang bisa mengarah pada kebaikan atau mengarah

pada keburukan tergantung kebutuhannya, maka pada tahap ini akan lebih sulit

9

John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi Kesebelas Jilid 2…….., 117-118.

20%

8-18 tahun

30%

4-8 tahun

50%

(18)

8

dalam penanaman nilai karakter dibanding tahap moralitas heteronom. Hal ini

yang mendasari peneliti mengambil tahap moralitas heteronom untuk

penanaman nilai karakter pada anak usia dini.

Dalam kaca mata Islam, karakter identik dengan akhlak. Islam meletakkan

akhlak dalam kedudukan yang sangat utama. Dalam salah satu Hadisnya

Rasulullah SAW. bersabda:

ق ﺧا

ا

مرﺎ

ﺎ إ

“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak

yang mulia” (Diriwayatkan Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi dan

sanadnya shahih).10

Dalam al-Quran QS. al-Qalam [68]: 4), Allah menegaskan:

ﻈ ﺧ ﻰ إو

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”11

Karena karakter sama dengan akhlak, maka pendidikan karakter sebenarnya

telah tercakup dalam pendidikan Islam.

Keyakinan seseorang terhadap tata nilai bisa mengakar kuat melalui proses

pendidikan, oleh karena itu pemerintah menggaungkan pendidikan karakter

sebagai salah satu cara untuk mencoba atasi krisis karakter yang dihadapi

bangsa Indonesia saat ini. Hasil dari pendidikan akan kelihatan dampaknya

setelah berlangsung dalam waktu yang relatif lama, tetapi memiliki kekuatan

10

Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi, Buku Putih Ihya ‘Ulumuddin Imam Al-Ghazali, (Bekasi: PT Darul Falah, 2013), 301.

11

(19)

9

yang lebih besar daripada sekedar upaya penanggulangan atau penegakan

peradilan.

PAUD Cahaya Tazkia yang digunakan sebagai tempat penelitian

diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada

bulan Mei 2011. Ada tiga kelompok yang diselenggarakan yaitu Tempat

Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), dan Taman Kanak-kanak

(TK). Proses penanaman karakter diberikan pada kelompok KB dan TK.

Beberapa proses penanaman karakter yang diberikan yaitu sebagai berikut.

1. Datang tidak terlambat (karakter disiplin).

2. Baris berbaris (karakter disiplin).

3. Antri masuk kelas (karakter disiplin).

4. Bacaan asmaul husna (karakter cinta Allah).

5. Doa mulai belajar (karakter cinta Allah).

6. Ṣalat Ḍuha bersama (karakter cinta Allah).

7. Menaruh tas dan sepatu pada tempatnya (karakter disiplin).

8. Mengambil tas sesuai namanya (karakter jujur).

9. Doa sebelum dan sesudah makan (karakter cinta Allah).

10. Bermain sesuai aturan (karakter disiplin).

11. Doa setelah belajar (karakter cinta Allah).

12. Membereskan mainan (karakter tanggung jawab).

Namun dengan perlakuan yang sama seperti di atas menghasilkan karakter

(20)

10

keluarga, karena anak pada umur ini sangat dekat dengan ayah dan ibunya. Hal

ini yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian penanaman karakter

dalam keluarga melalui peran keayahbundaan. Selain itu penelitian ini

menggunakan kelompok TK B yaitu kelompok akhir pada PAUD dengan

pertimbangan proses penanaman karakter telah banyak dilakukan sehingga

implementasi karakter anak lebih nampak.

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas dapat dilihat

bahwa kemerosotan moral menjangkiti elemen bangsa ini mulai orang dewasa,

sampai anak-anak usia sekolah, dengan berbagai ragam bentuk amoralisasi.

Upaya top down yang telah dilakukan pemerintah dengan penegakan

hukum bagi para pelanggar moral, perlu dilengkapi upaya bottom up yakni

mengkondisikan secara personal memiliki kesadaran untuk tidak melakukan

tindakan amoral.

Upaya bottom up ini dilakukan dengan proses penanaman nilai-nilai

karakter melalui proses pendidikan. Seorang anak akan belajar dari tiga

lingkungan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Belakangan mulai muncul

kesadaran pentingnya peran keluarga dalam proses pendidikan, sampai-sampai

Kementerian Pendidikan Kebudayaan membentuk Direktorat Pembinaan

Pendidikan Keluarga pada tahun 2015, hal ini yang menginspirasi peneliti

untuk melakukan penelitian peran keluarga melalui peran keayahbundaan

(21)

11

Proses penanaman nilai-nilai karakter dilakukan pada anak didik mulai

jenjang PAUD, SD, SLTP, dan SLTA. Peneliti tertarik mengambil segmen

pada jenjang PAUD karena pada jenjang usia dini berbagai kemampuan anak

tumbuh dan berkembang sangat pesat. Sehingga stimulasi pada jenjang usia ini

akan mendapat respon yang sangat baik.

Berdasarkan tahapan pengembangan moral Piaget, peneliti mengkaji

penanaman nilai-nilai karakter pada tahap moralitas heteronom. Hal ini karena

pada tahapan ini seorang anak masih sangat mempertimbangkan konsekuensi

dari perbuatannya tanpa ada niat berperilaku dari dirinya, sehingga lebih

mudah untuk dilakukan penanaman nilai karaketr dibanding pada tahap moral

otonom, karena pada tahap moral otonom seseorang sudah memiliki niat

berperilaku sesuai kebutuhannya.

Batasan masalah:

1. Berdasarkan permasalahan banyaknya tindakan amoral di Indonesia yang

diungkap di atas, perlu upaya penanganan secara dini melalui penanaman

nilai-nilai karakter.

2. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak,

Marzuki menyatakan bahwa keluarga adalah komponen pembentuk

masyarakat.

3. Pada usia dini perkembangan otak sangat cepat seperti dinyatakan oleh

Benjamin S. Bloom, sehingga akan efektif dalam menanamkan nilai-nilai

(22)

12

4. Berdasarkan tahapan perkembangan moral Piaget, tahapan fase moral

heteronom lebih mudah untuk dilakukan penanaman nilai karakter

dibanding fase moral otonom.

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang telah dijabarkan di atas, maka akan

dikaji secara empiris masalah berikut:

“Bagaimana peran keayahbundaan untuk penanaman nilai-nilai karakter bagi

anak usia dini fase moralitas heteronom dalam keluarga di PAUD Cahaya

Tazkia Surabaya?”

