PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER BAGI ANAK USIA
DINI FASE MORALITAS HETERONOM DALAM
KELUARGA MELALUI PERAN
KEAYAHBUNDAAN
(Studi Kasus di PAUD Cahaya Tazkia Surabaya)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Pendidikan Agama Islam
Oleh Muhamad Noval NIM. F13213149
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER BAGI ANAK USIA DINI FASE MORALITAS HETERONOM DALAM KELUARGA MELALUI
PERAN KEAYAHBUNDAAN
(Studi Kasus di PAUD Cahaya Tazkia Surabaya)
Nama Mahasiswa/NIM: Muhamad Noval/ F13213149 Pembimbing: Dr. Husniyatus Salamah Zainiyati, M. Ag
ABSTRAK
`Tesis ini dilaksanakan berdasarkan masih adanya tindakan amoral di Indonesia, seperti: korupsi, perjudian, tawuran pelajar, kecurangan pelaksanaan ujian nasional, kejahatan seksual. Penelitian ini merupakan upaya melalui proses pendidikan yaitu proses penanaman karakter, yang diberikan pada anak usia dini fase moralitas heteronom yaitu umur 4-7 tahun dalam keluarga, melalui peran keayahbundaan.
Tujuan penelitian ini yaitu mendiskripsikan peran keayahbundaan untuk penanaman nilai-nilai karakter bagi anak usia dini fase moralitas heteronom dalam keluarga di PAUD Cahaya Tazkia Surabaya. Metode penelitian yang digunakan adalah deskripsi kualitatif, sumber data empiris yaitu 5 orang siswa TK Cahaya Tazkia Surabaya beserta ayah dan ibunya, Kepala dan pendidik TK Cahaya Tazkia Surabaya. Teknik pengumpulan data yaitu: wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Nilai karakter yang dieskplorasi yaitu cinta pada Allah, jujur, disiplin dan tanggung jawab. Teknik analisis data yaitu: reduksi data, paparan data, dan penyimpulan. Pengecekan keabsahan data yaitu: kredibiltas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran ayah dan ibu sangat besar pengaruhnya dalam proses penanaman karakter anak usia dini fase moralitas heteronom. Peran ini meliputi dalam memberikan pengertian suatu nilai karakter yang dijelaskan dalam bentuk simbol-simbol. Juga memberikan penghayatan dari suatu nilai karakter. Peran selanjutnya adalah memberikan keteladanan. Peran berikutnya yaitu mengkondisikan anak dapat membiasakan atau mengimplementasikan suatu nilai karakter. Pemberian sangsi yang tegas dan konsisten memberikan pengaruh nyata dalam proses penanaman karakter. Sangsi yang baik adalah sangsi yang demokratis yaitu sangsi yang dibicarakan bersama dengan anak, dan merupakan kesepakatan antara orang tua dan anak, dan bukan sangsi fisik yang menyakitkan.
DAFTAR ISI
Pernyataan Keaslian ii
Persetujuan iii
Pengesahan Tim Penguji iv
Pedoman Transliterasi v
Abstrak vii
Ucapan Terima Kasih viii
Daftar Isi ix
Daftar Gambar xi
Daftar Tabel xii
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah 10
C. Rumusan Masalah 12
D. Tujuan Penelitian 12
E. Kegunaan Penelitian 12
F. Penelitian Terdahulu 13
G. Sistematika Pembahasan 16
II. KAJIAN PUSTAKA 17
A. Kajian Teoritik Karakter 17
B. KajianTeoritik Penanaman Nilai Karakter 21
C. Kajian Teoritik Anak Usia Dini 34
D. KajianTeoritik Pendidikan Keluarga 42
E. Peran Ayah dan Bunda Terhadap Penanaman Nilai-nilai 45
Kakakter pada Fase Moralitas Heteronom
III. METODE PENELITIAN 47
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 47
C. Metode Pengumpulan Data 49
D. Teknik Analisis Data 53
E. Pengecekan Keabsahan Data 55
IV. HASIL PENELITIAN 58
A. Paparan Hasil Penelitian 58
B. Pembahasan 95
V. PENUTUP 111
A. Kesimpulan 111
B. Rekomendasi 111
DAFTAR KEPUSTAKAAN 113
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 Panduan Wawancara 116
Lampiran 2 Data Hasil Eksplorasi 127
Lampiran 3 Surat-surat/Keterangan Penelitian 155
a. Surat Keterangan Melakukan Penelitian
b. Daftar Nama-nama Santri TK Cahaya Tazkia
Kelompok TK B (Abu Bakar)
c. Data Guru/Pegawai dan Karyawan TK Cahaya Tazkia
d. Permohonan Izin Penelitian dari Direktur Pascasarjana
UINSA kepada Kepala PAUD Cahaya Tazkia Surabaya
e. Kartu Konsultasi Tesis
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional telah terumuskan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas). Pada pasal 3 UU Sisdiknas, disebutkan “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu
merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus
dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan
pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya
dan karakter bangsa.
Berbagai kasus yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kejahatan,
kenakalan remaja, kejahatan seksual, perjudian dan kasus-kasus lain sering kali
menjadi berita hangat di media cetak dan media elektronik. Seperti yang
diungkapkan oleh Nurcholis Madjid tentang perjudian yang merebak dan
merajalela di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
2
judi dilarang, berilah jalan lain untuk mendapatkan sumber dana bagi
pembangunan ibukota!” Pernyataan ini membuat sebagian agamawan bersikap
tidak mau tahu lagi, dan hati nuraninya mengatakan: “Biarlah pengalaman
nyata memberi pelajaran sendiri apakah judi itu lebih banyak gunanya atau
kerusakannya.” 1 Dalam konteks pembangunan ekonomi, kegiatan judi
bukanlah kegiatan yang produktif, bahkan terkait dengan tindakan asusila yang
lain seperti minuman keras, dan eksploitasi seks. Maka efek negatif ini bisa
menimbulkan kerugian moral yang jauh lebih besar dibanding pemasukan
ekonomi dari pajak perjudian, karena masih bisa dicari sumber-sumber
pemasukan ekonomi yang lain.
Begitu pula kasus pencurangan Unas seperti ditulis Harian Kompas2
bahwa beberapa guru dan kepala sekolah di Kabupaten Lamongan diduga
sebagai pangkal kebocoran jawaban ujian nasional tingkat SMA tahun 2014 di
Jawa Timur. Modus operandinya guru pengawal soal Unas mencuri naskah
soal ujian, dalam berita acara tetap dituliskan lengkap, meskipun naskah tidak
lengkap karena ada sebagian yang diambil. Naskah yang diambil ini nantinya
dikembalikan saat Unas berlangsung, bersekongkol dengan guru pengawas
ujian. Soal yang dicuri ini kemudian dikerjakan oleh para guru, hingga semua
jawaban bisa diperoleh. Dalih persekongkolan guru pengawal soal dan guru
pengawas ujian ini adalah untuk menyukseskan hasil ujian anak didik.
Kumpulan kunci soal yang disimpan dalam bentuk file-file ini diperjualbelikan
1
Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1994), 35-36.
2
3
di Surabaya dan tertangkap. Kasus ini menggambarkan tentang nilai kejujuran
yang masih belum diterapkan oleh sebagian insan pendidikan di Indonesia.
