• Tidak ada hasil yang ditemukan

KANDUNGAN AFLATOKSIN PRODUK JAGUNG DI TINGKAT PETANI, TINGKAT BAHAN BAKU DAN TINGKAT PRODUK

AKHIR

a. Hasil Analisis Aflatoksin Menggunakan Metode Thin Layer Chromatography (TLC)

Aflatoksin adalah mikotoksin yang paling sering ditemukan pada jagung (Cole et al. ,1982). Kontaminasi aflatoksin juga mungkin dapat menjadi lebih parah ketika tanaman yang sedang tumbuh mengalami kondisi kering dalam waktu yang cukup lama (Winter dan Helferich, 2001).

Pencegahan pembentukan aflatoksin selama masa pra-panen sangatlah sulit, terlebih kontaminasi aflatoksin pada pangan dan pakan menjadi suatu resiko yang berkelanjutan (Winter dan Helferich ,2001). Menurut Winter dan Helferich (2001), kontaminasi aflatoksin pada makanan mulai terjadi ketika

spesies aflatoksigenik dari Aspergillus flavus berkoloni dan kemudian didukung oleh kondisi yang tepat untuk memproduksi toksin.

Selama ini, analisis mengenai kandungan aflatoksin pada produk jagung lebih banyak ditekankan kepada produk jagung di tingkat petani dan bahan baku saja, sedangkan analisis terhadap produk akhir masih belum banyak dilakukan. Analisis aflatoksin menggunakan metode Thin Layer chromatography (TLC) dilakukan terhadap jenis aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Limit deteksi kadar aflatoksin yang dapat terukur menggunakan metode ini adalah 4 ppb untuk aflatoksin B1 dan G1 dan 3 ppb untuk aflatoksin B2 dan G2. Pembahasan pada penelitian lebih ditekankan kepada aflatoksin B1 karena keseluruhan sampel hanya mengandung ketiga jenis aflatoksin lainnya di bawah limit deteksi. Prevalensi cemaran aflatoksin pada berbagai tingkatan sampel dapat dilihat pada Tabel 17

Tabel 17. Prevalensi Cemaran Aflatoksin Pada 3 Kategori Sampel

Kategori Jumlah Sampel Jumlah Sampel Terkontaminasi % Terkontaminasi Aflatoksin B1* Jagung pipil 6 2 33.33% Produk intermediate 9 4 44.44% Produk akhir 10 4 40%

* limit deteksi aflatoksin B1 adalah 4 ppb

Data di atas menunjukkan bahwa sampel jagung pipil sudah mulai terkontaminasi aflatoksin. Hal ini dapat ditunjukkan dari data yang menggambarkan bahwa 2 dari 6 sampel terkontaminasi aflatoksin B1 (33.33%). Sampel yang mengandung aflatoksin di bawah limit deteksi diasumsikan tidak terkontaminasi aflatoksin. Titik kritis terjadinya kontaminasi aflatoksin pun dapat dinyatakan sudah mulai terjadi pada sampel jagung pipil yang berasal dari petani. Seperti dikutip oleh Dharmaputra et al. (1993), kontaminasi aflatoksin pada jagung berawal dari petani, kemudian meningkat selama masa penyimpanan oleh pedagang pengumpul. Lebih lanjut, Deshpande (2002) menyatakan bahwa Aspergillus flavus sudah dapat memproduksi aflatoksin sebelum masa panen.