D.Tujuan Penelitian

Berdasarkan kajian teoritis terhadap permasalahan di atas, maka hal yang

ingin dicapai atau didapatkan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

“Mendiskripsikan peran keayahbundaan untuk penanaman nilai-nilai karakter

bagi anak usia dini fase moralitas heteronom dalam keluarga di PAUD Cahaya

Tazkia Surabaya.”

E.Kegunaan Penelitian

1. Tataran Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah dalam dunia

pendidikan, khususnya pendidikan karakter yang dilaksanakan di dalam

keluarga sejak dini.

2. Tataran Praktis

Hasil penelitian ini pada tataran praktis, diharapkan dapat dijadikan

(23)

13

bagi anak usia dini fase moralitas heteronom dalam keluarga sehingga

terbentuk pribadi-pribadi dengan karakter mulia.

3. Tataran Kebijakan Pemerintah

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada perubahan

nomenklatur di tingkat direktorat jenderal (Ditjen) yaitu dari Ditjen

PAUDNI menjadi Ditjen PAUD-DIKMAS. Perubahan nomenklatur ini

diikuti restrukturisasi di Ditjen PAUD-DIKMAS, yaitu adanya direktorat

baru yang bernama Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Penelitian

ini berkaitan dengan direktorat baru ini karena mengkaji tentang pendidikan

keluarga, sehingga bisa dijadikan bahan pengembangan program.

F. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil penelitian Alfi Ni’matin Khoironi menunjukkan konsep

pendidikan karakter di RA Sunan Pandanaran Sleman DIY dengan

memasukkan nilai-nilai karakter ke dalam setiap program sekolah, seperti

kegiatan keagamaan/TPA (Taman Pendidikan Alquran); Kegiatan Belajar

Mengajar (KBM); kegiatan ekstra kurikuler dan kegiatan non kurikuler.12

Hasil penelitian Rahmawaty Rahim menunjukkan bahwa strategi yang

dilakukan untuk mengembangkan pendidikan karakter pada anak-anak di TK

Aisyah Bustanul Athfal Palembang, yakni: Pertama, menerapkan metode

belajar yang yang melibatkan partisipasi aktif peserta didik. Kedua,

12

(24)

14

menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Ketiga, memberikan

pendidikan karakter pada peserta didik dengan secara eksplisit, dan sistematis

serta kontinu/berkesinambungan. Keempat, menerapkan kurikulum yang

melibatkan juga sembilan aspek kecerdasan manusia. Kelima, memberikan

model (contoh) perilaku positif.13

Berdasarkan hasil penelitian Suyadi14 tentang pengembangan karakter

pada anak usia dini di PAUD Griya Ananda UIN Sunan Kalijaga ini semakin

menguatkan teori bahwa pendidikan karakter itu harus ada keterpaduan antara

apa yang diajarkan pendidik di sekolah dengan pola pengasuhan (parenting)

yang dilakukan orang tua di rumah terhadap anak, juga dengan lingkungan. Di

PAUD ini semua unsur sekolah, mulai dari Kepala sekolah, Guru, Staf,

bahkancleaning service sekalipun berperan menjadi role model karakter, seperti

keramahan (senyum), kehangatan (warm), kedisiplinan, tanggung jawab,

toleran, dan lain-lain. Dan karakter yang dikembangkan ini juga selaras dengan

core values UIN Sunan Kalijaga. Di PAUD ini yang sangat menonjol adalah

nilai karakter keramahan, toleran, keteladanan,dan kepedulian.

Berdasarkan hasil penelitian Ghafiqi Faroek Abadi15 disimpulkan bahwa

(1) Keluarga memegang peranan penting sekali dalam membantu proses

pembentukan akhlak seorang anak karena keluarga merupakan institusi yang

13

Rahmawaty Rahim, “Membina Karakter Anak Yang Islami di Taman Kanak-kanak Aba /‘AisyiahBustanulAthfal Palembang”, Intizar, Vol. 20 No.1-2014, 107.

14

Suyadi, “Model Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Islam” (Laporan Hasil Penelitian--Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), 1.

15

(25)

15

mula-mula sekali berinteraksi dengannya; (2) Metode pendidikan keluarga

yang dilakukan oleh pegawai Kantor Kementerian Agama Sumenep dalam

membantu proses pembentukan akhlak anak adalah metode komunikasi,

metode pemberian reward (hadiah), dan metode keteladanan; (3) Faktor-faktor

yang berperan penting dalam pelaksanaan pendidikan keluarga dalam

membentuk proses pembentukan akhlak anak terdiri dari faktor pendukung dan

faktor penghambat.

Menilik penelitian yang telah dilakukan oleh Alfi Ni’matin Khoironi,

Rahmawaty Rahim, dan Suyadi, ketiga peneliti ini melakukan penelitian

tentang penanaman nilai-nilai karakter bagi anak usia dini di satuan

pendidikan. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah memfokuskan

pada penanaman nilai karakter yang dilakukan dalam keluarga melalui peran

keayahbundaan. Jadi penelitian yang peneliti lakukan bisa melengkapi

informasi terhadap peneliti terdahulu tentang penanaman nilai karakter pada

anak usia dini.

Menilik hasil penelitian Ghafiqi Faroek Abadi tentang pentingnya peranan

keluarga dalam pembentukan akhlak anak yaitu melalui metode komunikasi,

metode pemberian reward (hadiah), dan metode keteladanan. Sedangkan yang

peneliti lakukan adalah melalui peran keayahbundaan dengan tiga tahapan

yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Tentunya penelitian

yang peneliti lakukan juga melengkapi informasi terkait peranan keluarga

(26)

16

G.Sistematika Pembahasan

Bab I pendahuluan, yang terdiri atas sub bab: a. latar belakang masalah; b.

identifikasi dan batasan masalah; c. rumusan masalah; d. tujuan penelitian; e.

kegunaan penelitian; f. penelitian terdahulu; dan f. sistematika pembahasan.

Bab II kajian pustaka, yang terdiri dari sub bab: a. kajian teoritik karakter;

b. kajian teoritik penanaman nilai karakter; c kajian teoritik anak usia dini.; dan

d. kajian teoritik pendidikan keluarga .