Ada juga fenomena mengharukan di negara kita Indonesia yang
menggambarkan krisis moral adalah adanya tawuran pelajar. Dikatakan krisis,
karena Islam mengajarkan kasih sayang pada semua mahluk ciptaan Allah,
tidak terkecuali terhadap binatang dan tumbuhan, apalagi terhadap sesama
manusia. Perkelahian pelajar terjadi hampir di seluruh kota-kota besar di
Indonesia seperti Ujungpandang, Jakarta, Medan dan Surabaya. Sebagai contoh
data perkelahian pelajar yang terjadi di DKI Jakarta, berdasarkan data yang
dikumpulkan oleh Polda Metro Jaya, disajikan pada tabel berikut ini.3
Tabel 1.1 Perkelahian Pelajar di DKI Jakarta
Tahun Kasus Ditangkap Tewas
1991 260 1.505 6
1992 167 987 11
1993 80 375 10
1994 183 1.261 10
1995 194 1.245 13
1996 150 1.842 19
1997(Jan-Peb) 10 150 0
1998 230 1.866 15
1999 193 2.083 32
2000 197 1.505 28
2001 123 503 23
2002 sampai Okt
113 493 13
3
4
Bila dilihat data di atas, sungguh merupakan angka yang fantastik, dalam
satu tahun untuk satu propinsi DKI Jakarta bisa terjadi ratusan kasus kekerasan
pelajar yang melibatkan ribuan pelajar secara umum, dan mengakibatkan
puluhan pelajar tewas. Pelajar yang mestinya fokus belajar menuntut ilmu,
bersosialisasi sesama teman pelajar dalam rangka belajar saling tukar menukar,
saling melengkapi ilmu yang diserap, bisa berubah perilaku menjadi pelajar
yang brutal, tidak memiliki rasa kasih sayang, tidak berperikemanusiaan,
berlaku seperti binatang.
Tiga data kasus amoral di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus
amoral yang terjadi di negara kita Indonesia, yang tentunya memerlukan
penanganan serius agar bisa terkurangi. Upaya pemerintah mengatasi hal
tersebut dilakukan melalui penegakan hukum dengan menghukum para pelaku
pelanggaran. Upaya tersebut merupakan upaya top down dan belum menyentuh
ke akar penyebab mengapa si pelaku sanggup melakukan tindakan kurang
terpuji tersebut. Seperti diberitakan Harian Jawa Pos4 bahwa sekeluarga
mendirikan home industry sabu-sabu dengan kapasitas produksi 1 kg senilai Rp
1.000.000.000,00, setelah salah satu anggota keluarga tersebut mendekam di
penjara dan mempelajari cara membuat sabu-sabu dari sesama tahanan.
Berdasarkan kenyataan ini perlu dilengkapi upaya bottom up yakni secara
personal, orang enggan melakukan tindak kejahatan karena ia meyakini hal
4
5
tersebut tidak sesuai dengan tata nilai yang dianutnya. Upaya bottom up
dilakukan melalui proses pendidikan, khususnya pendidikan karakter.
Pendidikan karakter adalah tanggung jawab bersama bagi semua pihak
baik guru, orang tua dan masyarakat. Seorang anak belajar dari tiga
lingkungan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan keluarga
adalah tempat awal seorang anak belajar, yaitu mulai dalam kandungan dan
masa bayi. Baru mulai usia dua tahun disamping belajar di keluarga, seorang
anak mulai belajar di sekolah jika dimasukkan ke Kelompok Bermain (play
group), dan mulai belajar di masyarakat ketika seorang anak berinteraksi
dengan tetangga dan lingkungan masyarakat lainnya. Maka dalam penelitian
ini mencoba menguak bagaimana penanaman nilai-nilai karakter dalam
lingkungan keluarga, dimana seorang anak usia dini memulai proses belajar.
Mengingat keluarga adalah fondasi utama dalam pendidikan anak, maka
penulis memandang, bahwa pendidikan karakter dalam keluarga memiliki
posisi yang sangat strategis dalam menyiapkan karakter anak agar dihasilkan
generasi dengan karakter yang mulia sesuai dengan amanat undang-undang
tentang sistem pendidikan nasional.
Keluarga menjadi tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak.
Marzuki 5 menyatakan keluarga adalah komponen pembentuk (“building
block”) masyarakat. Keluarga yang tangguh akan menciptakan masyarakat
yang tangguh pula. Lebih luas lagi, masyarakat adalah komponen pembentuk
5
6
negara, sehingga keluarga yang harmoni menjadi modal yang sangat berarti
dalam pembentukan negara yang kuat dan maju. Sebaliknya, keluarga yang
carut marut menjadi ancaman serius bagi kemajuan dan kekuatan suatu negara.
Fachrudin6 menuliskan bahwa mendidik anak dalam keluarga merupakan
kewajiban paling utama. Memberi ketauladanan adalah salah satu hal penting
dalam proses pendidikan anak.
Selanjutnya, mengapa penelitian ini mengambil segmen anak usia dini?
DAP (Developmentally Aprropriate Practices) yaitu acuan Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) yang diterbitkan oleh asaosiasi PAUD di Amerika,
menjelaskan bahwa anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia
sejak lahir hingga 8 tahun. Masa anak usia dini atau usia 0-8 tahun ini sering
disebut sebagai the golden year, karena pada masa ini berbagai kemampuan
anak tumbuh dan berkembang sangat pesat. 7 Benjamin S. Bloom dalam Munif
Chatib8 menyatakan bahwa pada saat anak berusia 4 tahun, separuh potensi
intelektualnya sudah terbentuk sehingga apabila pada usia 0-4 tahun seorang
anak tidak mendapat rangsangan otak yang tepat, kinerja otaknya tidak dapat
berkembang secara maksimal. Pada usia 8 tahun kinerja otak berkembang
mencapai 80% dan selanjutnya akan mencapai 100% pada usia 18 tahun. Hal
ini tergambar pada diagram berikut.
6
Fachrudin,” Peranan Pendidikan Agama dalam Keluarga”, Jurnal Pendidikan Agama Islam- Ta’lim, Vol. 9 No.1-2011.
7
Farida Agus Setiawati, “ Pendidikan Moral dan Nilai-nilai Agama pada Anak Usia Dini: Bukan Sekedar Rutinitas”, Paradigma, No. 02 Th. I ISSN-297X, (Juli, 2006), 42.
8
7
Gambar 1.1 Diagram Tahapan Golden Age pada Anak
Piaget dalam Santrock9 membagi perkembangan moral pada anak menjadi
dua tahap, yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom. Tahap moralitas
heteronom terjadi pada anak usia 4-7 tahun. Sedangkan tahap moralitas otonom
terjadi pada anak usia di atas 10 tahun. Diantara dua tahap ini ada tahap transisi
yaitu usia 7-10 tahun. Pada tahap moralitas heteronom ini anak menilai
kebenaran atau kebaikan perilaku berdasarkan konsekuensinya, bukan niat
pelaku. Ketika anak berkembang ke tahap moral otonom, niat mulai lebih
dipertimbangkan. Berdasarkan tahapan Piaget ini maka penanaman nilai-nilai
karakter pada tahap moralitas heteronom lebih mudah dibanding tahap moral
otonom, karena pada tahap moralitas heteronom anak masih memiliki rasa
takut akan konsekuensi dari perbuatannya, sehingga memudahkan penanaman
nilai-nilai karakter. Sedangkan pada tahap moral otonom sudah ada niat
terhadap suatu tindakan yang bisa mengarah pada kebaikan atau mengarah
pada keburukan tergantung kebutuhannya, maka pada tahap ini akan lebih sulit
9
John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi Kesebelas Jilid 2…….., 117-118.
20%
8-18 tahun
30%
4-8 tahun
50%
8
dalam penanaman nilai karakter dibanding tahap moralitas heteronom. Hal ini
yang mendasari peneliti mengambil tahap moralitas heteronom untuk
penanaman nilai karakter pada anak usia dini.
Dalam kaca mata Islam, karakter identik dengan akhlak. Islam meletakkan
akhlak dalam kedudukan yang sangat utama. Dalam salah satu Hadisnya
Rasulullah SAW. bersabda:
ق ﺧا
امرﺎ
ﺜ
ﺎ إ
“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlakyang mulia” (Diriwayatkan Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi dan
sanadnya shahih).10
Dalam al-Quran QS. al-Qalam [68]: 4), Allah menegaskan:
ﻈ ﺧ ﻰ إو
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”11
Karena karakter sama dengan akhlak, maka pendidikan karakter sebenarnya
telah tercakup dalam pendidikan Islam.