Seperti dikutip oleh Dharmaputra et al. (1994), suatu survei yang dilakukan oleh BULOG dan Tropical Product Institute (TPI) menunjukkan bahwa 27% contoh jagung yang dikumpulkan dari beberapa propinsi di Indonesia mengandung aflatoksin lebih dari 20 ppb. Survei yang dilakukan oleh Biotrop pada tahun 1985 menunjukkan bahwa 6 dari 11 contoh tepung jagung yang sedang dikeringkan dan diperoleh dari Pedagang Pengumpul Pedesaan (PPP) di Provinsi lampung mengandung 2-83 ppb aflatoksin B1 (Rahayu dan Dharmaputra dalam Dharmaputra et al., 1993), sedangkan survey pada tahun 1992 menunjukkan bahwa 35 contoh jagung yang diperoleh dari petani, pedagang pengumpul pedesaan (PPP), pedagang pengumpul menengah dan pedagang besar di provinsi Lampung mengandung aflatoksin 23.4 – 367.4 ppb. Tiga puluh contoh mengandung aflatoksin lebih dari 30 ppb (Dharmaputra et al., 1993).

Prevalensi terbesar terdapat pada sampel produk intermediate dimana 4 dari 9 sampel terkontaminasi aflatoksin. Sampel-sampel bahan mentah yang positif terkontaminasi aflatoksin adalah tepung jagung, menir jagung, beras jagung, serta 1 merk maizena. Sampel-sampel pada kategori ini diproduksi tanpa melalui proses pemasakan, yakni hanya melewati proses pengecilan ukuran saja. Lamanya penyimpanan sebelum dimulainya proses produksi sampel jenis ini pun diduga dapat menjadi penyebab kontaminasi aflatoksin.

Hasil analisis aflatoksin pada 6 sampel uji jagung pipil secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 13.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 kadar aflatoksin (ppb) JPP4 P3 PCR 3 JG P6 P7

Gambar 13. Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Pipil

Keterangan :

JPP 4 = jagung pipil 1 JG = jagung pipil gorontalo

P3 = jagung pipil 2 P6 = jagung pipil 4

PCR 3 = jagung pipil 3 P7 = jagung pipil 5

Berdasarkan grafik, keenam sampel yang berada pada tingkatan petani memiliki kadar aflatoksin pada batas yang masih diperbolehkan, yakni di bawah 20 ppb. Sebanyak 5 sampel didapat dari daerah Bojonegoro, sedangkan sisanya merupakan jagung pipil kering Gorontalo yang dijadikan bahan baku dalam pembuatan maizena. Kondisi ini kemungkinan besar didukung oleh adanya upaya perbaikan yang cukup efektif dalam hal produksi jagung dimana cara bercocok tanam merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam menghindari kontaminasi aflatoksin pada jagung (Jonas dalam Dharmaputra et al., 1994). Selain itu, Widstrom et al. (1990) mengatakan bahwa kondisi lingkungan terutama temperatur dan RH selama musim tanam merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya kontaminasi aflatoksin pada jagung.

Penelitian lain mengenai prevalensi aflatoksin pada beberapa tingkatan sampel pernah dilakukan oleh Balitsereal pada tahun 2005. Berdasarkan hasil penelitian ini, pada umumnya produk biji jagung dari petani sampai pedagang

0.0 <4 <4

11.98 19.63

pengumpul/pengekspor dan peternak kadar aflatoksinnya bervariasi, yaitu kisaran 4,5 ppb – 665 ppb dengan perincian 47,62% sampel terinfeksi aflatoksin dengan kadar 4,5 ppb – 24 ppb; 52,38% sampel terinfeksi dengan kadar 72,0 ppb – 665 ppb. Kadar aflatoksin yang tinggi (>72,0 ppb) ditemukan pada tingkat pedagang pengumpul/pengekspor yang disebabkan oleh gangguan alat pengering pada saat berlangsungnya penelitian (Balitsereal, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Toha (2008), kadar air contoh jagung pipil dengan kode P3, P6 dan P7 berkisar antara 13.5-14.9 %. sedangkan kelembaban relatif, aw dan suhu lapang pada saat pengambilan sampel yaitu kisaran antara 50-54 %, 0.74-0.81 dan 34.5 oC. Pada sampel P3 dan P6, populasi

Aspergillus flavus belum ditemukan, sedangkan pada sampel P7 telah ditumbuhi Aspergillus flavus sebanyak 102 cfu/g. Akan tetapi, ketiga sampel ini masih memiliki kandungan aflatoksin pada level yang aman.