Bab III metode penelitian, yang terdiri dari sub bab: a. jenis penelitian; b.

jenis data dan sumber data; c. metode pengumpulan data; dan d. pengecekan

keabsahan data.

Bab IV hasil penelitian, yang terdiri dari sub bab: a. paparan hasil

penelitian; b. pembahasan.

(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Kajian Teoritik Karakter

Membahas tentang karakter, ada beberapa istilah yang memiliki arti

hampir sama yaitu: akhlak, moral, etika, dan susila. Pertama kali akan dibahas

definisi kelima istilah tersebut berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) sebagai berikut.

Tabel 2.1. Definisi Karakter, Akhlak, Moral, Etika dan Susila Berdasar KBBI

Arti Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

Karakter1 Akhlak2 Moral3 Etika4 Susila5

sifat-sifat

kejiwaan,

akhlak atau

budi pekerti

budi

pekerti,

kelakuan

1) baik buruk

yang diterima

umum mengenai

perbuatan,

sikap,

kewajiban, dsb.;

akhlak; budi

pekerti; susila;

2) kondisi

mental yang

membuat orang

ilmu tentang

apa yang baik

dan apa yang

buruk dan

tentang hak

dan kewajiban

moral

(akhlak)

1) baik budi

bahasanya;

beradab;

sopan; 2)

kesusilaan

1

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), 623.

(28)

18

tetap berani,

bersemangat,

bergairah,

berdisplin, dsb;

isi hati atau

keadaan

perasaan

sebagaimana

terungkap di

perbuatan; 3)

ajaran

kesusilaan yang

dapat ditarik

dari suatu cerita

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang

terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan

digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan

bertindak.6

Adapun moral dari segi bahasa berasal dari bahasa Latin, mores yaitu

jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Selanjutnya moral dalam arti

istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari

6

(29)

19

sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat

dikatakan benar, salah, baik atau buruk.7

Etika dari segi etimologi (ilmu asal-usul kata) berasal dari bahasa Yunani,

ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Etika dari segi istilah menurut

Ahmad Amin dalam Abuddin Nata mengartikan etika sebagai ilmu yang

menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan

manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam

perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang

seharusnya diperbuat.8

Susila berasal dari bahasa Sansekerta yaitu su dan sila. Su berarti baik,

bagus dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Selanjutnya

kata susila dapat pula berarti sopan, beradab, baik budi bahasanya.9

Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral,

susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu

perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua

istilah itu sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik,

teratur, aman, damai, dan tenteram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriahnya.

Sedangkan perbedaan antara etika, moral, susila dan akhlak adalah terletak

pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika

dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada

7

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013),77- 78.

8

Ibid, 75-76. 9

(30)

20

moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat,

maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk

itu adalah al-Qur’an dan Hadis.10

Berdasarkan penjelasan Abudin Nata di atas, bahwa etika, moral, susila

dan akhlak memiliki kesamaan fungsi dan peran dalam hal penentuan

baik-buruk yang dibuat oleh manusia. Sebagai contoh seseorang berbuat mencuri,

maka menurut etika, moral, susila dan akhlak adalah perbuatan buruk.

Sebaliknya bila seseorang berbuat menolong tetangganya yang kesusahan,

maka menurut etika, moral, susila dan akhlak termasuk perbuatan baik.

Sedangkan perbedaan antara etika, moral, susila dan akhlak dikatakan oleh

Abudin Nata terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan

baik dan buruk yang diperbuat oleh manusia. Etika bersumber pada akal

pikiran, moral dan susila bersumber pada kebiasaan yang berlaku umum di

masyarakat. Sedangkan akhlak bersumber pada al-Qur’an dan Hadis.

Berdasarkan hal ini suatu perbuatan seseorang bisa dinilai baik berdasarkan

moral dan susila, tetapi dinilai tidak baik berdasarkan akhlak. Sebagai contoh

perbuatan minum minuman beralkohol di masyarakat Amerika Serikat,

berdasarkan moral dan susila masyarakat di sana termasuk perbuatan baik,

tetapi berdasarkan akhlak yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadis adalah

perbuatan tidak baik. Bila didasarkan pada etika, minum minuman beralkohol

ini menyebabkan mabuk dan menimbulkan kerusakan pada tubuh

10

(31)

21

peminumnya, maka termasuk perbuatan buruk. Seseorang yang mabuk akibat

minum minuman beralkohol bisa berbuat sesuatu yang merugikan orang lain,

seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan menimbulkan kecelakaan lalu lintas

bagi yang sedang mengemudi. Efek kerusakan pada tubuh peminumnya, karena

alkohol bersifat melarutkan lemak, sehingga organ-organ yang mengandung

lemak, khususnya organ pencernaan akan menjadi rusak. Pada penelitian ini

karakter yang dimaksud adalah akhlak, karena penentuan baik buruk dari

nilai-nilai yang diteliti berdasarkan al-Qur’an dan Hadis.

B.Kajian Teoritik Penanaman Nilai Karakter

1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter atau Akhlak

Ada hal yang perlu diperjelas ketika membicarakan tentang akhlak,

yaitu apakah akhlak itu dapat dibentuk atau tidak? Mansur Ali Rajab dalam

Abuddin Nata11 berpendapat bahwa akhlak tidak perlu dibentuk karena

akhlak adalah insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi

penganut paham ini memercayai bahwa akhlak akan tumbuh dengan

sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan (ghair muktasabah).

Penganut paham ini menduga bahwa akhlak adalah gambaran batin

sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak

mampu mengubah perbuatan batin.

Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah

hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras serta

11

(32)

22

sungguh-sungguh. Beberapa ulama yang mendukung paham ini yaitu Ibnu

Miswakaih, Ibn Sina, , al-Ghazali yang menyatakan bahwa akhlak adalah

hasil usaha (Muktasabah). Terkait ini Imam al-Ghazali menyatakan sebagai

berikut.12

“Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat, dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya Hadis Nabi SAW yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu sekalian”.

Dengan demikian pembentukan karakter dimungkinkan untuk dilakukan

melalui serangkaian proses perlakuan atau tindakan.

Lebih detail Abuddin Nata13 menjelaskan tentang faktor-faktor yang

memengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada

umumnya, ada tiga aliran yang sudah populer. Pertama, aliran Nativisme.