Keyakinan seseorang terhadap tata nilai bisa mengakar kuat melalui proses
pendidikan, oleh karena itu pemerintah menggaungkan pendidikan karakter
sebagai salah satu cara untuk mencoba atasi krisis karakter yang dihadapi
bangsa Indonesia saat ini. Hasil dari pendidikan akan kelihatan dampaknya
setelah berlangsung dalam waktu yang relatif lama, tetapi memiliki kekuatan
10
Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi, Buku Putih Ihya ‘Ulumuddin Imam Al-Ghazali, (Bekasi: PT Darul Falah, 2013), 301.
11
9
yang lebih besar daripada sekedar upaya penanggulangan atau penegakan
peradilan.
PAUD Cahaya Tazkia yang digunakan sebagai tempat penelitian
diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada
bulan Mei 2011. Ada tiga kelompok yang diselenggarakan yaitu Tempat
Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), dan Taman Kanak-kanak
(TK). Proses penanaman karakter diberikan pada kelompok KB dan TK.
Beberapa proses penanaman karakter yang diberikan yaitu sebagai berikut.
1. Datang tidak terlambat (karakter disiplin).
2. Baris berbaris (karakter disiplin).
3. Antri masuk kelas (karakter disiplin).
4. Bacaan asmaul husna (karakter cinta Allah).
5. Doa mulai belajar (karakter cinta Allah).
6. Ṣalat Ḍuha bersama (karakter cinta Allah).
7. Menaruh tas dan sepatu pada tempatnya (karakter disiplin).
8. Mengambil tas sesuai namanya (karakter jujur).
9. Doa sebelum dan sesudah makan (karakter cinta Allah).
10. Bermain sesuai aturan (karakter disiplin).
11. Doa setelah belajar (karakter cinta Allah).
12. Membereskan mainan (karakter tanggung jawab).
Namun dengan perlakuan yang sama seperti di atas menghasilkan karakter
10
keluarga, karena anak pada umur ini sangat dekat dengan ayah dan ibunya. Hal
ini yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian penanaman karakter
dalam keluarga melalui peran keayahbundaan. Selain itu penelitian ini
menggunakan kelompok TK B yaitu kelompok akhir pada PAUD dengan
pertimbangan proses penanaman karakter telah banyak dilakukan sehingga
implementasi karakter anak lebih nampak.
B.Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas dapat dilihat
bahwa kemerosotan moral menjangkiti elemen bangsa ini mulai orang dewasa,
sampai anak-anak usia sekolah, dengan berbagai ragam bentuk amoralisasi.
Upaya top down yang telah dilakukan pemerintah dengan penegakan
hukum bagi para pelanggar moral, perlu dilengkapi upaya bottom up yakni
mengkondisikan secara personal memiliki kesadaran untuk tidak melakukan
tindakan amoral.
Upaya bottom up ini dilakukan dengan proses penanaman nilai-nilai
karakter melalui proses pendidikan. Seorang anak akan belajar dari tiga
lingkungan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Belakangan mulai muncul
kesadaran pentingnya peran keluarga dalam proses pendidikan, sampai-sampai
Kementerian Pendidikan Kebudayaan membentuk Direktorat Pembinaan
Pendidikan Keluarga pada tahun 2015, hal ini yang menginspirasi peneliti
untuk melakukan penelitian peran keluarga melalui peran keayahbundaan
11
Proses penanaman nilai-nilai karakter dilakukan pada anak didik mulai
jenjang PAUD, SD, SLTP, dan SLTA. Peneliti tertarik mengambil segmen
pada jenjang PAUD karena pada jenjang usia dini berbagai kemampuan anak
tumbuh dan berkembang sangat pesat. Sehingga stimulasi pada jenjang usia ini
akan mendapat respon yang sangat baik.
Berdasarkan tahapan pengembangan moral Piaget, peneliti mengkaji
penanaman nilai-nilai karakter pada tahap moralitas heteronom. Hal ini karena
pada tahapan ini seorang anak masih sangat mempertimbangkan konsekuensi
dari perbuatannya tanpa ada niat berperilaku dari dirinya, sehingga lebih
mudah untuk dilakukan penanaman nilai karaketr dibanding pada tahap moral
otonom, karena pada tahap moral otonom seseorang sudah memiliki niat
berperilaku sesuai kebutuhannya.
Batasan masalah:
1. Berdasarkan permasalahan banyaknya tindakan amoral di Indonesia yang
diungkap di atas, perlu upaya penanganan secara dini melalui penanaman
nilai-nilai karakter.
2. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak,
Marzuki menyatakan bahwa keluarga adalah komponen pembentuk
masyarakat.
3. Pada usia dini perkembangan otak sangat cepat seperti dinyatakan oleh
Benjamin S. Bloom, sehingga akan efektif dalam menanamkan nilai-nilai
12
4. Berdasarkan tahapan perkembangan moral Piaget, tahapan fase moral
heteronom lebih mudah untuk dilakukan penanaman nilai karakter
dibanding fase moral otonom.
C.Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah dijabarkan di atas, maka akan
dikaji secara empiris masalah berikut:
“Bagaimana peran keayahbundaan untuk penanaman nilai-nilai karakter bagi
anak usia dini fase moralitas heteronom dalam keluarga di PAUD Cahaya
Tazkia Surabaya?”
D.Tujuan Penelitian
Berdasarkan kajian teoritis terhadap permasalahan di atas, maka hal yang
ingin dicapai atau didapatkan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
“Mendiskripsikan peran keayahbundaan untuk penanaman nilai-nilai karakter
bagi anak usia dini fase moralitas heteronom dalam keluarga di PAUD Cahaya
Tazkia Surabaya.”
E.Kegunaan Penelitian
1. Tataran Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah dalam dunia
pendidikan, khususnya pendidikan karakter yang dilaksanakan di dalam
keluarga sejak dini.
2. Tataran Praktis
Hasil penelitian ini pada tataran praktis, diharapkan dapat dijadikan
13
bagi anak usia dini fase moralitas heteronom dalam keluarga sehingga
terbentuk pribadi-pribadi dengan karakter mulia.
3. Tataran Kebijakan Pemerintah
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada perubahan
nomenklatur di tingkat direktorat jenderal (Ditjen) yaitu dari Ditjen
PAUDNI menjadi Ditjen PAUD-DIKMAS. Perubahan nomenklatur ini
diikuti restrukturisasi di Ditjen PAUD-DIKMAS, yaitu adanya direktorat
baru yang bernama Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Penelitian
ini berkaitan dengan direktorat baru ini karena mengkaji tentang pendidikan
keluarga, sehingga bisa dijadikan bahan pengembangan program.
F. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian Alfi Ni’matin Khoironi menunjukkan konsep
pendidikan karakter di RA Sunan Pandanaran Sleman DIY dengan
memasukkan nilai-nilai karakter ke dalam setiap program sekolah, seperti
kegiatan keagamaan/TPA (Taman Pendidikan Alquran); Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM); kegiatan ekstra kurikuler dan kegiatan non kurikuler.12
Hasil penelitian Rahmawaty Rahim menunjukkan bahwa strategi yang
dilakukan untuk mengembangkan pendidikan karakter pada anak-anak di TK
Aisyah Bustanul Athfal Palembang, yakni: Pertama, menerapkan metode
belajar yang yang melibatkan partisipasi aktif peserta didik. Kedua,
12
14
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Ketiga, memberikan
pendidikan karakter pada peserta didik dengan secara eksplisit, dan sistematis
serta kontinu/berkesinambungan. Keempat, menerapkan kurikulum yang
melibatkan juga sembilan aspek kecerdasan manusia. Kelima, memberikan
model (contoh) perilaku positif.13
Berdasarkan hasil penelitian Suyadi14 tentang pengembangan karakter
pada anak usia dini di PAUD Griya Ananda UIN Sunan Kalijaga ini semakin
menguatkan teori bahwa pendidikan karakter itu harus ada keterpaduan antara
apa yang diajarkan pendidik di sekolah dengan pola pengasuhan (parenting)
yang dilakukan orang tua di rumah terhadap anak, juga dengan lingkungan. Di
PAUD ini semua unsur sekolah, mulai dari Kepala sekolah, Guru, Staf,
bahkancleaning service sekalipun berperan menjadi role model karakter, seperti
keramahan (senyum), kehangatan (warm), kedisiplinan, tanggung jawab,
toleran, dan lain-lain. Dan karakter yang dikembangkan ini juga selaras dengan
core values UIN Sunan Kalijaga. Di PAUD ini yang sangat menonjol adalah
nilai karakter keramahan, toleran, keteladanan,dan kepedulian.