Kandungan aflatoksin tertinggi dimiliki oleh jagung pipil dengan kode JPP 4 yakni sebesar 19.63 ppb. Hal ini diduga terkait dengan keberadaan populasi

Aspergillus flavus yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan sampel lain,

yakni sebesar 360 cfu/g, sedangkan untuk sampel jagung gorontalo tidak dilakukan analisis Aspergillus flavus.

Analisis kandungan aflatoksin juga dilakukan terhadap sampel uji produk

intermediate yang terdiri dari tepung jagung, menir jagung, beras jagung, nasi

jagung, maizena dan babycorn. Hasil analisis aflatoksin pada 9 sampel produk

BC = Baby corn PBB 4 = Maizena 1 PBB 6 = Maizena 2 PBB 5 = Maizena 3 0 5 10 15 20 25 30 35 40 kadar aflatoksin (ppb) PBB1 PBB3 PBB2 NJ MH BC PBB4 PBB6 PBB5

Gambar 14 . Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Produk Intermediate Keterangan : PBB1 = Menir Jagung PBB3 = Tepung Jagung PBB2 = Beras Jagung NJ = Nasi Jagung MH = Maizena 4

Sebanyak 4 sampel merupakan maizena dengan 4 merk berbeda yang didapat di daerah Bogor, sedangkan tepung jagung didapat dari daerah Bojonegoro. Maizena dan tepung jagung merupakan jenis bahan baku yang populer digunakan masyarakat dan industri pangan. Keberadaan aflatoksin pada kedua jenis bahan ini akan berkaitan erat dengan kandungan aflatoksin yang terdapat pada produk akhir.

Menurut SNI tahun 1995, definisi tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (Zea Mays LINN) yang baik dan bersih. Mengacu pada standar yang telah ditetapkan oleh BPOM RI, tepung jagung yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini mengandung aflatoksin melewati batas maksimal yang ditetapkan, yakni 20 ppb untuk

<4 <4 <4 <4 <4

7.92 9.8

38.84

aflatoksin B1 sedangkan keseluruhan sampel maizena memiliki kandungan aflatoksin yang masih berada pada batas yang aman.

Menurut Sinha (1993), sangat sulit untuk menghilangkan kandungan mikotoksin di dalam bahan pada kondisi lingkungan yang normal. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin pada bahan makanan antara lain yaitu galur cendawan, nutrisi yang dikandung substrat, kadar air bahan, suhu dan kelembaban relatif lingkungan dan lama penyimpanan (Diener dan Davis ,1969). Menurut Butler (1974) substrat yang berbeda akan berpengaruh terhadap pembentukan aflatoksin.

Selanjutnya, hasil analisis aflatoksin pada 10 sampel uji produk akhir secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 15.

0 20 40 60 80 100 120 140 kadar flatoksin (ppb) PJ8 KJ PJ5 PJ6 PC PJ4 CS PU GJ PJ3

Gambar 15 . Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Produk Akhir

Keterangan :

PJ 8 = Marning tradisional PJ 4 = Brondong jagung KJ = Keripik jagung CS = Snack Corn Stick

PJ 5 = Emping jagung PU = Jagung puff

PJ 6 = tortilla GJ = Grontol Jagung

PC = Popcorn PJ 3 = Snack Jagung

9.64

<4 <4 <4 <4 0.0 <4

43.99

4.99 137.53

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dharmaputra et al. (1993) didapatkan bahwa kandungan aflatoksin pada produk olahan jagung umumnya lebih rendah daripada jagung itu sendiri. Hal ini tidak sejalan dengan hasil analisis yang didapat. Seperti terlihat pada Gambar 15, kadar aflatoksin masing-masing sampel cukup beragam.