Kedua, aliran Empirisme dan ketiga aliran Konvergensi.

Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam

hal pembentukan diri seseorang yaitu faktor pembawaan dari dalam yang

berbentuk kecenderungan, bakat, akal dan lain-lain. Seseorang yang

memiliki pembawaan atau kecenderungan berbuat baik maka dengan

sendirinya orang tersebut berbuat baik. Aliran ini tidak memperhitungkan

pengaruh pembinaan atau pendidikan.

Berdasarkan aliran empirisme menyatakan bahwa faktor yang paling

berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar

12

Ibid, 134. 13

(33)

23

yaitu lingkungan, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika

pembinaan dan pendidikan yang diberikan terhadap seseorang itu baik,

maka baiklah orang tersebut. Aliran ini kurang memerhitungkan

kecenderungan atau bakat yang dibawa sejak lahir, yang merupakan

pewarisan sifat dari kedua orang tuanya.

Sedangkan pada aliran konvergensi menyatakan bahwa pembentukan

akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor

dari luar yaitu pembinaan atau pendidikan yang dibuat secara khusus, atau

melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Jadi fithrah dan kecenderungan

ke arah yang baik yang sudah ada dala diri manusia akan membentuk akhlak

yang baik bila didukung oleh faktor luar yang bisa berupa pembinaan dan

pendidikan atau interaksi dalam lingkungan sosial.

Aliran konvergensi ini sesuai dengan ajaran Islam, karena berdasar

pemahaman terhadap ayat al-Quran berikut ini.

و

نﻮ

ﮭ أ نﻮ ﻄ ﺟﺮﺧ أ

ٔ

ﺟو ﺎ

و

ﺮ ﻷ

و

ٔ

ةد

نوﺮ

78. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS al-Nahl [16]:78)14

Berdasar ayat tersebut di atas, Allah SWT memberi petunjuk bahwa

manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu melalui penglihatan,

14

(34)

24

pendengaran, dan hati sanubari. Begitu pula yang dilakukan Luqmanul

Hakim ketika menasihati anaknya dalam ayat berikut ini.

ذ إو

لﺎ

ﮫ ﻈ ﻮھو

كﺮ ﻲ

ن إ

كﺮ

ﻈ ﻈ

ﺎ وو

ﮫ أ ﮫ ﺣ ﮫ ﺪﻮ

ﮫ و ھو ﻰ ﺎ ھو

ن أ ﺎ ﻲ

ﻮو ﻲ

ﻲ إ ﺪ

13. Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

14. Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Ku lah kembalimu (QS Luqman [31]: 13-14). 15

Pada ayat tersebut di atas menggambarkan tentang pelaksanaan

pendidikan yang dilakukan oleh Luqmanul Hakim, juga materi pelajaran

yang berupa pendidikan tauhid atau keimanan, karena keimananlah menjadi

salah satu dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlak.

Tentang keimanan, Abdullah16 menuliskan bahwa bila seseorang

memiliki iman yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan

Rasul-Nya, maka memiliki buah iman yang agung dan membuka pintu-pintu

kebaikan yang amat banyak. Hal ini sesuai firman Allah SWT berikut ini.

و

اء

ﻰ أو نوﺮ

ﮫ ﻮ ر

و

و

ﻰ إ يﺪھ ﺪ

طﺮ

101. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada di

15

Ibid, 654. 16

(35)

25

tengah kamu? barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS Ali Imran [3]: 101).17

Selanjutnya Abdullah18 menjelaskan ada dua puluh buah iman yang

benar, yang penulis ringkas sebagai berikut.

a. Hamba itu akan introspeksi diri, menjaga diri, mengekang ambisi-ambisi,

dan memecahkan kepentingan-kepentingan dan klaim-klaim pribadi.

b. Dunia adalah kecil, dunia adalah penyihir dan penipu banyak orang, cinta

dunia adalah induk segala kesalahan, dunia adalah barang yang rendah,

hina, murah dan fana’.

c. Perhatian terhadap amalan hati lebih besar dari pada amalan anggota

tubuhnya.

d. Terbentuklah ukhuwah (persaudaraan) karena Allah. Seorang mukmin

akan merasa semakin dekat dengan Allah SWT bila dapat memberikan

kemanfaatan kepada saudaranya sesama muslim.

e. Jujur dalam mencari ridha Allah SWT, hatinya selalu dinamis, tidak mau

diam dan tidak mau berhenti sampai mati, dalam rangka mencari setiap

jalan yang dapat mengantarkan kepada-Nya.

f. Menyibukkan lisan dan hatinya dengan berdzikir kepada Allah SWT.

g. Hati menjadi hidup, hanya bergantung kepada Allah SWT, sangat

mencintai, mengagungkan dan membutuhkan-Nya.

17

Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya……, 92. 18

(36)

26

h. Berdakwah, mengingatkan, mengajari dan menunjukkan kebaikan,

melarang hal-hal yang dilarang Allah SWT sesuai kemampuannya.

i. Berusaha untuk selalu benar, adil, obyektif, menjauhi dusta, menjilat,

debat kusir, dan berbelit-belit. Tegas dan jelas. Tidak surut oleh celaan

orang lain, tidak segan mengakui kesalahannya dan segera memohon

ampun kepada Allah SWT.

j. Mengerjakan Ṣalat dengan adab penghambaan di hadapan Allah SWT,

merendahkan diri dan merasakan seolah-olah ia betul-betul berdiri di

hadapan Allah Yang Maha Mulia.

k. Mengagungkan Allah, mengagungkan perintah dan larangan-Nya.

l. Hati tertambat dengan surga, surga lebih agung, lebih indah dan lebih

sempurna dibandingkan dengan kenikmatan dan keindahana dunia yang

fana’.

m. Merenungkan al-Qur’an dan menempatkannya pada kedudukan yang

agung, dengan mengulang-ulang bacaan, hafalan, tafsir dan maksudnya.

n. Ridha dengan keputusan dan takdir Allah SWT.

o. Orang mukmin mendapat kemenangan atas musuh-musuhnya.

p. Memperhatikan waktu dan sangat perhitungan di dalamnya.

q. Memiliki perasaan bahwa hanya Allah SWT lah yang mencukupinya,

menolongnya, membantunya dan menjaganya.

r. Membuahkan kecintaan Allah SWT kepada hamba, dan kecintaan hamba

(37)

27

s. Melihat kepada ilmu yang dipelajarinya apakah termasuk ilmu yang

bermanfaat atau tidak.

t. Tegak di dalam hatinya hakikat syukur kepada Allah, mengakui

pemberian dan karunia-Nya dan selalu menghadirkan pemberian dan

karunia-Nya di dalam hatinya.