Berdasarkan hasil penelitian Ghafiqi Faroek Abadi15 disimpulkan bahwa
(1) Keluarga memegang peranan penting sekali dalam membantu proses
pembentukan akhlak seorang anak karena keluarga merupakan institusi yang
13
Rahmawaty Rahim, “Membina Karakter Anak Yang Islami di Taman Kanak-kanak Aba /‘AisyiahBustanulAthfal Palembang”, Intizar, Vol. 20 No.1-2014, 107.
14
Suyadi, “Model Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Islam” (Laporan Hasil Penelitian--Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), 1.
15
15
mula-mula sekali berinteraksi dengannya; (2) Metode pendidikan keluarga
yang dilakukan oleh pegawai Kantor Kementerian Agama Sumenep dalam
membantu proses pembentukan akhlak anak adalah metode komunikasi,
metode pemberian reward (hadiah), dan metode keteladanan; (3) Faktor-faktor
yang berperan penting dalam pelaksanaan pendidikan keluarga dalam
membentuk proses pembentukan akhlak anak terdiri dari faktor pendukung dan
faktor penghambat.
Menilik penelitian yang telah dilakukan oleh Alfi Ni’matin Khoironi,
Rahmawaty Rahim, dan Suyadi, ketiga peneliti ini melakukan penelitian
tentang penanaman nilai-nilai karakter bagi anak usia dini di satuan
pendidikan. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah memfokuskan
pada penanaman nilai karakter yang dilakukan dalam keluarga melalui peran
keayahbundaan. Jadi penelitian yang peneliti lakukan bisa melengkapi
informasi terhadap peneliti terdahulu tentang penanaman nilai karakter pada
anak usia dini.
Menilik hasil penelitian Ghafiqi Faroek Abadi tentang pentingnya peranan
keluarga dalam pembentukan akhlak anak yaitu melalui metode komunikasi,
metode pemberian reward (hadiah), dan metode keteladanan. Sedangkan yang
peneliti lakukan adalah melalui peran keayahbundaan dengan tiga tahapan
yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Tentunya penelitian
yang peneliti lakukan juga melengkapi informasi terkait peranan keluarga
16
G.Sistematika Pembahasan
Bab I pendahuluan, yang terdiri atas sub bab: a. latar belakang masalah; b.
identifikasi dan batasan masalah; c. rumusan masalah; d. tujuan penelitian; e.
kegunaan penelitian; f. penelitian terdahulu; dan f. sistematika pembahasan.
Bab II kajian pustaka, yang terdiri dari sub bab: a. kajian teoritik karakter;
b. kajian teoritik penanaman nilai karakter; c kajian teoritik anak usia dini.; dan
d. kajian teoritik pendidikan keluarga .
Bab III metode penelitian, yang terdiri dari sub bab: a. jenis penelitian; b.
jenis data dan sumber data; c. metode pengumpulan data; dan d. pengecekan
keabsahan data.
Bab IV hasil penelitian, yang terdiri dari sub bab: a. paparan hasil
penelitian; b. pembahasan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Kajian Teoritik Karakter
Membahas tentang karakter, ada beberapa istilah yang memiliki arti
hampir sama yaitu: akhlak, moral, etika, dan susila. Pertama kali akan dibahas
definisi kelima istilah tersebut berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) sebagai berikut.
Tabel 2.1. Definisi Karakter, Akhlak, Moral, Etika dan Susila Berdasar KBBI
Arti Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Karakter1 Akhlak2 Moral3 Etika4 Susila5
sifat-sifat
kejiwaan,
akhlak atau
budi pekerti
budi
pekerti,
kelakuan
1) baik buruk
yang diterima
umum mengenai
perbuatan,
sikap,
kewajiban, dsb.;
akhlak; budi
pekerti; susila;
2) kondisi
mental yang
membuat orang
ilmu tentang
apa yang baik
dan apa yang
buruk dan
tentang hak
dan kewajiban
moral
(akhlak)
1) baik budi
bahasanya;
beradab;
sopan; 2)
kesusilaan
1
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), 623.
18
tetap berani,
bersemangat,
bergairah,
berdisplin, dsb;
isi hati atau
keadaan
perasaan
sebagaimana
terungkap di
perbuatan; 3)
ajaran
kesusilaan yang
dapat ditarik
dari suatu cerita
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak.6
Adapun moral dari segi bahasa berasal dari bahasa Latin, mores yaitu
jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Selanjutnya moral dalam arti
istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari
6
19
sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat
dikatakan benar, salah, baik atau buruk.7
Etika dari segi etimologi (ilmu asal-usul kata) berasal dari bahasa Yunani,
ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Etika dari segi istilah menurut
Ahmad Amin dalam Abuddin Nata mengartikan etika sebagai ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan
manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat.8
Susila berasal dari bahasa Sansekerta yaitu su dan sila. Su berarti baik,
bagus dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Selanjutnya
kata susila dapat pula berarti sopan, beradab, baik budi bahasanya.9
Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral,
susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu
perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua
istilah itu sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik,
teratur, aman, damai, dan tenteram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriahnya.
Sedangkan perbedaan antara etika, moral, susila dan akhlak adalah terletak
pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika
dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada
7
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013),77- 78.
8
Ibid, 75-76. 9
20
moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat,
maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk
itu adalah al-Qur’an dan Hadis.10
Berdasarkan penjelasan Abudin Nata di atas, bahwa etika, moral, susila
dan akhlak memiliki kesamaan fungsi dan peran dalam hal penentuan
baik-buruk yang dibuat oleh manusia. Sebagai contoh seseorang berbuat mencuri,
maka menurut etika, moral, susila dan akhlak adalah perbuatan buruk.
Sebaliknya bila seseorang berbuat menolong tetangganya yang kesusahan,
maka menurut etika, moral, susila dan akhlak termasuk perbuatan baik.
Sedangkan perbedaan antara etika, moral, susila dan akhlak dikatakan oleh
Abudin Nata terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan
baik dan buruk yang diperbuat oleh manusia. Etika bersumber pada akal
pikiran, moral dan susila bersumber pada kebiasaan yang berlaku umum di
masyarakat. Sedangkan akhlak bersumber pada al-Qur’an dan Hadis.
Berdasarkan hal ini suatu perbuatan seseorang bisa dinilai baik berdasarkan
moral dan susila, tetapi dinilai tidak baik berdasarkan akhlak. Sebagai contoh
perbuatan minum minuman beralkohol di masyarakat Amerika Serikat,
berdasarkan moral dan susila masyarakat di sana termasuk perbuatan baik,
tetapi berdasarkan akhlak yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadis adalah
perbuatan tidak baik. Bila didasarkan pada etika, minum minuman beralkohol
ini menyebabkan mabuk dan menimbulkan kerusakan pada tubuh
10
21
peminumnya, maka termasuk perbuatan buruk. Seseorang yang mabuk akibat
minum minuman beralkohol bisa berbuat sesuatu yang merugikan orang lain,
seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan menimbulkan kecelakaan lalu lintas
bagi yang sedang mengemudi. Efek kerusakan pada tubuh peminumnya, karena
alkohol bersifat melarutkan lemak, sehingga organ-organ yang mengandung
lemak, khususnya organ pencernaan akan menjadi rusak. Pada penelitian ini
karakter yang dimaksud adalah akhlak, karena penentuan baik buruk dari
nilai-nilai yang diteliti berdasarkan al-Qur’an dan Hadis.