BPOM RI menetapkan batas aflatoksin dalam makanan yang dikonsumsi tidak melebihi 20 ppb untuk aflatoksin B1 dan 35 ppb untuk aflatoksin total. Pada penelitian ini, sebanyak 20% (2 dari 10 sampel) contoh jagung pada tingkatan produk akhir mengandung aflatoksin B1 lebih dari 20 ppb.

Produk corn stick yakni produk cemilan dalam kemasan memiliki kadar aflatoksin sebesar 0 ppb. Dharmaputra dan Putri (1997) mengungkapkan bahwa produk olahan jagung yang berupa makanan ringan melalui banyak proses dan biasanya dicampur dengan bahan lain seperti zat aditif. Bahan-bahan tersebut kemungkinan berpengaruh terhadap kandungan aflatoksin yang terdapat pada produk-produk olahan jagung. Akan tetapi, hal yang cukup mengkhawatirkan dapat diamati dari hasil analisis dimana berondong jagung memiliki kadar aflatoksin yang paling tinggi diantara keseluruhan sampel di berbagai tingkatan. Tingginya kandungan aflatoksin ini telah melewati batas aman yang ditetapkan BPOM RI, yakni sebesar 20 ppb. Kandungan aflatoksin yang tinggi ini diduga karena pada produk berondong jagung jumlah populasi Aspergillus flavusnya memang cukup tinggi. Selain itu, proses pengolahan popping pada pembuatan berondong jagung hanya menggunakan suhu proses sekitar 144-1490C dimana aflatoksin masih dapat bertahan. Snack jagung puff juga memiliki kadar aflatoksin yang melewati batas yang telah ditetapkan oleh BPOM. Padahal, jenis produk dalam kemasan ini cukup populer dikonsumsi masyarakat beberapa tahun terakhir ini. Produk-produk dengan kondisi seperti ini semestinya sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan efek bahaya terhadap kesehatan manusia. Menurut Viquez et al. seperti dikutip oleh Putri (1996), faktor kimiawi seperti nutrisi dan substrat memegang peranan penting dalam pembentukan aflatoksin. Jagung yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi dan kandungan nitrogen yang rendah merupakan substrat yang baik untuk produksi aflatoksin. Seperti dikutip oleh Samson et al. (1981), kebanyakan

pembentukan aflatoksin juga dipengaruhi oleh keberadaan beberapa asam amino, asam-asam lemak serta mineral Zn.

Secara keseluruhan, dari 25 sampel yang diuji kandungan aflatoksinnya, sebanyak 4 sampel terkontaminasi aflatoksin B1 lebih dari 20 ppb. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Biotrop pada tahun 1997 menyebutkan bahwa dari 9 sampel produk olahan jagung yang diperoleh dari pasar swalayan, sebanyak 4 sampel terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar 10-20 ppb.

b. Korelasi Kandungan Aflatoksin dan Populasi Aspergillus flavus Pada Sampel Jagung Pipil dan Produk Intermediate

Aspergillus flavus adalah mikroflora yang umum ditemukan di udara dan

tanah. Spesies ini juga umum ditemukan pada gandum, jagung, biji kapas, beras, barley, dedak, tepung, kacang, kedelai sorghum cabe bubuk, kopra, millet, tree

nuts, biji kopi hijau, dibanding komoditi lain (Winter dan Helferich, 2001).

Diener dan Davis (1987) melaporkan bahwa inokulum awal Aspergillus

flavus pada jagung diduga berasal dari koloni cendawan yang bersporulasi.

Koloni tersebut berasal dari miselium yang terdapat pada sisa bahan tanaman yang membusuk di tanah dan atau dari spora yang terbawa angin. Produksi aflatoksin bergantung pada galur Aspergillus flavus (Diener dan Davis, 1969) dan dipengaruhi oleh keberadaan spesies cendawan lain yang berkompetisi dengan Aspergillus flavus (Choudhary dalam Dharmaputra et al., 1994).