Aliran konvergensi ini dipertegas oleh Hadisubrata 19 yang

menyatakan bahwa perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi oleh

faktor keturunan dan faktor lingkungan. Dua hal ini saling berinteraksi

dalam mengarahkan pembentukan kepribadian sesorang. Yang diwariskan

masih dalam bentuk predisposisi atau kecenderungan untuk berkembang

dalam cara tertentu. Perbedaan kecenderungan inilah yang terdapat pada

perbedaan kepribadian bayi yang baru lahir. Kecenderungan perkembangan

ini berinteraksi dengan lingkungan membentuk kepribadian. Jadi

kepribadian seseorang dibentuk oleh interaksi faktor lingkungan dengan

faktor keturunan. Faktor lingkungan ini sangat besar pengaruhnya pada

pembentukan kepribadian seseorang. Kecenderungan pada kepribadian baik

bila lingkungannya mendukung maka bisa terbentuk kepribadian baik, bila

lingkungan tidak mendukung maka untuk terbentuknya kepribadian yang

baik sulit akan tercapai.

Di antara semua faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan

kepribadian anak balita, keluarga merupakan faktor yang paling penting.

19

(38)

28

Ada beberapa alasan lingkungan keluarga merupakan faktor penting, yaitu:

1) keluarga merupakan kelompok sosial pertama bagi anak, sehingga para

anggota keluarga menjadi orang pertama dalam kehidupan anak pada

masa-masa peletakan dasar kepribadiannya; 2) anak balita lebih banyak

menghabiskan waktunya bersama keluarga dari pada kelompok sosial lain.20

2. Pendidikan Islam dalam Kerangka Pembentukan Karakter

Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dituliskan oleh Syukri

Rifa’i 21 tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan Islam adalah

pembentukan insan yang Ṣaleh dan pembentukan masyarakat yang Ṣaleh.

Masyarakat yang Ṣaleh terbentuk dari insan yang Ṣaleh dan keluarga yang

Ṣaleh. Berdasarkan pendapat ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa

peran pendidikan dalam keluarga sangat penting dalam pembentukan

masyarakat yang Ṣaleh, hal ini sejalan dengan tema penelitian ini yaitu

terkait dengan pendidikan keluarga.

Pendidikan karakter dalam khasanah Pendidikan Islam bersumber pada

al-Quran dan Hadis yang misi utamanya sebagaimana dikemukakan oleh

Fazlurrahman dalam Abuddin Nata22

adalah pembinaan moral atau akhlak

mulia, dengan menekankan pada fungsinya sebagai al-hidayah (petunjuk),

al-furqan (yang membedakan antara yang hak dan batil), al-hakim (sebagai

wasit yang adil), bayyinah (keterangan atas semua perkara),

20

Ibid, 34-35 21

Syukri Rifa’i,” Strategi Pendidikan Islam dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Studi atas Pemikiran Hasan Langgulung”, ( Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006 M / 1427 H), 54-55. 22

(39)

29

syifa’(sebagai obat penawar jiwa), dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan

lil alamin). Muhammad Athiyah al-Abrasyi dalam Abuddin Nata 23

mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan

tujuan pendidikan Islam. Jadi pendidikan karakter atau akhlak merupakan

bagian dari tujuan pendidikan Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan

Hadis.

Karakter dalam konteks Islam disebut sebagai akhlak. Mengkaji dan

mendalami konsep akhlak merupakan sarana yang dapat mengantarkan

seseorang dapat bersikap dan berperilaku mulia yang benar dan utuh

sebagaimana yang dipesankan oleh Nabi SAW. Allah menegaskan, “Dan

sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS.

al-Qalam [68]: 4).

Beberapa contoh dalam al-Quran tentang keutamaan karakter atau

akhlak misalnya perintah berbuat kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr),

menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut pada Allah Swt., bersedekah di

jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. Qashash [28]: 77; QS.

Baqarah [2]: 177; QS. Muminun (23): 1-11; QS. Nur [24]: 37; QS.

al-Furqan [25]: 35-37; QS. al-Fath [48]: 39; dan QS. Ali ‘Imran [3]: 134).

Allah mewajibkan setiap Muslim untuk melaksanakan berbagai nilai

karakter mulia dalam berbagai aktivitasnya sebagaimana kandungan

ayat-ayat al-Quran tersebut di atas. 4.

23

(40)

30

Abdullah Nashih Ulwan menuliskan bahwa pendidikan sosial anak

berkisar pada empat persoalan: (1) penanaman dasar-dasar kejiwaan yang

mulia; (2) pemeliharaan hak-hak orang lain; (3) melaksanakan tata krama

sosial yang bersifat umum dan (4) kontrol dan kritik sosial.24

Marzuki25 mengemukakan, bahwa prinsip-prinsip akhlak atau karakter

dalam rangka melakukan hubungan antar manusia dalam keluarga bisa

dikelompokkan menjadi 1) hubungan dengan orang tua, 2) hubungan dengan

orang yang lebih tua, 3) hubungan dengan orang yang lebih muda, 4)

hubungan dengan teman sebaya, 5) hubungan dengan lawan jenis, 6)

hubungan dengan suami/isteri, dan 7) tanggung jawab orang tua kepada

anak.

Dalam Islam, pendidikan karakter saja ternyata belum cukup

membentuk pribadi yang sempurna. Orang China dan Jepang bisa meraih

kesuksesan karena mereka memiliki karakter yang baik, kendatipun

kebanyakan mereka tidak beragama Islam. Yang diperlukan orang muslim

Indonesia adalah yang berkarakter dan beradab. Menurut Naquib al-Attas,

adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan

kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan

derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.”26

Jadi akhlak yang baik harus senantiasa dimiliki oleh orang-orang Islam

24

Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak menurut Islam Pendidikan Sosial Anak, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1990),2.

25

Marzuki, Pendidikan Karakter dalam Keluarga Perspektif Islam,…….., 1. 26

(41)

31

seiring dengan predikat khalifah di bumi yang melekat dalam sosok

pribadinya. Hal ini bisa dibentuk lewat proses pendidikan yang salah

satunya lewat pendidikan keluarga.