B.Kajian Teoritik Penanaman Nilai Karakter
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter atau Akhlak
Ada hal yang perlu diperjelas ketika membicarakan tentang akhlak,
yaitu apakah akhlak itu dapat dibentuk atau tidak? Mansur Ali Rajab dalam
Abuddin Nata11 berpendapat bahwa akhlak tidak perlu dibentuk karena
akhlak adalah insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi
penganut paham ini memercayai bahwa akhlak akan tumbuh dengan
sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan (ghair muktasabah).
Penganut paham ini menduga bahwa akhlak adalah gambaran batin
sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak
mampu mengubah perbuatan batin.
Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah
hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras serta
11
22
sungguh-sungguh. Beberapa ulama yang mendukung paham ini yaitu Ibnu
Miswakaih, Ibn Sina, , al-Ghazali yang menyatakan bahwa akhlak adalah
hasil usaha (Muktasabah). Terkait ini Imam al-Ghazali menyatakan sebagai
berikut.12
“Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat, dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya Hadis Nabi SAW yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu sekalian”.
Dengan demikian pembentukan karakter dimungkinkan untuk dilakukan
melalui serangkaian proses perlakuan atau tindakan.
Lebih detail Abuddin Nata13 menjelaskan tentang faktor-faktor yang
memengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada
umumnya, ada tiga aliran yang sudah populer. Pertama, aliran Nativisme.
Kedua, aliran Empirisme dan ketiga aliran Konvergensi.
Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam
hal pembentukan diri seseorang yaitu faktor pembawaan dari dalam yang
berbentuk kecenderungan, bakat, akal dan lain-lain. Seseorang yang
memiliki pembawaan atau kecenderungan berbuat baik maka dengan
sendirinya orang tersebut berbuat baik. Aliran ini tidak memperhitungkan
pengaruh pembinaan atau pendidikan.
Berdasarkan aliran empirisme menyatakan bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar
12
Ibid, 134. 13
23
yaitu lingkungan, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika
pembinaan dan pendidikan yang diberikan terhadap seseorang itu baik,
maka baiklah orang tersebut. Aliran ini kurang memerhitungkan
kecenderungan atau bakat yang dibawa sejak lahir, yang merupakan
pewarisan sifat dari kedua orang tuanya.
Sedangkan pada aliran konvergensi menyatakan bahwa pembentukan
akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor
dari luar yaitu pembinaan atau pendidikan yang dibuat secara khusus, atau
melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Jadi fithrah dan kecenderungan
ke arah yang baik yang sudah ada dala diri manusia akan membentuk akhlak
yang baik bila didukung oleh faktor luar yang bisa berupa pembinaan dan
pendidikan atau interaksi dalam lingkungan sosial.
Aliran konvergensi ini sesuai dengan ajaran Islam, karena berdasar
pemahaman terhadap ayat al-Quran berikut ini.
و
نﻮ
ﮭ أ نﻮ ﻄ ﺟﺮﺧ أ
ٔ
ﺟو ﺎ
و
ﺮ ﻷ
و
ﻷ
ٔ
ةد
◌
نوﺮ
78. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS al-Nahl [16]:78)14
Berdasar ayat tersebut di atas, Allah SWT memberi petunjuk bahwa
manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu melalui penglihatan,
14
24
pendengaran, dan hati sanubari. Begitu pula yang dilakukan Luqmanul
Hakim ketika menasihati anaknya dalam ayat berikut ini.
ذ إو
لﺎ
ﮫ
ﮫ ﻈ ﻮھو
كﺮ ﻲ
ﭑ
ن إ
كﺮ
ﻈ ﻈ
ﺎ وو
ﻹ
ﮫ أ ﮫ ﺣ ﮫ ﺪﻮ
ﮫ و ھو ﻰ ﺎ ھو
ن أ ﺎ ﻲ
ﺮ
ﻮو ﻲ
ﻲ إ ﺪ
ﺮ
13. Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Ku lah kembalimu (QS Luqman [31]: 13-14). 15
Pada ayat tersebut di atas menggambarkan tentang pelaksanaan
pendidikan yang dilakukan oleh Luqmanul Hakim, juga materi pelajaran
yang berupa pendidikan tauhid atau keimanan, karena keimananlah menjadi
salah satu dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlak.
Tentang keimanan, Abdullah16 menuliskan bahwa bila seseorang
memiliki iman yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka memiliki buah iman yang agung dan membuka pintu-pintu
kebaikan yang amat banyak. Hal ini sesuai firman Allah SWT berikut ini.
و
اء
ﻰ أو نوﺮ
ﮫ ﻮ ر
و
و
ﭑ
ﻰ إ يﺪھ ﺪ
طﺮ
101. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada di
15
Ibid, 654. 16
25
tengah kamu? barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS Ali Imran [3]: 101).17
Selanjutnya Abdullah18 menjelaskan ada dua puluh buah iman yang
benar, yang penulis ringkas sebagai berikut.
a. Hamba itu akan introspeksi diri, menjaga diri, mengekang ambisi-ambisi,
dan memecahkan kepentingan-kepentingan dan klaim-klaim pribadi.
b. Dunia adalah kecil, dunia adalah penyihir dan penipu banyak orang, cinta
dunia adalah induk segala kesalahan, dunia adalah barang yang rendah,
hina, murah dan fana’.
c. Perhatian terhadap amalan hati lebih besar dari pada amalan anggota
tubuhnya.
d. Terbentuklah ukhuwah (persaudaraan) karena Allah. Seorang mukmin
akan merasa semakin dekat dengan Allah SWT bila dapat memberikan
kemanfaatan kepada saudaranya sesama muslim.
e. Jujur dalam mencari ridha Allah SWT, hatinya selalu dinamis, tidak mau
diam dan tidak mau berhenti sampai mati, dalam rangka mencari setiap
jalan yang dapat mengantarkan kepada-Nya.
f. Menyibukkan lisan dan hatinya dengan berdzikir kepada Allah SWT.
g. Hati menjadi hidup, hanya bergantung kepada Allah SWT, sangat
mencintai, mengagungkan dan membutuhkan-Nya.
17
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya……, 92. 18
26
h. Berdakwah, mengingatkan, mengajari dan menunjukkan kebaikan,
melarang hal-hal yang dilarang Allah SWT sesuai kemampuannya.
i. Berusaha untuk selalu benar, adil, obyektif, menjauhi dusta, menjilat,
debat kusir, dan berbelit-belit. Tegas dan jelas. Tidak surut oleh celaan
orang lain, tidak segan mengakui kesalahannya dan segera memohon
ampun kepada Allah SWT.
j. Mengerjakan Ṣalat dengan adab penghambaan di hadapan Allah SWT,
merendahkan diri dan merasakan seolah-olah ia betul-betul berdiri di
hadapan Allah Yang Maha Mulia.
k. Mengagungkan Allah, mengagungkan perintah dan larangan-Nya.
l. Hati tertambat dengan surga, surga lebih agung, lebih indah dan lebih
sempurna dibandingkan dengan kenikmatan dan keindahana dunia yang
fana’.
m. Merenungkan al-Qur’an dan menempatkannya pada kedudukan yang
agung, dengan mengulang-ulang bacaan, hafalan, tafsir dan maksudnya.
n. Ridha dengan keputusan dan takdir Allah SWT.
o. Orang mukmin mendapat kemenangan atas musuh-musuhnya.
p. Memperhatikan waktu dan sangat perhitungan di dalamnya.
q. Memiliki perasaan bahwa hanya Allah SWT lah yang mencukupinya,
menolongnya, membantunya dan menjaganya.
r. Membuahkan kecintaan Allah SWT kepada hamba, dan kecintaan hamba
27
s. Melihat kepada ilmu yang dipelajarinya apakah termasuk ilmu yang
bermanfaat atau tidak.
t. Tegak di dalam hatinya hakikat syukur kepada Allah, mengakui
pemberian dan karunia-Nya dan selalu menghadirkan pemberian dan
karunia-Nya di dalam hatinya.