Kemungkinan keberadaan populasi fungi serta kontaminasi aflatoksin akan lebih tinggi pada biji jagung yang pecah ataupun retak. Menurut Deshpande (2002), serangan Aspergillus flavus dapat terjadi pada saat tanaman masih berada di lahan ataupun pada saat penyimpanan.

Perlakuan pasca panen dapat berpengaruh terhadap serangan cendawan. Pada umumnya, kadar air jagung yang baru saja dipanen masih tinggi, sehingga merupakan substrat yang sesuai untuk pertumbuhan cendawan dan produksi mikotoksin. Oleh karena itu, pengeringan merupakan tahapan yang penting untuk mencegah serangan cendawan pada jagung

Hasil analisis aflatoksin pada beberapa sampel dihubungkan dengan hasil analisis Aspergillus flavus yang dilakukan oleh Toha (2008) untuk dilihat

korelasinya. Sebanyak 16 sampel dianalisis total Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksinnya seperti terlihat pada Tabel 18

Tabel 18. Hasil Analisis Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin

Kode Sampel Total

A.flavus (cfu/g) Kadar aflatoksin B1(ppb) Jagung pipil 1 0 0 Jagung pipil 2 0 0 Jagung pipil 3 102 0 Jagung pipil 4 1.8 x 102 19.63 Jagung pipil 5 1.8 x 102 0 Menir jagung 0 9.8 Beras jagung 0 29.65 Tepung Jagung 103 38.84 Maize 1 0 0 Maize 3 0 0 Maize 2 0 7.92 Snack 0 0 Brondong Manis 102 137.53 Emping 0 0 Tortila Meksiko 0 0 Marning 0 9.64 *)Sumber : Toha, 2008 y = 0.0322x + 5.3545 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 200 400 600 800 1000 1200 total A. flavus k a da r a fl a tok s in (pp b)

Gambar 17 . Korelasi Populasi Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin

Pada Sampel Jagung Pipil dan Produk Intermediate

Menurut Makfoeld (1993), pati jagung biasanya tidak begitu banyak mengandung fungi di dalamnya (di bawah 102 koloni/gram). Hal ini sesuai dengan hasil analisis dimana ketiga sampel maizena sama sekali tidak

ditumbuhi oleh koloni Aspergillus flavus. Total Aspergillus flavus paling tinggi terdapat pada sampel tepung jagung, yakni sebesar 103 cfu/g. Akan tetapi, berondong jagung yang diketahui memiliki kandungan aflatoksin tertinggi masih memiliki total Aspergillus flavus yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung jagung. Sampel beras jagung dan menir jagung yang diuji menunjukkan kadar aflatoksin melewati batas aman meskipun populasi

Aspergillus flavus dinyatakan tidak ada. Padahal, jenis produk ini merupakan

produk yang hanya melewati proses pengecilan ukuran saja dimana proses tersebut semestinya tidak akan menyebabkan penurunan jumlah populasi

Aspergillus flavus. Populasi Aspergillus flavus kemungkinan telah ada sejak

pasca panen sehingga kemungkinan juga sudah mulai memproduksi aflatoksin. Akan tetapi, proses pengeringan yang berlangsung sebelum terjadinya pengecilan ukuran menyebabkan pertumbuhan Aspergillus flavus terhambat, sementara residu aflatoksin masih tertinggal pada bahan.

Berdasarkan analisis statistik, kandungan aflatoksin memiliki korelasi positif dengan populasi Aspergillus flavus. Analisis regresi hanya dilakukan pada sampel jagung pipil dan produk intermediate saja. Hal ini dikarenakan produk akhir umumnya memiliki korelasi yang bervariasi. Pada tabel dapat dilihat bahwa sampel produk akhir yang populasi Aspergillus flavus-nya tinggi belum tentu kandungan aflatoksinnya juga tinggi. Proses pengolahan yang dilakukan pada saat memproduksi produk olahan jagung umumnya mengakibatkan jumlah populasi Aspergillus flavus menurun bahkan hilang sama sekali. Penelitian yang dilakukan oleh Dharmaputra et al. (1993) menemukan bahwa terdapat korelasi positif antara populasi Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksin pada sampel jagung yang diambil di tingkat petani dan pedagang di propinsi Lampung.