3. Penanaman Nilai-nilai Karakter pada Anak Usia Dini

Pendidikan karakter adalah upaya untuk menanamkan

kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga peserta didik mampu bersikap maupun

bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya.

Thomas Lickona menjelaskan bahwa karakter terdiri atas tiga hal yang

saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan

tentang moral (moral feeling) dan perilaku bermoral (moral behavior).

Artinya, manusia yang berkarakter adalah individu yang mengetahui

kebaikan (knowing the good), menginginkan dan mencintai kebaikan (loving

the good) dan melakukan kebaikan (acting the good). 27 Jadi dalam

pendidikan karakter ada tiga ranah yang harus diintegrasikan yaitu ranah

kognisi (knowing), ranah afektif (feeling) dan ranah psikomotor (acting).

Keberhasilan pendidikan karakter harus melibatkan ketiga ranah ini secara

terintegratif.

Secara umum pendidikan pada anak usia dini bertujuan untuk

membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik,

intelektual, emosional,moral dan agama secara optimal pada anak dalam

lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis dan kompetitif . Terkait

27

(42)

32

dengan kompetensi moral dan nilai-nilai agama pada anak, dijabarkan lagi

secara rinci dalam beberapa indikator perilaku semenjak usia 1 hingga usia 6

tahun sebagai berikut. 28

a. Mengucapakan doa-doa pendek.

b. Menyayangi dan memelihara semua ciptaan Tuhan.

c. Mulai menirukan gerakan-gerakan doa/Ṣalat yang dilaksanakan orang

dewasa.

d. Berdoa sebelum dan sesudah memulai kegiatan.

e. Melaksanakan ibadah agama.

f. Menyayangi dan memelihara semua ciptaan Tuhan.

g. Mencintai tanah air.

h. Mengenal musyawarah dan mufakat.

i. Cinta antara sesama suku bangsa Indonesia.

j. Mengenal sopan santun dengan berterima kasih.

k. Mengucap salam bila bertemu dengan orang lain.

l. Berlatih untuk selalau tertib dan patuh pada aturan.

m. Mengurus diri sendiri.

n. Menjaga kebersihan lingkungan.

o. Bertanggungjawab terhadap tugas yang diberikan.

p. Rapi dalam bertindak, berpakaian dan bekerja.

q. Menjaga kebersihan lingkungan.

28

(43)

33

r. Sopan santun.

s. Bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini29 menetapkan ada

lima belas nilai-nilai yang dipandang sangat penting dikenalkan dan

diinternalisasikan ke dalam perilaku anak usia dini, yaitu sebagai berikut.

b. Kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

a. Kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

b. Kejujuran.

c. Disiplin.

d. Toleransi dan cinta damai.

e. Percaya diri.

f. Mandiri.

g. Tolong menolong, kerjasama, dan gotong royong.

h. Hormat dan sopan santun.

i. Tanggung jawab.

j. Kerja keras.

k. Kepemimpinan dan keadilan.

l. Kreatif.

m. Rendah hati.

n. Peduli lingkungan.

o. Cinta bangsa dan tanah air

29

(44)

34

Berdasarkan banyak pandangan dari para ahli tentang nilai-nilai

karakter, peneliti mencoba menggunakan nilai-nilai yang telah ditetapkan

oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini ini pada fase

moralitas heteronom yang menurut Piaget yaitu umur 4-7 tahun, dalam

mengkaji secara empiris terkait peran ayah dan bunda dalam penanaman

karakter anak usia dini.

C.Kajian Teoritik Anak Usia Dini

1. Hakekat Anak Usia Dini

Anak usia dini menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 ini

adalah anak yang berumur 0-6 tahun. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)

menerangkan bahwa upaya mengoptimalkan tumbuh kembang anak

merupakan suatu pemikiran dan pandangan serta semangat yang harus

tumbuh di masyarakat. Tiga tahun pertama usia anak merupakan periode

emas atau masa kritis untuk optimalisasi proses tumbuh kembang dan

merupakan masa yang tepat untuk menyiapkan seorang anak menjadi

dewasa yang unggul di kemudian hari. Proses pembentukan karakter yang

menjadi bahasan pada penelitian ini adalah bagian dari proses

perkembangan, termasuk dalam hal ini diantaranya adalah perkembangan

emosi, intelektual, dan tingkah laku.30

30

Ikatan Dokter Anak Indoensia (IDAI) Jawa Timur, Deteksi Dini Tanda dan Gejala

(45)

35

Selanjutnya IDAI31 menyatakan bahwa anak membutuhkan beberapa

kebutuhan dasar untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Tidak

terpenuhinya kebutuhan dasar pada masa awal kehidupannya dapat

berdampak kegagalan mencapai tahapan pertumbuhan dan perkembangan

berikutnya bahkan bisa menjadi sebuah kecacatan permanen seumur

hidupnya. Kebutuhan dasar anak ini ada tiga, yaitu: asuh, asih dan asah.

Asuh adalah kebutuhan fisik biomedis, meliputi nutrisi, imunisasi, hygiene,

pengobatan, pakaian, tempat tinggal, sanitasi, lingkungan dan lain-lain. Asih

adalah kebutuhan emosi atau kasih sayang, yang pada tahun-tahun pertama

kehidupan hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu/pengganti ibu

dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang

anak yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kekurangan kasih

sayang ibu pada tahun-tahun pertama kehidupan mempunyai dampak negatif

pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial emosi. Asah

adalah kebutuhan akan stimulasi mental, yang merupakan awal proses

belajar pada anak. Stimulasi mental ini mengembangkan perkembangan

mental psikososial, kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreatifitas,

agama, kepribadian, moral-etika, dan produktifitas. Pada penelitian ini

memfokuskan dan menekankan pada proses asah yaitu memberikan

stimulasi mental.