Aliran konvergensi ini dipertegas oleh Hadisubrata 19 yang
menyatakan bahwa perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi oleh
faktor keturunan dan faktor lingkungan. Dua hal ini saling berinteraksi
dalam mengarahkan pembentukan kepribadian sesorang. Yang diwariskan
masih dalam bentuk predisposisi atau kecenderungan untuk berkembang
dalam cara tertentu. Perbedaan kecenderungan inilah yang terdapat pada
perbedaan kepribadian bayi yang baru lahir. Kecenderungan perkembangan
ini berinteraksi dengan lingkungan membentuk kepribadian. Jadi
kepribadian seseorang dibentuk oleh interaksi faktor lingkungan dengan
faktor keturunan. Faktor lingkungan ini sangat besar pengaruhnya pada
pembentukan kepribadian seseorang. Kecenderungan pada kepribadian baik
bila lingkungannya mendukung maka bisa terbentuk kepribadian baik, bila
lingkungan tidak mendukung maka untuk terbentuknya kepribadian yang
baik sulit akan tercapai.
Di antara semua faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian anak balita, keluarga merupakan faktor yang paling penting.
19
28
Ada beberapa alasan lingkungan keluarga merupakan faktor penting, yaitu:
1) keluarga merupakan kelompok sosial pertama bagi anak, sehingga para
anggota keluarga menjadi orang pertama dalam kehidupan anak pada
masa-masa peletakan dasar kepribadiannya; 2) anak balita lebih banyak
menghabiskan waktunya bersama keluarga dari pada kelompok sosial lain.20
2. Pendidikan Islam dalam Kerangka Pembentukan Karakter
Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dituliskan oleh Syukri
Rifa’i 21 tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan Islam adalah
pembentukan insan yang Ṣaleh dan pembentukan masyarakat yang Ṣaleh.
Masyarakat yang Ṣaleh terbentuk dari insan yang Ṣaleh dan keluarga yang
Ṣaleh. Berdasarkan pendapat ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa
peran pendidikan dalam keluarga sangat penting dalam pembentukan
masyarakat yang Ṣaleh, hal ini sejalan dengan tema penelitian ini yaitu
terkait dengan pendidikan keluarga.
Pendidikan karakter dalam khasanah Pendidikan Islam bersumber pada
al-Quran dan Hadis yang misi utamanya sebagaimana dikemukakan oleh
Fazlurrahman dalam Abuddin Nata22
adalah pembinaan moral atau akhlak
mulia, dengan menekankan pada fungsinya sebagai al-hidayah (petunjuk),
al-furqan (yang membedakan antara yang hak dan batil), al-hakim (sebagai
wasit yang adil), bayyinah (keterangan atas semua perkara),
20
Ibid, 34-35 21
Syukri Rifa’i,” Strategi Pendidikan Islam dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Studi atas Pemikiran Hasan Langgulung”, ( Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006 M / 1427 H), 54-55. 22
29
syifa’(sebagai obat penawar jiwa), dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan
lil alamin). Muhammad Athiyah al-Abrasyi dalam Abuddin Nata 23
mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan
tujuan pendidikan Islam. Jadi pendidikan karakter atau akhlak merupakan
bagian dari tujuan pendidikan Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan
Hadis.
Karakter dalam konteks Islam disebut sebagai akhlak. Mengkaji dan
mendalami konsep akhlak merupakan sarana yang dapat mengantarkan
seseorang dapat bersikap dan berperilaku mulia yang benar dan utuh
sebagaimana yang dipesankan oleh Nabi SAW. Allah menegaskan, “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS.
al-Qalam [68]: 4).
Beberapa contoh dalam al-Quran tentang keutamaan karakter atau
akhlak misalnya perintah berbuat kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr),
menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut pada Allah Swt., bersedekah di
jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. Qashash [28]: 77; QS.
Baqarah [2]: 177; QS. Muminun (23): 1-11; QS. Nur [24]: 37; QS.
al-Furqan [25]: 35-37; QS. al-Fath [48]: 39; dan QS. Ali ‘Imran [3]: 134).
Allah mewajibkan setiap Muslim untuk melaksanakan berbagai nilai
karakter mulia dalam berbagai aktivitasnya sebagaimana kandungan
ayat-ayat al-Quran tersebut di atas. 4.
23
30
Abdullah Nashih Ulwan menuliskan bahwa pendidikan sosial anak
berkisar pada empat persoalan: (1) penanaman dasar-dasar kejiwaan yang
mulia; (2) pemeliharaan hak-hak orang lain; (3) melaksanakan tata krama
sosial yang bersifat umum dan (4) kontrol dan kritik sosial.24
Marzuki25 mengemukakan, bahwa prinsip-prinsip akhlak atau karakter
dalam rangka melakukan hubungan antar manusia dalam keluarga bisa
dikelompokkan menjadi 1) hubungan dengan orang tua, 2) hubungan dengan
orang yang lebih tua, 3) hubungan dengan orang yang lebih muda, 4)
hubungan dengan teman sebaya, 5) hubungan dengan lawan jenis, 6)
hubungan dengan suami/isteri, dan 7) tanggung jawab orang tua kepada
anak.
Dalam Islam, pendidikan karakter saja ternyata belum cukup
membentuk pribadi yang sempurna. Orang China dan Jepang bisa meraih
kesuksesan karena mereka memiliki karakter yang baik, kendatipun
kebanyakan mereka tidak beragama Islam. Yang diperlukan orang muslim
Indonesia adalah yang berkarakter dan beradab. Menurut Naquib al-Attas,
adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan
kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan
derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.”26
Jadi akhlak yang baik harus senantiasa dimiliki oleh orang-orang Islam
24
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak menurut Islam Pendidikan Sosial Anak, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1990),2.
25
Marzuki, Pendidikan Karakter dalam Keluarga Perspektif Islam,…….., 1. 26
31
seiring dengan predikat khalifah di bumi yang melekat dalam sosok
pribadinya. Hal ini bisa dibentuk lewat proses pendidikan yang salah
satunya lewat pendidikan keluarga.
3. Penanaman Nilai-nilai Karakter pada Anak Usia Dini
Pendidikan karakter adalah upaya untuk menanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga peserta didik mampu bersikap maupun
bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya.
Thomas Lickona menjelaskan bahwa karakter terdiri atas tiga hal yang
saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan
tentang moral (moral feeling) dan perilaku bermoral (moral behavior).
Artinya, manusia yang berkarakter adalah individu yang mengetahui
kebaikan (knowing the good), menginginkan dan mencintai kebaikan (loving
the good) dan melakukan kebaikan (acting the good). 27 Jadi dalam
pendidikan karakter ada tiga ranah yang harus diintegrasikan yaitu ranah
kognisi (knowing), ranah afektif (feeling) dan ranah psikomotor (acting).
Keberhasilan pendidikan karakter harus melibatkan ketiga ranah ini secara
terintegratif.