Menurut Diener dan Davis (1969) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin pada bahan makanan antara lain yaitu galur cendawan, nutrisi yang dikandung substrat, kadar air bahan, suhu dan kelembaban relatif lingkungan, dan lama penyimpanan. Populasi Aspergillus

flavus sp.dan produksi aflatoksin dapat dipengaruhi oleh metabolit yang

kepada varietas jagung. Pada penelitian ini, sampel yang diperoleh berasal dari berbagai varietas jagung sehingga menghasilkan variasi terhadap hasil analisis yang didapat.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Survey tingkat kesukaan responden terhadap produk jagung di Bogor dan Bojonegoro menunjukkan bahwa produk jagung masih digemari oleh masyarakat. Preferensi yang ditunjukkan responden di kedua lokasi cukup bervariasi. Responden Bojonegoro umumnya menyukai produk berbasis jagung dalam bentuk camilan. Responden Bogor memiliki preferensi lebih tinggi terhadap produk tradisional dibandingkan jenis produk lainnya. Sedangkan produk-produk instan terkesan kurang begitu diminati responden di kedua lokasi. Selanjutnya, berkaitan dengan ketersediaan, responden Bojonegoro memiliki rata-rata porsi konsumsi yang lebih besar dibandingkan responden Bogor. Akses responden Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung sudah terdistribusi secara merata baik di pasar, warung, minimarket maupun supermarket sedangkan responden Bogor lebih memilih warung dan minimarket sebagai lokasi membeli. Hal ini terkait dengan kemudahan dalam menjangkau lokasi.

Tempat berdomisili yang berbeda di antara dua kategori responden tidak mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap produk jagung tetapi mempengaruhi frekuensi konsumsi responden. Hal ini terkait dengan adanya pengalaman masa kecil yang juga turut mempengaruhi perkembangan preferensi konsumen akan suatu produk. Akan tetapi, frekuensi konsumsi yang tinggi tidak menjamin besarnya porsi konsumsi produk jagung. Upaya pengembangan produk pangan berbasis jagung perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Responden lebih menawarkan opini dari segi inovasi produk. Hal ini mengindikasikan belum begitu bervariasinya produk jagung yang beredar di pasaran. Opini yang terkait dengan keamanan pangan belum mendapat perhatian yang cukup serius dari responden.

Berkaitan dengan perbaikan mutu, upaya perbaikan konsumsi juga harus diikuti dengan upaya peningkatan keamanan pangan. Berdasarkan hasil analisis aflatoksin, sebanyak 4 dari 25 sampel (16%) terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar melebihi batas yang telah ditetapkan oleh BPOM RI, yakni 20 ppb. Produk ini semestinya sudah tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Aflatoksin juga sudah

ditemukan pada jagung pipil di tingkat petani, walaupun kadarnya masih < 20 ppb. Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi yang positif antara keberadaan populasi Aspergillus flavus dengan kadar aflatoksin pada sampel jagung pipil dan produk intermediate.

B. Saran

Perbaikan survey perlu dilakukan dengan memperbanyak jumlah responden dan memperluas wilayah survey. Selain itu, karakteristik responden lain seperti tingkat pendapatan sebaiknya juga dijadikan variabel yang diteliti dalam survey konsumsi selanjutnya. Berdasarkan hasil analisis aflatoksin, perbaikan penanganan komoditi jagung perlu dilakukan mulai dari penanganan pascapanen hingga proses produksi produk olahan jagung.

Dokumen terkait