31

(46)

36

Berdasar studinya tentang riwayat pendidikan anak nakal, Glueck

dalam Hurlock (1991) menarik kesimpulan bahwa remaja yang berpotensi

nakal dapat diidentifikasi sejak dini pada usia dua atau tiga tahun terlihat

dari perilaku antisosialnya. Begitu pula pada orang dewasa yang kreatif telah

ditunjukkan pada masa anak dengan perhatiannya pada permainan imajinatif

dan kreatif. Dengan demikian masa anak-anak terutama masa usia dini

merupakan masa yang "kritis " dalam menanamkan berbagai kebiasaan

anak. Berdasar pada karakteristik usia dini yang menurut DAP adalah 0-8

tahun, anak usia dini dibagi menjadi: 1) Usia 0-1 tahun merupakan masa

bayi, 2) Usia 1-3 tahun merupakan masa Toddler (BATITA), 3) Usia 6

tahun merupakan masa pra sekolah, 4) usia 6-8 tahun merupakan masa SD

kelas awal.32

Berdasarkan Permendikbud RI Nomor 137 Tahun 2014 tentang

Standar Nasional PAUD33 pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa Standar Tingkat

Pencapaian Perkembangan Anak Usia Dini selanjutnya disebut STPPA

adalah kriteria tentang kemampuan yang dicapai anak pada seluruh aspek

perkembangan dan pertumbuhan, mencakup aspek nilai agama dan moral,

fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, serta seni. Pada penelitian

ini hanya aspek perkembangan nilai agama dan moral yang menjadi bahasan

penelitian. Selanjutnya pada pasal 7 ayat 5 dinyatakan bahwa pencapaian

32

Farida Agus Setiawati, “ Pendidikan Moral dan Nilai-nilai Agama pada Anak Usia Dini……….., 42.

33

(47)

37

pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal membutuhkan

keterlibatan orang tua dan orang dewasa serta akses layanan PAUD yang

bermutu. Pada klausul ini jelas dinyatakan bahwa proses pencapaian tumbuh

kembang seorang anak usia dini agar optimal, tidak hanya menjadi tanggung

jawab lembaga PAUD saja, tetapi juga tanggung jawab orang tua. Adapun

pembagian tahapan anak usia dini dijelaskan pada pasal 8 yaitu bahwa

pentahapan usia dalam STPPA terdiri dari: a). Tahap usia lahir - 2 tahun,

terdiri atas kelompok usia: Lahir - 3 bulan, 3- 6 bulan, 6 - 9 bulan, 9 -12

bulan, 12 - 18 bulan, 18 - 24 bulan; b). Tahap usia 2 - 4 tahun, terdiri atas

kelompok usia: 2 - 3 tahun dan 3 - 4 tahun; dan c). Tahap usia 4 - 6

tahun, terdiri atas kelompok usia: 4 - 5 tahun dan 5 - 6 tahun.

2. Perkembangan Moral pada Anak Usia Dini

Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan

perilaku tentang standar mengenai benar atau salah. Perkembangan moral

memiliki dua dimensi yaitu intrapersonal, yang mengatur aktivitas

seseorang ketika dia tidak terlibat dalam interaksi sosial dan interpersonal

yang mengatur interaksi social dan penyelesaian konflik (Gibbs, 2003;

Power, 2004; Walker & Pitts, 1998) dalam Santrock34.

Usia dini adalah usia yang kritis dalam proses perkembangan. Seperti

dinyatakan oleh Hurlock35 bahwa sikap, kebiasaan, dan pola perilaku yang

34

John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi Kesebelas Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 117.

35

(48)

38

dibentuk selama tahun-tahun pertama, sangat menentukan seberapa jauh

individu-individu berhasil menyesuaikan diri dalam kehidupan ketika

mereka bertambah tua.

Piaget dalam Santrock36 membagi perkembangan moral pada anak

menjadi dua tahap, yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom.

a. Moralitas heteronom, dialami anak berusia 4-7 tahun. Pada tahap ini anak

berpikir bahwa keadilan dan properti dunia yang tidak bisa diubah, dan

tidak dikontrol oleh orang. Anak menilai kebenaran atau kebaikan

perilaku berdasarkan konsekuensinya, bukan niat pelaku. Ketika anak

berkembang ke tahap moral otonom, niat mulai lebih dipertimbangkan.

Pemikir heteronom mempercayai bahwa aturan tidak bisa diubah. Hal ini

berdasarkan pengalaman ketika Piaget menyarankan pada anak-anak agar

membuat peraturan baru dalam bermain kelereng mereka menolak.

Sebaliknya anak yang lebih tua (moral otonom) menerima perubahan dan

menyadari bahwa peraturan adalah konvensi yang disepakati dan dapat

diubah. Pemikir heteronom juga percaya akan adanya immanent justice,

sebuah konsep bahwa ketika peraturan dilanggar, maka hukuman akan

langsung mengiringi pelanggaran tersebut.

b. Tahap transisi, dialami anak yang berusia 7-10 tahun. Pada tahap ini anak

menunjukkan sebagian ciri-ciri moralitas heteronom dan sebagian ciri

moralitas otonom.

36

(49)

39

c. Moralitas otonom, dialami anak berusia di atas 10 tahun. Pada tahap ini

anak sadar bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh manusia, dan ketika

menilai sebuah perbuatan dengan mempertimbangkan niat dan juga

konsekuensinya.

Berdasar karakteristik tahap perkembangan moral tersebut diatas,

perkembangan moral anak usia dini termasuk dalam tahap perkembangan

moral heteronom dengan berbagai karakteristik seperti tersebut di atas. Pada

penelitian ini, berdasarkan pentahapan Piaget, penanaman nilai-nilai

karakter dilakukan pada tahap moral heteronom, sehingga diharapkan ketika

anak menginjak tahap moral otonomi, ia menggunakan sisi kebaikannya

dalam bertindak atau memutuskan sikap yang mengandung kebenaran dalam

menghadapi tantangan atau masalah. Jadi penanaman nilai pada tahap moral

heteronom adalah untuk mempersiapkan seorang anak ketika memasuki

moral otonomi.

Kohlberg dalam Santrock 37 menguraikan perkembangan moral

menjadi tiga tingkatan, yang masing-masing tingkatan dikelompokkan

dalam dua tahap.

a. Penalaran prakonvensional

Adalah tingkat terendah dalam penalaran moral. Pada tingkat ini baik

dan buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment

(hukuman) eksternal.

37

(50)

40

1) Tahap 1. Moralitas heteronom

Pada tahap ini penalaran moral terkait dengan punishment. Sebagai

contoh, anak berpikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut

hukuman terhadap perilaku membangkang.