Secara umum pendidikan pada anak usia dini bertujuan untuk
membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik,
intelektual, emosional,moral dan agama secara optimal pada anak dalam
lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis dan kompetitif . Terkait
27
32
dengan kompetensi moral dan nilai-nilai agama pada anak, dijabarkan lagi
secara rinci dalam beberapa indikator perilaku semenjak usia 1 hingga usia 6
tahun sebagai berikut. 28
a. Mengucapakan doa-doa pendek.
b. Menyayangi dan memelihara semua ciptaan Tuhan.
c. Mulai menirukan gerakan-gerakan doa/Ṣalat yang dilaksanakan orang
dewasa.
d. Berdoa sebelum dan sesudah memulai kegiatan.
e. Melaksanakan ibadah agama.
f. Menyayangi dan memelihara semua ciptaan Tuhan.
g. Mencintai tanah air.
h. Mengenal musyawarah dan mufakat.
i. Cinta antara sesama suku bangsa Indonesia.
j. Mengenal sopan santun dengan berterima kasih.
k. Mengucap salam bila bertemu dengan orang lain.
l. Berlatih untuk selalau tertib dan patuh pada aturan.
m. Mengurus diri sendiri.
n. Menjaga kebersihan lingkungan.
o. Bertanggungjawab terhadap tugas yang diberikan.
p. Rapi dalam bertindak, berpakaian dan bekerja.
q. Menjaga kebersihan lingkungan.
28
33
r. Sopan santun.
s. Bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini29 menetapkan ada
lima belas nilai-nilai yang dipandang sangat penting dikenalkan dan
diinternalisasikan ke dalam perilaku anak usia dini, yaitu sebagai berikut.
b. Kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
a. Kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b. Kejujuran.
c. Disiplin.
d. Toleransi dan cinta damai.
e. Percaya diri.
f. Mandiri.
g. Tolong menolong, kerjasama, dan gotong royong.
h. Hormat dan sopan santun.
i. Tanggung jawab.
j. Kerja keras.
k. Kepemimpinan dan keadilan.
l. Kreatif.
m. Rendah hati.
n. Peduli lingkungan.
o. Cinta bangsa dan tanah air
29
34
Berdasarkan banyak pandangan dari para ahli tentang nilai-nilai
karakter, peneliti mencoba menggunakan nilai-nilai yang telah ditetapkan
oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini ini pada fase
moralitas heteronom yang menurut Piaget yaitu umur 4-7 tahun, dalam
mengkaji secara empiris terkait peran ayah dan bunda dalam penanaman
karakter anak usia dini.
C.Kajian Teoritik Anak Usia Dini
1. Hakekat Anak Usia Dini
Anak usia dini menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 ini
adalah anak yang berumur 0-6 tahun. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)
menerangkan bahwa upaya mengoptimalkan tumbuh kembang anak
merupakan suatu pemikiran dan pandangan serta semangat yang harus
tumbuh di masyarakat. Tiga tahun pertama usia anak merupakan periode
emas atau masa kritis untuk optimalisasi proses tumbuh kembang dan
merupakan masa yang tepat untuk menyiapkan seorang anak menjadi
dewasa yang unggul di kemudian hari. Proses pembentukan karakter yang
menjadi bahasan pada penelitian ini adalah bagian dari proses
perkembangan, termasuk dalam hal ini diantaranya adalah perkembangan
emosi, intelektual, dan tingkah laku.30
30
Ikatan Dokter Anak Indoensia (IDAI) Jawa Timur, Deteksi Dini Tanda dan Gejala
35
Selanjutnya IDAI31 menyatakan bahwa anak membutuhkan beberapa
kebutuhan dasar untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar pada masa awal kehidupannya dapat
berdampak kegagalan mencapai tahapan pertumbuhan dan perkembangan
berikutnya bahkan bisa menjadi sebuah kecacatan permanen seumur
hidupnya. Kebutuhan dasar anak ini ada tiga, yaitu: asuh, asih dan asah.
Asuh adalah kebutuhan fisik biomedis, meliputi nutrisi, imunisasi, hygiene,
pengobatan, pakaian, tempat tinggal, sanitasi, lingkungan dan lain-lain. Asih
adalah kebutuhan emosi atau kasih sayang, yang pada tahun-tahun pertama
kehidupan hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu/pengganti ibu
dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang
anak yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kekurangan kasih
sayang ibu pada tahun-tahun pertama kehidupan mempunyai dampak negatif
pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial emosi. Asah
adalah kebutuhan akan stimulasi mental, yang merupakan awal proses
belajar pada anak. Stimulasi mental ini mengembangkan perkembangan
mental psikososial, kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreatifitas,
agama, kepribadian, moral-etika, dan produktifitas. Pada penelitian ini
memfokuskan dan menekankan pada proses asah yaitu memberikan
stimulasi mental.
31
36
Berdasar studinya tentang riwayat pendidikan anak nakal, Glueck
dalam Hurlock (1991) menarik kesimpulan bahwa remaja yang berpotensi
nakal dapat diidentifikasi sejak dini pada usia dua atau tiga tahun terlihat
dari perilaku antisosialnya. Begitu pula pada orang dewasa yang kreatif telah
ditunjukkan pada masa anak dengan perhatiannya pada permainan imajinatif
dan kreatif. Dengan demikian masa anak-anak terutama masa usia dini
merupakan masa yang "kritis " dalam menanamkan berbagai kebiasaan
anak. Berdasar pada karakteristik usia dini yang menurut DAP adalah 0-8
tahun, anak usia dini dibagi menjadi: 1) Usia 0-1 tahun merupakan masa
bayi, 2) Usia 1-3 tahun merupakan masa Toddler (BATITA), 3) Usia 6
tahun merupakan masa pra sekolah, 4) usia 6-8 tahun merupakan masa SD
kelas awal.32
Berdasarkan Permendikbud RI Nomor 137 Tahun 2014 tentang
Standar Nasional PAUD33 pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa Standar Tingkat
Pencapaian Perkembangan Anak Usia Dini selanjutnya disebut STPPA
adalah kriteria tentang kemampuan yang dicapai anak pada seluruh aspek
perkembangan dan pertumbuhan, mencakup aspek nilai agama dan moral,
fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, serta seni. Pada penelitian
ini hanya aspek perkembangan nilai agama dan moral yang menjadi bahasan
penelitian. Selanjutnya pada pasal 7 ayat 5 dinyatakan bahwa pencapaian
32
Farida Agus Setiawati, “ Pendidikan Moral dan Nilai-nilai Agama pada Anak Usia Dini……….., 42.
33
37
pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal membutuhkan
keterlibatan orang tua dan orang dewasa serta akses layanan PAUD yang
bermutu. Pada klausul ini jelas dinyatakan bahwa proses pencapaian tumbuh
kembang seorang anak usia dini agar optimal, tidak hanya menjadi tanggung
jawab lembaga PAUD saja, tetapi juga tanggung jawab orang tua. Adapun
pembagian tahapan anak usia dini dijelaskan pada pasal 8 yaitu bahwa
pentahapan usia dalam STPPA terdiri dari: a). Tahap usia lahir - 2 tahun,
terdiri atas kelompok usia: Lahir - 3 bulan, 3- 6 bulan, 6 - 9 bulan, 9 -12
bulan, 12 - 18 bulan, 18 - 24 bulan; b). Tahap usia 2 - 4 tahun, terdiri atas
kelompok usia: 2 - 3 tahun dan 3 - 4 tahun; dan c). Tahap usia 4 - 6
tahun, terdiri atas kelompok usia: 4 - 5 tahun dan 5 - 6 tahun.
2. Perkembangan Moral pada Anak Usia Dini
Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan
perilaku tentang standar mengenai benar atau salah. Perkembangan moral
memiliki dua dimensi yaitu intrapersonal, yang mengatur aktivitas
seseorang ketika dia tidak terlibat dalam interaksi sosial dan interpersonal
yang mengatur interaksi social dan penyelesaian konflik (Gibbs, 2003;
Power, 2004; Walker & Pitts, 1998) dalam Santrock34.
Usia dini adalah usia yang kritis dalam proses perkembangan. Seperti
dinyatakan oleh Hurlock35 bahwa sikap, kebiasaan, dan pola perilaku yang
34
John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi Kesebelas Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), 117.
35
38
dibentuk selama tahun-tahun pertama, sangat menentukan seberapa jauh
individu-individu berhasil menyesuaikan diri dalam kehidupan ketika
mereka bertambah tua.
Piaget dalam Santrock36 membagi perkembangan moral pada anak
menjadi dua tahap, yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom.
a. Moralitas heteronom, dialami anak berusia 4-7 tahun. Pada tahap ini anak
berpikir bahwa keadilan dan properti dunia yang tidak bisa diubah, dan
tidak dikontrol oleh orang. Anak menilai kebenaran atau kebaikan
perilaku berdasarkan konsekuensinya, bukan niat pelaku. Ketika anak
berkembang ke tahap moral otonom, niat mulai lebih dipertimbangkan.
Pemikir heteronom mempercayai bahwa aturan tidak bisa diubah. Hal ini
berdasarkan pengalaman ketika Piaget menyarankan pada anak-anak agar
membuat peraturan baru dalam bermain kelereng mereka menolak.
Sebaliknya anak yang lebih tua (moral otonom) menerima perubahan dan
menyadari bahwa peraturan adalah konvensi yang disepakati dan dapat
diubah. Pemikir heteronom juga percaya akan adanya immanent justice,
sebuah konsep bahwa ketika peraturan dilanggar, maka hukuman akan
langsung mengiringi pelanggaran tersebut.
b. Tahap transisi, dialami anak yang berusia 7-10 tahun. Pada tahap ini anak
menunjukkan sebagian ciri-ciri moralitas heteronom dan sebagian ciri
moralitas otonom.
36
39
c. Moralitas otonom, dialami anak berusia di atas 10 tahun. Pada tahap ini
anak sadar bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh manusia, dan ketika
menilai sebuah perbuatan dengan mempertimbangkan niat dan juga
konsekuensinya.
Berdasar karakteristik tahap perkembangan moral tersebut diatas,
perkembangan moral anak usia dini termasuk dalam tahap perkembangan
moral heteronom dengan berbagai karakteristik seperti tersebut di atas. Pada
penelitian ini, berdasarkan pentahapan Piaget, penanaman nilai-nilai
karakter dilakukan pada tahap moral heteronom, sehingga diharapkan ketika
anak menginjak tahap moral otonomi, ia menggunakan sisi kebaikannya
dalam bertindak atau memutuskan sikap yang mengandung kebenaran dalam
menghadapi tantangan atau masalah. Jadi penanaman nilai pada tahap moral
heteronom adalah untuk mempersiapkan seorang anak ketika memasuki
moral otonomi.
Kohlberg dalam Santrock 37 menguraikan perkembangan moral
menjadi tiga tingkatan, yang masing-masing tingkatan dikelompokkan
dalam dua tahap.
a. Penalaran prakonvensional
Adalah tingkat terendah dalam penalaran moral. Pada tingkat ini baik
dan buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment
(hukuman) eksternal.
37
40
1) Tahap 1. Moralitas heteronom
Pada tahap ini penalaran moral terkait dengan punishment. Sebagai
contoh, anak berpikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut
hukuman terhadap perilaku membangkang.
2) Tahap 2. Individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran
Pada tahap ini penalaran individu yang memikirkan kepentingan diri
sendiri dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Mereka berpikir jika
mereka baik terhadap orang lain, orang lain juga akan baik terhadap
mereka.
b. Penalaran konvensional
Pada tingkatan ini, individu memberlakukan standar tertentu, tetapi
standar ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua atau
pemerintah.
1) Tahap 3. Ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang
lain, dan konformitas interpersonal
Pada tahap ini, individu menghargai kepercayaan, perhatian, dan
kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar penilaian moral. Anak dan
remaja sering kali mengadopsi standar moral orang tua agar dianggap
oleh orang tua sebagai anak yang baik.
2) Tahap 4. Moralitas sistem sosial
Pada tahap ini, penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang
41
contoh, remaja mungkin berpikir, supaya komunitas dapat bekerja
dengan efektif perlu dilindungi oleh hukum yang diberlakukan
terhadap anggotanya.
c. Penalaran pascakonvensional
Pada tingkatan ini, individu menyadari adanya jalur moral
alternatif, mengeksplorasi pilihan ini, lalu memutuskan berdasarkan kode
moral personal.
Pada anak usia dini, perkembangan moral anak menurut Kohlberg
ini termasuk pada tingkat perkembangan moral yang pertama, yaitu
moralitas pra konvensional. Karakteristik khas pada tingkat ini tingkah
laku anak tunduk pada peraturan dari luar. Pada tahap pertama perilaku
anak dikendalikan oleh akibat fisik yang ditimbulkan dari perbuatannya
yang biasanya muncul dalam bentuk hadiah dan hukuman. Misalnya anak
tidak memukul adiknya ketika marah disebabkan karena takut apabila
dimarahi atau dihukum orang tuanya. Pada tahap kedua anak berperilaku
moral untuk mendapatkan penghargaan, misalnya anak senang membantu
orang tua karena ingin mendapatkan hadiah, pujian ataupun perlakuan
baik yang diberikan orang tua atau orang dewasa lain di sekitarnya.
Setelah tingkat pertama dilalui, perilaku anak akan meningkat pada
42
moral anak dikendalikan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang
sudah ditetapkan atau disepakati.
Pada tingkat ketiga disebut juga tahap pasca konvensional. Pada
tahap terakhir ini perilaku anak sudah dikendalikan oleh nilai atau
prinsip-prinsip yang dipegangnya, sehingga memungkinkan memegang
nilai-nilai atau aturan secara luwes. Mendasarkan pada pentahapan
Kohlberg, penanaman nilai-nilai karakter pada penelitian ini dilakukan
pada tahap pra konvensional, sehingga diharapkan ketika anak menginjak
tahap konvensional dan pasca konvesional, ia mampu menangkal
keburukan dalam bertindak atau bisa menghindari memutuskan sikap
yang salah dalam menghadapi tantangan atau masalah. Jadi penanaman
nilai pada tahap pra konvensional adalah untuk mempersiapkan seorang
anak ketika memasuki tahap konvensional dan pasca konvensional.
D.Kajian Teoritik Pendidikan Keluarga
1. Pendidikan Keluarga
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa jalur pendidikan
terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya. Dalam Pasal 28 ayat (2) dinyatakan bahwa
pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, nonformal, dan/atau informal. Jalur pendidikan yang dipakai pada
43
seperti dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) bahwa kegiatan pendidikan
informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan
belajar secara mandiri.
Ada beberapa kenyataan mengenai pentingnya pendidikan anak dalam
keluarga. Seperti dinyatakan oleh Soelaeman38 sebagai berikut.
a. bahwa anak dilahirkan dalam keluarga.
b. bahwa saat dilahirkan ia belum dapat apa-apa dan karena itu perlu
bantuan dari orang sekitarnya.
c. bahwa bantuan yang sangat vital bagi anak ialah pendidikan.
Selanjutnya Soelaeman39 menyatakan bahwa pendidikan keluarga
lebih ditujukan ke arah pendidikan anak, ke arah pembinaan pribadi anak
yang dilaksanakan dalam keluarga, agar kelak mereka mampu melaksanakan
kehidupannya sebagai manusia dewasa, baik sebagai pribadi maupun
sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat. Berdasarkan pernyataan
ini tergambar bahwa pendidikan keluarga memegang peranan menyiapkan
seseorang anak untuk menapaki kehidupan di masyarakat dengan
kepribadian yang matang ketika dewasa.
Secara psikologi, perkembangan seorang anak sangat dipengaruhi oleh
kedua orang tuanya, apalagi di saat usia dini dimana anak pada usia ini
masih sangat bergantung pada kedua orang tuanya. Pada kondisi seperti ini
bila kedua orang tuanya bisa memberikan stimulasi yang pas, maka