2) Tahap 2. Individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran

Pada tahap ini penalaran individu yang memikirkan kepentingan diri

sendiri dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Mereka berpikir jika

mereka baik terhadap orang lain, orang lain juga akan baik terhadap

mereka.

b. Penalaran konvensional

Pada tingkatan ini, individu memberlakukan standar tertentu, tetapi

standar ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua atau

pemerintah.

1) Tahap 3. Ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang

lain, dan konformitas interpersonal

Pada tahap ini, individu menghargai kepercayaan, perhatian, dan

kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar penilaian moral. Anak dan

remaja sering kali mengadopsi standar moral orang tua agar dianggap

oleh orang tua sebagai anak yang baik.

2) Tahap 4. Moralitas sistem sosial

Pada tahap ini, penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang

(51)

41

contoh, remaja mungkin berpikir, supaya komunitas dapat bekerja

dengan efektif perlu dilindungi oleh hukum yang diberlakukan

terhadap anggotanya.

c. Penalaran pascakonvensional

Pada tingkatan ini, individu menyadari adanya jalur moral

alternatif, mengeksplorasi pilihan ini, lalu memutuskan berdasarkan kode

moral personal.

Pada anak usia dini, perkembangan moral anak menurut Kohlberg

ini termasuk pada tingkat perkembangan moral yang pertama, yaitu

moralitas pra konvensional. Karakteristik khas pada tingkat ini tingkah

laku anak tunduk pada peraturan dari luar. Pada tahap pertama perilaku

anak dikendalikan oleh akibat fisik yang ditimbulkan dari perbuatannya

yang biasanya muncul dalam bentuk hadiah dan hukuman. Misalnya anak

tidak memukul adiknya ketika marah disebabkan karena takut apabila

dimarahi atau dihukum orang tuanya. Pada tahap kedua anak berperilaku

moral untuk mendapatkan penghargaan, misalnya anak senang membantu

orang tua karena ingin mendapatkan hadiah, pujian ataupun perlakuan

baik yang diberikan orang tua atau orang dewasa lain di sekitarnya.

Setelah tingkat pertama dilalui, perilaku anak akan meningkat pada

(52)

42

moral anak dikendalikan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang

sudah ditetapkan atau disepakati.

Pada tingkat ketiga disebut juga tahap pasca konvensional. Pada

tahap terakhir ini perilaku anak sudah dikendalikan oleh nilai atau

prinsip-prinsip yang dipegangnya, sehingga memungkinkan memegang

nilai-nilai atau aturan secara luwes. Mendasarkan pada pentahapan

Kohlberg, penanaman nilai-nilai karakter pada penelitian ini dilakukan

pada tahap pra konvensional, sehingga diharapkan ketika anak menginjak

tahap konvensional dan pasca konvesional, ia mampu menangkal

keburukan dalam bertindak atau bisa menghindari memutuskan sikap

yang salah dalam menghadapi tantangan atau masalah. Jadi penanaman

nilai pada tahap pra konvensional adalah untuk mempersiapkan seorang

anak ketika memasuki tahap konvensional dan pasca konvensional.

D.Kajian Teoritik Pendidikan Keluarga

1. Pendidikan Keluarga

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa jalur pendidikan

terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling

melengkapi dan memperkaya. Dalam Pasal 28 ayat (2) dinyatakan bahwa

pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan

formal, nonformal, dan/atau informal. Jalur pendidikan yang dipakai pada

(53)

43

seperti dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) bahwa kegiatan pendidikan

informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan

belajar secara mandiri.

Ada beberapa kenyataan mengenai pentingnya pendidikan anak dalam

keluarga. Seperti dinyatakan oleh Soelaeman38 sebagai berikut.

a. bahwa anak dilahirkan dalam keluarga.

b. bahwa saat dilahirkan ia belum dapat apa-apa dan karena itu perlu

bantuan dari orang sekitarnya.

c. bahwa bantuan yang sangat vital bagi anak ialah pendidikan.

Selanjutnya Soelaeman39 menyatakan bahwa pendidikan keluarga

lebih ditujukan ke arah pendidikan anak, ke arah pembinaan pribadi anak

yang dilaksanakan dalam keluarga, agar kelak mereka mampu melaksanakan

kehidupannya sebagai manusia dewasa, baik sebagai pribadi maupun

sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat. Berdasarkan pernyataan

ini tergambar bahwa pendidikan keluarga memegang peranan menyiapkan

seseorang anak untuk menapaki kehidupan di masyarakat dengan

kepribadian yang matang ketika dewasa.

Secara psikologi, perkembangan seorang anak sangat dipengaruhi oleh

kedua orang tuanya, apalagi di saat usia dini dimana anak pada usia ini

masih sangat bergantung pada kedua orang tuanya. Pada kondisi seperti ini

bila kedua orang tuanya bisa memberikan stimulasi yang pas, maka

Gambar

Tabel  1.1  Perkelahian Pelajar di DKI Jakarta
Gambar 1.1 Diagram Tahapan Golden Age pada Anak
Tabel 2.1. Definisi Karakter, Akhlak, Moral, Etika dan Susila Berdasar KBBI
Tabel 3.1 Instrumen Penilaian Nilai Karakter Anak Informan di Sekolah
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penyelesaian busana diperlukan pola yang sudah sesuai dengan ukuran si pemakai. Pola tersebut diperlukan agar busana yang dijahit memiliki lekuk-lekuk tubuh

Berkat rahmat dan izin Allah SWT, penulis telah dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “ Penerapan Model Pembelajaran Tipe Inside Outside Circle (IOC)

Apabila pencairan MLD sebelum Tanggal Jatuh Tempo atas permohonan Nasabah tidak dapat dihindari, maka Bank tidak menjamin pengembalian pokok sebesar 100% dan Nasabah wajib

bagian bawah jenis tanaman kantong semar. “ Engga sih, tetapi sebagian besar yang kami lihat menunjukkan adanya pembesaran pada bagian bawah, malah ada yang seperti

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra. ©RIO RIZKY

Kesimpulan : Efektifitas daya anthelmintik perasan dan infusa rimpang temu ireng ( Curcuma aeruginosa Roxb. ) masih di bawah piperazin citrat. Daya anthelmintik infusa rimpang

[r]

The elementary level private university students carry out a number of tactics/tricks to reduce their speaking anxiety as problem solution which could be categorized into a group of